LEGAL OPINION
Question: Kalau memang PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) melanggar hukum ketenagakerjaan sehingga pegawai dinyatakan hakim “demi hukum” beralih menjadi Pekerja Tetap PKWTT (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu), maka jika kemudian disaat bersamaan hakim menyatakan putus hubungan kerja (PHK), pesangonnya dihitung dari sejak pegawai mulai pertama kali bekerja pada perusahaan, atau dihitung sejak pelanggaran PKWT terjadi?
Brief Answer: Masih menjadi perdebatan dan tidak terdapat kesatuan pendapat mengenai hal tersebut, karena memang Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan tidak mengatur hal tersebut. Sebagaimana yang telah disinggung dimuka, bahwa terdapat setidaknya tiga penafsiran yang terjadi dalam praktik:
1. Masa kerja yang terkait hak atas pesangon, terhitung sejak Pekerja / Buruh pertama kali mulai bekerja pada Pengusaha; atau
2. Masa kerja PKWTT yang berhak atas pesangon (hanya PKWTT yang berhak atas pesangon terhitung sejak pertama kali Pekerja / Buruh mengikatkan diri dengan PKWT, sekalipun sebelum mengingat diri dalam PKWT sang Pekerja telah bekerja pada Pengusaha yang sama; atau
3. Tidak ada masa kerja PKWTT, karena status Pekerja Kontrak beralih menjadi Pekerja Tetap terhitung sejak hakim membuat amar putusan constitutief bahwa PKWT melanggar hukum sehingga beralih menjadi PKWTT terhitung sejak hakim membacakan putusan.
Apakah “demi hukum” artinya amar putusan declaratief semata ataukah constitutief? Penulis pernah mempermasalahkan hal tersebut ke hadapan MK RI, namun Mahkamah Konstitusi tidak berani untuk membuat penafsiran. Konsekuensi masing-masing opsi yang multi-tafsir diatas, berdampak sangat signifikan. Sebagai ilustrasi:
1. Bila Pekerja / Buruh semula bekerja tanpa surat perjanjian kerja apapun, namun beberapa tahun kemudian diikat dengan PKWT yang ternyata melanggar hukum, maka ketika sang Pekerja di-PHK dan disaat bersamaan hakim menyatakan dirinya demi hukum beralih menjadi PKWTT, maka masa kerja dihitung sejak dirinya pertama kali masuk bekerja;
2. Masa kerja Pekerja tidak dihitung sejak pertama kali diterima bekerja, namun dihitung sejak dirinya diikat PKWT, sehingga disamping pesangon, sang Pekerja juga berhak atas Upah Proses karena status sang Pekerja diasumsikan dan dihitung sebagai PKWTT (demi hukum) sejak dirinya diikat PKWT; atau
3. Tiada pesangon juga tiada Upah Proses, karena dirinya baru dinyatakan berstatus PKWTT terhitung sejak amar putusan hakim pada Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang menyatakan bahwa PKWT melanggar hukum sehingga terhitung sejak saat putusan hakim dibacakan itulah sang Pekerja berstatus PKWTT, sehingga masa kerjanya dimulai dari NOL kembali—jenis amar putusan constitutief. Yang menjadi problema, ialah jika hakim PHI tidak hanya menyatakan status Pekerja beralih demi hukum menjadi PKWTT, namun juga sekaligus memutus sengketa PHK dimana bila masa kerja Pekerja adalah NOL, maka konsekuensi logisnya ialah pesangon sebesar Rp. 0,00. Kemungkinan tersebut hanya relevan bila Pekerja masih diizinkan Pengusaha untuk bekerja dan tiada sengketa PHK dalam perkara diantara mereka.
Yang mengherankan, dalam berbagai praktik Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), ketika status Pekerja / Buruh PKWT dinyatakan demi hukum beralih menjadi PKWTT sekaligus menyatakan PHK, hakim memberikan pesangon dengan masa kerja terhitung sejak PKWT dibuat, namun tanpa Upah Proses—hal tersebut janggal, karena bila diberikan pesangon terhitung masa kerja sejak PKWT dibuat (ingat, pesangon hanya untuk Pekerja PKWTT), maka sejatinya saat PHK terjadi, status Pekerja sudah merupakan PKWTT, sehingga sejatinya berhak atas Upah Proses.
