Terbelenggu Homologasi yang Sukar Dibatalkan

LEGAL OPINION
Question: Dulu pernah setujui proposal penawaran damai yang diajukan debitor yang saat itu dalam kondisi PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang). Tapi setelah ditetapkan homologasi oleh Pengadilan Niaga, kembali menunggak debitor ini. Kreditor berhak kan, membatalkan homologasi sehingga debitor (seketika) pailit?
Brief Answer: Bisa saja secara normatif, namun tidak semudah itu. Pada dasarnya, bila sejak awal proposal rencana perdamaian yang diajukan debitor tampak tidak memadai atau meragukan, bahkan tidak realistis, lebih baik tidak membuat kesepakatan apapun perihal rencana perdamaian yang diajukan pihak debitor.
Sekali homologasi ditetapkan dan mengikat, sepanjang Pengadilan Niaga tidak berkenan membatalkannya, selama masa PKPU tetap itulah homologasi akan mengikat debitor dan para kreditornya. Hendaknya homologasi tidak dijadikan sebagai suatu “mainan” ataupun ajang “uji coba”.
Dalam hal demikian, ketegasan para kreditor dalam pendiriannya sejak semula, perlu tetap dipertegas dalam setiap tahapan PKPU. Rencana homologasi hendaknya jangan pernah dipaksakan untuk disepakati, bila memang tidak terdapat peluang pemulihan kondisi keuangan pihak debitor.
Pada prinsipnya, keputusan saat rencana perdamaian akan berlaku dan mengikat atau tidaknya, para kreditor yang menentukan dan memutuskan. Namun ketika rencana perdamaian telah menjelma homologasi, bukan lagi kewenangan kreditor untuk membatalkan, namun di tangan hakim pemutus.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah kasus dengan nuansa serupa, sebagaimana putusan Mahkamah Agung sengketa homologasi register Nomor 749 K/Pdt.Sus-Pailit/2016 tanggal 20 September 2016, perkara antara:
- PT. BANK BUKOPIN, Tbk., sebagai Pemohon Kasasi, semula selaku Pemohon Pailit; melawan
1. PT. IKHTIAR SEJAHTERA BERSAMA; 2. JOHANES HERMAN WIDJAJA; 3. ANNA RATNASARI, selaku Para Termohon Kasasi dahulu Para Termohon Pailit.
Pemohon adalah kreditor yang berhak untuk mengajukan permohonan pembatalan penetapan perdamaian dalam perkara PKPU (homologasi) sebagaimana diatur dalam Pasal 291 Undang-Undang tentang Kepailitan:
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 dan Pasal 171 berlaku mutatis mutandis terhadap pembatalan perdamaian;
(2) Dalam putusan Pengadilan yang membatalkan perdamaian, Debitor juga harus dinyatakan pailit.
Mengenai beban pembuktian, diatur dalam Pasal 170 UU Kepailitan:
(1) Kreditor dapat menuntut pembatalan suatu perdamaian yang telah disahkan apabila Debitor lalai memenuhi isi perdamaian tersebut;
(2) Debitor wajib membuktikan bahwa perdamaian telah dipenuhi;
(3) Pengadilan berwenang memberikan kelonggaran kepada Debitor untuk memenuhi kewajibannya paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah putusan pemberian kelonggaran tersebut diucapkan.”
Pasal 171 UU Kepailitan:
“Tuntutan pembatalan perdamaian wajib diajukan dan ditetapkan dengan cara yang sama, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13 untuk permohonan pemyataan pailit.”
Pasal 172 Ayat (1) UU Kepailitan:
“Dalam putusan pembatalan perdamaian diperintahkan supaya kepailitan dibuka kembali, dengan pengangkatan seorang Hakim Pengawas, Kurator, dan anggota panitia kreditor, apabila dalam kepailitan terdahulu ada suatu panitia seperti itu.”
Berdasarkan Putusan Nomor 38/Pdt.Sus-PKPU/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst, tanggal 22 Juli 2013, baik Termohon I, Termohon II, dan Termohon III telah dinyatakan dalam keadaan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Sementara dengan segala akibat hukumnya selama 45 hari, yang diajukan oleh PT. Bank UOB Indonesia.
