ARTIKEL HUKUM
Setya Novanto memang patut dijuluki sebagai pria “kebal hukum”. Bila selama ini kita pernah mendengar julukan “manusia kebal peluru”, maka Setya Novanto patut kiranya mendapat penghargaan “man of the year” karena prestasinya mempercundangi kasus “papa minta saham”, lolosnya jerat hukum dengan “memeti-eskan” status tersangka yang ditetapkan kejaksaan lewat aksi uji materiil yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi RI, berlanjut hingga diamputasinya kekuatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lewat aksi praperadilan yang diajukannya melawan penetapan status Tersangka terkait dugaan pelaku turut-serta dalam mega proyek korupsi e-KTP.
Hakim yang menyidangkan praperadilan yang diajukan Setya Novanto, seakan adalah hakim yang masih “hijau”—seolah sebelum ini diri hakim yang bersangkutan tidak pernah menyidangkan perkara pidana, meski sang hakim sudah berusia cukup lanjut yang semestinya berlaku asas “hakim dianggap tahu tentang hukumnya”.
Untuk menguji moril putusan praperadilan yang dimenangkan oleh Setya Novanto, pertanyaan mendasar berikut penting untuk kita ajukan: Apabila tertangkap basah ataupun tertangkap tangan, apakah seseorang berhak menolak pihak berwajib untuk menangkap dan menggeledah dirinya tanpa adanya surat izin pengadilan atau surat perintah penyidikan?
Dalam kasus mega korupsi e-KTP, saat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami pemeriksaan terhadap para tersangka kasus e-KTP, KPK secara kebetulan mendapati bukti-bukti keterlibatan / peran Setya Novanto. Bukti-bukti yang didapat tanpa terduga tersebut, tepat sekiranya disebut dengan istilah “tertangkap basah”.
Selama KPK memiliki dua alat bukti, maka syarat paling minimum untuk menetapkan seseorang sebagai Tersidik / Tersangka, sudah memadai, bahkan dapat seketika ditingkatkan sebagai Terdakwa guna diseret ke persidangan. Adalah suatu kebaikan hati, bila KPK hanya menetapkan status yang bersangkutan sekadar sebagai Tersangka, bila jelas-jelas sudah “tertangkap basah” memiliki keterlibatan dalam kejahatan dengan “segudang” bukti yang ada?
Sekadar ilustrasi, dalam kasus kolusi Hakim Konstitusi, Patrialis Akbar, KPK menetapkan status dirinya sebagai Tersangka, bukanlah karena sejak semula penyidik KPK menyasar Patrialis Akbar. Semula, KPK menyasar dan sedang menyidik oknum pada Dirjen Bea dan Cukai, sebelum kemudian secara kebetulan mendapati keterlibatan Patrialis Akbar saat KPK menyadap pembicaan telepon sang oknum instansi Bea dan Cukai terkait penyelundupan daging sapi impor secara ilegal.
Terhimpunnya data keterlibatan orang lain saat menyelidiki perkara seorang Tersangka, maka hal tersebut dikategorikan sebagai “tertangkap basah”. Apakah artinya, dalam kasus Patrialis Akbar, KPK tidak berhak menetapkan dirinya sebagai Tersangka hanya karena Surat Perintah Penyelidikan dan/atau Penyidikan (Sprindik), tidaklah atas nama subjek Patrialis Akbar.
Jika demikian halnya, mengapa kemudian Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) memvonis pidana Patrialis Akbar berdasarkan bukti rekaman sadapan yang didapat dan dihimpun KPK, saat KPK kebetulan sedang menyidik Tersangka korupsi lainnya?
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), terdapat terminologi dan konsep hukum yang sangat sederhana, bahwasannya tertangkap tangannya atau tertangkap basahnya seorang pelaku kejahatan, maka segala formalitas dan prosedural penggeledahan, penangkapan, bahkan penembakan senjata api hingga penyitaan, tidak membutuhkan syarat penetapan seorang Ketua Pengadilan Negeri sekalipun.
Dalam kasus Setya Novanto, besar kemungkinan memang sejak semula KPK tidak sedang menyasar Setya Novanto, namun para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI lainnya. Saat itulah, KPK secara kebetulan “menangkap basah” keterlibatan Setya Novanto.
