Choice of Law dalam Perjanjian Kerja di Kedutaan Besar Asing

LEGAL OPINION
Question: Sebenarnya kalau jadi pekerja di sebuah keduataan besar asing yang ada di Indonesia, apa dilindungi oleh undang-undang ketenagakerjaan Indonesia? Katanya hukum yang berlaku di tanah kedutaan asing, maka hukum yang berlaku adalah hukum negara asing.
Brief Answer: Jika berbicara dalam tataran peraturan perundang-undangan, memang jelas dan tegas bahwasannya hukum yang berlaku di kedutaan asing di Indonesia, ialah hukum asing, termasuk Hukum Ketenagakerjaan asing. Disinilah letak masalah utamanya, pihak Kedutaan Besar akan memperlakukan setiap pegawainya dengan konsepsi hukum negara mereka sendiri, sehingga hak-hak normatif dan kewajiban pegawai di sebuah Kedutaan Besar, tidak dapat ditafsirkan ataupun diberlakukan berdasarkan hukum Negara Indonesia.
Dalam kondisi demikian, terjadi perbenturan dua supremasi hukum positif yang berlaku: hukum negara asing sesuai kewarganegaraan sang Diplomat ataukah hukum negara Indonesia dimana tempat Kedutaan Besar itu berada, hukum dari pemberi kerja ataukah hukum dari warga negara sang pekerja.
Bila hukum dari negara asing yang berlaku, bisa jadi dimaknai atas suatu hubungan industrial demikian, tidak berhak atas pesangon. Namun bisa jadi, dari perspektif Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, sang pegawai berhak atas pesangon, sebagai suatu ilustrasi sederhana yang menggambarkan kompleksitas korelasi persilangan antar hukum demikian. Supremasi hukum, terkait erat dengan kedaulatan. Sehingga, bila ditarik secara taat asas, sejatinya Kedutaan Besar di Indonesia tidak tunduk pada hukum Indonesia.
Namun, bila konteksnya ialah pekerja warga negara Indonesia yang dipekerjakan oleh sebuah Kedutaan Besar, Negara Indonesia merasa berkewajiban untuk melindungi warga negaranya yang bekerja pada pihak Kedutaan asing.
Praktik peradilan di Indonesia telah “menerobos kebekuan” demikian, dengan menyatakan bahwa warga negara Indonesia yang bekerja di Kedutaan Besar, dilindungi oleh Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Namun pertanyaan utamanya ialah, sekalipun Pengadilan Hubungan Industrial kemudian menghukum pihak Kedutaan Besar asing di Indonesia untuk memberikan kompensasi bagi pekerja, namun pihak Kedutaan asing tidak patuh pada amar putusan, bagaimanakah cara eksekusinya?
Setidaknya, secara simbolik otoritas Negara Indonesia telah menyatakan bahwa perbuatan Kedutaan asing tersebut adalah tidak patut, sebentuk pelecehan terhadap warga negara Indonesia dimana Kedutaan Besar asing itu diizinkan untuk berdiri.
Kecuali, bila Indonesia mulai menyadari kemendesakan untuk membentuk regulasi dibidang eksekusi putusan pengadilan, sehingga pekerja yang dimenangkan dapat seketika mengeksekusi putusan dengan mendebit rekening milik tergugat, mencekal para diplomat asing tersebut sebelum melaksanakan isi amar putusan, dan memblokir akses jalan dari segala kendaraan para diplomat asing tersebut.
Namun, jangankan terhadap pihak asing, terhadap putusan pengadilan sengketa perkara perdata antara sesama warga negara Indonesia, kerap hanya menjadi “menang diatas kertas”, akibat sistem eksekusi masih sukar dilaksanakan, mengingat nomor rekening milik tergugat dirahasiakan kalangan perbankan, hak atas tanah bersertifikat milik tergugat pun masih dirahasiakan pihak Kantor Pertanahan, sehingga praktis harta-kekayaan milik tergugat sukar diakses untuk dieksekusi.
Sejatinya, baik konteks ketenagakerjaan maupun sengketa perdata umum lainnya, otoritas Negara Indonesia itu sendiri yang kurang memberi kepastian hukum ataupun perlindungan bagi warga negaranya sendiri.
