Dibatalkannya Perjanjian Bersama yang Telah Didaftarkan ke PHI

LEGAL OPINION
Question: Kalau antara manajemen dan Serikat Pekerja dulu pernah buat Perjanjian Bersama, juga sudah didaftarkan ke PHI (Pengadilan Hubungan Industrial), maka apa Perjanjian Bersama itu masih dapat diajukan pembatalan? Jika bisa, diajukan pembatalannya ke mana, ke Pengadilan Negeri atau ke PHI?
Brief Answer: Masih dapat dibatalkan, sepanjang terdapat bukti konkret cacat prosedural pembentukan Perjanjian Bersama tersebut. Untuk mengajukan pembatalan Perjanjian Bersama dalam konteks hubungan industrial, menjadi yurisdiksi Pengadilan Hubungan Industrial.
PEMBAHASAN:
Sebagai ilustrasi, untuk itu SHIETRA & PARTNERS merujuk pada putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 545 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 11 Agustus 2016, perkara antara:
- PT. UTAX INDONESIA, sebagai Pemohon Kasasi I/Termohon Kasasi II, semula selaku Tergugat; melawan
1. DICKY FAHMI; 2. DEDI KUSWANDI; 3. SRI LESTARI, selaku Para Termohon Kasasi I/Para Pemohon Kasasi II dahulu Penggugat.
Para Penggugat adalah Pekerja dengan hubungan hukum Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Namun kemudian Tergugat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak kepada Para Penggugat. Pada 19 Januari 2015, Tergugat talah sepakat untuk mempekerjakan kembali Para Penggugat ke tempat semula tanpa mutasi ataupun demosi, selambat-lambatnya pada tanggal 26 Januari 2015. Kesepakatan tersebut kemudian dituangkan dalam Perjanjian Bersama yang telah didaftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Bandung tertanggal 28 Januari 2015.
Pada tanggal 26 Januari 2015, saat didalam lingkungan perusahaan, atas perintah lisan Tergugat melalui manager HRD dan Manager Produksi, Para Penggugat tidak diijinkan masuk ke ruang produksi, karena sudah tidak ada tempat lagi bagi Para Penggugat untuk bekerja, dan Tergugat menyatakan akan memberikan pesangon sesuai undang-undang yang berlaku.
Tanggal 13 Februari 2015, Tergugat secara sepihak mengeluarkan surat PHK yang ditandatangani oleh HRD Direktur, dengan tertanggal 11 Februari 2015 untuk Para Penggugat. Tanggal 16 Februari 2015, Penggugat dipanggil menghadap direktur PT. Utax Indonesia, dan dipaksa untuk menanda-tangani surat PHK, namun Penggugat menolaknya, sebab dirinya baru saja masuk bekerja setelah melaksanakan istirahat tahunan.
Tanggal 18 Februari 2015, Para Penggugat melakukan perundingan Bipartit dengan Tergugat, yang kemudian pokok-pokoknya dituangkan dalam Risalah Perundingan, diantaranya menyatakan, bahwa PHK yang dilakukakan karena tidak adanya hubungan industrial yang kondusif dengan para pekerja (Penggugat) tersebut.
Pada tanggal yang sama, Para Penggugat mencatatkan perselisihan hubungan industrial ke Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Karawang. Mediator Disnaker telah mengupayakan penyelesaian, namun tidak tercapai kesepakatan. Sehingga Mediator menerbitkan Anjuran tertulis, tertanggal 7 April 2015 yang pada pokoknya adalah sebagai berikut:
a) Agar para pihak perusahaan PT. Utax Indonesia dapat mempekerjakan kembali Sdr. Dicki Fahmi, Sdr. Dedi Kuswandi dan Sdri. Sri Lestari;
b) Agar kedua belah pihak melaksanakan segala kewajibannya selama belum adanya kesepakatan pengakhiran hubungan kerja atau selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan.
Atas Anjuran tersebut, Para Penggugat menyatakan menerima. Namun Tergugat tidak mengindahkan anjuran. Maka untuk mendapatkan kepastian hukum, Para Penggugat mendaftarkan gugatan PHK ke PHI, dengan merujuk kaedah norma Pasal 151 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang mengatur:
“Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.”
