Biaya Eksekusi Pengosongan Menjadi Beban Pembeli Rumah

LEGAL OPINION
Question: Apa biaya eksekusi pengosongan rumah yang telah kami beli, dapat dituntut dari pihak penjual jika ternyata rumah yang kami beli itu ada penghuni ilegal yang tidak mau menyerahkan rumah secara baik-baik kepada kami?
Brief Answer: Dalam konteks jual-beli rumah, adanya penghunian yang tidak sah demikian, tidak dapat dikategorikan sebagai “cacat tersembunyi”, karena jual-beli pada lazimnya akan mendorong pihak calon pembeli untuk terlebih dahulu meneliti kondisi objek rumah. Sehingga, pembelian objak hak atas tanah berikut bangunan rumah diatasnya, akan diasumsikan dengan segala kondisi rumah yang kasat-mata secara apa adanya.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah kejadian yang menarik, sebagaimana SHIETRA & PARTNERS merujuk putusan Pengadilan Negeri Bireuen sengketa tanah register Nomor 17/Pdt.G/2013/PN.Bir. tanggal 4 Juni 20114, perkara antara:
- FAISAL Bin ABDULLAH,, sebagai Penggugat; melawan
1. PT. BANK MEGA SYARIAH CABANG PEMBANTU BIREUEN, selaku Tergugat I;
2. FAHRUL RAZI, selaku Tergugat II;
3. SAEDAH KHAIRANI Bin ALAMSYAH alias KAK BUTET, sebagai Tergugat III.
Penggugat adalah pihak yang dengan beritikad baik telah melakukan jual-beli di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) berdasarkan Akta Jual Beli (AJB) tanggal 03 Juli 2013, yaitu membeli 1 rumah seluas ± 354 M² dari Tergugat I, dengan demikian Penggugat haruslah mendapatkan perlindungan hukum, sesuai ketentuan Yursiprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1230 K/Sip/1980 tanggal 29 Maret 1982, yang menyatakan: “Pembeli yang beritikad baik harus mendapat perlindungan hukum”.
Oleh karena itu demi hukum Akta Jual Beli
Penggugat bersedia membeli objek tanah dari Tergugat I setelah memperhatikan dan meneliti dengan seksama segala dokumen dan kelengkapan administrasi serta alas hak yang cukup memadai yang disampaikan oleh Tergugat I kepada Penggugat. Dengan demikian diketahui bahwa objek hak atas tanah Sertipikat Hak Milik (SHM) Nomor 234 tanggal 22 Desember 2004 atas nama Fahrul Razi, sebelumnya merupakan objek jaminan pelunasan dana pinjaman untuk pembiayaan Tergugat II pada Tergugat I.
Dana pinjaman untuk pembiayaan dana yang menjadi kewajiban Tergugat II pada Tergugat I, tidak dilunasi dalam batas waktu yang telah ditentukan, sehingga Tergugat I selaku Lembaga Perbankan telah memberikan surat peringatan kepada Tergugat II untuk menyelesaikan kewajibannya. Namun tidak mendapat tanggapan dari Tergugat II, maka Tergugat I mengambil sikap untuk menjual secara lelang objek jaminan melalui prosedur perantaraan Kantor Lelang Negara Lhokseumawe.
Namun ternyata Tergugat I mengadakan pendekatan dengan Tergugat II, supaya Tergugat II bersedia membuat Surat Kuasa Menjual objek terperkara kepada Tergugat I. Dengan kesadaran sendiri tanpa adanya tekanan dan paksaan dari siapapun, Tergugat II bersedia membuat dan menandatangani Akta Surat Kuasa Menjual yang dilakukan dihadapan PPAT/Notaris tertanggal 10 Pebruari 2012.
Perbuatan hukum Tergugat I dengan Tergugat II telah sah menurut hukum, sebagaimana kaedah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, dalam Pasal 20 ayat (2) yang menyatakan:
“Atas kesepakatan Pemberi dan Pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan dibawah-tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak.”