PEMBAHASAN:
Hubungan industrial tidak mengenal konsepsi “choice of law”. Namun ternyata ada pengecualian dalam konteks pekerja WNI pada sebuah Kedutaan Besar asing di Indonesia. Salah satu terobosan yang cukup signifikan yang berkembang dalam praktik, ialah dibuatnya klausula “pilihan hukum yang berlaku dan mengatur” antara para pihak yang saling mengikatkan diri dalam hubungan kerja (choice of law), sehingga perihal yurisdiksi tanah kedutaan, tidak lagi relevan untuk dibenturkan antara hukum negara asing tersebut dengan hukum Negara Indonesia.
Sebagai ilustrasi, untuk itu SHIETRA & PARTNERS merujuk putusan Mahkamah Agung sengketa hubungan industrial register Nomor 376 K/Pdt.Sus-PHI/2013 tanggal 29 Oktober 2013, perkara yang sangat menarik dan terkenal antara:
- KEDUTAAN BESAR BRAZIL DI JAKARTA, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Tergugat; melawan
- LUIS F.S.S PEREIRA, S.H., selaku Termohon Kasasi dahulu Penggugat.
Penggugat mulai bekerja pada Tergugat sejak tahun 2006, dengan jabatan sebagai Technical Assistant, berdasarkan Contract-Working Agreement tertanggal 1 Pebruari 2006. Hubungan kerja tersebut selanjutnya digantikan dengan Perjanjian Kerja tertanggal 1 Desember 2009, yang dengan tegas menentukan bahwa hubungan antara Penggugat dan Tergugat adalah suatu hubungan kerja dan tunduk kepada Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam:
a. Pasal 3 Perjanjian Kerja tertanggal 1 Desember 2009: “Perjanjian ini dibuat berdasarkan hukum ketenagakerjaan Republik Indonesia dan karenanya berlaku untuk waktu tidak tertentu dan mulai berlaku pada tanggal sebagaimana tercantum pada butir 1 Pendahuluan Perjanjian ini.”
b. Pasal 5 ayat 4: “Dalam hal pemutusan hubungan kerja dilakukan dikarenakan alasan-alasan baik yang terkait maupun tidak dengan Pasal 5 diatas, maka pelaksanaannya akan selalu dilakukan berdasarkan peraturan perundangan dibidang ketenagakerjaan Republik Indonesia.”
c. Pasal 7:
1. Pengusaha wajib karena hukum untuk ikut dalam Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang mencakup:
(a). Jaminan Kecelakaan Kerja;
(b). Jaminan Hari Tua;
(c). Jaminan Kematian;
3. Apabila jumlah pembayaran diubah oleh peraturan perundang-undangan, pembayaran dimaksud akan disesuaikan karenanya.”
c. Pasal 13: “Perjanjian ini berdasarkan hukum ketenagakerjaan Republik Indonesia yang berlaku saat ini, termasuk tetapi tidak terbatas pada Undang-Undang Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 3/1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja serta peraturan-peraturan pelaksanaan dan perubahan-perubahannya. Syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan lain yang tidak ditentukan Perjanjian ini akan diatur berdasarkan ketentuan dan peraturan ketenagakerjaan Republik Indonesia yang berlaku.”
d. Pasal 15: “Para pihak sepakat untuk menyelesaikan setiap perselisihan atau ketidaksepahaman yang timbul dari Perjanjian ini secara mufakat untuk musyawarah. Apabila perselisihan atau ketidaksepahaman tidak dapat diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat. Para Pihak sepakat untuk menyelesaikannya sesuai dengan ketentuan perundangan dan peraturan terkait ketenagakerjaan Republik Indonesia yang berlaku.”
Tanggal 26 Agustus 2011, Penggugat secara tiba-tiba dipanggil dan mendapatkan tawaran dari Tergugat atas Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tanpa alasan apapun, dengan memberikan selembaran yang memuat perhitungan pembayaran akibat PHK terhitung sejak 30 September 2011.
Atas tawaran tersebut dan mengingat PHK adalah tanpa alasan apapun, Penggugat menyatakan menolak PHK yang dilakukan Tergugat karena tidak sesuai dengan prosedur PHK berdasarkan peraturan yang berlaku, disamping perhitungan pembayaran akibat PHK dimaksud adalah sangat kecil dibandingkan masa kerjanya.
