KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Hukum Pidana Penjual yang Menjual Kembali Barang yang Telah Terjual Lunas

LEGAL OPINION
Ada yang Tertipu maka ada Penipu, ada Penipu berarti ada Pidana Penipuan (Postulat Tindak Pidana Penipuan)
Question: Ada bacaan dari suatu media hukum, katanya penjual yang sudah terima uang dari pembeli yang bayar lunas, tapi kemudian si penjual malah jual kembali barang itu kepada orang lain, tidak bisa dipidana penipuan ataupun penggelapan. Apa betul gitu? Kok rasanya melukai etika bisnis kalau dibiarkan begitu?
Nanti akan makin banyak saja orang-orang yang jual barang, sudah dibayar, lalu seenaknya jual barang yang sebetulnya sudah dibeli itu kepada pihak lain (moral hazard). Orang mana takut digugat perdata. Penjual jahat hanya takut dipidana penjara. Yang namanya gugatan perdata (wanprestasi), itu seringkali cuma “menang diatas kertas”, justru menambah besar kerugian pembeli yang sudah tertipu harus habis waktu dan uang di pengadilan untuk gugat-gugat segala.
Brief Answer: Bila barang yang sudah dibayar lunas, tak diserahkan oleh penjual kepada pembeli, itu namanya “wanprestasi” murni. Namun bila konteksnya ialah: barang yang telah dibayar lunas ataupun bahkan sekadar telah diberikan uang panjar / deposit (down payment), justru objek barang dijual kembali kepada pihak ketiga oleh sang penjual, maka tindakan demikian dikategorikan sebagai “wanprestasi” sekaligus “penipuan”.
Karena terdapat itikad tidak baik, berupa niat nyata yang buruk: merugikan pembeli yang telah membayar. Menjual apa yang telah dijual, tidak ada motif lain dari pihak penjual selain “menipu”: baik menipu pembeli pertama maupun menipu pembeli yang selanjutnya. Tidak ada alasan logis lain dibalik perilaku menjual barang yang sebelumnya telah dijual olehnya kepada seorang pembeli lain, bahkan harga jual-beli telah dibayar oleh pembeli pertama.
Bila terdapat itikad buruk yang memang hendak merugikan pihak pembeli, maka itulah bukti adanya niat batin yang buruk (mens rea) sebagai faktor penentu kualifikasi delik pidana penipuan. Bagaimana cara membuktikan niat batin internal sang pelaku? Buktinya ialah sifat jahat itu sendiri: menjual sesuatu yang telah terjual—tidak perduli apakah penyerahan objek benda (levering) telah terjadi ataukah belumnya.
Yang tidak dapat kita pungkiri, uang juga adalah benda, termasuk e-money yang dikategorikan sebagai intangible-goods, ketika penjual telah menerima uang pembelian (uang juga adalah benda), maka sejatinya jual-beli (transaksi) telah terjadi dalam arti peralihan hak secara yuridis, meski secara fisik objek barang yang dibeli masih di tangan pihak penjual. Perikatan telah terjadi: prestasi berupa pemberian benda uang, disisi lain kontraprestasi berupa benda yang dibeli dengan uang tersebut. Hukum perikatan ialah perihal hukum “konsekuensi logis”. Dengan demikian kita menjadi mahfum, objek jual-beli bukan hanya benda yang dibeli, tapi juga benda yang diberikan pembeli kepada penjual, yakni: uang itu sendiri.
Contoh sebaliknya secara a contrario, bila pihak pembeli yang telah menerima objek barang jual-beli, meski terjadi kegagalan untuk membayar sesuai kesepakatan semula, namun sang pembeli tetap secara konkret berupaya untuk mencicil pelunasan karena sedang menghadapi kondisi usaha yang sulit, maka itulah wujud cerminan nyata itikad baik, sehingga sang pembeli tidak dapat dikategorikan sebagai “menggelapkan” objek jual-beli ataupun “menipu” sang penjual.