Oleh karena itu, Penggugat mendalilkan, segala surat yang telah dibuat dan ditandatangani oleh Tergugat I dan Tergugat II yang berhubungan dengan peralihan objek tanah, sangatlah wajar dan patut dinyatakan sah dan berkekuatan hukum.
Maka Penggugat dengan Tergugat I secara bersama-sama di hadapan PPAT/Notaris melangsungkan jual-beli terhadap objek tanah yang kemudian dibuatkan AJB tertanggal 03 Juli 2013 yang dilanjutkan dengan proses balik-nama pada SHM tertanggal 22 Desember 2004 melalui Kantor Pertanahan Kabupaten Bireuen, yang sebelumnya atas nama Tergugat I menjadi atas nama FAISAL.
Setelah tanah tanah Penggugat beli, Penggugat bermaksud untuk menempati rumah yang dibelinya, namun karena didalam rumah tersebut diketahui masih ditempati oleh Tergugat III, maka Penggugat memohon kepada perangkat Gampong Geulanggang Baro untuk menyampaikan kepada Tergugat III, bahwa objek tanah sekarang ini telah menjadi milik Penggugat, untuk itu dimohon Tergugat III secara sukarela untuk mengosongkan objek.
Ternyata Tergugat III tidak menanggapinya, bahkan sebaliknya Tergugat III menyatakan tidak akan keluar dari objek tanah. Setelah terjadi jual-beli terhadap objek tanah, Tergugat I tidak melakukan penyerahan (levering) dan pengosongan objek rumah supaya terbebas dari penghunian ilegal untuk diserahkan secara tenteram kepada Penggugat, padahal secara hukum Tergugat I mempunyai kewajiban dan tanggung jawab moril untuk menjamin objek yang menjadi peralihan hak tersebut benar-benar terlepas dan terbebas dari penguasaan siapapun.
Seharusnya setelah diberikan Surat Kuasa Menjual kepada Tergugat I, dan ketika terjadi peralihan objek tanah oleh Tergugat I kepada Penggugat, Tergugat II berkewajiban dan mempunyai tanggung jawab hukum untuk menjamin terjadinya penyerahan atau pengosongan objek terperkara dari penguasaan Tergugat III untuk diserahkan kepada Penggugat.
Dimana terhadap dalil-dalil gugatan Penggugat, Majelis Hakim membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa Penggugat mendalilkan tindakan-tindakan yang telah dilakukan oleh Tergugat I yang tidak melakukan penyerahan dan pengosongan tanah berikut 1 (satu) unit rumah permanen yang telah dibeli oleh Penggugat, Tergugat II yang telah membiarkan terjadinya penguasaan oleh Tergugat III atas tanah dan bangunan rumah permanen yang telah dibeli Penggugat, serta Tergugat III yang bersikeras tidak mau secara sukarela mengosongkan tanah dan rumah yang telah dibeli Penggugat tersebut, kesemuanya merupakan perbuatan melanggar hukum yang telah menimbulkan kerugian bagi Penggugat selaku pihak yang telah membelinya dengan itikad baik dan sah menurut hukum;
“Menimbang, bahwa terhadap dalil-dalil gugatan Penggugat tersebut, Tergugat I pada pokoknya telah menyangkal melakukan perbuatan melanggar hukum dengan mendalilkan bahwa tidak ada kewajiban dari Tergugat I untuk menyerahkan dan mengosongkan tanah Sertipikat Hak Milik Nomor 234 dan rumah yang telah dibeli oleh Penggugat tersebut karena hal itu merupakan kewajiban hukum dari pihak penjualnya, yaitu Tergugat II, sedangkan Tergugat I hanyalah pemegang Hak Tanggungan atas tanah dan bangunan yang telah dijual oleh Tergugat II melalui kuasanya kepada Penggugat;
