Pancasila sebagai Norma Tertinggi, Namun Tidak Memiliki Kekuatan Pengikat Maupun Pemaksa

ARTIKEL HUKUM
Mencoba mengganti Pancasila sebagai ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), jelas merupakan pidana serius bernama “makar”—dan tidak lagi perlu diperdebatkan. Sejatinya mencabut izin Organisasi Massa (Ormas) yang bertentangan dengan ideologi bangsa, juga jelas merupakan hak prerogatif negara sebagai otoritas tertinggi—perizinan adalah “perikatan bersyarat batal” (yang dalam Undang-Undang tentang Ormas disebutkan bahwa Ormas harus berideologi Pancasila, yang artinya izin pendirian akan otomatis gugur bila bertentangan dengan norma yang ada).
Bila menistakan agama, ancamannya ialah hukuman pidana penjara, maka bila menistakan Pancasila dan bahkan mencoba untuk menggulingkan supremasi Pancasila dari tahta Bumi Pertiwi, hanya diancam dengan sanksi administrasi “pencabutan izin”, bukankah hal demikian sudah merupakan suatu toleransi yang amat sangat?
Baru-baru timbul wacana, agar Pancasila tidak hanya dijadikan sebagai “asas negara”, namun sebagai “norma hukum”. Yang disebut norma hukum, sifatnya adalah pemaksa, dan ada daya paksa disitu untuk menerapkannya. Masalahnya, terdapat teori usang yang sangat berbahaya dan diyakini banyak kalangan sarjana hukum di Tanah Air hingga saat ini.
Dari berbagai teks teori ilmu hukum di bangku pendidikan tinggi hukum di Indonesia, disebutkan bahwa norma hukum terbagi menjadi dua, yakni: “norma primer” dan “norma sekundair”. Norma primer berisi perintah, larangan, maupun kebolehan. Sementara norma sekundair ialah perihal sanksi bila norma primer dilanggar atau tidak ditegakkan.
Masalah mulai terbit, ketika teori ilmu hukum yang selama ini ada menyebutkan, bahwa tidak semua norma primer memiliki norma sekundair. Artinya, sebuah aturan hukum bisa saja memiliki perintah atau larangan yang bila dilanggar oleh seorang warga negara, maka si pelanggar tidak dapat dihukum atau diancam hukuman apapun, hanya karena tidak terdapat pasangan norma sekundair yang diatur oleh suatu peraturan perundang-undangan.
Jika memang demikian, maka kemudian apa yang menjadi pembeda antara norma hukum dengan norma sosial dan norma agama? Itulah titik terlemah teori klasik demikian yang tidak tahan uji moril. Bila selama ini undang-undang perihal larangan penistaan agama diberikan pasal pendamping perihal ancaman sanksi pidana bagi pelaku pelanggar larangan penistaan agama, sehingga pelakunya diancam dan dihukum pidana penjara, maka bila seseorang hendak menggulingkan Pancasila atau merongrong kedaulatan Pancasila, adakah sanksinya?
Disitulah letak keganjilan paling mencolok yang dapat kita temukan. Tanpa norma sekundair, seakan Pancasila hanya menjadi sederajat dengan norma sosial dan norma moral belaka. Karena disandingkan dengan sebatas norma sosial belaka, maka Pancasila secara hierarkhi masih kalah “pamor” dan kalah “menakutkan” dari sebuah undang-undang yang memiliki norma pemaksa berupa norma sekundair ancaman pidana.
Betul bahwa banyak aturan dalam pasal undang-undang yang tidak mengatur perihal ancaman sanksi hukuman. Namun, jika memang demikian argumentasinya, lantas mengapa para pengusaha begitu mati-matian untuk berupaya agar berbagai izin usahanya selalu up to date dan diperbaharui setiap kali akan kadaluarsa?
Jawabannya, karena ada “pemaksaan terselubung” oleh negara dalam penegakannya. Contoh, bila seorang pengusaha tidak mengurus perizinan usahanya, maka ia tidak akan dapat memohon fasilitas kredit dari perbankan, tidak dapat memperpanjang hak atas tanahnya, dan tidak akan mendapat fasilitas layanan negara lainnya.
