Pemberian Upah ialah Paling Lambat Hitungan Bulan

LEGAL OPINION
Question: Bila selama ini para buruh tetap perusahaan diberikan upah secara mingguan, semisal satu minggu sekali, lalu pihak manajemen berencana untuk mengubah sistem pembayaran upah menjadi per tiap bulan, maka apakah itu akan membawa resiko hukum?
Brief Answer: Yang riskan ialah potensi resiko sosial, sementara secara yuridis, pemberian Upah ialah hitungan per bulan, kecuali bila pekerja diikat dengan perjanjian kerja borongan ataupun harian. Perkecualian kedua, bila terdapat Perjanjian Kerja Bersama yang menyatakan pemberian Upah ialah untuk setiap minggunya, maka ketentuan itulah yang berlaku.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah ilustrasi serupa, sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor Nomor 722 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 8 November 2016, perkara antara:
- 411 orang Pekerja, sebagai Para Pemohon Kasasi dahulu Para Penggugat; melawan
- PT. MASCOTINDO JAYA ABADI, selaku Termohon Kasasi dahulu Tergugat.
Gugatan ini terjadi dikarenakan Tergugat melakukan perubahan sistem perhitungan upah dari harian menjadi bulanan, sehingga dinilai menurunkan total upah yang biasa diterima Para Penggugat, secara sepihak dan tanpa didahului kesepakatan dengan Para Penggugat selaku Pekerja.
Para Penggugat menyebut diri mereka sebagai pekerja yang bekerja pada Tergugat dengan status “pekerja/buruh harian tetap” dengan waktu kerja 6 hari dalam seminggu—suatu istilah yang salah kaprah, mengingat antara “Pekerja Harian” dan “Pekerja Tetap” adalah dua konsepsi hukum ketenagakerjaan yang saling berbeda satu sama lain.
Para Penggugat sejak bekerja pada Tergugat, menerima upah 2 (dua) minggu sekali setiap tanggal 7 dan tanggal 22 dalam setiap bulannya, dengan sistem perhitungan per hari adalah upah bulanan dibagi 25. Upah minimum Kota Bandung tahun 2014 sebesar Rp2.000.000,00 per bulan, Para Penggugat seharusnya menerima upah sebulan sebesar Rp2.165.400,00 dengan sistem perhitungan upah harian, sedangkan Tergugat sejak bulan Mei 2014 membayar upah sebesar Rp2.025.000,00 per bulan sehingga ada kerugian/kekurangan pembayaran upah sebesar Rp130.400,00 per bulan untuk setiap satu orang Pekerja.
Pada tanggal 17 Januari 2014, Tergugat tanpa adanya pemberitahuan maupun perundingan dengan Serikat Pekerja, memanggil para pengawas produksi dan kepala bagian produksi untuk mensosialisasikan sistem perubahan pengupahan kepada Para Penggugat.
Para Penggugat menolak permintaan Tergugat
tersebut dikarenakan tidak pernah ada pembahasan sebelumnya maupun kesepakatan dengan serikat pekerja. Tanggal 18 Januari 2014, Tergugat mengadakan pertemuan dengan perwakilan Para Penggugat dari setiap departemen, namun Para Penggugat tetap menolak perubahan sistem perhitungan upah.
 8. Bahwa pada tanggal 20 Januari 2014 Tergugat memanggil serikat pekerja
PUK SP TSK SPSI PT. Mascotindo Jaya Abadi dan Tergugat meminta agar Serikat Pekerja dan Para Penggugat menyetujui keputusan Tergugat untuk
melakukan perubahan sistem perhitungan upah, namun tidak ada titik temu;
Tanggal 20 Januari 2014 sekitar pukul 17.00, saat Para Penggugat hendak pulang kerja, Tergugat mengumpulkan seluruh Pekerja dan melarang pulang walaupun sudah waktunya pulang kerja. Tergugat meminta Para Penggugat untuk menyetujui dan menanda-tangani persetujuan perubahan sistem perhitungan upah, kalau tidak tanda-tangan tidak diperbolehkan pulang.