Kini, menjadi pertanyaan besar bagi kita ketika hakim pengadilan yang memutus praperadilan yang diajukan Setya Novanto, mengabulkan praperadilan yang diajukannya sehingga penetapan Setya Novanto sebagai Tersangka KPK, dinyatakan hakim sebagai tidak sah karena segudang bukti yang telah berhasil dihimpun KPK, tidak dilandasi atau tidak bersumber dari Sprindik dengan subjek hukum Tersidik ialah Setya Novanto, namun Sprindik untuk Tersidik para anggota DPR RI lainnya.
Jika memang demikian halnya, maka apakah artinya semua alat bukti yang telah berhasil dihimpun KPK selama Setya Novanto belum diterbitkan Sprindik sebagai penetapan status dirinya sebagai Tersangka, menjadi cacat hukum dan tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti di persidangan guna mengadili sang “manusia kebal hukum” ini?
Bila konteksnya ialah bukan “tertangkap basah”, barulah kita dapat menyebut bahwa seluruh rangkaian alat bukti yang telah dihimpun KPK ialah tidak sah, cacat prosedur, tidak tertib asas hukum acara pidana, dan sewenang-wenang.
Namun bila konteksnya ialah “tertangkap basah”, maka mengapa kita masih memperkeruh keadaan dengan berbicara perihal prosedur? Bukankah teori paling mendasar dalam Hukum Acara Pidana sudah menerangkan secara gamblang dan lugas, bahwa prosedur tidak berlaku dalam hal seorang pelanggar hukum “tertangkap tangan” dan/atau “tertangkap basah”.
Menjadi mengherankan, sebenarnya hakim pengadilan yang memeriksa dan memutus perkara praperadilan tersebut diatas, mendadak “pikun” ataukah benar-benar sudah pikun, karena sebagian kasus pidana umum dimana para Terdakwa diseret sebagai pesakitan di pengadilan adalah berdasarkan penangkapan polisi yang didasari operasi “tangkap tangan” atau “tangkap basah”.
Sebagai contoh sederhana di keseharian. Untuk menggelar operasi pemeriksaan SIM dan STNK di jalan raya, pihak berwajib memiliki kewajiban untuk membuat atribut khusus yang memberi tanda bahwa sedang digelar operasi penertiban kelengkapan administrasi terhadap pengendara kendaraan bermotor.
Namun, ketika seorang polisi menyita kendaraan seorang pengendara, dengan alasan sang pengendara tidak memakai helm dan juga ternyata setelah di-stop dan diperiksa, dirinya tidak membawa STNK, maka apakah sang pengendara dapat menolak penyitaan sembari berkata: “Mana surat perintah Pak Polisi yang memberi hak pada Bapak untuk menggelar operasi dan menyita motor saya?”
“Lho, wong saya menangkap basah kamu, kok protes!” itulah jawaban yang akan disampaikan sang polisi. “Yang namanya tertangkap basah, kok masih bicara prosedur. Salah ya salah, terbukti salah artinya sudah ada bukti salah, kok masih mungkir dan bicara prosedural?”
Disayangkan, Komisi Yudisial turut “latah”, dengan menyebutkan bahwa sang hakim tunggal yang memutus perkara prapredilan yang diajukan Setya Novanto, tidak melanggar Kode Etik hakim. Terang dan jelas bahwa sang hakim melanggar Kode Etik profesi hakim, karena memungkiri fakta bahwa setiap hakim pastilah pernah menyidangkan kasus perkara pidana “tertangkap basah” dimana pihak Terdakwa diamankan petugas dan diseret ke persidangan tanpa prosedural formal apapun, sampai akhirnya divonis bersalah dan dipidana.