Pemohon adalah salah satu Kreditur Separatis dengan jumlah pokok hak tagih sebesar Rp32.363.040.899,48. Dalam PKPU, untuk membahas rencana (proposal) perdamaian telah dilakukan rapat-rapat. Telah dilaksanakan Rapat Pemungutan Suara (voting) atas Permohonan PKPU Tetap yang diajukan oleh para debitor, dengan hasil voting berupa para kreditor menyetujui untuk memberikan PKPU Tetap kepada para debitor hanya selama 30 hari.
Pada tanggal 4 September 2013, dilaksanakan Sidang Permusyawaratan Majelis Hakim, dimana melalui putusannya, Majelis Hakim memberikan PKPU Tetap selama 30 hari kepada para debitor. Tanggal 30 September 2013, para debitor mengajukan revisi terhadap rencana perdamaian, yakni permohonan perpanjangan waktu PKPU Tetap selama 30 hari.
Tanggal 2 Oktober 2013, berdasarkan hasil voting para kreditor, disetujui untuk memberikan perpanjangan waktu PKPU Tetap kepada para debitor selama 30 hari. Majelis Hakim kemudian memberikan perpanjangan waktu PKPU Tetap selama 30 hari kepada para debitor.
Namun pada 28 Oktober 2013, para debitor kembali mengajukan permohonan perpanjangan waktu PKPU Tetap selama 60 hari kepada para kreditor. Berdasarkan hasil voting, para kreditor menyetujui untuk memberikan perpanjangan waktu PKPU Tetap kepada para debitor hanya selama 30 hari.
Tidak berhenti sampai disitu, tanggal 27 November 2013 para debitor lagi-lagi mengajukan permohonan perpanjangan waktu PKPU Tetap selama 60 hari kepada para kreditor. Berdasarkan hasil voting, para kreditor menyetujui untuk memberikan perpanjangan waktu PKPU Tetap kepada para debitor hanya selama 14 (empat belas) hari.
Telah disetujuinya Rencana Perdamaian oleh para kreditor berdasarkan hasil voting, maka rencana perdamaian yang diajukan oleh para debitor sebagaimana yang termuat dalam Rencana Perdamaian, demi hukum berubah menjadi Perjanjian Perdamaian, yang kemudian atas Perjanjian Perdamaian tersebut dilakukan pengesahan perdamaian (homologasi) berdasarkan Nomor 38/Pdt.Sus/PKPU/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst, tanggal 3 Januari 2014, yang amar / diktum lengkapnya sebagai berikut:
1. Menyatakan sah dan mengikat secara hukum, perjanjian perdamaian tanggal 19 Desember 2013 yang telah ditanda-tangani oleh Para Termohon PKPU dan para kreditornya;
2. Menyatakan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) PT. Ikhtiar Sejahtera Bersama, Johanes Herman Widjaja & Anna Ratnasari demi hukum berakhir;
3. Menghukum Para Termohon PKPU dan seluruh kreditor-kreditornya untuk tunduk dan mematuhi serta melaksanakan Isi Perjanjian Perdamaian tersebut.”
Namun para debitor tidak memenuhi isi perdamaian yang telah disepakati bersama, dimana penyelesaian kewajiban seharusnya dilakukan sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan dalam Perjanjian Kredit, dengan demikian para debitor mempunyai kewajiban per bulan yang perlu ditaati berupa cicilan hutang pokok dan bunga yang harus dibayar. Kenyataannya tidak bayar sejak bulan Desember 2015 sampai dengan bulan Februari 2016.
Pemohon telah melakukan surat peringatan, dimana terhadapnya tidak pernah ada jawaban atau tanggapan dari debitor, sehingga praktis menjadi berstatus “macet”. Itikad tidak baik debitor terlihat dari fakta bahwa PT. Bank UOB Indonesia selaku sesama kreditor yang sederajat dengan Pemohon, telah dilakukan pelunasan tagihan pada tanggal 20 Desember 2013.