Akibat paksaan yang dilakukan oleh Tergugat kepada Para Penggugat, untuk menerima perubahan sistem perhitungan upah dan status harian menjadi bulanan, Para Penggugat melakukan mogok kerja. Berlanjut pada tanggal 21 Januari 2014, dengan difasilitasi oleh Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung, Para Penggugat dengan Tergugat melakukan musyawarah mufakat dan dihasilkan kesepakatan yang dituangkan dalam notulen/berita acara perundingan, bahwa: “selama proses perselisihan berlangsung sistem perhitungan upah tetap seperti semula tidak ada perubahan/harian”.
Namun, Tergugat ternyata tetap melaksanakan sistem pembayaran dan perhitungan upah dengan bulanan, sehingga Tergugat nyata-nyata mengingkari kesepakatan dengan para Pekerjanya yang juga disaksikan oleh Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung sebagaimana dalam Notulen Rapat tanggal 21 Januari 2014.
Terhadap gugatan para Pekerja, Pengadilan Hubungan Industrial Bandung kemudian menjatuhkan putusan Nomor 240/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Bdg. tanggal 28 Maret 2016, dengan pertimbangan serta amar sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa diakui oleh Tergugat ada Penggugat yang mencantumkan upah dibayar bulanan dan ada yang tidak mencamtumkan upah dibayar bulanan dalam Perjanjian Kerja, atas pengakuan dan sangkalan tersebut Tergugat mengajukan saksi yang bernama Sri Sofyani yang menjelaskan di muka persidangan bahwa catatan tulisan tangan dalam perjanjian kerja tersebut dibuat oleh Para Penggugat di hadapan saksi sebagai HRD, dan kesaksian terbut diatas dapat mematahkan dalil para Penggugat mengenai tulisan tangan yang tidak diakuinya dalam perjanjian kerja;
“Menimbang, bahwa atas kesaksian sdr. Sri Sofiani di atas Majelis Hakim tidak mendapatkan fakta hukum yang membuktikkan para Penggugat adalah pekerja bagian diluar produksi, maka dapat disimpulkan pekerjaan yang dikerjkan oleh Para Penggugat adalah pekerjaan di bidang produksi dan bukan pekerjaan yang menunjang produksi, atas dasar sifat pekerjaan tersebut Majelis Hakim dengan berdasarkan ketentuan Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, yang pada pokoknya melarang mempekerjakan berdasarkan PKWT bagi pekerjaan yang bersifat tetap;
“Menimbang, bahwa perbedaan pendapat antara Para Penggugat dengan Tergugat tersebut diatas, dan pertimbangan Majelis Hakim serta dukungan fakta hukum berupa (bukti P-17, P-18,P-19, P-20, P-21, P-22 dan P-23 serta bukti T-3), Majelis Hakim berkesimpulan status hubungan kerja antara Para Penggugat dengan Tergugat termasuk Para Penggugat lainnya yang namanya termasuk dalam surat gugatan sebanyak 411 orang adalah sebagai pekerja tetap dan mendapat upah bulanan sebagaimana yang telah berjalan di perusahaan Tergugat sejak bulan September 2014;
“Meninmbang, bahwa sekalipun Anjuran tersebut ditolak oleh para Penggugat namun telah dilaksanakan pembayaran dan diakui dan diterimanya upah secara bulanan sejak bulan September 2014 s/d sekarang (2016), maka perubahan sistem pembayaran upah dibayar 2 (dua) mingguan menjadi dibayar bulanan sah secara hukum dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, oleh karenannya Petitum angka 2 haruslah dinyatakan ditolak;
“Dalam hal penghasilan pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan harian, maka penghasilan sebulan adalah sama dengan 30 kali penghasilan sehari;
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
- Menolak gugatan Para Penggugat seluruhnya.”
Para Pekerja mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan bahwa yang menjadi objek perselisihan adalah perubahan perhitungan upah perhari yang semula dibagi 25 hari dalam sebulan dirubah oleh Tergugat secara sepihak menjadi dibagi 30 hari dalam sebulan, serta diturunkannya Upah Pokok Para Pemohon Kasasi sebesar Rp25.000,00 per bulan secara sepihak oleh Tergugat.
