Campur-Aduk Surat Panggilan Masuk Kerja dan Perundingan Bipartit

LEGAL OPINION
Question: Kalau ada buruh yang tidak masuk kerja karena mogok, karena sebelumnya ada selisih paham dengan manajemen, lalu baiknya dipanggil masuk kerja dengan surat semacam apa? Kalau mereka tidak masuk juga, bisa dibilang mengundurkan diri karena mangkir, bukan?
Brief Answer: Jangan dicampur-aduk. Antara “surat panggilan untuk menghadiri perundingan Bipartit” dan “surat panggilan untuk kembali masuk bekerja”, adalah dua hal yang berbeda, diatur dalam dua pasal yang berbeda dalam Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, dengan konsekuensi yang masing-masing saling berbeda.
Tetapkan dahulu tujuan utamanya apa, baru rumuskan / konsepkan surat panggilan, apakah untuk mengundang perundingan ataukah untuk perintah panggilan kembali masuk kerja. Kegagalan untuk merumuskan surat panggilan yang tegas sesuai dengan konteksnya, berakibat fatal secara hukum.
PEMBAHASAN:
Untuk memudahkan pemahaman sekaligus pembuktian praktik peradilan yang ada, untuk itu SHIETRA & PARTNERS merujuk putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 59 PK/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 19 September 2016, perkara antara:
- MOHAMAD ESA BISLAMIE PUTRA, sebagai Pemohon Peninjauan Kembali, semula selaku Tergugat; melawan
- PT. HERO SUPERMARKET, Tbk., selaku Termohon Peninjauan Kembali dahulu Penggugat.
Tergugat bekerja di tempat Penggugat sejak tahun 2008 hingga tanggal 6 Juni 2011. Pada tanggal 25 Februari 2011, dikeluarkan rekomendasi atas kasus pelanggaran prosedural dan integritas yang dilakukan oleh Tergugat, selaku Kasir toko Giant Hypermarket cabang Bogor. Pelanggaran yang dilakukan oleh Tergugat adalah telah melanggar Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang telah disepakati dan tidak mengindahkan kebijakan perusahaan yang diberikan kepadanya dalam hal penggunaan diskon karyawan sebesar 10% serta penggunaan barang yang dibeli.
Tergugat dalam hal pembelian barang-barang juga menggunakan kartu tanda pengenal (ID card) milik orang lain yang digunakan untuk memanfaatkan fasilitas diskon karyawan dari orang lain tersebut. Bahwa Pasal dalam PKB yang dilanggar oleh Tergugat adalah pelanggaran tingkat V (lima), yakni:
“Menggunakan jabatan dan/atau wewenang untuk melakukan tindakan yang menguntungkan diri sendiri ataupun pihak ketiga seperti keluarga, temanteman tanpa mengindahkan kepentingan perusahaan.”
Pengusaha kemudian membuat kesimpulan bahwa sang Pekerja di-putus hubungan kerja (PHK), sehingga secara psikologis pihak Pengusaha sudah menolak kehadiran Tergugat untuk kembali bekerja. Ganjilnya, pada tanggal 16 Mei 2011 Penggugat mengirimkan surat panggilan pertama kepada Tergugat untuk datang menghadap ke HRD Pusat PT. Hero Supermarket Tbk. tanggal, namun Tergugat tidak datang memenuhi surat panggilan pertama tersebut.
Berlanjut pada tanggal 19 Mei 2011, Penggugat mengirimkan surat untuk panggilan kedua, agar Tergugat datang menghadap ke HRD Pusat PT. Hero Supermarket, Tbk., namun Tergugat tidak datang. Tanggal 23 Mei 2011, Penggugat kembali mengirimkan surat untuk panggilan ketiga/terakhir, agar Tergugat datang menghadap ke HRD Pusat, namun Tergugat tetap tidak datang memenuhi panggilan.
Dengan demikian Penggugat menganggap Tergugat tidak memiliki itikad baik untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi, dengan ketidakhadiran Tergugat atas surat panggilan pertama, kedua, dan ketiga yang telah disampaikan kepada Tergugat.
