KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Tidak Punya Hak, Tapi Menuntut dan Menggugat

ARTIKEL HUKUM
Terdapat fenomena aneh yang kerapkali penulis jumpai di tengah masyarakat. Entah merupakan anomali, atau memang demikianlah watak sejati masyarakat / bangsa Indonesia. Sama halnya dalam kasus-kasus besar seperti gugatan perdata, banyak dijumpai gugatan absurb yang berakhir pada gugatan yang “ditolak” hakim, atau bahkan “digugat balik” oleh pihak lawan yang sejatinya lebih dirugikan oleh sang penggugat.
Seorang siswa sekolah dasar, mengadu pada sang guru, bahwa dirinya dijahili oleh siswa lain. Namun kemudian kawan sang siswa yang duduk di sebelahnya menimpali, “Tapi Bu Guru, dia ini lebih nakal dari anak yang dibilangnya nakal itu.”
Kebetulan tetangga Penulis adalah seorang anggota satuan kepolisian. Dirinya selalu menyebut-nyebut bahwa dirinya adalah polisi, seakan dapat membuat penulis merasa takut. Ketika pada akhirnya penulis lontarkan pernyataan berikut ketika dirinya lagi-lagi menyebut dirinya adalah polisi:
“Dasar polisi makan gaji buta. Setiap hari hanya di rumah, tapi makan gaji dari Uang Rakyat. Bisa beli mobil mewah, ngaku jadi polisi, tapi tiap hari dari pagi sampai malam kerjanya hanya bertelur di rumah. Polisi korup ! Saya lapor PROPAM, habis riwayat Anda.”
Sang polisi justru menantang penulis untuk bekelahi. Anehnya, semua tetangga lainnya tahu bahwa dirinya adalah “polisi makan gaji buta”, tapi tidak ada satupun yang berani untuk melontarkan pernyataan tersebut, dan dengan sopan-santun “palsu” senantiasa bersilahturami dengan sang polisi. Sopan-santun “omong kosong”. Polisi korup, tetaplah polisi korup, yang tidak layak mendapat hormat ataupun penghargaan.
Mengapa seorang polisi korup, justru mendapat penghormatan di tengah masyarakat? Bahkan seorang pejabat korup, kembali terpilih dalam Pilkada. Apakah keganjilan demikian, hanya dijumpai di Indonesia atau juga fenomena serupa dapat ditemukan di negara-negara lain?
Ada juga umat suatu agama yang setiap hari Jum’at siang, melakukan ritual ibadah, namun selalu memarkir kendaraan motor mereka tepat di depan pagar rumah penulis. Padahal, di seberang rumah penulis ada lahan kosong, namun para umat tersebut selalu memarkir kendaraan mereka di depan pagar rumah penulis, hanya karena terlindungi dari sinar matahari dan ada pengawas CCTV.
Pertanyaannya, mengapa mereka tidak pakai “otak homosapiens” mereka untuk berpikir, bahwa dengan memarkir kendaraan mereka secara berjajar persis/tepat di depan kediaman seseorang, artinya pemilik rumah menjadi tersandra—tidak dapat keluar masuk rumah sendiri. Apakah harus ditegur? Mengapa hal sederhana demikian harus sampai ditegur?
Ketika ditegur, agar tidak memarkir di depan rumah orang lain, mereka justru lebih galak dari pemilik rumah, dan menyatakan bahwa penulis dan keluarga penulis melarang mereka beribadah. Siapa yang melarang beribadah? Mengapa beribadah harus dengan cara menutup jalan orang lain? Mengapa juga harus pakai kendaraan motor meski kediaman mereka ke tempat ibadah dapat dicapai dengan berjalan kaki. Mengapa mereka tidak memarkir kendaraan mereka di depan rumah mereka sendiri?
Hingga kini, selama bertahun-tahun, praktis setiap hari Jum’at siang, penulis maupun anggota keluarga penulis tidak dapat keluar ataupun masuk kediaman penulis sendiri, karena kendaraan mereka terparkir berjajar tepat di depan pagar rumah penulis—meski di seberang rumah penulis sepi dari kendaraan yang terparkir.
Fenomena serupa terjadi, ketika seseorang dengan mengatasnamakan ada “hajatan”, menutup jalan yang merupakan hak publik untuk mengakses jalan milik umum. Padahal, sejatinya mereka bukanlah orang yang benar-benar miskin, terbukti dari mewahnya hajatan mereka, bahkan yang punya hajatan adalah seorang Lurah. Semetara itu, tidak jauh dari lokai hajatan, terdapat berbagai gedung yang dapat disewa untuk prosesi hajatan semacam itu sehingga tidak menghorbankan hak publik. Lagi-lagi, hajatan mereka bukan hanya menutup akses jalan, namun berbagai kursi dipasang berjejer tepat di depan pagar rumah penulis, sehingga keluarga penulis tidak dapat keluar masuk rumah sendiri.