“Menimbang, bahwa selanjutnya terkait persoalan apakah Penggugat yang hingga saat ini belum dapat menguasai hak miliknya atas tanah Sertipikat Hak Milik Nomor 234 berikut 1 (satu) unit rumah permanen diatasnya karena adanya perbuatan melanggar hukum yang dilakukan para Tergugat, Majelis Hakim akan mempertimbangkannya dengan terlebih dahulu memperhatikan dalil Tergugat I yang menyatakan bahwa Tergugat I hanyalah sebagai pemegang Hak Tanggungan atas tanah dan bangunan yang telah dijual oleh Tergugat II kepada Penggugat sehingga tidak ada kewajiban dari Tergugat I untuk menyerahkan dan mengosongkan tanah Sertipikat Hak Milik Nomor 234 yang telah dibeli oleh Penggugat tersebut karena hal itu merupakan kewajiban hukum dari Tergugat II selaku pihak penjual;
“Menimbang, bahwa berdasarkan Bukti T I.1, berupa Akad Pembiayaan Al-Murabahah Nomor 91 antara Tergugat I dengan Tergugat II yang dibuat dihadapan Notaris ... , tanggal 29 Desember 2010 diketahui Tergugat I memang telah memberikan fasilitas pembiayaan kepada Tergugat II dan untuk keperluan itu dalam Pasal 7 ayat (1) Akad Pembiayaan Al-Murabahah Nomor 91 telah dinyatakan bahwa Tergugat II menyerahkan Sertipikat Hak Milik Nomor 234 yang tercatat atas nama Tergugat II sebagai jaminan pembayaran lunas hutang Tergugat II kepada Tergugat I yang telah terdaftar dengan Hak Tanggungan Nomor 6651 pada BPN Kabupaten Bireuen pada tanggal 31 Januari 2011 (vide Bukti P.1);
“Menimbang, bahwa dari Bukti P.3 sampai dengan Bukti P.7 ternyata Tergugat II terbukti tidak dapat memenuhi kewajiban pembayaran hutangnya kepada Tergugat I dengan sebagaimana mestinya, sehingga Tergugat I telah mengupayakan untuk menjual secara lelang hak tanggungan atas Sertipikat Hak Milik Nomor 234 tersebut untuk pelunasan hutang Tergugat II melalui KPKNL Lhokseumawe yang pengumuman lelang pertamanya pada hari Kamis tanggal 25 April 2013 dan kemudian pengumuman lelang keduanya dimuat dalam surat kabar harian Serambi Indonesia edisi Jum’at tanggal 10 Mei 2013, akan tetapi tidak ada pihak yang mengajukan penawaran;
“Menimbang, bahwa meskipun Tergugat I belum berhasil menjual secara lelang hak tanggungan atas Sertipikat Hak Milik Nomor 234 tersebut, akan tetapi dari keterangan yang termuat dalam Bukti P.1 ternyata Hak Tanggungan Nomor 6651 atas tanah Sertipikat Hak Milik Nomor 234 tersebut telah di-roya atau dihapuskan berdasarkan surat dari Bank Syariah Mega Indonesia Mitra Syariah Cabang Bireuen (Tergugat I) dan penghapusannya telah terdaftar pada BPN Kabupaten Bireuen pada tanggal 27 Juni 2013. Setelah itu barulah terjadi jual-beli tanah Sertipikat Hak Milik Nomor 234 berikut bangunan yang berdiri di atasnya sebagaimana keterangan yang termuat dalam Akta Jual Beli Nomor ... yang dibuat dihadapan PPAT ... (vide Bukti P. 9) pada tanggal 3 Juli 2013;
“Menimbang, bahwa dengan demikian pada saat terjadinya jual-beli terhadap tanah Sertipikat Hak Milik Nomor 234 berikut rumah permanen yang berdiri diatasnya tersebut sudah terbebas dari beban Hak Tanggungan Nomor 6651 yang dipegang oleh Tergugat I. Hal ini berarti terjadinya jual-beli itu bukanlah merupakan pelaksanaan penjualan tanah Hak Tanggungan yang dilakukan oleh Tergugat I selaku pemegang hak tanggungannya berdasarkan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, sebagaimana yang didalilkan oleh Penggugat;