Sama menyedihkannya dengan seorang profesor suatu Universitas Negeri yang kerap menyerang KPK, secara tendensius hendak melemahkan bahkan jika perlu membubarkan KPK. Sang profesor tersebutlah yang menghadiri Pansus Hak Angket DPR yang hendak menggemboskan KPK, dan kini turut menjadi pemberi keterangan ahli guna menyatakan bahwa penetapan KPK terhadap Setya Novanto sebagai Tersangka dimana seluruh alat bukti dihimpun dari Sprindik para Terdakwa kasus korupsi e-KTP, adalah tidak sah, yang kemudian di-“telan” mentah-mentah oleh sang hakim yang seakan—sekali lagi—tidak pernah menyidangkan perkara pidana “tertangkap basah”.
Hanyalah seorang sarjana hukum fresh graduate yang mungkin masih bisa dibodohi oleh putusan praperadilan demikian. Tiada satupun pasal dalam KUHAP maupun UU KPK yang melarang penetapan status seorang warga sebagai Tersangka ataupun Terdakwa tanpa adanya prosedural formil bila seluruh bukti didapat secara “tertangkap tangan” dan terdapat setidaknya dua alat bukti.
Bahkan, asas (teori) hukum acara pidana sekalipun membenarkan penghimpunan alat bukti yang didapat secara “tertangkap basah” guna menetapkan seseorang sebagai Terdakwa untuk diadili tanpa terlebih dahulu secara hierarkhi ditetapkannya seseorang sebagai Tersangka / Tersidik untuk baru kemudian ditetapkan sebagai Terdakwa. Selama dua alat bukti telah terhimpun, hakim berhak memeriksa dan memutus, itulah asas paling mendasar dalam KUHAP.
Bukti sudah di tangan, “segudang” pula. Tapi lagi-lagi “ikan kakap” lolos dari jaring. Mengapa praktik peradilan demikian naif dan prosedural? Ingat, kita berbicara dalam konteks “tertangkap basah”, bukan dalam konteks pidana umum yang memang wajib diperlengkapi segala prosedural formil saat melakukan aksi penyelidikan dan penyidikan hingga tahap dakwaan terhadap Terdakwa hingga penuntutan.
Terlagi pula, perihal keabsahan dan tertib administrasi Sprindik instansi KPK, bukanlah domain pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus keabsahannya, namun domain kewenangan Pimpinan KPK untuk menyatakan Sprindik tersebut sahih atau tidaknya. Mengapa?
Pada dasarnya Sprindik adalah surat perintah yang hanya berlaku secara sirculair untuk internal institusi KPK semata. Perintah tidak hanya dapat berupa perintah tertulis berbentuk Sprindik, namun juga dapat berupa perintah lisan (perintah langsung), sehingga Sprindik merupakan murni perihal tata manajerial kepemimpinan suatu institusi. Bisa jadi sebenarnya pimpinan KPK pernah memerintahkan secara lisan kepada para pegawai KPK, agar mengembangkan penyedirikan terhadap Setya Novanto ketika dirinya “tertangkap basah” dalam sadapan pembicaraan para anggota DPR.
Karena Sprindik berlaku secara internal, maka Sprindik pada hakekatnya bersifat rahasia bagi pihak luar. Apa jadinya bila Sprindik sampai bocor kepada pihak luar? Para pelaku kejahatan dapat saja melarikan diri atau memusnahkan berbagai alat bukti jejak kejahatannya.
Berangkat dari paradigma mendasar demikian, menjadi tanda-tanya besar: mengapa pihak luar (Setya Novanto) dapat mengetahui perihal Sprindik yang semestinya menjadi rahasia internal pihak KPK? Mungkinkah KPK demikian bodohnya sehingga membuka fakta perihal Sprindik-Sprindik tersebut? Ataukah, terdapat internal affair yang mengakibatkan hal demikian menjadi alat bagi pelaku kejahatan untuk lolos dari jerat hukum?
Ketika Sprindik yang semestinya hanya menjadi domain Pimpinan KPK untuk menyatakan sah atau tidaknya perbuatan para penyidik dan penyelidik (pegawai) KPK—karena Sprindik hanya berlaku untuk internal manajemen pegawai KPK, kemudian diintervensi oleh hakim pengadilan lewat putusan praperadilannya, maka sejatinya sang hakim telah mengamputasi kewenangan Pimpinan KPK dalam menjalankan kepemimpinan dan manajerial instansi bernama KPK.
© SHIETRA & PARTNERS Copyright.