Penggugat turut merujuk norma Pasal 155 Undang-Undang Ketenagakerjaan, yang mengatur: PHK tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3), batal demi hukum. Selama putusan PHIl belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh, wajibtetap melaksanakan segala kewajibannya.
Para Penggugat memiliki pendirian, dapat menerima PHK yang dilakukan oleh Tergugat, terhitung sejak diucapkannya putusan dalam perkara ini, dengan syarat disertai pembayaran Uang Pesangon sebesar 2 kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), Uang Penghargaan Masa Kerja, dan Penggantian Hak.
Akan tetapi, terhadap gugatan para Pekerjanya tersebut, Tergugat mengajukan “gugatan-balik” (rekonvensi), PT. Utax Indonesia kemudian berposisi sebagai Penggugat Rekonvensi, yang mempermasalhkan subyek hukum dalam Perjanjian Bersama tertanggal 19 Februari 2015, adalah sebagai berikut:
- Kastono, HRD Manager PT. Utax Indonesia; dan Heri Wahono, Production Manager PT. Utax Indonesia, bertindak untuk dan atas nama PT Utax Indonesia, yang selanjutnya disebut pihak pertama;
- Dicki Fahmi, Ketua Serikat Pekerja PT. Utax Indonesia;Dedi Kuswandi, Sekretaris Serikat Pekerja PT. Utax Indonesia, untuk dan atas nama Serikat Pekerja PT. Utax Indonesia yang selanjutnya disebut pihak kedua.
Melihat fakta yuridis diatas, subjek hukum pihak pertama adalah HRD Manager dan Production Manager, tanpa disertai Surat Kuasa ataupun Surat Penunjukkan untuk mewakili PT. Utax Indonesia secara hukum, sehingga tidak cakap untuk membuat perjanjian, karena seorang pejabat manajer tidak mempunyai kewenangan untuk membuat perjanjian layaknya seorang direksi perseroan. Maka, Perjanjian Bersama tertanggal 19 Februari 2015, cacat subjek hukum, disamping melanggar kaedah Pasal 97 Ayat (1) Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas sebagai berikut:
Direksi bertanggung jawab atas pengurusan perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1).” [Note SHIETRA & PARTNERS: Direksi selaku legal mandatory.]
Dipertegas dalam Pasal 98 Ayat (1) UU PT yang mengatur: “Direksi mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar Pengadilan.” Diperinci kembali lewat norma Pasal 103 UU PT: ”Direksi dapat memberi kuasa tertulis kepada 1 (satu) orang karyawan perseroan atau lebih atau kepada orang lain untuk dan atas nama perseroan melakukan perbuatan hukum tertentu sebagaimana yang diuraikan dalam Surat Kuasa.”
Dengan demikian HRD Manager maupun Production Manager PT. Utax Indonesia tidak dapat mewakili perusahaan tanpa adanya Surat Kuasa dari direksi (direktur). Sebagai konsekuensi logis, Perjanjian Bersama tanpa persetujuan Direktur PT. Utax Indonesia, adalah tidak mengikat secara hukum terhadap badan hukum PT. Utax Indonesia.
Begitupula subjek hukum pihak kedua dalam Perjanjian Bersama, disebutkan “untuk dan atas nama Serikat Pekerja PT, Utax Indonesia”, sementara pihak Serikat Pekerja tidak dilengkapi Surat Kuasa untuk mewakili Para Penggugat—terbukti Perjanjian Bersama tidak menjelaskan sejak kapan kuasa diberikan (tidak jelas), maupun anggota Pekerja mana saja yang diwakili, sehingga sama sekali tidak dapat mewakili untuk dan atas nama para Pekerja.
Surat Perjanjian yang cacat subjek hukum karena hanya mewakili organisasi Serikat Pekerja yang tidak mewakili Para Penggugat, maka sudah sepantasnya Perjanjian tanggal 19 Februari 2015 tidak mengikat Penggugat Konvensi terhadap Tergugat Rekonvensi.
Pada saat terjadinya perundingan pada tanggal 19 Februari 2015, kedua manajer perusahaan dalam keadaan kondisi tertekan (tidak bebas), mengingat pihak Penggugat membawa massa kurang lebih 100 orang, menerobos ke dalam perusahaan, memaksa untuk berunding.