Setelah mengajukan penawarannya, Penggugat dinyatakan dibebas-tugaskan dan diminta untuk pulang ke rumah, menunggu sampai ada solusi atas penawarannya. Penggugat tidak diperkenankan lagi untuk mengumpulkan dan membawa barang-barang pribadinya dan diminta segera meninggalkan kantor.
Pada 19 September 2011, Penggugat datang ke kantor Tergugat. Bukannya menerima surat tertulis atas pembebasan tugas yang dialami oleh Penggugat, namun Penggugat disodorkan suatu Surat Pernyataan dan diminta untuk menanda-tanganinya. Penggugat menolak untuk menanda-tangani surat tersebut karena tidak setuju dengan isinya.
Penggugat diberikan Pemberitahuan Pendahuluan Pemutusan Hubungan Kerja tertanggal 19 September 2011, dimana disebutkan bahwa Tergugat telah memutuskan untuk mengakhiri hubungan kerja. Selanjutnya, Tergugat menyerahkan / melepaskan barang-barang pribadi Penggugat dari ruang kerja Penggugat.
Dari Pemberitahuan Pendahuluan Pemutusan Hubungan Kerja tertanggal 19 September 2011, Tergugat melakukan PHK dengan mengacu kepada Pasal 5 ayat 1 Perjanjian Kerja tertanggal 1 Desember 2009 yang menyebutkan: “Para Pihak berhak untuk mengakhiri Perjanjian ini dengan menyampaikan pemberitahuan tertulis terlebih dahulu 30 (tigapuluh) hari sebelum pengakhiran Perjanjian”—Padahal perjanjian kerja tersebut secara tegas menyebutkan, bahwa hukum yang berlaku ialah Hukum Ketenagakerjaan Indonesia yang tidak membolehkan PHK secara sepihak.
Berdasarkan Pasal 155 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, telah diatur:
(1) Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) batal demi hukum;
(2) Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan kewajibannya;
(3) Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.
Sementara itu pihak Tergugat mendalilkan, Penjelasan Undang-Undang Nomor 1/1982 tentang Pengesahan Konvensi Wina Mengenai Hubungan Diplomatik beserta Protokol Opsionalnya (Vienna Convention On Diplomatic Relations And Optional Protocol To The Vienna Convention On Diplomatic Relations Concerning Aequistion Of Nationality, 1961) dan Pengesahan Konvensi Wina Mengenai Hubungan Konsuler Beserta Protokol Opsionalnya Mengenai Hal Memperoleh Kewarganegaraan (Vienna Convention On Consular Relations and Optional Protocol To The Vienna Convention On Consular Relation Concerning Acquistion Of Nationality, 1963), menyatakan bahwa:
“Pemerintah Indonesia membuka dan menempatkan perwakilan diplomatic dan perwakilan konsuler di berbagai Negara. Disamping itu pemerintah Indonesia menerima pula perwakilan diplomatic dan perwakilan konsuler Negara lain;
“Konvensi menetapkan antara lain maksud memberikan hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatic tersebut tidaklah untuk kepentingan perseorangan, melainkan guna menjamin kelancaran pelaksanaan fungsi perwakilan diplomatic sebagai wakil Negara.”
Article 31 dan Article 32 (1) Vienna Convention On Diplomatic Relations And Optional Protocol To The Vienna Convention On Diplomatic Relations Concerning Acquisition Of Nationality, 1961 jo. Undang-Undang Nomor 1/1982, mengatur pula:
1. A. diplomatic agent shall enjoy immunity from the criminal jurisdiction of tha receiving State. He Shall also enjoy immunity from its civil and administrative jurisdiction, except in the case of;
(a) a real action relating to private immovable property situated in the territory of the receiving State, unless he holds it on behalf of the sending State for the purpose of the mission;
(b) an action relating to succestion in which the diplomatic agent is involved as axecutor, administrator, heir or legatee as a private person and not on behalf of the sending State;
(c) an action relating to any professional or commercial activity exercised by the diplomatic agent in the receiving State outside his official junctions;
2. A diplomatic agent is not obliged to give evidence as a witness;
3. No measures of execution may be taken in respect of a diplomatic agent exept in the cases coming under sub-paragraphs (a), (b) and (c) of paragraph I of this Article, and provided that the measures concerned can be taken without infringing the inviolability of his person or of his residence;
4. The immunity of a diplomatic agent from the jurisdiction of the receiving State does not exempt him from the jurisdiction of tha sending State.”