Dengan demikian Pemohon meminta agar sang debitor harus dinyatakan Pailit dengan segala akibat hukumnya. Terhadap permohonan Pemohon, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat kemudian menjatuhkan Putusan Nomor 3/Pdt.Sus-Pembatalan Perdamaian/2016/PN.Niaga.Jkt.Pst, juncto Nomor 38/Pdt.Sus-PKPU/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst, tanggal 19 Mei 2016, dengan pertimbangan serta amar sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa Pemohon mendalilkan bahwa Para Termohon telah lalai memenuhi kewajiban pembayaran tunggakan kepada Pemohon sesuai dengan Perjanjian Perdamaian (homologasi) dan tidak mempunyai itikad baik untuk membayar kewajibannya menyangkut pokok dan bunga per bulan sejak bulan Desember 2015, bulan Januari 2016 dan bulan Februari 2016;
“Menimbang, bahwa Para Termohon menyangkal dalil Pemohon dengan mengemukakan bahwa Para Termohon selaku nasabah (debitur) yang telah beritikad baik dengan telah melakukan pelunasan atas keterlambatan pembayaran angsuran kewajiban pokok dan bunga kepada Pemohon dengan melakukan pembayaran melalui Bank ... kepada PT. Ikhtiar Sejahtera Bersama tanggal 7 April 2016 sebesar Rp955.230.000,00 dan tanggal 18 April 2016 sebesar Rp955.230.000,00 akan tetapi Pemohon tidak ada itikad baik untuk melakukan pendebetan atas keterlambatan pembayaran angsuran kewajiban pokok dan bunga yang nyata ada di rekening PT. Ikhtiar Sejahtera Bersama;
“Menimbang, bahwa terhadap kewajiban pembayaran angsuran tersebut, para Termohon telah membayar kewajibannya walaupun mengalami keterlambatan dan telah dilakukan pembayaran melalui setoran transfer pada tanggal 7 April 2016 sebesar Rp955.230.000,00  (bukti P-3a.22), tanggal 18 April 2016, sebesar Rp955.230.000,00 (bukti P-3a.23), tanggal 25 April 2016 sebesar Rp279.865.000,00 (bukti T-3a.24) dan tanggal 28 April 2016 sebesar Rp197.750.000,00 (bukti T-3a.25) yang disetorkan ke rekening Para Termohon, akan tetapi Pemohon tidak mendebet dana tersebut dan menurut ketentuan Pasal 4 ayat (4) dalam Perjanjian Kredit, yaitu Akta Nomor 58 menyebutkan Debitur memberikan kuasa kepada Bank untuk mendebet rekening Debitur yang ada pada Bank untuk pembayaran hutang pokok, bunga dan biaya-biaya lainnya, sehingga dengan demikian walaupun kewajiban Para Termohon sudah dibayar dengan melakukan transfer untuk didebet oleh Pemohon akan tetapi Pemohon belum melakukan pendebetan terhadap transfer dari Para Termohon tersebut;
“Menimbang, bahwa Pemohon dalam kesimpulannya menyebutkan bahwa pembayaran yang dilakukan oleh Termohon melalui transfer diakui oleh Pemohon tidak dilakukan pendebetan karena dana yang ditransfer sebesar Rp1.910.460.000,00 baru dilakukan pembayaran oleh Para Termohon setelah diajukan gugatan pembatalan perdamaian oleh Pemohon pada tanggal 24 Maret 2016;
“Menimbang, bahwa dari hal-hal tersebut diatas diperoleh fakta bahwa Para Termohon telah terlambat melakukan pembayaran terhadap kewajibannya kepada Pemohon yaitu tidak membayar pokok dan bunga sejak Desember 2015, Januari 2016 dan Februari 2016, akan tetapi Para Termohon baru membayar kewajibannya tersebut pada bulan April 2016 (sesuai dengan bukti T-3a.22, T-3a.23, T-3a.24 dan T-3a.25), oleh karena itu kewajiban pembayaran tunggakan Para Termohon yang dipersoalkan oleh Pemohon yaitu mulai Desember 2015, Januari 2016 dan Februari 2016) telah dipenuhi oleh Para Termohon;
“Menimbang, bahwa dari bukti-bukti tersebut diatas maka Para Termohon telah dapat membuktikan bahwa kewajiban Para Termohon kepada Pemohon sudah dilakukan pembayaran dengan melakukan penyetoran melalui transfer;
“Menimbang, bahwa perkara ini telah diawali dengan permohonan PKPU sesuai dengan bukti P-2 yaitu putusan PKPU dan selanjutnya terjadi perdamaian dengan Putusan Perjanjian Perdamaian (homologasi) sesuai bukti P-6 = T-1a, maka Majelis berpendapat, bahwa oleh karena perjanjian tersebut telah berlangsung lama dan selama ini pembayaran kewajiban Para Termohon terhadap pelaksanaan hasil perdamaian yang telah dihomologasi tersebut lancar / tidak ada kendala, maka Majelis berpendapat adalah patut apabila perdamaian tersebut diteruskan. Karena Para Termohon ternyata telah melakukan pembayaran kewajibannya walaupun ada keterlambatan;
