Penyalahgunaan Diskresi dalam Perspektif Tindak Pidana korupsi

LEGAL OPINION
Question: Kalau pegawai atau aparatur sipil negara, berkegiatan dan mengambil kebijakan ataupun keputusan berdasarkan peraturan perundang-undangan ataupun peraturan setingkat menteri, maka tidak akan dikriminalisasi, bukan? Karena ada dasar hukum atau payung hukumnya.
Brief Answer: Seringkali yang membuat pejabat negara terjerat perkara pidana korupsi, bukan karena ada atau tidak ada payung hukum regulasi yang mengatur, namun prosedur saat menjalankan dasar hukum yang berlaku ternyata terjadi penyalahgunaan wewenang. Mahkamah Agung RI pernah membuat pendirian, bahwa tidak diindahkannya kaedah prosedur, disetarakan dengan penyalahgunaan wewenang. Hukum, terutama hukum administrasi, sarat akan prosedur.
PEMBAHASAN:
Salah satu putusan tepat sekiranya SHIETRA & PARTNERS angkat, sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI perkara Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) register Nomor 977 K/PID/2004 tanggal tanggal 10 Juni 2005 yang diputus oleh Majelis Hakim Agung BAGIR MANAN, PARMAN SOEPARMAN, dan ISKANDAR KAMIL, membuat pertimbangan hukum yang menarik untuk disimak, sebagai berikut:
“Bahwa keberatan-keberatan ini dapat dibenarkan, oleh karena judex facti (Pengadilan Tinggi) telah salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
- bahwa judex facti telah keliru dalam menafsirkan ‘unsur menyalahgunakan kewenangan’ sebagaimana dimaksud dalam Pasal I ayat (1) sub.b, Undang-Undang No. 3 Tahun 1971;
- bahwa sehubungan dengan unsur tidak pidana tersebut, terlebih dahulu perlu - dikemukakan pendapat-pendapat Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji, SH. MH. dalam makalahnya ‘Antara Kebijaksaan Publik’ (Publiek Beleid, Azas Perbuatan Melawan Hukum Materiel Dalam Perspektif Tindak Pidana Korupsi di Indonesia yang pokoknya adalah ‘Pengertian penyalahgunaan / menyalahgunakan wewenang’ dalam Hukum Pidana, khususnya dalam tindak pidana korupsi, tidak memiliki pengertian yang eksplisitas sifatnya.
- bahwa mengingat tidak adanya eksplisitas pengertian tersebut dalam Hukum Pidana, maka dipergunakan pendekatan ektensif berdasarkan doktrin yang dikemukakan oleh H.A. Demeersemen tentang kajian ‘De Autonomie van bet Materiele Strafrecbt’ (Otonomi dari Hukum Pidana Materiel). Intinya mempertanyakan apakah ada harmoni dan disharmoni antara pengertian yang sama antara Hukum Pidana, khususnya dengan Hukum Perdata dan Hukum Tata Usaha Negara sebagai suatu cabang hukum lainnya. Disini akan diupayakan keterkaitan pengertian yang sama bunyinya antara cabang ilmu Hukum Pidana dengan cabang ilmu hukum lainnya.