Mengingat perundingan diadakan dalam keadaan terpaksa, untuk mengamankan kondisi perusahaan dan untuk menghindarkan terjadinya kerusakan di dalam lingkungan perusahaan, maka dari itu tindakan Pekerja untuk mendapatkan suatu Perjanjian Bersama dengan cara melawan hukum, sudah sepantasnya untuk dibatalkan.
Perjanjian Bersama diperoleh Penggugat dengan paksaan dan tidak ada kebebasan dari pihak manajer dalam membuat perjanjian, maka perjanjian yang dibuat dengan itikad buruk, sudah sepantasnya dibatalkan. Berdasarkan ketentuan Pasal 1323 KUHPerdata:
“Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang mengadakan suatu persetujuan mengakibatkan batalnya persetujuan yang bersangkutan, juga bila paksaan itu dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak berkepentingan dalam persetujuan yang dibuat itu.”
Perihal syarat sahnya perjanjian, diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yakni: a. Kesepakatan kedua pihak; b. Kecakapan untuk membuat perikatan; c. Suatu pokok persoalan tertentu (suatu hal tertentu); d. Suatu sebab yang tidak dilarang (suatu sebab yang sahih). Sementara itu, paksaan mengakibat “cacat kehendak”.
Terhadap gugatan sang Pekerja maupun gugatan balik pihak Pengusaha, Pengadilan Hubungan Industrial Bandung kemudian menjatuhkan putusan Nomor 232/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Bdg., tanggal 21 April 2016, dengan pertimbangan serta amar sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa menurut Pasal 161 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan: Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama, pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan Surat Peringatan pertama, kedua dan ketiga secara berturut-turut;
“Menimbang, bahwa meskipun alasan Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan oleh Tergugat sesuai dengan ketentuan hukum, namun demikian menurut Pasal 151 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja pengusaha in casu Tergugat hanya dapat melakukannya setelah memperoleh Penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial (Pengadilan Hubungan Industrial), dan karena dalam kasus ini pengusaha (Tergugat) telah melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Para Penggugat tanpa penetapan dari Pengadilan Hubungan Industrial, maka berdasarkan ketentuan Pasal 155 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan oleh Tergugat kepada Para Penggugat, batal demi Hukum;
“Menimbang, bahwa berdasarkan rasa keadilan bagi para pihak, dengan mempertimbangkan hal-hal yang keliru yang telah dilakukan para pihak, yaitu di pihak Para Penggugat telah mendapatkan Surat Peringatan dan di pihak Tergugat dalam memutus hubungan kerja, belum ada penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, maka Majelis Hakim berpendapat untuk Upah yang belum terbayar akan dirasa adil bagi para pihak apabila Tergugat dihukum untuk membayar Upah kepada Para Penggugat masing-masing selama 4 (empat) bulan dengan perincian sebagai berikut:
1. Penggugat I, Dicki Fahmi: 4 Bulan x Rp2.989.000,00 = Rp11.956.000,00
2. Penggugat II, Dedi Kuswandi: 4 Bulan x Rp3.139.000,00 = Rp12.556.000,00
3. Penggugat III, Sri Lestari: 4 Bulan x Rp2.989.000,00 = Rp11.956.000,00
Jumlah = Rp36.468.000,00.