“Menimbang, bahwa oleh karena jual-beli yang dilakukan tersebut sudah bebas dari beban Hak Tanggungan, maka dalam pelaksanaannya merujuk pada ketentuan hukum jual-beli tanah pada umumnya dan memperhatikan pula asas-asas hukum yang berlaku dalam jual-beli, antara lain yang mewajibkan kepada pihak penjual untuk menjamin (vrijwaring) barang yang dijualnya itu dalam keadaan tenteram dan damai tanpa ada ganggu-gugat dari siapapun, serta tidak mengandung cacat, baik yang tersembunyi maupun cacat yang nyata, kecuali pihak Penggugat secara sadar telah mengetahuinya, namun ia tetap bersedia untuk membeli barangnya dengan segala resiko yang harus ditanggungnya;
“Menimbang, bahwa Majelis Hakim menilai terhadap jual-beli menyangkut tanah berikut bangunan rumahnya adalah hal yang secara kasat-mata dapat dilihat bagaimana keadaan fisik yang sesungguhnya dari tanah dan rumahnya itu, sehingga tidak sulit bagi pihak pembeli untuk mengetahui apakah tanah dan bangunan rumah tersebut dalam keadaan telah kosong ataukah masih dihuni oleh pihak lain selain pemiliknya;
“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta hukum yang telah diakui kebenarannya oleh kedua belah pihak yang berperkara bahwa sebelum dilakukan jual-beli tanah Sertipikat Hak Milik Nomor 234 berikut rumahnya memang masih ditempati oleh Tergugat III yang ternyata bersesuaian dengan keterangan saksi ... yang diajukan Penggugat, maka dapatlah disimpulkan bahwa ketika hendak membelinya Penggugat telah mengetahui tanah dan bangunan rumah yang hendak dibelinya tersebut dalam keadaan masih dihuni oleh Tergugat III, sehingga secara hukum dapat ditafsirkan Penggugat telah melepaskan pihak Penjual dari kewajibannya untuk menjamin tanah dan bangunan rumah yang hendak dijualnya kepada Penggugat itu dalam keadaan kosong atau tidak sedang ditempati pihak lain;
“Menimbang, bahwa berdasarkan keadaan yang demikian, maka Majelis Hakim berketetapan tidak ada kewajiban hukum dari Tergugat I dan Tergugat II untuk mengosongkan tanah Sertipikat Hak Milik Nomor 234 berikut bangunan yang berdiri diatasnya yang telah dibeli oleh Penggugat tersebut, akan tetapi hal itu merupakan resiko yang wajib ditanggung oleh Penggugat sendiri untuk mengosongkannya. Oleh karenanya pula tidak ada perbuatan melanggar hukum yang dilakukan Tergugat I dan Tergugat II terhadap Penggugat;
“Menimbang, bahwa sedangkan terhadap tindakan Tergugat III yang masih menempati tanah dan bangunan rumah yang telah dibeli Penggugat secara sah tersebut meskipun hal itu sudah dimintakan secara baik-baik oleh Penggugat, namun masih tetap menempatinya dan ternyata pula dalam pembuktian di persidangan Tergugat III tidak dapat membuktikan dalil-dalil sangkalannya ataupun bukti-bukti yang dapat dijadikan dasar untuk membenarkan tindakannya menempati tanah dan bangunan rumah yang telah dibeli Penggugat tersebut, maka Majelis Hakim menilai tindakan Tergugat III tersebut telah bertentangan dengan kewajiban hukumnya dan sekaligus melanggar hak Penggugat sebagai orang yang berhak atas tanah Sertipikat Hak Milik Nomor 234 berikut bangunan yang berdiri diatasnya, sehingga merupakan perbuatan melanggar hukum;