Ketika penulis menegur, lagi-lagi dan lagi-lagi warga setempat yang menjadi panitia hajatan, justru memberi respon: “Penguasa sedang hajatan, kok dilarang!” Apa????
Sama anehnya dengan budaya aneh di Indonesia, dimana mobil jenasah mengorbankan kepentingan publik mengakses jalan umum. Orang sudah mati, mau diapakan lagi? Mengebut bagai “kesetanan” sekalipun, yang mati tidak lagi dapat hidup. Orang dihormati atas perbuatan dan jasa-jasa mereka hidup, bukan ketika sudah mati. Apakah Hitler yang ketika tewas, lalu diantar dengan mobil jenasah, juga akan mendapat kehormatan demikian? Mengapa orang yang sudah mati, jurtru merepotkan mereka yang masih hidup? Bukankah ambulans yang betul-betul darurat sifatnya? Mengapa orang yang sudah mati, demikian banyak menuntut untuk dimakamkan di lokasi lintas wilayah?
Penulis memiliki sebatang pohon mangga yang sangat besar, namun tumbuh agak menjorok ke luar rumah. Daun-daun pohon mangga tersebut sering rontok tertiup angin, dan berceceran di jalan. Tetangga protes, karena dinilai mengotori halaman rumah mereka.
Alhasil, pohon tersebut penulis tebang. Kini, para tetangga tersebut tidak lagi dapat komplain, juga tidak lagi “kebagian” oksigen disamping kondisi lingkungan perumahan menjadi panas serta terik matahari menyengat karena pohon mangga yang selama ini menaungi pemukiman kami, kini sudah sirna. Mengapa harus komplain atas dedaunan yang jatuh?
Mengapa tidak bersyukur atas oksigen dan naungan yang diberikan oleh sang pohon? Itulah watak sejati yang ditampilkan masyarakat Indonesia yang konon: toleran, tenggang rasa, jujur, gotong royong, sopan, baik hati, bersih, mulia, penuh kesabaran, dan waras. Entah mitos, atau hanya dongeng belaka yang hanya dapat membohongi anak sekolah dasar.
Ketika suatu agama dalam kitab suci mereka, menyebut-nyebut nama agama lain secara tidak hormat dan tidak sopan, maka apakah umat agama lain yang disebut-sebut oleh kitab suci tersebut, tidak boleh memiliki hak jawab? Lihat bagaimana seorang gubernur dikriminalisasi hanya demi menyampaikan “hak jawab”. Yang menista, mengapa ialah sang gubernur, bukan kitab suci mereka yang menyebut-nyebut nama agama lain secara tidak patut dan tidak hormat? Sejatinya, siapa menista siapa? Bagaimana bila kasusnya kita balik, agama lain tersebut yang kitab sucinya menyebut-nyebut nama agama Anda secara tidak hormat dan tidak patut? Bahkan menyebut Anda sebagai 'k-a-f-i-r'?
Kejadian lebih aneh terjadi baru-baru ini. Ketika pada suatu sore penulis sedang menyapu halaman depan rumah, datang seseorang pengendara, dan berhenti tepat di depan kediaman penulis. Tanpa mengucap sopan-santun seperti “selamat sore”, atau “permisi Pak, maaf numpang bertanya”, namun sang tamu ‘tidak diundang’ mendadak berkata:
“Bapak tinggal di sini?”
“Ya, ada apa?”
“Ini rumah nomor berapa?” tanyanya sambil menunjuk rumah penulis.
“Ada mau apa?”
“Mau antar surat, nomor rumah Anda berapa?”
“Bapak memang mau antar surat ke rumah nomor berapa?”
“Nomor 2.”
“Ini bukan rumah nomor 2.”
 “Jadi ini rumah nomor berapa?”
“Bapak mengirim surat untuk atas nama siapa?” Penulis tidak akan menyebut nomor rumah penulis, mengingat banyaknya modus kejahatan di tengah masyarakat Indonesia yang sangat kreatif melakukan kejahatan.
“Untuk Anton.”
“Di rumah ini tidak ada yang bernama Anton.”
“INI RUMAH NOMOR BERAPA?!!”
Tidak penulis hiraukan dan kembali menyapu.