Perkara ini cukup unik, karena para Pekerja justru menolak ketika Pengadilan Hubungan Industrial menyatakan para Penggugat adalah berstatus sebagai Pekerja Tetap, bukan buruh harian ataupun Pekerja Kontrak.
Para Penggugat berkeberatan ketika Majelis Hakim PHI yang dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa pada pokoknya yang penting upah tidak di bawah Upah Minimum yang berlaku, walaupun upahnya diturunkan/dikurangi, sangatlah tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dimana upah Minimum hanya berlaku untuk buruh yang masa kerjanya 0 s/d 1 tahun. Pertimbangan hukum demikian akan menimbulkan gejolak dan keresahan dikalangan buruh yang selama ini upahnya diatas upah minimum, akan menjadi contoh yang tidak baik bagi perusahaan-perusahaan lain yang terinspirasi untuk menurunkan upah buruh yang masih diatas upah minimum.
Larangan untuk menurunkan/mengurangi upah pekerja/buruh yang diatas Upah Minimum, jelas sudah diatur dalam Kepmenaker Nomor 1 Tahun 1999 Pasal 17: “Bagi perusahaan yang telah memberikan upah lebih tinggi dari upah minimum yang berlaku, pengusaha dilarang mengurangi atau menurunkan upah”—dimana larangan itu tercantum pula dalam DIKTUM Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat Tentang Upah Minimum di Jawa Barat setiap tahunnya.
Dimana terhadap keberatan-keberatan para Buruh, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 25 April 2016 dan kontra memori kasasi tanggal 16 Mei 2016 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa perubahan status sistem penggajian dari 2 (dua) minggu menjadi 1 (satu) bulan tidak melanggar perundang-undangan serta tidak terbukti Tergugat memotong upah pokok Para Penggugat sebesar Rp25.000 (dua puluh lima ribu rupiah) sebagaimana telah dipertimbangkan oleh Judex Facti;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, ternyata bahwa Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Para Pemohon Kasasi: HANNY HARMAWATI dan kawan-kawan tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi.”

© SHIETRA & PARTNERS Copyright.LEGAL OPINION
Pemberian Upah ialah Paling Lambat Hitungan Bulan
Question: Bila selama ini para buruh tetap perusahaan diberikan upah secara mingguan, semisal satu minggu sekali, lalu pihak manajemen berencana untuk mengubah sistem pembayaran upah menjadi per tiap bulan, maka apakah itu akan membawa resiko hukum?
Brief Answer: Yang riskan ialah potensi resiko sosial, sementara secara yuridis, pemberian Upah ialah hitungan per bulan, kecuali bila pekerja diikat dengan perjanjian kerja borongan ataupun harian. Perkecualian kedua, bila terdapat Perjanjian Kerja Bersama yang menyatakan pemberian Upah ialah untuk setiap minggunya, maka ketentuan itulah yang berlaku.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah ilustrasi serupa, sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor Nomor 722 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 8 November 2016, perkara antara:
- 411 orang Pekerja, sebagai Para Pemohon Kasasi dahulu Para Penggugat; melawan
- PT. MASCOTINDO JAYA ABADI, selaku Termohon Kasasi dahulu Tergugat.
Gugatan ini terjadi dikarenakan Tergugat melakukan perubahan sistem perhitungan upah dari harian menjadi bulanan, sehingga dinilai menurunkan total upah yang biasa diterima Para Penggugat, secara sepihak dan tanpa didahului kesepakatan dengan Para Penggugat selaku Pekerja.
Para Penggugat menyebut diri mereka sebagai pekerja yang bekerja pada Tergugat dengan status “pekerja/buruh harian tetap” dengan waktu kerja 6 hari dalam seminggu—suatu istilah yang salah kaprah, mengingat antara “Pekerja Harian” dan “Pekerja Tetap” adalah dua konsepsi hukum ketenagakerjaan yang saling berbeda satu sama lain.