Article 32: “(I). The immunity from jurisdiction of diplomatic agent and of persons enjoying immunity under Article 37 may be waised by the sending State.”
Terjemahan resmi dari Article 31 dan Article 32 (1) Vienna Convention On Diplomatic Relations And Optional Protocol To The Vienna Convention On Diplomatic Relations Concerning Acquisition Of Nationality, 1961 jo. Undang-Undang Nomor 1/1982:
Pasal 31
1. Seorang agen diplomatic akan memperoleh kekebalan hukum dari yurisdiksi pidana dari Negara yang menerimanya. Dia juga akan menikmati kekebalan hukum dari yurisdiksi sipil dan administrasi, kecuali dalam hal:
(A) Tindakan nyata yang berkaitan dengan harta tak bergerak pribadi yang terletak di wilayah Negara penerima, kecuali ia menguasainya atas nama Negara pengirim untuk tujuan misi;
(B) Tindakan yang berkaitan dengan suksesi dimana agen diplomatic terlihat sebagai eksekutor, administrator, pewaris atau penerus sebagai orang pribadi dan bukan atau nama Negara penerima;
(C) Tindakan yang berkaitan dengan kegiatan professional atau komersial dilakukan oleh agen diplomatic di Negara penerima di luar fungsi reminya;
2. Seorang agen diplomatic tidak berkewajiban untuk memberikan bukti sebagai seorang saksi;
3. Tidak ada tindakan eksekusi dapat diambil sehubungan agen diplomatic kecuali dalam kasus-kasus yang tercakup di dalam sub-ayat (a), (b) dan (c) dari ayat 1 dari Pasal ini, dan asalkan tindakan yang bersangkutan dapat diambil tanpa melanggar hak ketidak-dapat diganggu-gugatnya pribadi-nya atau tempat tinggalnya;
4. Kekebalan agen diplomatic dari yurisdiksi Negara penerima tidak membebaskan dia dari yurisdiksi Negara pengirim.”
Pasal 32: “(I). Kekebalan dari yurisdiksi atas perwakilan diplomatic dan orang-orang yang memperoleh kekebalan hukum berdasarkan Pasal 37 bisa dicabut oleh Negara pengirim.”
Berdasarkan ketentuan Article 31 dan Article 32 (1) Vienna Convention On Diplomatik Relation And Optional Protocol To The Vienna Convention On Diplomatic Relations Concercing Acquisition Of Nationality, 1961 jo. Undang-Undang Nomor 1/1982 tersebut, maka:
a. Kedutaan Besar memiliki kekebalan hukum terhadap hukum Pidana maupun hukum Perdata dari Negara yang menerimanya;
b. Terhadap Kedutaan Besar tidak dapat dilakukan tindakan Eksekusi; dan
c. Kekebalan hukum atas Kedutaan Besar hanya dapat ditarik oleh Negara asal dari Kedutaan Besar tersebut.
Wilayah dimana Kedutaan Besar Negara asing berada merupakan wilayah Negara asing di Negara lain sehingga merupakan yuisdiksi dari Negara asing yang bersangkutan. Hal ini dikarenakan wilayah dari Kedutaan Besar Negara asing berada merupakan bagian dari wilayah dari Negara yang diwakilinya (extra-teritorial).
Kedutaan Besar Negara asing memiliki kekebalan hukum. Oleh karena itu apabila terjadi suatu perbuatan hukum yang terjadi di dalam suatu Kedutaan Besar Negara asing, maka Kedutaan Besar Negara asing tersebut memiliki kekebalan hukum terhadap hukum yang berlaku di Negara tempat Kedutaan Besar berada. Dengan demikian, hukum yang berlaku Kedutaan Besar adalah hukum dari Negara asalnya. Untuk itu Tergugat mendalilkan:
a. Tergugat merupakan Kedutaan Besar dari Negara Republik Brazil sehingga merupakan perwakilan dari Negara Republik Brazil;
b. Wilayah tempat Tergugat berada merupakan wilayah dari Negara Republik Brazil;
c. Hukum yang berlaku di wilayah Tergugat adalah hukum yang berlaku di Negara Republik Brazil;
d. Hukum Negara Indonesia tidak berlaku di dalam wilayah Kedutaan Besar Brazil;
e. Setiap Kedutaan Besar memiliki kekebalan diplomatic; dan
f. Penggugat bekerja di Tergugat yang merupakan perwakilan dari Negara Republik Brazil, yang berarti Penggugat bekerja di wilayah Negara Republik Brazil.
