Akta Jual-Beli Fiktif Hak Atas Tanah

LEGAL OPINION
Question: Untuk mendalilkan bahwa akta jual beli rumah itu adalah tidak sah, apa harus lapor polisi dulu agar diselesaikan secara pidana dahulu sehingga ada putusan pidana yang menyatakan benar adanya penipuan atau sejenisnya terhadap akta jual beli itu?
Brief Answer: Bila dalilnya pihak penanda-tangan tidak pernah menandatangani akta apapun, alias tanda-tangan palsu, maka jelas menjadi domain utama peradilan pidana “pemalsuan” untuk memeriksa dan memutus terlebih dahulu. Sebelum dibuktikan kebenarannya, akta tersebut tidak dapat diasumsikan palsu—sesuai asas hukum pembuktian perdata: pembuktian formil semata.
Namun, bila dari rangkaian fakta berdasarkan kondisi yang ada, memang terdapat cacat prosedur atau keganjilan nyata seputar terbitnya akta demikian, dapat dibuktikan secara cukup memadai dalam proses pembuktian persidangan perkara perdata, maka pembuktian secara pidana tidak menjadi prasyarat mutlak.
Sebab, cacat proserual tidak memiliki sangkut-paut dengan isu pidana, namun lebih kepada tertib administrasi. Sementara itu, keganjilan proses pembentukan akta dapat dibuktikan cukup dengan mengemukakan cirmumstantial evidences yang ada—alat bukti “persangkaan” sebagaimana telah lama dikenal dalam konsep hukum acara perdata.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah ilustrasi konkret yang dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk perihal “bukti persangkaan” dan “circumstantial evidences” yang menarik untuk disimak, sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI sengketa tanah register Nomor 3354 K/Pdt/2015 tanggal 11 Mei 2016, perkara antara:
- MARULAK PANDAPOTAN PANJAITAN, sebagai Para Pemohon Kasasi dahulu Tergugat I; melawan
- JONGOR MARPAUNG, B.A., selaku Termohon Kasasi dahulu Penggugat; dan
1. RAHMAT SURBAKTI; 2. DAUD RUAMBA; 3. KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN KEPULAUAN YAPEN, sebagai Para Turut Termohon Kasasi dahulu Tergugat II, III, Turut Tergugat.
Penggugat memiliki sebidang tanah seluas 1000 m² berdasarkan Keputusan Gubernur KDH Tk. I Provinsi Irian Jaya, kemudian disertifikatkan dengan status Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor 54/Desa Serui Kota, tanggal 26 Agustus 1982.
Pada awal Tahun 1985, Tergugat I beserta Istrinya (yang merupakan adik kandung Penggugat), datang ke rumah Penggugat untuk menyampaikan suatu rencana usaha keluarga serta menceritakan rencana modal kerja untuk keperluan usaha, yaitu meminjam Sertifikat Tanah HGB Nomor 54/Desa Serui milik Penggugat untuk keperluan Agunan Kredit ke Bank Rakyat Indonesia (BRI) Cabang Serui yang direalisasikan pada tanggal 21 Maret 1985 sebesar Rp5.500.000,00 dengan CreditVerban (Hak Tanggungan).
Lewat pinjaman Kredit BRI Cabang Serui dengan jaminan Sertifikat hak atas tanah milik Penggugat, Tergugat I baru melunasinya pada tanggal 28 Mei 1990. Sehingga sejak mengajukan pinjaman kredit pada awal bulan Januari 1985 sampai dengan Tanggal 28 Mei 1990, sertifikat tersebut berada di tangan Bank BRI Cabang Serui.
Penggugat dan Tergugat I tidak pernah berbicara mengenai penjualan hak atas tanah atau ada niat yang disampaikan oleh Tergugat I untuk membeli tanah dan bangunan milik Penggugat. Lagi pula Penggugat sama sekali tidak bermaksud menjual hak atas tanah miliknya.