“Menimbang, bahwa adanya upaya Para Termohon untuk membayar kewajiban tersebut telah memperlihatkan adanya itikad baik untuk memenuhi kewajibannya kepada Pemohon;
“Menimbang, bahwa Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU menganut adanya asas kelangsungan usaha, dimana harus memperhatikan juga kelangsungan usaha dari Termohon dengan memberikan kesempatan untuk memperbaiki kelangsungan usahanya dan selain itu dalam Pasal 170 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU menyebutkan bahwa Pengadilan berwenang untuk memberikan kelonggaran kepada Debitur untuk memenuhi kewajibannya;
“Menimbang, bahwa berdasarkan uraian dan pertimbangan tersebut diatas Majelis Hakim berpendapat dan berkesimpulan bahwa Para Termohon masih mampu untuk membayar kewajibannya dan telah melakukan setoran untuk membayar kewajibannya kepada Pemohon sehingga Para Termohon masih beritikad baik dalam menyelesaikan hutangnya kepada Pemohon;
“Menimbang, bahwa oleh karena itu maka pengajuan Pembatalan Putusan Perjanjian Perdamaian Perkara Nomor 38/Pdt.Sus/PKPU/2013/PN.Jkt.Pst. yang telah dihomologasi pada tanggal 3 Januari 2014, tidak beralasan hukum dan patut untuk ditolak;
MENGADILI :
Menolak Permohonan Pembatalan Perdamaian Nomor 38/Pdt.Sus/PKPU/2013/PN.Jkt.Pst, yang diajukan oleh Pemohon.”
Tidak terima karena telah dipermainkan oleh debitornya sendiri, sang kreditor mengajukan upaya hukum kasasi, dengan argumentasi bahwa karena sang debitor tidak ada tanggapan ketika diberikan somasi / surat teguran, bahkan mulai sukar untuk ditemui atau sulit untuk berkomunikasi, maka sebagai solusi terakhirnya “mau tidak mau” adalah mengajukan gugatan pembatalan perdamaian, karena terang dan nyata sang debitor telah melakukan pelanggaran terhadap perjanjian perdamaian.
Disamping itu, sang kreditor juga memaparkan, pada tanggal 7 April 2016 adanya transfer sebesar Rp955.230.000,00 dan pada tanggal 18 April 2016 adanya transfer sebesar Rp955.230.000,00 barulah dilakukan oleh sang debitor setelah diajukan gugatan pembatalan perdamaian oleh Pemohon pada tanggal 24 Maret 2016. Sementara itu masih tersisa belasan miliar Rupiah tunggakan sang debitor terhadap Pemohon, yang masih akan berjalan.
Note SHIETRA & PARTNERS: Yang disebut dengan wujud konkret itikad baik, ialah tidak pernah menunggu terlebih dahulu mendapat teguran ataupun gugatan, barulah kemudian membayar cicilan. Maka apakah setiap kali menunggak atau sukar ditagih, harus didahului dengan gugatan pembatalan homologasi?
Dimana terhadap pokok-pokok keberatan Pemohon, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara seksama memori kasasi tanggal 26 Mei 2016 dan kontra memori kasasi tanggal 9 Juni 2016 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti dalam hal ini Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa putusan perjanjian perdamaian (homologasi) telah dilaksanakan dengan baik oleh Para Termohon dengan melakukan kewajiban pembayaran kepada Pemohon dengan lancar, sehingga patut apabila perdamaian tersebut dilanjutkan, karena Para Termohon ternyata telah melakukan pembayaran kewajibannya walaupun ada keterlambatan;
“Bahwa sejak Bulan April 2016 Para Termohon telah membayar kewajibannya kepada Pemohon vide bukti T-3a.22, T-3a.23, T-3a.24, dan T-3a.25), walaupun hal tersebut terlambat dilakukan tetapi tidak ada alasan untuk membatalkan perdamaian yang telah dihomologasi tersebut, jadi pailit adalah merupakan upaya terakhir (ultimum remedium), sehingga dengan demikian pembayaran kewajiban dari Para Termohon kepada Pemohon seyogyanya haruslah tetap dilanjutkan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 3/Pdt.Sus-Pembatalan Perdamaian/2016/PN.Niaga.Jkt.Pst, juncto Nomor 38/Pdt.Sus-PKPU/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst, tanggal 19 Mei 2016 dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi PT. BANK BUKOPIN, Tbk., tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PT. BANK BUKOPIN, Tbk. tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.