Sementara bila seorang penjual menjual kembali kepada pihak ketiga atas objek barang yang telah dibayar oleh pembeli, memiliki karakter jahat yang melampaui sifat perdata, namun lebih menyentuh aspek niat batin yang jahat sesuai kualifikasi pasal pidana “penipuan”—bukti argumentasi: pembeli yang telah menerima barang jual-beli, mencoba mencicil untuk melunasi alias memulihkan kerugian pihak penjual. Namun dalam kasus menjual kembali objek jual-beli kepada pihak ketiga, dimana penjual tidak menyanggupi untuk menyerahkan objek barang kepada pembeli pertama, maka tidak mungkin lagi pihak penjual untuk menyanggupi memulihkan kerugian pembeli, selain hanya menawarkan untuk mengembalikan uang pembelian yang telah diterimanya (unsur tipu-daya seakan sang penjual sejak semula memiliki komitmen untuk akan menyerahkan barang namun ternyata hanyalah penipuan belaka).
Singkat kata, untuk memudahkan pemahaman, bila objek jual-beli yang telah dibayar oleh pembeli, tidak juga diserahkan objek barang kepada pembeli, maka penjual melakukan “wanprestasi murni”. Sementara itu bila objek jual-beli tidak mungkin diserahkan kepada pembeli, karena objek barang justru kemudian dijual kembali oleh sang penjual kepada pihak ketiga, maka itulah bukti nyata adanya niat batin buruk berupa “menipu”—sehingga lengkap unsur “tertipu”, “penipu”, dan “penipuan”.
Bukti argumen penulis yang dapat SHIETRA & PARTNERS sampaikan, ialah fakta hukum kebiasaan bisnis, dimana bila pembeli membatalkan jual-beli, maka uang panjar atau deposit, tidak dapat dikembalikan. Sebaliknya, bila penjual sewaktu-waktu membatalkan jual-beli dengan alasan objek barang telah dijualnya kembali kepada pihak ketiga, apakah adil bila sang penjual hanya dihukum lewat gugatan wanprestasi?
Bagaimana mungkin menuntut sesuatu yang tidak mungkin lagi dilaksanakan oleh sang penjual, mengingat objek barang sudah dialih-tangankan oleh sang penjual kepada pihak ketiga? Dalam konteks demikian, uang panjar di tangan penjual, telah digelapkan, sementara dari sudut pandang pembeli, niat batin penjual jelas merupakan penipuan karena pembeli merasa tertipu “mentah-mentah”.
PEMBAHASAN:
Sebagai bukti uang panjar / deposit / down payment yang tidak direalisasi perikatannya oleh pihak penjual untuk diserahkan kembali, mengingat “uang adalah salah satu benda dalam komponen objek jual-beli”, dapat membuktikan adanya niat batin yang buruk dari sang penjual, sehingga dikategorikan sebagai tindak pidana, tepat kiranya SHIETRA & PARTNERS merujuk putusan Mahkamah Agung RI register Nomor 1698 K/Pid/2015 tanggal 07 Januari 2016, dimana Terdakwa didakwakan telah melakukan tindak pidana penipuan atau penggelapan dalam dakwaan yang disusun secara alternatif.
Berawal sekira tahun 2012 LABOEH WIDODO selaku Direktur PT. Setyawan Mahakarya Prima mengenal WIRIANTO WONGSO (dalam berkas tersendiri) selaku Komisaris PT. Tata Mining Indonesia, dan dari perkenalan tersebut LABOEH WIDODO diperkenalkan dengan Terdakwa ALEX SAPUTRA yang menjabat sebagai Direktur PT. Tata Mining Indonesia.
Dalam pertemuan tersebut, dijelaskan oleh WIRIANTO WONGSO maupun oleh Terdakwa ALEX SAPUTRA tentang progress report PT. Tata Mining Indonesia yang bergerak dalam bidang mining yang melakukan aktifitas penambangan dan tambang batubara yang ada di sungai danau Kalimantan Selatan merupakan daerah tambang milik PT. Tata Mining Indonesia.