Namun tanpa sepengetahuan ataupun seijin Penggugat, Tergugat I dan Tergugat II selaku oknum pegawai Kantor Pertanahan saat itu, serta Tergugat III selaku Lurah Serui Kota saat itu, membuat Akta Jual Beli Fiktif/Rekayasa tertanggal 19 Mei 1990 tanpa sepengetahuan Penggugat.
Para Tergugat kemudian merubah Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) a.n. Penggugat menjadi SHGB a.n Tergugat I, dengan cara mencoret Nomor 54/Desa Serui Kota, kemudian mengganti dengan Nomor yang baru (B.13/Serui Kota) dengan tulisan tangan saja yang didasarkan pada Akta Jual-Beli PPAT (Camat) tertanggal 19 Mei 1990, dan tanggal Pencatatan Peralihan Hak (Balik-Nama) tanggal 28 Mei 1990.
Dengan demikian nama yang berhak a.n Penggugat dicoret dan diganti dengan nama Tergugat I dan ditanda-tangani oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Yapen Waropen , serta dibubuhi cap/stempel Kantor Pertanahan sehingga terjadi perbuatan melawan hukum.
Penggugat dapat berkeyakinan bahwa perbuatan Para Tergugat adalah melawan hukum, karena pada saat pembuatan Akta Jual-Beli yang di rekayasa pada tanggal 19 Mei 1990 maupun balik-nama sertifikat, Sertifikat Asli dengan Nomor 54/Desa Serui Kota, fisik sertifikat masih dijadikan sebagai Agunan/Jaminan atas kredit Bank BRI Cabang Serui, mengingat pembayaran kredit tersebut belum lunas, dimana pelunasannya baru terjadi pada tanggal 28 Mei 1990.
Sehingga Penggugat beranggapan, pembuatan Akta Jual Beli (AJB) yang direkayasa tertanggal 19 Mei 1990, yang mana kemudian dijadikan acuan dasar peralihan (balik-nama) di kantor Pertanahan, adalah cacat hukum karena Surat Roya dari Bank BRI Cabang Serui, baru diterbitkan pada tanggal 28 Mei 1990, sementara AJB (Rekayasa) dibuat pada tanggal 19 Mei 1990 meski pada tanggal tersebut sertifikat asli masih dipegang/dikuasai oleh pihak Bank BRI Cabang Serui. Selama sertifikat asli dipegang/dikuasai oleh pihak Bank BRI Cabang Serui, tidak boleh dibuat AJB oleh siapapun juga, sebagaimana dijelaskan dalam Surat Keterangan Bank BRI Cabang Serui.)
Wajar bila timbul pertanyaan bagi Penggugat, dari manakah Tergugat I memperoleh sertifikat dan kapan dilakukan Perubahan/Pemalsuan atas sertifikat tersebut, yang kemudian digunakan seakan-akan sertifikat tersebut adalah asli, kalau tidak dengan cara meng-copy sertifikat asli tersebut di Tahun 1985 barulah perbuatan melawan hukum tersebut dilakukan.
SHGB Nomor 54/Desa Serui Kota, yang diganti nomornya menjadi Nomor B.13/Serui Kota, diajukan permohonan oleh Tergugat I untuk mengganti Buku Sertifikat Baru dengan nomor yang sama yaitu Nomor B.13/Serui Kota, dengan luas tanah yang sama yaitu 1000 m² yang diterbitkan tanggal 17 Mei 2001, serta ditanda-tangani oleh Kepala Kantor Pertanahan. Yang menjadi pertanyaan Penggugat, apakah tujuan penggantian Buku Tanah ialah untuk menghilangkan jejak kepemilikan sertifikat yang pertama a.n Penggugat menjadi sertifikat yang kedua langsung a.n Tergugat I sedangkan sertifikat yang pertama masih bagus dan masih berlaku.