Para Penggugat sejak bekerja pada Tergugat, menerima upah 2 (dua) minggu sekali setiap tanggal 7 dan tanggal 22 dalam setiap bulannya, dengan sistem perhitungan per hari adalah upah bulanan dibagi 25. Upah minimum Kota Bandung tahun 2014 sebesar Rp2.000.000,00 per bulan, Para Penggugat seharusnya menerima upah sebulan sebesar Rp2.165.400,00 dengan sistem perhitungan upah harian, sedangkan Tergugat sejak bulan Mei 2014 membayar upah sebesar Rp2.025.000,00 per bulan sehingga ada kerugian/kekurangan pembayaran upah sebesar Rp130.400,00 per bulan untuk setiap satu orang Pekerja.
Pada tanggal 17 Januari 2014, Tergugat tanpa adanya pemberitahuan maupun perundingan dengan Serikat Pekerja, memanggil para pengawas produksi dan kepala bagian produksi untuk mensosialisasikan sistem perubahan pengupahan kepada Para Penggugat.
Para Penggugat menolak permintaan Tergugat
tersebut dikarenakan tidak pernah ada pembahasan sebelumnya maupun kesepakatan dengan serikat pekerja. Tanggal 18 Januari 2014, Tergugat mengadakan pertemuan dengan perwakilan Para Penggugat dari setiap departemen, namun Para Penggugat tetap menolak perubahan sistem perhitungan upah.
 8. Bahwa pada tanggal 20 Januari 2014 Tergugat memanggil serikat pekerja
PUK SP TSK SPSI PT. Mascotindo Jaya Abadi dan Tergugat meminta agar Serikat Pekerja dan Para Penggugat menyetujui keputusan Tergugat untuk
melakukan perubahan sistem perhitungan upah, namun tidak ada titik temu;
Tanggal 20 Januari 2014 sekitar pukul 17.00, saat Para Penggugat hendak pulang kerja, Tergugat mengumpulkan seluruh Pekerja dan melarang pulang walaupun sudah waktunya pulang kerja. Tergugat meminta Para Penggugat untuk menyetujui dan menanda-tangani persetujuan perubahan sistem perhitungan upah, kalau tidak tanda-tangan tidak diperbolehkan pulang.
Akibat paksaan yang dilakukan oleh Tergugat kepada Para Penggugat, untuk menerima perubahan sistem perhitungan upah dan status harian menjadi bulanan, Para Penggugat melakukan mogok kerja. Berlanjut pada tanggal 21 Januari 2014, dengan difasilitasi oleh Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung, Para Penggugat dengan Tergugat melakukan musyawarah mufakat dan dihasilkan kesepakatan yang dituangkan dalam notulen/berita acara perundingan, bahwa: “selama proses perselisihan berlangsung sistem perhitungan upah tetap seperti semula tidak ada perubahan/harian”.
Namun, Tergugat ternyata tetap melaksanakan sistem pembayaran dan perhitungan upah dengan bulanan, sehingga Tergugat nyata-nyata mengingkari kesepakatan dengan para Pekerjanya yang juga disaksikan oleh Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung sebagaimana dalam Notulen Rapat tanggal 21 Januari 2014.