- bahwa apakah yang dimaksudkan dengan disharmoni dalam hal-hal dimana kita memberikan pengertian dalam Undang-Undang Hukum Pidana dengan isi lain mengenai pengertian yang sama bunyinya dalam cabang hukum lain, ataupun dikesampingkan teori, fiksi dan konstruksi dalam menerapkan hukum Pidana pada cabang hukum lain. Kesimpulannya dikatakan bahwa mengenai perkatan yang sama, Hukum Pidana mempunyai otomomi untuk memberikan pengertian yang berbeda dengan pengertian yang terdapat dalam cabang ilmu hukum lainnya, akan tetapi jika Hukum Pidana tidak menentukan lain, maka dipergunakan pengertian yang terdapat dalam cabang hukum lainnya. Dengan demikian, apabila pengertian ‘menyalahgunakan kewenangan’ tidak ditemukan eksplisitasnya dalam Hukum Pidana, maka Hukum Pidana dapat mempergunakan pengertian dan kata yang sama yang terdapat atau berasal dari cabang hukum lainnya;
- bahwa Ajaran tentang ‘Autonomie van het Materiele Strafrecht’ diterima oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang selanjutnya dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung RI. No.1340 K/Pid/1992 tanggal 17 Februari 1992 sewaktu adanya perkara tindak pidana korupsi yang dikenal dengan perkara ‘Sertifikat Ekspor’ dimana Drs. Menyok Wijono didakwa melanggar Pasal 1 ayat (1) sub B Undang- Undang No. 3 Tahun 1971 sebagai Kepala Bidang Ekspor Kantor Wilayah IV, Direktorat Jenderal Bea & Cukai Tanjung Priok, Jakarta. Oleh Mahkamah Agung RI. Dilakukan penghalusan hukum (rechtsvervijning) pengertian yang luas dari Pasal 1 ayat (1) sub b Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 dengan cara mengambil-alih pengertian ‘menyalahgunakan kewenangan’ yang ada pada Pasal 52 ayat (2) huruf b Undang-Undang No.5 Tahun 1986 (tentang Peradilan Tata Usaha Negara), yaitu telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut atau yang dikenal dengan ‘detournement de poivoir’. Memang, pengertian detournement de pouvoir, dalam kaitannya dengan Freies Ermessen ini mengalami perluasan arti berdasarkan Yurisprudensi di Perancis. Menurut Prof. Jean Rivero dan Prof. Waline, pengertian penyalahgunaan kewenangan dalam Hukum Administrasi dapat diartikan dalam 3 wujud, yaitu:
1. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan;
2. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh Undang-Undang atau peraturan-peraturan lain;
3. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana;
“Bahwa berdasarkan keterangan-keterangan saksi dibawah sumpah, surat-surat bukti dan keterangan Terdakwa sehubungan dengan unsur ‘menyalahgunakan kewenangan’ tersebut adalah terbukti fakta-fakta yang pokoknya sebagai berikut:
1. Bahwa Direksi Bank Indonesia, dalam hal ini termasuk Terdakwa berwenang mengenakan sanksi ‘penghentian sementara dari klering lokal’ terhadap bank yang mengalami saldo debet, malahan terhadap bank tersebut diberikan fasilitas saldo debet, dan setelah bank mendapat Fasilitas Saldo Debet tersebut, Terdakwa tidak pernah memberikan pengarahan atau mengingatkan agar terhadap bank tersebut dilakukan pemeriksaan atas penggunaan Fasilitas Saldo Debet tersebut guna menghindari dari penyimpangan yang memang penyimpangan tersebut sudah terjadi, misalnya pada Bank Kosagraha yaitu memberikan fasilitas kredit kepada group / terkait atau non terkait melampaui batas maximal pemberian kredit;
2. bahwa tidak ada ketentuan intern Bank Indonesia yang mengatur tentang syarat yang dapat menerima Fasilitas Saldo Debet, dan pemberian fasilitas tersebut tidak memakai permohonan, pengikatan dan jaminan, sehingga Mahkamah Agung berpendapat pemberian Fasilitas Saldo Debet tersebut kepada bank-bank yang sedang mengalami saldo negatif telah melanggar prinsip kehati-hatian bank (prudential banking) sebagaimana ditentukan antara lain dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992;
3. bahwa dari segi mekanisme pengawasan terdapat kesulitan dan ketidakmampuan pengawasan di lingkungan UPB III dalam mengawasi dan memantau penggunaan Fasilitas Saldo Debet tersebut, hal mana disebabkan karena Fasilitas Saldo Debet diberikan melalui mekanisme klering;
4. Bahwa pemberian Fasilitas Saldo Debet oleh Bank Indonesia kepada Bank yang mengalami saldo negatif telah menguntungkan Bank Penerima karena dengan diterimanya Fasilitas Saldo Debet tersebut, akan memperlancar transaksi Bank yang bersangkutan;
5. Bahwa dana Bank Indonesia yang diberikan kepada bank yang sedang mengalami saldo negatif di Bank Indonesia tersebut merupakan uang negara, karena pada akhirnya dana talangan dalam bentuk fasilitas saldo debet tersebut dibebankan kepada APBN.