Kemudian oleh Tergugat I pada tahun 2003, mengajukan permohonan dengan alasan Peningkatan Hak yaitu dari SHGB menjadi Hak Milik (SHM), maka oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Yapen Waropen, diterbitkanlah Buku Tanah dan Sertifikat Hak Milik Nomor M.282/SK, tanggal 5 Agustus 2003 dengan Luas tanah 1.120 m², adalah merupakan perbuatan yang tidak masuk akal karena luas tanah pada sertifikat pertama/awal Nomor 54/Desa Serui Kota, dan diganti dengan Nomor B.13/Serui Kota, tanggal 26 Agustus 1982 adalah dengan luas tanah 1000 m² kemudian tanggal 4 Agustus 2003 dengan Surat Ukur Nomor 204/Serui Kota/2003, menjadi 1.120 m².
Yang menjadi pertanyaan Penggugat, dari mana pihak Kantor Pertanahan maupun Tergugat I memperoleh tambahan luas tanah 120 m² tersebut?
Secara kekeluargaan Tergugat I dengan Penggugat adalah sebagai ipar, mengingat hubungan tersebut Penggugat kemudian berusaha, meminta agar Tergugat I datang dan berbicara baik-baik sehingga permasalahan dapat diselesaikan secara kekeluargaan. Namun pihak Tergugat I tidak mau datang untuk berjumpa, karena merasa dirinya benar.
Sejak saat pembuatan akta jual beli yang direkayasa tersebut, Tergugat I telah menguasai tanah dan bangunan induk milik Penggugat dengan mempergunakan mulai dengan Sertifikat Nomor 54/Desa Serui Kota, dan diganti dengan sertifikat yang bermasalah Nomor B.13/Serui Kota, dan kemudian dengan sertifikat peningkatan hak dari HGB menjadi SHM Nomor M.282/SK, tanggal 5 Agustus 2003.
Terhadap gugatan Penggugat, Pengadilan Negeri Serui kemudian menjatuhkan Putusan Nomor 04/PDT.G/2014/PN.Sri, tanggal 3 Oktober 2014, dengan pertimbangan serta amar sebagai berikut:
”Menimbang bahwa, sesuai uraian tersebut diatas yang berdasarkan pada bukti surat maupun keterangan saksi-saksi yang diajukan oleh Penggugat dengan memperhatikan bukti pengakuan serta persangkaan terhadap perkara ini, maka Majelis Hakim berpendapat Penggugat dapat membuktikan dalil-dalil gugatannya yang berkaitan dengan jual beli yang dilakukan di hadapan PPAT kepala Kecamatan Yapen Selatan dengan Akta Jual Beli Nomor 55/JB/PPAT/V/1990, pada tanggal 19 Mei 1990 dilakukan tanpa prosedur dan bertentangan dengan ketentuan dalam jual-beli tanah, serta akta jual-beli yang dilakukan di hadapan PPAT kepala Kecamatan Yapen Selatan atas nama CH. Renmaur, BA. dengan Akta Jual Beli Nomor 55/JB/PPAT/V/1990, tanggal 19 Mei 1990 tidak pernah ada dan jual-beli tersebut dilakukan secara fiktif / rekayasa;
”Menimbang bahwa, dengan demikian telah nyata bahwa Tergugat I melakukan perbuatan melawan hukum, sehingga Petitum gugatan Penggugat pada poin 2 (dua) sampai dengan Petitum 5 dapatlah dikabulkan;
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan Gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan sah menurut hukum Sertifikat atas kepemilikan tanah dengan Hak Guna Bangunan Nomor 54/Desa Serui Kota a.n Jongor Marpaung, BA (Penggugat) tanggal 26 Agustus 1982 seluas 1000 m² yang terletak di Jalan Gajah Mada Kelurahan Serui Kota dengan batas-batas sebagaimana tertulis dalam sertifikat yaitu: ... adalah milik Penggugat;
3. Menyatakan bahwa penguasaan (Penggugat) atas objek sengketa adalah sah menurut hukum;
4. Menyatakan bahwa perbuatan Para Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat III yang membuat akta jual-beli yang rekayasa dan (Turut Tergugat) yang menerima lalu merubah Sertifikat Nomor 54/Desa Serui Kota, tanggal 26 Agustus 1982 dari Bank BRI Cabang Serui dan membalik nama sertifikat Objek Sengketa menjadi atas nama Marulak Pandapotan Panjaitan (Tergugat I) tanpa sepengetahuan/seijin (Penggugat) sebagai pemilik sertifikat I, adalah tanpa alasan yang sah dan beritikad buruk, merupakan perbuatan melawan hukum;