“Ditanya kok diam, RUMAH SAMPAIAN NOMOR BERAPA?!!!”
“Saya bilang ini bukan rumah nomor 2,” sahut penulis secara bersabar.
“Saya tanya RUMAH KAMU NOMOR BERAPA?!!!”
Habis kesabaran, penulis sampaikanlah: “MEMANG ANDA POLISI?!!!”
Lagi-lagi, penulis diajak berkelahi. Entah karena tubuh fisik penulis yang memang berperawakan kecil dan lemah, sehingga selalu dilecehkan dan diremehkan, atau memang penulis yang telah bersikap tidak sopan. Tapi secara logika akal sehat, tidak ada kewajiban bagi seseorang untuk menjawab sebuah pertanyaan. Diri sang penanya bukanlah penyidik kepolisian yang dapat mewajibkan seorang warga lainnya untuk meladeni pertanyaan dan interogasi mereka.
Setiap sipil, adalah sama dan setara kedudukannya di mata hukum. Semua orang berhak untuk diam ataupun bersuara, sesuai pilihan bebas masing-masing. Bahkan di hadapan seorang penyidik kepolisian sekalipun, kepolisian yang baik akan menyebutkan hak seorang tersangka: “You have right to remain silent.”
Sampai disini saja, penulis sudah mampu menyimpulkan, betapa watak sejati bangsa Indonesia ialah “arogan”. Sebenarnya, penulis bisa saja berbohong dengan berkata bahwa nomor rumah penulis ialah nomor 1001, atau menyatakan benar kediaman penulis ialah nomor 2 dan menerima paket surat yang diantarnya. Namun rupanya masyarakat Indonesia tidak mengapresiasi bentuk-bentuk sikap jujur.
Seandainya sejak semula dirinya memiliki etika komunikasi, dengan mengucapkan salam, atau menyampaikan hendaknya untuk mengirim surat secara baik-baik dan sopan, maka penulis akan menyambut dengan ramah dan menunjukkan rumah nomor 2—tetap tidak akan menyebutkan nomor rumah kediaman penulis sendiri, mengingat negara hukum yang baik menghargai privasi setiap warga negaranya.
Bukanlah kali ini saja, pemilik rumah dikatai sebagai “tidak sopan” oleh seorang tamu. Beberapa tahun lampau, pada malam hari sekitar pukul 9.00 PM yang merupakan waktunya untuk beristirahat (perhatikan, waktunya bukanlah siang atau pagi hari yang lazim untuk sebuah kunjungan seorang tamu), datang empat orang bertubuh besar dan berkulit hitam, mengetuk pintu pagar kediaman penulis.
Penulis kemudian bertanya, “Siapa?”
“Arief. Mau ketemu Pak X”. Pak X adalah ayahanda penulis.
“Ada mau apa?”
Sang tamu hanya terkekeh-kekeh seakan meledek, sementara para preman yang menyertainya menatap ke dalam rumah dari luar pagar. Pertanyaan penulis selaku tuan rumah, tidak digubris.
Penulis kembali bertanya: “Ada keperluan apa?”
Tidak dijawab, sang hanya menatap kedalam seakan siap untuk menyeruduk masuk.
Sampai pada akhirnya, setelah kembali penulis tanyakan pertanyaan yang sama untuk kelima kalinya, namun tidak juga dijawab, habislah kesabaran penulis. Lagi-lagi, penulis diajak berkelahi oleh sang tamu. Sang tamu, mengatakan bahwa penulis “tidak sopan”—alias tuan rumah yang tidak sopan.
Ternyata, preman yang “membakingi” sang tamu tidak diundang, adalah seorang polisi, dan tujuan sang tamu hanyalah untuk meminjam harddisc CCTV milik penulis untuk mengakses rekaman video dengan alasan motor miliknya hilang kecurian. Ternyata, di Indonesia, tamu yang lebih berhak untuk menyebut tuan rumah sebagai “tidak sopan”. Hanya untuk pinjam rekaman CCTV saja, mengapa harus membawa “baking” orang-orang hitam bertubuh besar, tidak menjawab pertanyaan tuan rumah, bahkan dimalam hari?
Namun yang teraneh sejatinya bukanlah semua keanehan demikian. Namun adalah anggota masyarakat, yang mencoba mengajukan pertanyaan hukum kepada penulis, dengan harapan dilayani secara tanpa dibebani tarif. Semua pengunjung situs hukum-hukum.com sadar dan tahu, bahwa penulis berprofesi sebagai seorang konsultan hukum. Artinya, profesi penulis untuk mencari nafkah, bertumpu pada layanan jasa konsultasi hukum.