Disamping itu, berdasarkan definisi yang disebutkan Pasal 1 Ayat (4), Ayat (5) Dan Ayat (6) Undang-Undang Nomor 13/2003, Kantor Perwakilan dari Negara Asing atau Kedutaan Besar bukan merupakan Pengusaha, Pemberi Kerja, ataupun Perusahaan, maka tidak ada perselisihan hubungan industrial antara Penggugat dan Tergugat.
Terhadap gugatan sang Pekerja, Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta Pusat kemudian menjatuhkan putusan Nomor 196/PHI.G/2012/PN.JKT.PST tanggal 18 Februari 2013, dengan pertimbangan hukum serta amar sebagai berikut:
“Bahwa dalam memeriksa perkara ini, menyangkut hak kekebalan diplomatik Tergugat, mengikat kedudukan Tergugat adalah kedutaan besar Negara asing untuk Negara Indonesia, selain dari yang telah dipertimbangkan dalam putusan sela, Majelis Hakim menekankan kepada perjanjian kerja antara Penggugat dengan Tergugat, baik berdasarkan Contract-Working Agreement tertanggal 1 Pebruari 2006 (bukti P-1a), maupun berdasarkan perjanjian kerja tertanggal 01 Desember 2009 (bukti P-2);
“Bahwa dalam Pasal 3 Perjanjian Kerja dinyatakan bahwa Perjanjian tersebut dibuat berdasarkan hukum ketenagakerjaan Republik Indonesia. Ketentuan dalam Pasal 3 tersebut menegaskan bahwa hukum yang berlaku dalam mengatur hak dan kewajiban antara Penggugat dan Tergugat adalah hukum ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia. Ketentuan tersebut sekaligus juga menegaskan forum atau pengadilan yang akan mengadili perselisihan hubungan kerja (Industrial) antara Penggugat dengan Tergugat adalah pengadilan hubungan industrial, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004, ketentuan tersebut juga menegaskan Tergugat mengakui atau menundukkan diri kedudukannya sebagai pemberi kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Butir 4 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003;
MENGADILI :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat putus dan berakhir sejak putusan ini diucapkan;
3. Menghukum Tergugat untuk membayar kompensasi pemutusan hubungan kerja dan upah selama proses penyelesaian perselisihan kepada Penggugat yang keseluruhannya berjumlah Rp485.263.703,00 (empat ratus delapan puluh lima juta dua ratus enam puluh tiga ribu tujuh ratus tiga rupiah);
4. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
Pihak Kedutaan Besar asing mengajukan upaya hukum kasasi, dengan argumentasi bahwa meskipun ada pilihan hukum dalam perjanjian antara para pihak, namun hal demikian tidak dapat diartikan bahwa hukum negara Indonesia dapat serta-merta diterapkan di Kedutaan Besar Republik Brazil yang merupakan wilayah dari Negara Republik Brazil.
Kedaulatan dari wilayah dimana Kedutaan Besar negara asing berada, merupakan wilayah kedaulatan negara asalnya. Sehingga yang berlaku di kedutaan besar dari suatu negara asing, adalah hukum dari negara asalnya. Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan-alasan kasasi tidak dapat dibenarkan, karena meneliti dengan seksama memori kasasi tanggal 14 Maret 2013 dan kontra memori kasasi tanggal 11 Juni 2013 dihubungkan dengan pertimbangan putusan Judex Facti/Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak salah dalam menerapkan hukum dan telah memberi pertimbangan yang cukup, karena dari fakta-fakta persidangan ternyata Tergugat adalah pemberi kerja kepada Penggugat dan telah berlangsung lebih dari 6 (enam) tahun dan Tergugat telah memutus hubungan kerja dengan Penggugat tanpa ada kesalahan, oleh karenanya Penggugat adalah beralasan untuk menerima kompensasi pemutusan hubungan kerja dari Tergugat sebagaimana yang telah dipertimbangkan Judex Facti;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata bahwa putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: KEDUTAAN BESAR BRAZIL DI JAKARTA tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: KEDUTAAN BESAR BRAZIL DI JAKARTA tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.