Atas penjelasan dari Terdakwa ALEX SAPUTRA maupun WIRIANTO WONGSO, LABOEH WIDODO menjadi tertarik untuk membeli hasil tambang berupa batubara dari PT. Tata Mining Indonesia yang kemudian terjadi kesepakatan kerjasama antara PT. Setyawan Mahakarya Prima dengan PT. Tata Mining Indonesia berupa kontrak kerjasama perjanjian jual beli batubara tertanggal 27 Februari 2013 yang ditandatangani oleh Terdakwa selaku Direktur PT. Tata Mining Indonesia dengan pihak PT. Setyawan Mahakarya Prima.
Dalam penjanjian tersebut, disepakati PT. Setyawan Mahakarya Prima akan membeli hasil tambang batubara dari PT. Tata Mining Indonesia, dengan persyaratan bahwa PT. Setyawan Mahakarya Prima memberikan jaminan sebesar Rp5.000.000.000,00 kepada PT. Tata Mining Indonesia, dimana uang jaminan itu diduga untuk mengikat agar harga stabil serta pasokan batubara milik PT. Tata Mining Indonesia tidak dijual ke orang lain, pengiriman batubara tersebut sebanyak 6 kali dimulai pada bulan Maret 2013 dimana dalam satu kali pengiriman sebanyak 7.200 matrik ton ditambah 10% dari quality batubara yang kurang, maka PT. Setyawan Mahakarya Prima akan membayar 100% pelunasan setelah final. Akan tetapi apabila PT. Tata Mining Indonesia gagal memasok atau para pihak berniat untuk tidak melanjutkan kerjasama, maka pembayaran bisa dikurangkan dari uang jaminan hingga dengan sendirinya uang jaminan pihak PT. Setyawan Mahakarya Prima akan habis.
Dengan ditandatanganinya penjanjian jual-beli tersebut, PT. Setyawan Mahakarya Prima melakukan kewajibannya yaitu membayar deposit/jaminan sebesar Rp5.000.000.000,00 dengan bukti transfer sebanyak dua kali ke rekening PT. Tata Mining Indonesia pada tanggal 4 dan 6 Maret 2013.
Dengan telah dibayarnya uang deposit sebesar Rp5.000.000.000,00 maka pada tanggal 18 Maret 2013 PT. Tata Mining Indonesia melakukan kewajibannya dengan mengirim batubara sebanyak 7.200 matrik ton (MT) dan pengiriman tersebut telah dibayar lunas oleh PT. Setyawan Mahakarya Prima sebesar Rp2.614.244.040,00.
Pada tanggal 23 Mei 2013, PT. Tata Mining Indonesia melakukan pengiriman batubara kedua ke PT. Setyawan Mahakarya Prima, namun pengiriman tersebut tidak sesuai dengan jadwal yang disepakati dan hal itu dilakukan karena pihak PT. Setyawan Mahakarya Prima telah melakukan somasi atas keterlambatan pengiriman batubara tersebut dimana kondisinya ialah telah dibayar lunas sebesar Rp1.653.760.900,00 ditambah Rp1.000.000.000,00 yang diambilkan dari uang deposit sesuai dengan perjanjian jual-beli yang ditandatangani sebelumnya.
Hal ini sesuai dengan klausul kontrak yang mana saat itu PT. Setyawan Mahakarya Prima menyatakan mengakhiri perjanjian jual-beli disebabkan PT. Tata Mining Indonesia tidak melakukan kewajibannya meskipun sudah diperingatkan berulang kali dengan jarak yang sangat lama, sementara pihak PT. Setyawan Mahakarya Prima masih harus membayar keterlambatan demurrage yang sebenarnya menjadi kewajiban PT. Tata Mining Indonesia—Note Penulis: kita dapat melihat, bahwa keterlambatan menyerahkan objek jual-beli dapat membawa kerugian bagi pihak pembeli.
Setelah dikirimnya batubara pada tanggal 23 Mei 2013, PT. Tata Mining Indonesia tidak lagi melakukan pengiriman batubara ke PT. Setyawan Mahakarya Prima sehingga terjadi kekurangan pengiriman sebanyak 5 kali 7.200 matrik ton (MT) sesuai dengan perjanjian jual-beli dan pembayaran demurrage akibat dari keterlambatan pengiriman yang tidak sesuai dengan jadwal.