Contoh, apakah mungkin seseorang mendatangi seorang konsultan pajak, dengan mengharap dilayani secara tanpa biaya? Bila penulis berprofesi lain diluar konsultasi hukum, maka setiap orang yang hendak bertanya perihal hukum, akan penulis layani tanpa beban tarif apapun, mengingat kelangsungan hidup penulis dan keluarga penulis bukan bertumpu pada profesi konsultasi. Semisal bila penulis adalah seorang PNS Kemenkumham, barulah masyarakat merasa memiliki hak untuk mengajukan pertanyaan perihal hukum.
Bila mereka tetap mencoba mengajukan pertanyaan hukum, yang sejatinya bukanlah urusan penulis, dengan menuntut atau mengharap dilayani secara tanpa dikenakan tarif, sama artinya menyuruh penulis “makan batu” dan keluarga terancam “mati”. Sebagai contoh, seseorang lawyer bernama ROYNAL PASARIBU, maupun seorang advokat bernama HERBERT ARITONANG yang lebih dikenal oleh masyarakat sebagai sang pengacara 'guru cabul' EDI ROSADI yang didakwa melakukan tindak pidana asusila terhadap anak dibawah umur para siswi SMPN 3 Manggarai, kedua pengacara tersebut baru-baru ini mencoba menghubungi penulis untuk meminta layanan konsultasi hukum, meski dirinya sadar bahwa profesi penulis adalah seorang konsultan, namun ternyata menolak ketika dbebani tarif konsultasi. Apakah HERBERT ARITONANG, yang mati-matian membela sang 'guru cabul' ini hingga mengajukan praperadilan tanpa mau menyadari perasaan orang tua para korban sang 'guru cabul' yang dibelanya, maupun ROYNAL PASARIBU, keduanya bekerja sesuai profesinya sebagai advokat, secara tanpa membebani biaya pada pengguna jasa? Sang Pengacara yang membela pelaku cabul diatas, bukan saja merupakan pengacara 'guru cabul', namun juga pengacara bermental 'pengemis' yang harus dihindari oleh profesional manapun.
Daripada melecehkan profesi penulis, mengapa mereka tidak belajar hukum sendiri dengan kuliah hukum, menghabiskan ratusan ribu jam untuk menekuni ilmu hukum, dan mengorbankan ribuan jam lainnya untuk riset regulasi dan preseden yurispudensi? Sudah jelas, seorang konsultan berarti mencari nafkah dari layanan konsultasi tanya-jawab seputar permasalahan pengguna jasa, yang artinya sudah disadari akan memungut tarif pada penerima layanan jasa.
Mengapa masyarakat Indonesia demikian tidak menyadari prinsip resiprositas, suatu prinsip timbal-balik: menerima dan memberi? Hanya tahu menerima, meminta, dan menuntut. Selama ini para pembaca situs hukum-hukum.com telah mendapat banyak ilmu pengetahuan tentang hukum yang tidak akan didapatkan dari publikasi hukum lainnya. Adakah ucapan terimakasih mereka sampaikan pada penulis? Yang ada ialah: meminta dilayani secara tanpa biaya. Luar biasa!
Minta dilayani tanpa biaya, tapi minta selamat. Seorang pengemis tidak pernah punya sengketa tanah, sengketa finansial, sengketa buruh, atau sengketa perdata lainnya. Mengapa mereka bersikap seperti seorang pengemis ketika mencoba menghubungi penulis?
Sebagian anggota masyarakat yang sebetulnya tidak miskin, banyak diantara mereka dengan bangga menyatakan dirinya terdaftar sebagai anggota BPJS Kesehatan / Jaminan Kesehatan Nasional secara tanpa membayar iuran—subsidi pemerintah yang semestinya menjadi hak orang yang benar-benar tidak mampu. Bukankah hal tersebut adalah cerminan watak yang tidak sehat? Orang kaya yang justru bangga mencuri hak-hak orang kecil dan miskin. Orang kaya bermental pengemis.
Ketika kita menuntut orang lain melayani kita, tanpa mau dibebani kewajiban untuk menghormati hak penyedia jasa, maka kita tidak mulai bertanya pada diri kita sendiri: seandainya saya diperlakukan seperti seorang pekerja rodi, diminta bekerja sesuai profesi namun tanpa diberi upah, apakah saya akan merasa tersinggung dan marah?