“Menimbang, bahwa berdasarkan semua hal yang telah dipertimbangkan diatas, Majelis Hakim pada akhirnya berkesimpulan Penggugat telah berhasil membuktikan dalil-dalil gugatannya, sehingga Majelis Hakim dapat mengabulkan gugatan Penggugat dan selanjutnya akan mempertimbangkan petitum-petitum yang diajukan Penggugat;
M E N G A D I L I :
DALAM POKOK PERKARA
1. Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian;
2. Menyatakan sah dan mempunyai kekuatan hukum mengikat Akta Jual-Beli Nomor 561/PPAT/VII/2013 tanggal 03 Juli 2013;
3. Menyatakan sah dan mempunyai kekuatan hukum mengikat Sertipikat Hak Milik Nomor 234 yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Bireuen tanggal 22 Desember 2004;
4. Menyatakan Penggugat adalah pemilik sah tanah Sertipikat Hak Milik Nomor 234 tanggal 22 Desember 2004, berikut 1 (satu) unit rumah permanen yang berdiri di atasnya;
5. Menyatakan Tergugat III telah melakukan perbuatan melanggar hukum;
6. Menghukum Tergugat III untuk menyerahkan tanah dan rumah perkara dalam keadaan kosong kepada Penggugat;
7 Menghukum para Tergugat untuk membayar biaya perkara yang sampai hari ini ditetapkan sejumlah Rp1.501.000,00 (satu juta lima ratus satu ribu rupiah);
8. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya.”
Note penutup dari Penulis :
Praktik demikian diatas sejatinya adalah salah kaprah. Yang berhak menjual, tetap adalah pemilik agunan, hanya saja dengan seizin kreditor pemegang Hak Tanggungan—bukan dibalik konstruksi hukumnya, menjadi: kreditor menjual dengan seizin debitor.
Bila kreditor yang menjual, dikhawatirkan terdapat conflict of interest, berupa dijualnya objek agunan dengan harga murah kepada afiliasi atau pihak-pihak internal kalangan kreditor itu sendiri, sebagaimana kerap terjadi selama ini berdasarkan pengalaman pribadi penulis, disamping maraknya praktik ilegal “milik beding” yang kerap dilakukan oleh berbagai kalangan kreditor.
Pada falsafahnya, debitor bisa jadi memiliki calon pembeli dengan harga yang wajar bersedia membeli, hanya saja pemegang Hak Tanggungan masih memegang “segel” atas sertifikat hak atas tanah yang menjadi agunan. Untuk itu diadakan perjanjian tripartit, dimana debitor dan pembeli akan menyepakati untuk menyerahkan harga jual-beli ke rekening penjual untuk kemudian di-debet oleh kreditornya sehingga Hak Tanggungan dapat di-roya, dengan demikian pembeli dapat melakukan peralihan hak atas tanah.
Tidak pernah ada sejarahnya, harga tertinggi didapat dari pembeli yang didapatkan dari pihak kreditor. Simak kembali kaedah yang tertuang secara eksplisit dalam Pasal 20 Ayat (2) UU tentang Hak Tanggungan:
“Atas kesepakatan Pemberi dan Pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan dibawah-tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak.”
Tidak pernah ada juga sejarahnya dimana pembeli dari pihak kreditor, maka debitor akan secara sukarela menyerahkan objek fisik jual-beli. Namun kaedah hukum yang menarik dari putusan pengadilan diatas, bahwa biaya eksekusi pengosongan menjadi beban tanggung-jawab pihak pembeli. Bila pembeli dari pihak afiliasi kreditor, maka dapatlah diasumsikan bahwa objek hak atas tanah perlu dilakukan eksekusi pengosongan, sebagai salah satu komponen biaya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.