Terhadap gugatan para Pekerja, Pengadilan Hubungan Industrial Bandung kemudian menjatuhkan putusan Nomor 240/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Bdg. tanggal 28 Maret 2016, dengan pertimbangan serta amar sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa diakui oleh Tergugat ada Penggugat yang mencantumkan upah dibayar bulanan dan ada yang tidak mencamtumkan upah dibayar bulanan dalam Perjanjian Kerja, atas pengakuan dan sangkalan tersebut Tergugat mengajukan saksi yang bernama Sri Sofyani yang menjelaskan di muka persidangan bahwa catatan tulisan tangan dalam perjanjian kerja tersebut dibuat oleh Para Penggugat di hadapan saksi sebagai HRD, dan kesaksian terbut diatas dapat mematahkan dalil para Penggugat mengenai tulisan tangan yang tidak diakuinya dalam perjanjian kerja;
“Menimbang, bahwa atas kesaksian sdr. Sri Sofiani di atas Majelis Hakim tidak mendapatkan fakta hukum yang membuktikkan para Penggugat adalah pekerja bagian diluar produksi, maka dapat disimpulkan pekerjaan yang dikerjkan oleh Para Penggugat adalah pekerjaan di bidang produksi dan bukan pekerjaan yang menunjang produksi, atas dasar sifat pekerjaan tersebut Majelis Hakim dengan berdasarkan ketentuan Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, yang pada pokoknya melarang mempekerjakan berdasarkan PKWT bagi pekerjaan yang bersifat tetap;
“Menimbang, bahwa perbedaan pendapat antara Para Penggugat dengan Tergugat tersebut diatas, dan pertimbangan Majelis Hakim serta dukungan fakta hukum berupa (bukti P-17, P-18,P-19, P-20, P-21, P-22 dan P-23 serta bukti T-3), Majelis Hakim berkesimpulan status hubungan kerja antara Para Penggugat dengan Tergugat termasuk Para Penggugat lainnya yang namanya termasuk dalam surat gugatan sebanyak 411 orang adalah sebagai pekerja tetap dan mendapat upah bulanan sebagaimana yang telah berjalan di perusahaan Tergugat sejak bulan September 2014;
“Meninmbang, bahwa sekalipun Anjuran tersebut ditolak oleh para Penggugat namun telah dilaksanakan pembayaran dan diakui dan diterimanya upah secara bulanan sejak bulan September 2014 s/d sekarang (2016), maka perubahan sistem pembayaran upah dibayar 2 (dua) mingguan menjadi dibayar bulanan sah secara hukum dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, oleh karenannya Petitum angka 2 haruslah dinyatakan ditolak;
“Dalam hal penghasilan pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan harian, maka penghasilan sebulan adalah sama dengan 30 kali penghasilan sehari;
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
- Menolak gugatan Para Penggugat seluruhnya.”
Para Pekerja mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan bahwa yang menjadi objek perselisihan adalah perubahan perhitungan upah perhari yang semula dibagi 25 hari dalam sebulan dirubah oleh Tergugat secara sepihak menjadi dibagi 30 hari dalam sebulan, serta diturunkannya Upah Pokok Para Pemohon Kasasi sebesar Rp25.000,00 per bulan secara sepihak oleh Tergugat.
Perkara ini cukup unik, karena para Pekerja justru menolak ketika Pengadilan Hubungan Industrial menyatakan para Penggugat adalah berstatus sebagai Pekerja Tetap, bukan buruh harian ataupun Pekerja Kontrak.
Para Penggugat berkeberatan ketika Majelis Hakim PHI yang dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa pada pokoknya yang penting upah tidak di bawah Upah Minimum yang berlaku, walaupun upahnya diturunkan/dikurangi, sangatlah tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dimana upah Minimum hanya berlaku untuk buruh yang masa kerjanya 0 s/d 1 tahun. Pertimbangan hukum demikian akan menimbulkan gejolak dan keresahan dikalangan buruh yang selama ini upahnya diatas upah minimum, akan menjadi contoh yang tidak baik bagi perusahaan-perusahaan lain yang terinspirasi untuk menurunkan upah buruh yang masih diatas upah minimum.
Larangan untuk menurunkan/mengurangi upah pekerja/buruh yang diatas Upah Minimum, jelas sudah diatur dalam Kepmenaker Nomor 1 Tahun 1999 Pasal 17: “Bagi perusahaan yang telah memberikan upah lebih tinggi dari upah minimum yang berlaku, pengusaha dilarang mengurangi atau menurunkan upah”—dimana larangan itu tercantum pula dalam DIKTUM Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat Tentang Upah Minimum di Jawa Barat setiap tahunnya.
Dimana terhadap keberatan-keberatan para Buruh, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 25 April 2016 dan kontra memori kasasi tanggal 16 Mei 2016 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa perubahan status sistem penggajian dari 2 (dua) minggu menjadi 1 (satu) bulan tidak melanggar perundang-undangan serta tidak terbukti Tergugat memotong upah pokok Para Penggugat sebesar Rp25.000 (dua puluh lima ribu rupiah) sebagaimana telah dipertimbangkan oleh Judex Facti;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata bahwa Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Para Pemohon Kasasi: HANNY HARMAWATI dan kawan-kawan tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.