“Menimbang, bahwa Mahkamah Agung berpendapat fakta-fakta yang telah terbukti tersebut diatas, membuktikan bahwa perbuatan Terdakwa selaku salah seorang Direksi Bank Indonesia telah memenuhi unsur ‘menyalahgunakan kewenangannya’ dari tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 1 Ayat 1 sub (b) Undang-Undang No. 3 Tahun 1971, dalam pengertian sebagaimana dimaksud oleh Yurisprudensi Mahkamah Agung tanggal 17 Februari 1992 No.1340 K/Pid/1992 dalam perkara Terpidana Drs. Menyok Wijono dan pendapat Prof. Jean Rivero dan Prof. Wiline yang dianut oleh Yurisprudensi Perancis sebagaimana telah dikemukakan dalam pertimbangan diatas, berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:
1. bahwa Terdakwa dan Direksi Bank Indonesia lainnya melakukan tindakan-tindakan yang menguntungkan kelompok atau golongan, dalam hal ini bank-bank yang sedang mengalami saIdo negatif;
2. bahwa Terdakwa dan Direksi Bank Indonesia lainnya telah menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana, yaitu untuk mengatasi bank-bank yang sedang mengalami saldo negatif, seharusnya bukan dengan memberikan Fasilitas Saldo Debet yang memang tidak ada ketentuan yang menjadi dasar hukum untuk menempuh prosedur tersebut, dan yang ditempuh seharusnya prosedure pemberian saldo dalam bentuk Fasilitas Diskonto;
3. bahwa sebenarnya sarana untuk memberikan bantuan kepada bank-bank yang sedang mengalami saldo negatif bukan Fasilitas Saldo Debet tetapi Fasilitas Diskonto, yang syarat-syaratnya, prosedure dan mekanismenya diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia tanggal 20 Januari 1984 No.16/54/Kep/Dir. jo. Surat Keputusan Bank Indonesia tanggal 20 Oktober 1988 No.21 /54/Kep/Dir. jo. Surat Keputusan Bank Indonesia tanggal 20 Februari 1991 No.231/84/Kep/Dir. dan Surat Edaran yang mengatur petunjuk pelaksanaannya jo Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang No.3 Tahun 1968 dan Pasal 37 ayat (2) huruf b Undang-Undang No. 7 Tahun 1968, yang seluruh peraturan tersebut masih berlaku sewaktu Terdakwa masih menjadi anggota Direksi Bank Indonesia;
4. bahwa dari segi mekanisme pengawasan terdapat kesulitan dan ketidakmampuan Pengawas dalam mengawasi dan memantau penggunaan Fasilitas Saldo Debet;
5. bahwa pemberian Fasilitas Saldo Debet oleh Bank Indonesia kepada bank-bank yang sedang mengalami saldo debet telah menguntungkan Bank-Bank Penerima, karena dengan diterimanya fasilitas tersebut, transaksi bank-bank tersebut menjadi lancar;
6. bahwa dana Bank Indonesia yang diberikan kepada bank-bank yang sedang mengalami saldo negatif, yang kemudian tidak dapat dikembalikan oleh Bank-Bank Penerima fasilitas saldo debet tersebut akhirnya dibebankan kepada APBN;
“Fasilitas Diskonto sebagaimana ditentukan dalam Pasal 32 ayat 3 Undang-Undang No. 13 Tahun 1965 dan Pasal 37 ayat (2) b Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 dengan peraturan pelaksanaannya berupa:
1. Surat keputusan Direksi Bank Indonesia tanggal 27 Oktober 1988 No.21/54/Kep/Dir., tentang Penyediaan Fasilitas Diskonto Dalam Rupiah,
2. Surat Keputusan Bank Indonesia tangga128 Pebruari 1991 No. 23/84/Kep/Dir. Tentang Tata Cara Penyediaan Fasilitas Diskonto dan
3. Surat Edaran tanggal 27 Oktober 1988 tentang Penyediaan Fasilitas Diskonto Dalam Rupiah;
- Bahwa lagi pula ketentuan yang ada sudah jelas memberi batas wewenang dan tindakan yang harus dilakukan kalau bank mengalami saldo debet. Tetapi hal itu tenyata tidak dilakukan sebagaimana mestinya. Malahan yang dilakukan sebaliknya yaitu tetap memberikan fasilitas saldo kredit dan lain-lain fasilitas. Dengan demikian jelas telah terjadi penyalahgunaan wewenang yang secara nyata merugikan negara.
- bahwa dalam hal keadaan memaksa, walaupun tidak secara eksplisit disebutkan tetapi dengan memberi gambaran tentang krisis likuidasi akibat ‘rush’ sebagai kelanjutan krisis moneter, secara inplisit mengandung makna ada situasi krisis keuangan dan perbankan yang harus diatasi oleh Bank Indonesia. Keadaan krisis ini membenarkan Bank Indonesia mengambil langkah-langkah yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku. Harus diakui ada situasi krisis, tetapi apakah sudah memenuhi suatu syarat untuk melakukan suatu penyimpangan demi apa yang disebut ‘the necessary to achieve that compelling end’.