Setelah dilakukan tegoran atau somasi dari PT. Setyawan Mahakarya Prima kepada PT. Tata Mining Indonesia pada tanggal 23 Mei 2013, Terdakwa ALEX SAPUTRA selaku Direktur PT. Tata Mining Indonesia melakukan peminjaman uang kepada PT. Setyawan Mahakarya Prima sebesar Rp500.000.000,00 digunakan untuk keperluan operasional dan pinjaman tersebut baru dikembalikan Rp100.000.000,00 pada tanggal 23 Desember 2013.
Dengan tidak dikirimnya batubara sebanyak 5 kali 7.200 matrik ton (MT) dan tidak dikembalikan uang deposit milik PT. Setyawan Mahakarya Prima sebesar Rp4.400.000.000,00 oleh PT. Tata Mining Indonesia, maka PT. Setyawan Mahakarya Prima merasa dirugikan oleh perbuatan Terdakwa ALEX SAPUTRA selaku Direktur PT. Tata Mining Indonesia—[Note Penulis: “Dirugikan” dan “Tertipu” adalah unsur elementer dalam kejadian “Merugi akibat Penipuan”.]
Terhadap dakwaan Jaksa, adapun yang menjadi amar putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 554/Pid.B/2015/PN.SBY., tanggal 27 Mei 2015, sebagai berikut :
MENGADILI :
1. Menyatakan Terdakwa ALEX SAPUTRA telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ‘PENGGELAPAN’;
2. Menghukum Terdakwa dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun;
3. Menetapkan masa penahanan yang dijalani oleh Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
4. Memerintahkan Terdakwa tetap dalam tahanan.”
Dalam tingkat banding, adapun yang menjadi amar putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor 419/PID/2015/PT.SBY., tanggal 24 Agustus 2015, sebagai berikut:
MENGADILI :
- Menerima permintaan banding dari Jaksa/Penuntut Umum dan Penasihat Hukum Terdakwa;
- Menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 554/Pid.B/2015/PN.Sby. tanggal 27 Mei 2015, yang dimintakan banding tersebut;
- Menetapkan supaya Terdakwa tetap ditahan.”
Terdakwa mengajukan kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan hukum serta amar, sebagai berikut:
“Bahwa alasan kasasi pemohon kasasi (Terdakwa) tidak dapat dibenarkan karena Judex Facti tidak salah menerapkan hukum dalam mengadili Terdakwa;
“Bahwa putusan Judex Facti Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor 419/PID/2015/PT.SBY., tanggal 24 Agustus 2015 yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 554/Pid.B/2015/ PN.SBY., tanggal 27 Mei 2015 yang menyatakan Terdakwa ALEX SAPUTRA telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ‘Penggelapan’ dan oleh karenanya kepada Terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 2 (dua) tahun, dibuat berdasar pertimbangan hukum yang benar, baik mengenai pertimbangan pasal peraturan perundang-undangan sebagai dasar pemidanaan kepada Terdakwa maupun pertimbangan pasal perundang-undangan sebagai dasar hukum putusan terhadap Terdakwa;
“Bahwa berdasar fakta-fakta hukum yang terungkap dalam persidangan, terbukti bahwa:
- Terdakwa selaku Direktur PT. TATA MINING INDONESIA yang telah menandatangani kontrak jual beli batubara sebanyak 6 kali pengiriman batubara, per satu kiriman ±7500 metrik ton dengan PT. SETYAWAN MAHAKARYA PRIMA;
- Bahwa PT. TATA MINING INDONESIA telah menerima uang deposit pembelian dari PT. SETYAWAN MAHAKARYA PRIMA sebesar Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) sehingga jaminan agar batubara tidak dijual kepada pihak lain. Bahwa PT. TATA MINING INDONESIA telah mengirim batubara 2 kali sebesar 7200 metrik ton dan kedua jumlah yang hampir sama yang kedua pengiriman tersebut telah dibayar lunas oleh PT. SETYAWAN MAHAKARYA PRIMA diluar uang deposit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) tersebut;