MENGADILI :
Dalam Konvensi:
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebahagian;
2. Menyatakan putus hubungan kerja antara Para Penggugat dengan Tergugat berdasarkan putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung;
3. Menghukum Tergugat untuk membayar hak Upah dari Para Penggugat sebagai pekerja yang belum terbayar secara tunai dan sekaligus sampai dengan hubungan kerja dinyatakan putus sebesar Rp36.468.000,00 (tiga puluh enam juta empat ratus enam puluh delapan ribu rupiah), dengan perincian sebagai berikut;
1. Penggugat I, Dicki Fahmi: 4 Bulan x Rp 2.989.000,00 = Rp11. 956.000,00;
2. Penggugat II, Dedi Kuswandi: 4 Bulan x Rp 3.139.000,00 = Rp12.556.000,00;
3. Penggugat III, Sri Lestari: 4 Bulan x Rp2.989.000,00 = Rp 11.956.000,00;
4. Menghukum Tergugat untuk membayar Para Penggugat Uang Pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan dalam Pasal 156 ayat (2), 1 (satu) kali Uang Penghargaan Masa Kerja sebagaimana Pasal 156 ayat (3) dan Uang Penggantian Hak sebagaimana Pasal 156 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan jumlah total sebesar Rp122.032.250,00 (seratus dua puluh dua juta tiga puluh dua ribu dua ratus lima puluh rupiah), dengan perincian sebagai berikut:
1. Penggugat I Dicki Fahmi, mulai bekerja 15 Januari 2004, sehingga masa kerja 11 tahun 6 bulan:
- Uang Pesangon: 9 x Rp2.989.000,00 = Rp26.901.000,00
- Uang Penghargaan Masa Kerja: 4 x Rp 2.989.000,00 = Rp11.956.000,00
- Uang Penggantian Hak: 15% x Rp 38.857.000,00 = Rp 5.828.550,00
Jumlah = Rp44.685.550,00
2. Penggugat II Dedi Kuswandi, mulai bekerja 26 Januari 2010, sehingga masa kerja 5 tahun 6 bulan:
- Uang Pesangon: 6 x Rp3.139.000,00 = Rp18.834.000,00
- Uang Penghargaan Masa Kerja: 4 x Rp 3.139.000,00 = Rp12.556.000,00
- Uang Penggantian Hak: 15% x Rp 31.390.000,00 = Rp 4.708.500,00
Jumlah = Rp36.098.500,00
3. Penggugat III Sri Lestari, mulai bekerja 11 Desember 2006, sehingga masa kerja 8 tahun 7 bulan:
- Uang Pesangon: 9 x Rp2.989.000,00 = Rp26.901.000,00
- Uang Penghargaan masa kerja: 3 x Rp2.989.000,00 = Rp 8.967.000,00
- Uang Penggantian hak: 15% x Rp35.868.000,00 = Rp 5.380.200,00
Jumlah = Rp41.248.200,00
5. Menolak gugatan Para Penggugat untuk selain dan selebihnya;
Dalam Rekonvensi:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat Rekonvensi/Tergugat Konvensi untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Perjanjian yang dibuat pada tanggal 19 Februari 2015 adalah demi hukum tidak mengikat Tergugat Konvensi (Penggugat Rekonvensi) dengan Penggugat Konvensi (Tergugat Rekonvensi).
Dalam Konvensi dan Rekonvensi
- Menghukum Tergugat Konvensi/Penggugat Rekonvensi untuk membayar biaya perkara sebesar Rp1.091.000,00.”
Baik pihak Pengusaha maupun Pekerja, mengajukan upaya hukum kasasi. Adapun dalil keberatan pihak Buruh, dalam internal memo yang dikeluarkan oleh Tergugat dan ditujukan kepada Para Penggugat serta kepada personil satpam, jelas tertulis bahwa Para Penggugat dilarang untuk melakukan kegiatan di lingkungan PT. Utax Indonesia, sehingga sebab Para Penggugat tidak diperkenankan melakukan kewajibannya seperti biasa adalah karena keinginan Tergugat.
Tergugat tidak pernah memberikan Upah bagi Penggugat sejak Februari 2015 hingga bulan November 2015 maupun THR. Dengan demikian Penggugat keberatan ketika PHI hanya menghukum Tergugat untuk hanya membayar Upah selama proses sengketa di PHI, untuk sebesar 4 bulan Upah.
Dimana terhadap keberatan-keberatan tersebut, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 9 Mei 2016 dan 23 Mei 2016 dan kontra memori kasasi tanggal 6 Juni 2016, dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung tidak salah menerapkan hukum;
“Bahwa oleh karena Tergugat telah dapat membuktikan bahwa Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Para Penggugat dilakukan karena Para Penggugat telah melanggar Peraturan Perusahaan dan telah diberi peringatan pertama, kedua dan ketiga, maka prosedur Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan oleh Tergugat terhadap Para Penggugat telah sesuai dengan ketentuan Pasal 161 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sehingga alasan Pemutusan Hubungan Kerja tersebut telah sah menurut hukum;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, ternyata bahwa putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: I. PT. UTAX INDONESIA dan II: 1. DICKI FAHMI, 2. DEDI KUSWANDI DAN SRI LESTARI tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi: I. PT. UTAX INDONESIA dan Pemohon Kasasi II: 1. DICKI FAHMI, 2. DEDI KUSWANDI DAN SRI LESTARI tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.