Antara Karyawan yang Sering Berbuat Onar, Skorsing, dan Upah Proses PHK

LEGAL OPINION
Question: Jika ada karyawan yang buat onar di pabrik sehingga manajemen memutuskan untuk mengajukan permohonan PHK terhadap dirinya ke pengadilan, untuk sementara agar tidak lagi menambah keruh keadaan, yang bersangkutan akan di-skorsing, skorsing dalam rangka bersengketa di pengadilan karena kini gugatan PHK terhadap karyawan itu sudah resmi terdaftar di PHI. Yang menjadi pertanyaan, skorsing itu ada konsekuensi hukum apa bagi perusahaan?
Brief Answer: Membayar Upah Proses, alias upah selama proses penyelesaian sengketa maupun upah selama di-rumahkan—baik ada atau tidak adanya sengketa antara pihak Pekerja dan pihak Pengusaha. Itulah makna esensi dari Upah Proses. Namun, keistimewaan mendapat kompensasi berupa Upah Proses, hanya dinikmati oleh Pekerja Tetap berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu.
Sementara, bagi seorang Pekerja Kontrak, sekalipun jenis pekerjaan bersifat tetap, sekalipun kemudian terjadi sengketa dan diberikan pesangon oleh hakim, namun Pekerja bersangkutan tidak akan diberikan Upah Proses.
PEMBAHASAN:
Ilustrasi berikut dapat menjadi cerminan, sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 782 K/Pdt.Sus-PHI/2015 tanggal 18 Februari 2016, perkara antara:
- CV. SINAR PLASTIK, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Tergugat; melawan
- ABDULLAH, selaku Termohon Kasasi dahulu Penggugat.
Penggugat adalah pekerja pada perusahaan Tergugat dengan masa kerja 11 (sebelas) tahun. Penggugat sejak tanggal 23 April 2014, tidak lagi bekerja pada Tergugat, disebabkan telah terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak yang dilakukan oleh Tergugat terhadap Penggugat.
Penggugat pada tanggal 4 Februari 2014, tidak masuk bekerja selama 1 (satu) hari dan keesokan harinya pada saat Penggugat masuk bekerja seperti sedia kala, Penggugat dipanggil oleh pihak Personalia yang menanyakan kepada Penggugat mengapa mengapa tidak masuk kerja. Penggugat menerangkan adanya urusan keluarga, namun Personalia tidak terima dan marah langsung menarik kerah baju serta mencekik leher Penggugat sambil menarik Penggugat keluar dari ruangan hingga ke lapangan parkir. Petugas Personalia tersebut juga mengucapkan kata-kata kotor kepada Penggugat, setelah itu Penggugat disuruh pulang, bahkan dikatakan tidak perlu bekerja lagi.
Penggugat karena tidak senang dengan perlakuan dari Personalia yang Penggugat nilai sebagai penganiayaan, pada tanggal 5 Februari 2014 membuat pengaduan ke pihak Kepolisian. Keesokan harinya Penggugat masuk kerja sebagaimana biasanya, namun Penggugat disuruh menanda-tangani Surat Peringatan (SP) oleh petugas Personalia yang sama.
Tanggal 22 April 2014, Penggugat dipanggil kembali oleh Personalia dan disuruh menjumpai pemilik perusahaan, namun yang kemudian ada hanya Manajer Pemasaran, yang mengatakan Penggugat mendapatkan Surat Peringatan (SP) II karena telah melapor pada pihak Kepolisian atas perlakuan petugas Personalia, dan Penggugat disuruh menandatangani Surat Peringatan (SP) II tersebut.
Oleh karena Penggugat merasa adalah haknya untuk melaporkan dugaan tindakan penganiayaan yang dialaminya ke Kepolisian dan itu semestinya bukan merupakan pelanggaran terhadap peraturan perusahaan, maka Penggugat tidak bersedia menanda-tanganinya.
Sehingga pada tanggal 23 April 2014, Penggugat tidak dibolehkan masuk bekerja kembali di perusahaan—inilah fakta hukum yang paling utama, sebagai wujud nyata PHK secara sepihak, yang dalam terminologi SHIETRA & PARTNERS diistilahkan sebagai “PHK secara politis” karena belum merupakan “PHK secara yuridis”.