- Bahwa untuk pengiriman yang ketiga dan seterusnya PT. TATA MINING INDONESIA tidak bisa mengirim kembali dengan alasan cuaca dan tempat penambangan longsor, akan tetapi uang deposit yang diterima dari PT. SETYAWAN MAHAKARYA PRIMA ±Rp4.500.000.000,00 (empat miliar lima ratus juta rupiah) tidak dikembalikan, dengan alasan habis untuk operasional perusahaan;
- Bahwa oleh karena uang deposit PT. SETYAWAN MAHAKARYA PRIMA tersebut adalah uang jaminan untuk pengiriman batubara oleh PT. TATA MINING INDONESIA ke PT. SETYAWAN MAHAKARYA PRIMA, selanjutnya setelah PT. TATA MINING INDONESIA tersebut tidak dapat mengklim uang jaminan tersebut habis dipakai operasional PT. TATA MINING INDONESIA, dengan demikian PT. TATA MINING INDONESIA atas uang deposit tersebut seolah-olah sebagai pemilik sendiri yang dipergunakan untuk operasional PT. TATA MINING INDONESIA, padahal uang tersebut kepunyaan PT. SETYAWAN MAHAKARYA PRIMA, dengan demikian terbukti Terdakwa selaku Direktur PT. TATA MINING INDONESIA telah melakukan penggelapan;
“Menimbang bahwa namun demikian putusan Judex Facti harus diperbaiki mengenai pidana yang dijatuhkan pada Terdakwa, karena masih ada faktor-faktor yang memberatkan atas diri dan perbuatan Terdakwa yang tidak dipertimbangkan Judex Facti yaitu jumlah kerugian mencapai Rp4.500.000.000,00 (empat miliar lima ratus juta rupiah) dan Terdakwa tidak ada upaya mengembalikan uang tersebut, maka pidana yang akan dijatuhkan kepada Terdakwa akan diperberat sebagaimana akan disebut dalam amar putusan ini;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, lagipula ternyata, putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi tersebut harus ditolak, namun Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor 419/PID/2015/PT.SBY., tanggal 24 Agustus 2015 yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 554/Pid.B/2015/PN.SBY., tanggal 27 Mei 2015 harus diperbaiki sekedar mengenai lamanya pidana yang dijatuhkan sehingga amarnya berbunyi sebagaimana tersebut di bawah ini;
MENGADILI :
“Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Terdakwa : ALEX SAPUTRA tersebut;
“Memperbaiki Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor 419/PID/2015/PT.SBY., tanggal 24 Agustus 2015 yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 554/Pid.B/2015/PN.SBY., tanggal 27 Mei 2015 sekedar mengenai lamanya pidana sehingga berbunyi sebagai berikut:
1. Menyatakan Terdakwa ALEX SAPUTRA terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ‘Penggelapan’;
2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun;
3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa sebelum putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
4. Menetapkan Terdakwa tetap ditahan.”
Sebagai ilustrasi lainnya melihat dalam sudut pandang yang lebih makro, SHIETRA & PARTNERS untuk itu merujuk putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo register Nomor 787/Pid.B/2010/PN.Sda. tanggal 25 Oktober 2010, dimana bermula sejak tahun 2004 antara Lie Steven (Terdakwa) dengan Djoko Sugiarto, telah saling kenal karena mereka berhubungan bisnis tepung ikan dimana Terdakwa sebagai pengusaha tepung ikan dan Djoko Sugiarto adalah salah satu pelanggannya.
Hubungan bisnis tersebut berlanjut hingga tahun 2008, dimana Djoko Sugiarto waktu itu bekerja sebagai karyawan PT. Asia Protein, sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang penyedia bahan baku pakan ternak, dan Terdakwa Lie Steven sebagai salah satu pelanggannya, dimana setiap kali Terdakwa memesan bahan baku pakan ternak selalu melalui Djoko Sugiarto selaku marketingnya.