5. Menyatakan bahwa akta jual-beli yang direkayasa oleh (Tergugat) maupun Sertifikat tanah/objek sengketa yang telah dibalik-nama oleh (Turut Tergugat) tidak mempunyai kekuatan hukum dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum;
6. Menyatakan bahwa Sita Jaminan terhadap objek sengketa/gugatan (tanah dan rumah) yang diletakkan oleh Pengadilan Negeri Serui adalah sah dan berharga;
7. Menyatakan bahwa penghuni yang kini menempati atau mendiami rumah yang ada dalam objek sengketa karena mendapat hak dari Tergugat I segera keluar dan mengosongkan rumah tersebut dan menyerahkan objek sengketa kepada Penggugat tanpa syarat dan segera meninggalkan objek sengketa;
8. Memerintahkan Turut Tergugat agar dapat menerbitkan sertifikat atas objek sengketa untuk dan atas nama Penggugat;
9. Menolak Gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
Dalam tingkat banding atas permohonan Tergugat I, putusan Pengadilan Negeri tersebut kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jayapura dengan Putusan Nomor 73/PDT/2014/PT.JAP, tanggal 21 Januari 2015.
Tergugat I mengajukan upaya hukum kasasi, dengan argumentasi bahwa yang berwenang mengadili perkara ini adalah hakim dalam Peradilan Pidana, bukan Peradilan Perdata. Sebelum perkara ini didaftarkan oleh Penggugat ke Pengadilan Negeri Serui, telah terlebih dahulu Penggugat melaporkan perkara ini ke Polres Kepulauan Yapen (Polres Serui) dengan laporan Pidana Pemalsuan Akta Jual-Beli.
Untuk menyatakan suatu Akta adalah Fiktif / Rekayasa/ Palsu atau Dipalsukan, haruslah diperiksa / dibuktikan terlebih dahulu melalui Laboratorium Kriminal yang sesungguhnya menjadi kewenangan pihak Polri selaku penyidik, Kejaksaan selaku penuntut, dan Peradilan Pidana. Oleh sebab itu, adalah terburu-buru bila Majelis Hakim dalam persidangan perdata ini memutuskan bahwa Tergugat I telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum.
Tergugat I untuk itu merujuk yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 554K/Sip/1976, tanggal 26 Juni 1979, yang menyatakan: “Berdasarkan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10/1961, setiap pemindahan hak atas tanah harus dilakukan di hadapan pejabat akta tanah, setidak-tidaknya di hadapan Kepala Desa yang bersangkutan.” Peralihan hak atas tanah Objek Sengketa telah dilakukan Penggugat dengan Tergugat I di hadapan PPAT/Camat kepala Kecamatan Yapen Selatan sebagaimana tertuang dalam AJB tertanggal 19 Mei 1990 yang dibuat oleh PPAT. Itulah sebabnya, pertimbangan hukum Pengadilan Negeri maupun amar putusan Pengadilan Tinggi Jayapura, haruslah dikoreksi.
Dimana terhadap dalil-dalil Tergugat I, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“Bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan oleh karena setelah memeriksa secara saksama memori kasasi tanggal 10 April 2015 dan jawaban memori tanggal 24 April 2015 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti dalam hal ini Pengadilan Negeri Serui tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa Penggugat dapat membuktikan dalil-dalil gugatannya berkaitan dengan jual-beli yang dilakukan tanpa prosedur dan bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
“Bahwa jual-beli dengan Akta Jual-Beli Nomor 55/AB/PPAT/V/1990, tanggal 19 Mei 1990 tidak pernah ada dan jual-beli a quo dilakukan secara fiktif / rekayasa;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, ternyata putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: MARULAK PANDAPOTAN PANJAITAN tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi MARULAK PANDAPOTAN PANJAITAN tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.