Perundingan secara bipartit tidak mencapai kesepakatan, maka dilakukan pula upaya penyelesaian perselisihan melalui mediator pada Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Deli Serdang, akan tetapi tetap tidak mendapat solusi. Selanjutnya, pihak mediator melalui menerbitkan Anjuran tertulis, sebagai berikut:
I. Diminta kepada perusahaan PT Sinar Plastik agar membayar uang pesangon kepada pekerja sebesar 2 kali ketentuan Pasal 156 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003;
II. Diminta kepada pengusaha CV. Sinar Plastik membayar upah selama tidak bekerja hingga ada putusan dari PPHI.”
Atas anjuran yang diterbitkan Disnaker, Tergugat tidak melaksanakan sebagaimana yang dituangkan dalam surat anjuran. Dengan demikian, mengacu ke Pasal 151 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003:
“Pengusaha, pekerja dan pemerintah berusaha menghindari terjadinya PHK, jika hal ini tidak dapat dihindari maka PHK wajib dirundingkan, dalam hal perundingan tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja setelah memperoleh penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.”
Penggugat menyimpulkan, tindakan Tergugat yang melakukan PHK secara sepihak bukan karena adanya kesalahan yang dilakukan oleh Penggugat, melainkan karena penolakan Tergugat untuk tetap mempekerjakan, dimana hal tersebut tersebut menimbulkan kerugian bagi Penggugat, yakni kehilangan pekerjaan yang berarti juga kehilangan penghasilan untuk membiayai nafkah keluarganya.
Dengan demikian, yang menjadi pokok tuntutan sang Pekerja, ialah agar pengadilan menghukum Tergugat untuk membayar uang pesangon, serta Upah selama proses sengketa ini terhitung mulai bulan April 2014 sampai dengan saat ini (Maret 2015) sebanyak 11 (sebelas) bulan.
Terhadap gugatan pihak Pekerja, Pengadilan Hubungan Industrial Medan kemudian menjatuhkan Putusan Nomor 36/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Mdn., tanggal 9 Juli 2015 dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian;
2. Menyatakan putus hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat oleh pengadilan sejak putusan ini dibacakan;
3. Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat (i.c. Abdullah) dengan Tergugat (i.c. CV. Sinar Plastik) putus berdasarkan Pasal 52 ayat (1) poin a, Pasal 151 ayat (3) jo. Pasal 169 ayat (1) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
4. Menghukum Tergugat membayar hak-hak Penggugat akibat pemutusan hubungan kerja berdasarkan ketentuan Pasal 169 ayat (2) berupa uang pesangon 1 kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan upah selama proses 6 (enam) bulan, dengan rincian sebagai berikut:
- Uang pesangon 1 x 9 x Rp1.944.000,00 = Rp17.496.000,00;
- Uang penghargaan masa kerja 4 x Rp1.944.000,00 = Rp 7.776.000,00;
- Uang penggantian hak 15% x Rp25.272.000,00 = Rp 3.790.800,00;
- Upah proses 6 x Rp1.944.000,00 = Rp11.664.000,00;
Jumlah keseluruhan = Rp40.728.800,00; (empat puluh juta tujuh ratus dua puluh delapan ribu delapan ratus rupiah);
5. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
Pihak pengusaha mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan bahwa PHK yang dilakukan oleh perusahaan terhadap Penggugat, adalah karena ketidak-hadiran Penggugat yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan serta tindakan melawan atasan/pimpinan serta sering meninggalkan pekerjaan yang dapat mengakibatkan kerugian pada perusahaan, sehingga dikategorikan sebagai tindakan indispliner oleh karenanya seharusnya Upah Proses tidak dikabulkan oleh pengadilan.
Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan-keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi yang diterima tanggal 11 Agustus 2015 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa keberatan dalam pokok perkara tidak beralasan karena pekerja / Termohon Kasasi telah dikenai Surat Peringatan III yang sah karena Termohon Kasasi melakukan mangkir kerja dan melawan atasan sehingga pemutusan hubungan kerja sesuai ketentuan Pasal 161 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, telah tepat dan beralasan hukum, dan berhak serta adil memperoleh upah proses 6 bulan upah karena sejak tanggal 5 Februari 2014 pekerja dilarang pengusaha untuk bekerja, sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 100 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, lagi pula ternyata bahwa putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: CV. SINAR PLASTIK, tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: CV. SINAR PLASTIK, tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.