Bahan baku pakan ternak yang dibeli oleh terdakwa dari PT. Asia Protein, kemudian oleh Terdakwa dijual lagi kepada orang lain dimana orang lain yang membeli dari Terdakwa tersebut tidak terikat hubungan apapun dengan Djoko Sugiarto.
Dalam hubungan jual-beli bahan baku pakan ternak antara Terdakwa dengan Djoko Sugiarto, secara lisan telah diperjanjikan bahwa pembayarannya dilakukan setelah 3 minggu hingga 1 bulan setelah barang dikirim kepada pembeli atau diambil sendiri oleh pembeli (Terdakwa).
Pembelian bahan baku pakan ternak oleh Terdakwa yang dilakukan sebelum tanggal 25 maret 2009, semuanya lancar tidak ada masalah, terdakwa telah melunasi harga pembelian tepat pada waktunya. Yang bermasalah adalah pembelian bahan baku pakan ternak yang telah diterima oleh Terdakwa pada tanggal 25 Maret 2009 dan 27 Maret 2009, jumlah total sekitar 39 ton, dengan total harga Rp.218.360.000,- dimana Terdakwa tidak dapat membayar tepat waktu sebagaimana telah diperjanjikan secara lisan tersebut, dengan alasan terdakwa selaku pedagang sedang mengalami kesulitan keuangan.
Djoko Sugiarto beberapa kali melakukan penagihan kepada Terdakwa, namun Terdakwa tetap belum dapat melunasi, hingga dibuat Akta Pernyataan pada Februari 2010, yang dibuat dihadapan Notaris, berisi pada pokoknya bahwa telah terjadi kesepakatan damai antara pihak pertama (Djoko Sugiarto) dengan pihak kedua (Lie Steven), dimana pihak pertama akan mencabut laporannya ke Polda Surabaya, dan telah terjadi kesepakatan pengembalian uang sebesar Rp. 218.360.000,- dari pihak kedua kepada pihak pertama, dengan cara mulai bulan maret 2010 pihak kedua membayar kepada pihak pertama sebesar Rp.100.000.000,-. Untuk bulan bulan berikutnya pihak kedua menyerahkan kepada pihak pertama sebesar Rp.10.000.000,- kepada pihak pertama.
Dengan alasan masih kesulitan keuangan, Terdakwa tetap saja belum dapat memenuhi kewajibannya sebagaimana dituangkan dalam Akta Perdamaian tersebut, namun Terdakwa tetap berusaha mengangsur hutangnya tersebut, yaitu yang pertama pada tanggal 29 Maret 2010 dan yang kedua pada tanggal 10 Mei 2010 masing masing sebesar Rp. 5.000.000,- dimana angsuran tersebut tidak berlanjut karena sejak tanggal 29 Juli 2010 Terdakwa ditahan.