Itulah kerancuan dan ‘lubang hukum’ terbesar yang selama ini dibiarkan ‘terbuka lebar’ oleh Mahkamah Agung RI maupun oleh Mahkamah Konstitusi RI. Celah hukum demikian berpotensi rawan disalahgunakan oleh kalangan Pengusaha di Tanah Air, dan seakan kalangan Pekerja dibiarkan berlarut-larut tanpa kepastian hukum.
PEMBAHASAN:
Sebagai bukti analisa diatas terhadap kerancuan yang terjadi sejak terbitnya Undang-Undang Ketenagakerjaan hingga saat kini, SHIETRA & PARTNERS merujuk putusan Mahkamah Agung RI sengketa PKWT disertai PHK, register Nomor 457 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 26 Juli 2016, perkara antara:
- PT. ALFA KARSA PERSADA, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Tergugat; melawan
- SADIKUN, selaku Termohon Kasasi dahulu Penggugat.
Sebelum kita membahas kasus ini, perhatikan besaran Upah sang Pekerja, dan bandingkan dengan nilai pesangon yang diberikan oleh PHI dalam amar putusannya, disamping fakta mengenai status sang Pekerja sebagai Pekerja Harian sebelum diikat PKWT, dan fakta bahwa PHI maupun Mahkamah Agung tidak memberikan Upah Proses atas proses PHK yang terjadi.
Tergugat adalah perusahaan yang bergerak dibidang Perlengkapan alat di PT. Petamina. Penggugat bekerja pada Tergugat terhitung sejak bulan Oktober 2012, sebagai Operator Forklift, dengan upah terakhir sebesar Rp2.441.000,00. Adapun kronologi hubungan kerja, sebagai berikut:
I. Penggugat bekerja mulai bulan Oktober 2012 sampai dengan Desember 2012 (3 bulan), berstatus harian lepas, dengan waktu kerja 26 hari dalam 1 bulan;
II. Tanggal 12 Desember 2012 sampai dengan tanggal 12 Desember 2013 (1 tahun) diikat kontrak kerja oleh pihak perusahaan (PKWT);
III. Penggugat 7 (tujuh) hari sebelum berakhirnya kontrak kerja (PKWT) pertama, Perusahaan tidak pernah memberitahukan perpanjangan kontrak kerja kepada Penggugat;
IV. Tanggal 12 Desember 2013 sampai dengan 12 Desember 2014, perusahaan memperpanjang PKWT selama 1 tahun;
V. Tanggal 12 Desember 2013 pihak perusahaan melakukan PHK, dengan alasan habis kontrak keria (PKWT berakhir).
Penggugat bekerja dari Oktober 2012 sampai dengan Desember 2012 (3 bulan), berstatus harian lepas, dengan waktu kerja 26 hari dalam 1 bulan. Maka berdasarkan pada ketentuan Pasal 10 Kepmen Nomor 100 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, diatur:
(1) Untuk pekerjaan pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran, dapat dilakukan dengan perjanjian kerja harian lepas;
(2) Perjanjian kerja harian lepas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan ketentuan pekerja/buruh bekerja 21 hari dalam 1 bulan;
(3) Dalam hal pekeria/buruh bekerja 21 hari atau lebih selama 3 bulan berturut-turut atau lebih maka perjanjian kerja harian lepas berubah menjadi PKWTT, bertentangan dengan ketentuan waktu kerja harian lepas Pasal 10 ayat (2) dan ayat (3) , maka sejak pelanggaran tersebut status hubungan kerja berubah menjadi PKWTT.
Perusahaan tidak pernah memberitahukan perpanjangan kontrak/PKWT ke-2 (dua), maka berdasarkan ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan Pasal 59 ayat (5) juncto ayat (7), atas pelanggaran tersebut status hubungan kerja berubah menjadi PKWTT.
Oleh karenannya tindakan Tergugat yang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan hubungan kerja / kontrak kerja berakhir, sementara secara hukum hubungan kerja Penggugat dengan Penggugat telah menjadi hubungan kerja permanen.