Dengan kata lain, norma sekundair tidak harus berupa pasal tambahan dalam undang-undang yang sama yang mengatur kaedah norma primair. Norma sekundairnya bisa saja diatur lewat norma parsial dalam peraturan perundang-undangan lain, yang menjadi pintu masuk “pemaksaan terselubung”—tanpa kita sadari secara langsung.
Contoh lain yang paling sederhana, dalam rezim hukum penanaman modal, tidak akan kita jumpai kaedah norma sekundair dalam berbagai regulasi yang diterbitkan oleh Undang-Undang tentang Penanaman Modal ataupun instansi Badan Koordinasi Penanaman Modal. Namun, mengapa para pemodal lokal maupun pemodal asing, demikian patuh melakukan berbagai pelaporan rutin setiap triwulan dan bahkan tertib dalam administrasi?
Jawabannya sangat sederhana, bila semua tertib administrasi tidak dipenuhi dengan baik, maka perizinan usaha tidak akan diterbitkan. Sesederhana itu. Jika penanam modal masih ingin berinvestasi dan memutar modal usahanya di Indonesia, ia mau tidak mau harus ikut aturan main prosedur dan tertib administrasi yang ada. Ini dapat dikatakan sebagai “sanksi bisnis”.
Ada juga ancaman sanksi embargo, sebagaimana dalam konsep politik hubungan internasional, dimana sebuah negara yang melakukan eksperimen senjata pemusnah massal secara eksesif, diancam akan diembargo oleh negara lain yang selama ini memasok bahan bakar ataupun bantuan ekonomi.
Seperti negara Iran, pada mulanya melakukan pengayaan uranium dalam skala produksi yang mengkhawatirkan dunia, dimana otoritas Iran melarang tim pemantau PBB untuk mengawasi proliferasi nurlirnya. Ada yang menyebutkan, bahwa hukum internasional ialah hukum moral, karena tiada ancaman sanksi yang mengatur bila hukum internasional dilanggar oleh suatu negara.
Namun, lagi-lagi kita harus bertanya, apakah norma sekundair harus selalu berupa pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur ancaman sanksi? Bila bentuk-bentuk sanksi embargo sudah cukup membuat otoritas Iran merasa takut, kemudian mulai mau mengikuti pengawasan dan aturan main Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), maka apakah masih dapat disebutkan bahwa Hukum Internasional adalah semata hukum moral?
Dalam hal ini, teori Hans Kelsen maupun John Austin sudah tidak lagi relevan untuk dijadikan bahan acuan. Karena bila teori Kelsen maupun Austin adalah benar, dunia ini masih dilanda oleh perang dingin dan aneksasi yang tidak berkesudahan.
Kembali kepada isu perihal upaya me-rong-rong wibawa Pancasila yang hendak diganti dengan ideologi agama islam, sejatinya penolakan terhadap ideologi khilafah / khafilah untuk diberlakukan di Indonesia, adalah penistaan secara implisit (tersirat) terhadap agama islam—seakan ideologi islam masih kalah derajatnya dengan Pancasila sementara hukum Tuhan dipandang sebagai hukum yang tertinggi. Lantas, mengapa Undang-Undang tentang Larangan Penistaan Agama, tidak diberlakukan terhadap pemerintah yang melarang ideologi khilafah untuk didirikan di Nusantara atau setidaknya sebagai ideolgoi tandingan Pancasila?
Kembali kepada postulat pertama yang telah kita bahas sebelumnya, bahwa norma sekundair tidak harus berupa pasal yang mengatur secara tegas dan jelas ancaman sanksi bila dilanggar, kini pemerintah lewat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), mencoba bersikap proaktif (memberi sanksi) dengan membubarkan sebuah Ormas yang memiliki haluan utama untuk menggulingkan ideologi Pancasila dan yang selama ini terbukti mencoba menggantinya dengan ideologi negara berdasarkan khilafah / kafilah secara sistematis (lewat bangku perkuliahan dan tempat ibadah) serta secara terstruktur (adanya manajemen penyebaran ideologi yang rajin dan tertata)—yang kini menjadi blunder yang sangat tidak produktif digunjingkan, karena memang tidak ada yang perlu diperdebatkan perihal hal tersebut selain sekadar sensasi isu hangat bagi kalangan pers untuk dikonsumsi publik yang haus akan berita fenomenal.