Sayangnya, “urat malu” masyarakat Indonesia, secara generalisasi, memang sudah “putus urat malu-nya”. Bahkan seorang pemuka agama yang menyerobot tanah milik keluarga penulis, menjadi pemuka agama yang rajin mimbar setiap subuh hingga tengah malam, yakin dirinya akan masuk surga sembari mengutuk para pemeluk agama lain sebagai “jahanan yang masuk neraka”.
Mungkin adalah suatu kesalahan, dapat terlahir dan menjadi warga negara Indonesia. Itulah sebabnya, penulis mendorong salah seorang saudari penulis, yang hendak menikah dengan seorang warga negara asing, agar tinggal di luar negeri dan melepas kewarganegaraan Indonesianya. Jika memungkinkan, jangan pernah kembali ke Indonesia. Penulis juga mendorong para anak muda Indonesia yang bertalenta, agar mengabdi bagi bangsa lain. Karena Indonesia tidak pernah menghargai para insan jenius.
Mengapa? Karena watak bangsa Indonesia, agamais, lengkap dengan berbagai atribut keagamaannya, lengkap dengan tempat ibadah di setiap sudut pemukiman, rajin ibadah (taqwa kepada Tuhan), sopan “diluar”, namun korup “didalam”, radikal, dan sangat tidak manusiawi. Mungkin hanya di Indonesia, seorang pencuri ampliflier dihukum keroyok secara beramai-ramai, sebelum kemudian dibakar hidup-hidup. Warga Indonesia mengutuk Myanmar terkait etnis Rohingya (mentah-mentah termakan hoax), namun disaat bersamaan warga Indonesia mengusir Syiah dan Ahmadiah, yang notabene sesama anak bangsa. Bagaimana jika etnis Rohingya ternyata adalah Syiah?
Anda tidak perlu menggurui perasaan penulis, karena perasaan penulis adalah hal internal di dalam diri penulis sendiri untuk memaknai dan merasakannya. Berarti Anda mencoba berbohong ketika berkata, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang jujur, toleran, ramah, santun, beretika, bersih, saling menghormati dan menghargai. Di negara lain, tidak ada penjara yang sedemikian penuh sesaknya dengan narapidana seperti Indonesia.
Mungkin, benar perkataan Thomas Hobbes: “Manusia adalah serigala bagi sesamanya.” Masyarakat Indonesia, tidak bisa diam melihat orang baik—selalu saja terbersit niat di kepala mereka, untuk melukai dan mencuri dari orang baik tersebut. Sama seperti tiada satupun buah ataupun satwa yang dibiarkan hidup bebas di alam—seakan ada rasa bersalah bila buah-buahan dan satwa liar tidak ditangkap dan dicuri. Seakan, ada rasa bersalah ketika ada tembok bersih yang tidak dengan usil dikotori dan dirusak. Seakan, ada rasa bersalah ketika sungai dibiarkan mengalir dengan bersihnya, untuk itu perlu dimasukkan ke dalamnya kasur, lemari, sampah, dan kulkas.
Bukankah bukan merupakan dosa ataupun kejahatan untuk berkata jujur? Siapa lagi yang hendak kita bohongi dengan membantah berbagai fakta demikian? Sejatinya, Indonesia belumlah merdeka dari penjajahan. Kini, Indonesia terjajah oleh bangsa Indonesia sendiri. Lihat saja, bagaimana para wakil representasi rakyat Indonesia di parlemen (DPR & MPR), sibuk mengorupsi dan menipu bangsa sendiri. Mungkin, memang itulah watak sebenarnya dari bangsa Indonesia. Menyatakan anti korupsi, namun berniat melenyapkan KPK. Mengatakan anti ter0risme, namun secara diam-diam menjadi simpatisan dan donatur gerakan radikal demikian sehingga ideologinya tidak pernah surut.
Lihat saja ketidak-konsistenan bangsa Indonesia terhadap jati-diri bangsanya sendiri. Di era modern ini, generasi muda Indonesia tergila-gila pada “Jepang” dan segala sesuatu berbau “Jepan”. Padahal, bila saja Hiroshima dan Nagasaki tidak diledakkan dengan nuklir hidrogen, bisa jadi hingga kini bangsa Indonesia masih terjajah oleh Jepang. Mungkin terjajah oleh Jepang masih lebih baik ketimbang terjajah oleh bangsa sendiri. Mungkin. Anda punya pendapat lain, jangan sungkan menuliskan dalam kolom komentar. Ingat, hanya komentar dan tanggapan, bukan “aji mumpung” untuk konsultasi hukum. Kecuali, urat malu Anda sudah putus.
© SHIETRA & PARTNERS Copyright.