Terhadap tuntutan Jaksa, Majelis Hakim membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa selanjutnya Pengadilan akan mempertimbangkan apakah dengan perbuatannya tersebut terdakwa dapat dipersalahkan melakukan tindak pidana melanggar Pasal 372 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP sebagaimana didakwakan kepadanya;
“Menimbang, bahwa dari fakta fakta hukum sebagaimana tersebut diatas, Pengadilan berpendapat bahwa perkara ini berlatar belakang perkara perdata, nuansa perdata lebih dominan daripada perkara pidana. Namun demikian Pengadilan akan mengkaji dan menganalisis dari konsepsi konsepsi hukum penggelapan terhadap fakta fakta hukum tersebut diatas;
“Menimbang, bahwa unsur essensial dari Pasal 372 KUHP adalah:
1. Dengan sengaja memiliki dengan melawan hak sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannya termasuk kepunyaan orang lain;
2. Barang itu ada dalam tangannya bukan karena kejahatan;
“Menimbang, bahwa sebagaimana fakta hukum tersebut diatas, antara terdakwa Lie Steven dengan saksi pelapor Djoko Sugiarto terdapat hubungan perdata jual-beli, dimana saksi Djoko Sugiarto selaku penjual dan terdakwa Lie Steven selaku pembeli bahan baku pakan ternak dengan pelunasan harga dibelakang antara 3 (tiga) minggu s/d 1 (satu) bulan setelah barang diterima oleh pembeli dan hubungan tersebut telah berlangsung lama dan telah berkali kali terdakwa membeli barang tersebut dari saksi Djoko Sugiarto hingga pembelian sebelum tanggal 25 maret 2009 tidak ada masalah, semuanya telah dibayar lunas oleh terdakwa tepat pada waktunya;
“Menimbang, bahwa konstruksi dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang menjadi permasalahan dalam perkara ini adalah pembelian bahan baku pakan ternak yang dilakukan oleh terdakwa selaku pembeli dari saksi Djoko Sugiarto selaku penjual yang terjadi pada tanggal 25 Maret 2009 dan 27 Maret 2009, jumlah totalnya sekitar 39 ton (pembelian tanggal 25 Maret 2009 seberat 30.702 kg dan pembelian tanggal 27 Maret 2009 seberat 8.500 kg) dimana barang tersebut oleh terdakwa telah dijual kepada Singgih dan Effendi Widodo dan kedua orang tersebut telah melunasi pembayarannya kepada terdakwa, namun uang tersebut oleh terdakwa tidak diserahkan kepada saksi pelapor Djoko Sugiarto;
“dengan demikian yang dianggap dimiliki dengan melawan hak oleh terdakwa adalah berupa uang pembayaran bahan baku pakan ternak dari Singgih dan Effendi Widodo yang oleh terdakwa tidak diserahkan kepada saksi pelapor Djoko Sugiarto;
“Menimbang, bahwa sebagaimana telah dipertimbangkan diatas Singgih dan Effendi Widodo tidak ada hubungan hukum apapun dengan saksi Djoko Sugiarto, mereka berdua hanya berhubungan dengan terdakwa Lie Steven, dengan demikian tidak serta merta timbul kewajiban hukum dari terdakwa untuk menyerahkan uang pembayaran yang telah diterima dari Singgih dan Effendi Widodo kepada saksi Djoko Sugiarto, kewajiban hukum yang melekat pada diri terdakwa adalah membayar harga barang kepada saksi pelapor Djoko Sugiarto dalam waktu 3 minggu s/d 1 bulan setelah barang diterima sebagaimana telah disepakati bersama antara terdakwa dengan saksi pelapor Djoko Sugiarto.
“Menimbang, bahwa terdakwa selaku pedagang tidak dapat melunasi hutangnya kepada saksi Djoko Sugiarto sesuai dengan kesepakatan karena terdakwa sedang mengalami kesulitan keuangan, namun ia tetap mengangsur hutangnya tersebut sesuai dengan kemampuannya,  pada tanggal 29 maret 2010 dan 10 Mei 2010 masing masing sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah), dan terdakwa tidak dapat melanjutkan membayar hutangnya karena ia ditahan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan pertimbangan hukum tersebut diatas Pengadilan berkesimpulan bahwa hubungan antara terdakwa Lie Steven dengan saksi pelapor Djoko Sugiarto adalah hubungan keperdataan, perbuatan terdakwa tersebut bukan merupakan perbuatan sengaja memiliki dengan melawan hak yang masuk dalam ranah pidana;
“Dengan demikian perkara ini murni merupakan perkara perdata dan karenanya merupakan kewenangan hakim perdata untuk memeriksa dan mengadilinya;
“Menimbang, bahwa karena perkara ini merupakan perkara perdata, maka dengan demikian terdakwa harus dilepaskan dari segala tuntutan hukum sebagaimana dakwaan Penuntut Umum;
M E N G A D I L I :
1. Menyatakan perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa Lie Steven alias Alay bukan merupakan perbuatan pidana;
2. Melepaskan Terdakwa Lie Steven alias Alay dari segala tuntutan hukum;
3. Memerintahkan agar Terdakwa segera dilepaskan dari tahanan;
4. Memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta Martabatnya.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.