Suku Dinas Tenaga Kerja Jakarta Utara pada tanggal 27 Mei 2015 menerbitkan surat Anjuran, sebagai berikut:
1. Agar pihak Perusahaan Sdr. Sadikun dapat menerima Pengakhiran Kerja Waktu Tertentu (PKWT) oleh pihak Perusahaan PT Alfa Karsa Persada;
2. Agar para pihak memberikan jawaban secara tertulis selambatlambatnya 10 (sepuluh) hari sejak diterimanya anjuran ini;
3. Apabila kedua belah pihak atau salah satu pihak menolak anjuran, maka pihak yang menolak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan hubungan kerja ini kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan tembusan ke Mediator Hubungan Industrial.
Penggugat menolak atas anjuran demikian. Disamping itu, mengingat PHK kepada Penggugat belum sah secara prosedur hukum, Penggugat menuntut Upah Proses, karena Tergugat melarang Penggugat untuk bekerja pada perusahaan Tergugat. Terhitung sejak bulan Desember 2014, Penggugat tidak lagi menerima hak-haknya yang biasa diterimanya.
Sebelum kita masuk dalam amar putusan PHI, kita simak kembali detail fakta hukum yang ada:
- Jenis Pekerjaan Penggugat : Operator Forklip;
- Mulai Masuk Kerja: Oktober 2011 s.d 12 Desember 2014;
- Masa Kerja : 3 tahun, 2 bulan;
- Gaji terakhir : Rp2.441.000,00.
Terhadap gugatan sang Pekerja, Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta Pusat kemudian menjatuhkan putusan Nomor 178/Pdt.Sus-PHI/2015/PN Jkt.Pst. tanggal 30 November 2015, dengan amar sebagai berikut:
“MENGADILI :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan hubungan kerja Penggugat, semula sebagai perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) berubah menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT);
3. Menyatakan putus hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat sejak tanggal 12 Desember 2014;
4. Menghukum Tergugat membayar kepada Penggugat berupa uang pesangon, uang penggantian perumahan, pengobatan dan perawatan sebesar Rp11.228.600,00 (sebelas juta dua ratus dua puluh delapan ribu enam ratus rupiah);
5. Membebankan biaya perkara kepada Negara Rp256.000,00 (dua ratus lima puluh enam ribu rupiah);
6. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
Pihak Pengusaha mengajukan upaya hukum kasasi, dengan argumentasi bahwa hubungan kerjanya PKWT sesuai dengan perjanjian kerja yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Hubungan kerja antara Pekerja dengan perusahaan adalah berdasarkan PKWT yang telah disepakati bersama tanpa ada unsur paksaan dari pihak manapun, sehingga seharusnya para pihak tetap tunduk dengan perjanjian kerja yang telah disepakati berdasarkan ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa perjanjian adalah undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.
Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“Keberatan-keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama Memori Kasasi tanggal 28 Desember 2015 dan Jawaban Memori Kasasi tanggal 1 Maret 2016 dihubungkan dengan pertimbangan putusan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ternyata Judex Facti telah benar menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa hubungan kerja antara Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), akantetapi Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang dilakukan oleh Termohon Kasasi adalah pekerjaan pada bidang pekerjaan yang bersifat tetap, yang dilakukan secara terus menerus. Hal ini bertentangan dengan Pasal 59 ayat (1) (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan karena itu sesuai ketentuan Pasal 59 ayat (7) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan, status hubungan kerja antara Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi berubah menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT),
- Bahwa oleh karena Termohon Kasasi di-PHK oleh Pemohon Kasasi dengan alasan kontrak telah berakhir yaitu hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat telah putus sejak tanggal 12 Desember 2014 berdasarkan ketentuan Pasal 169 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dan berdasarkan ketentuan Pasal 156 ayat 2), pihak Tergugat wajib memenuhi hak-hak Penggugat yakni uang pesangon 2 kali Pasal 156 ayat (2) dan uang pengganti perumahan, pengobatan dan perawatan berdasarkan Pasal 156 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dan masa kerja Termohon Kasasi hanya 2 (dua) tahun saja;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata bahwa Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi PT. ALFA KARSA PERSADA tersebut harus ditolak;
“M E N G A D I L I :
“Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PT. ALFA KARSA PERSADA tersebut.”
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.