Timbul pertanyaan dampingan yang menjadi konsekuensi logis berbagai wacana dan hipotesis serta postulat diatas: bila sebuah undang-undang meiliki ancaman sanksi yang demikian jelas dan keras, lantas mengapa sebuah pilar bangsa sekaliber Undang-Undang Dasar dan Pancasila (Konstitusi NKRI) tidak memiliki ancaman sanksi bagi para pelanggarnya?
Bila peraturan perundang-undangan melanggar undang-undang, dapat diberikan sanksi berupa pembatalan peraturan perundang-undangan tersebut lewat mekanisme uji materiil (judicial review). Sementara untuk praktik berbangsa yang me-rong-rong wibawa ideologi negara yang telah diletakkan oleh para pendiri bangsa (founding fathers and mothers), maka apakah salah secara moril bila negara kemudian memberi sanksi secara keras dan tegas, atau bila perlu lebih keras dan lebih tegas dari ancaman sanksi sebuah undang-undang?
Bagaimana negara ini diharapkan dapat bersaing di kancah persaingan global, bila hal yang demikian sederhana (bahkan dapat disebut sebagai isu “tetek-bengek”) saja sampai harus menguras energi dan waktu lewat berbagai perdebatan, pergunjingan, wacana yang tidak berkesudahan, hingga aksi-aksi penolakan dan putar-balik logika yang memboroskan perhatian.
Jika demikian halnya, masihkah kita dapat merasa “memiliki” secara bersama-sama terhadap negeri ini, bila praktiknya yang kemudian terjadi ialah aksi separatisme. Bila separatisme seperti OPM ataupun GAM dipandang makar, diancam dengan pidana penjara, maka apakah sanksi yang paling layak dan patut bagi seseorang / kaum / organisasi yang mencoba melakukan aksi disintegrasi bangsa dengan membuat ideologi lawan dari Pancasila?
Para pembaca sendiri yang paling berhak untuk menilai sesuai nurani dan kejujuran kita yang masih tersisa. Semoga kejujuran nurani demikian tidak kian tergerus oleh waktu. Semoga, dan kita harapkan demikian. Tidak perlu bersikap “latah” terhadap berbagai pandangan para “pakar” yang hanya bermain “cantik” lewat akrobatik logika.
 Yang lebih tidak dapat ditolerir ialah, para profesor hukum yang memandang bahwa pasal-pasal dalam kelima butir Pancasila, dipandang sebatas sebagai “asas”, bukan sebagai “norma”—sementara asas tidak mungkin memiliki ancaman sanksi apapun. Itulah keburukan utama kalangan hukum, selalu melencengkan isu pada wadah konteks lain yang tidak relevan.
“Asas” tidak lain ialah “norma”, karena bila tidak, tidak mungkin Mahkamah Konstitusi ataupun Mahkamah Agung membatalkan suatu norma peraturan perundang-undangan hanya karena dinilai bertentangan dengan asas. Artinya, sebuah “asas” sekalipun memiliki daya pemaksa dan daya ancaman sanksi bila dilanggar—bahkan “asas” lebih tinggi derajatnya dari sebuah “norma”.
Apapun itu, entah “asas” ataukah “norma” yang disandangkan pada ideologi negara, ideologi negara merupakan hukum tertinggi, dahulu, kini, dan dimasa yang akan datang. Ideologi negara merupakan pegangan karakter bangsa, para pendahulu kita, dan para generasi penerus bangsa. Tanpa itu, kita tidak lain hanyalah orang-orang yang dikemas dengan kemasan merek bernama “Indonesia” tanpa jati-diri apapun.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.