- bahwa berdasarkan ketentuan yang ada dan kewenangan yang dimiliki Bank Indonesia sudah harus tertutup jalan lain sehingga perlu menyimpangi aturan yang ada. Sama sekali tidak dapat ditunjukkan suatu keadaan bahwa tanpa membuka terus kran saldo debet, maka sistem perbankan dan keuangan akan sama sekali tidak berfungsi. Apalagi terbukti bahwa sesungguhnya kondisi bank yang tidak sehat tersebut telah ada sebelum krisis moneter.
- bahwa suatu beleid yang dalam hal tertentu dikaitkan dengan ‘kebenaran bertindak’ haruslah suatu kebebasan dalam kerangka hukum dan untuk suatu tujuan yang dibenarkan secara hukum, bukan sebaliknya;
- Bahwa dalam hal resiko, sebagai bagian dari penyelenggara pemerintah negara, sudah semestinya Bank Indonesia mengaitkan resiko yang timbul akibat kebijakan tersebut terhadap negara. Dalam keadaan serba krisis negara harus memikul beban yang begitu besar akibat tingkah laku buruk yang tidak menjalankan prinsip-prinsip perbankan secara baik dan benar. Hal ini mesti diperhitungkan oleh Bank Indonesia. Sangat tidak layak dan bertentangan dengan kepatutan suatu beleid yang justru mendalilkan beban bank-bank menjadi beban negara atau rakyat serba kekurangan.
- bahwa mengenai tanggung jawab Terdakwa, Terdakwa sangat membenarkan bahwa tindakan dilakukan sebagai pelaksanaan putusan direksi secara terselubung ingin memberi ‘image’ bahwa direksi yang bertanggung jawab atau lebih luas korporasi yang bertanggung jawab.
- bahwa Bank Indonesia pada dasarnya adalah fungsi administrasi negara. Pejabat-Pejabatnya menjalankan jabatan administrasi negara yang bertanggung-jawab atas segala keputusan atau dalam menjatuhkan putusan. Dari bukti yang tidak dibantah Terdakwa secara nyata menetapkan bank tetap bank yang tetap meminta fasilitas saldo debet dan berbagai fasilitas lain, karena itu sudah semestinya bertanggung jawab.
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, dengan tanpa mempertimbangkan keberatan-keberatan kasasi lainnya, menurut Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: Jaksa Penuntut Umum dan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tanggal 29 Desember 2003 No.146/PID/2003/PT.DKI. yang telah membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 3 April 2003 No.2041/PID.B/2001/PN.Jkt.Pst. serta Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara ini dengan mengambil-alih alasan dan pertimbangan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 3 April 2003 No.2041/PID.B/2001/PN.Jkt.Pst. yang memang sudah tepat dan benar;
“Menimbang, bahwa namun demikian khusus lamanya pidana yang dijatuhkan maka Mahkamah Agung berpendapat perlu disesuaikan dengan rasa keadilan bagi terdakwa, mengingat terdakwa tidak terbukti telah ikut menikmati hasil kejahatan tersebut dan perbuatan terdakwa dilaksanakan dalam rangka kebijaksaan pemerintah, hanya saja dalam pelaksanaannya tidak memperhatikan prinsip kehati-hatian yang dianut oleh perbankan (prudential banking);
“Menimbang, bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung akan menjatuhkan pidana yang lamanya dapat memenuhi tujuan pemidanaan yang lebih bersifat korektif dan edukatif dengan tetap memperhatikan tujuan pemidanaan yang bersifat preventif;
M E N G A D I L I :
“Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: JAKSA PENUNTUT UMUM PADA KEJAKSAAN NEGERI JAKARTA PUSAT tersebut;
“Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tanggal 29 Desember 2003 No.146/PID/2003/PT.DKI. yang telah membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 3 April 2003 No. 2041/ PID.B/2001/PN.Jkt.Pst.
MENGADILl SENDIRI:
- Menyatakan Terdakwa Prof. DR. H. HERU SOEPRATOMO, SH. SE. tersebut terbukti secara sah dan meyakinkan telah bersalah melakukan tindak pidana ‘KORUPSI YANG DILAKUKAN SECARA BERSAMA-SAMA DAN SEBAGAI PERBUATAN BERLANJUT’;
- Mempidana oleh karena itu Terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan, dan membayar denda sebesar Rp 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah), dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, akan diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.