Tanggal 6 Juni 2011, Penggugat mengirimkan surat pemberitahuan kepada Tergugat, yang menginformasikan bahwa dirinya dikualifikasikan mengundurkan diri. Tanggal 8 Juni 2011, Tergugat mengirimkan surat yang ditujukan kepada HRD Pusat PT. Hero Supermarket Tbk., perihal permohonan klarifikasi surat tanggal 6 Juni 2011, yaitu surat mengenai bahwa pekerja dikualifikasikan mengundurkan diri. Pekerja menanyakan “ayat manakah dari Pasal 168 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang dijadikan dasar pengenaan kualifikasi mengundurkan diri?”
Tanggal 18 Agustus 2011, setelah melalui perundingan tripartit, terbitlah surat Anjuran dari Mediator Dinas Tenaga kerja Kota Bogor, sebagai berikut:
a. Hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat telah berakhir sejak 6 Juni 2011 karena telah dikualifikasikan mengundurkan diri.
b. Agar pihak Penggugat membayar hak-hak Tergugat sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 168 ayat (3) dan uang pisah sesuai dengan yang diatur dalam PKB;
Penggugat menyatakan menerima dengan sepenuhnya anjuran yang dikeluarkan oleh Mediator. Namun sang Pekerja mengajukan memilih opsi untuk mengajukan gugatan terhadap sang Pengusaha, meski kemudian gugatan tersebut dicabut oleh sang Pekerja.
Meski demikian, pihak Pengusaha justru balik mengajukan gugatan, dimana terhadap gugatan tersebut, Pengadilan Hubungan Industrial Bandung kemudian menjatuhkan Putusan Nomor 1/G/2012/PHI/PN.BDG., tanggal 10 April 2012, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
Dalam Konvensi:
Dalam Pokok Perkara:
- Menyatakan gugatan Penggugat dikabulkan sebagian;
- Menyatakan putus hubungan kerja antara Penggugat (PT. Hero Supermarket, Tbk.) dengan Tergugat terhitung 6 Juni 2011;
- Memerintahkan Penggugat (PT. Hero Supermarket, Tbk.) untuk membayar sejumlah uang berupa: uang penghargaan masa kerja sebanyak 2 bulan x (upah pokok + tunjangan jabatan) dan ganti rugi hak cuti jika masih ada;
- Memerintahkan Tergugat untuk mengembalikan Tanda Pengenal Pekerja (ID Card) dan seragam kerja kepada Penggugat (PT. Hero Supermarket, Tbk).”
Dalam tingkat kasasi, yang menjadi amar Putusan Mahkamah Agung Nomor 783 K/Pdt.Sus/2012 tanggal 20 Februari 2013, sebagai berikut:
MENGADILI :
- Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: Mohamad Esa Bislamie Putra tersebut.”
Pekerja mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama alasan peninjauan kembali tanggal 19 Januaridihubungkan dengan pertimbangan Judex Jurisdalam hal ini Mahkamah Agung telah melakukan kekeliruan yang nyata dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa sebagaimana fakta di persidangan, Tergugat telah melakukan kesalahan dan sudah dipanggil secara tertulis, namun panggilan Termohon Peninjauan kembali bukan panggilan untuk kerja sebagaimana dimaksud Pasal 168 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 dan Penjelasannya melainkan untuk penyelesaian perselisihan (vide bukti P.9, P.10 dan P.11);
“Bahwa terhadap pelanggaran kerja harus diterapkan ketentuan Pasal 161 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, sehingga hak-hak Tergugat adalah sebagai berikut:
- Uang pesangon: 1 x 4 x Rp1.555.295,00 = Rp6.221.180,00
- Uang penghargaan masa kerja: 2 x Rp1.555.295,00 = Rp3.110.590,00
- Uang penggantian hak: 15% x Rp9.331.770,00 = Rp1.399.531,00
Jumlah = Rp10.731.531,00
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, Mahkamah Agung berpendapat, terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali: MOHAMAD ESA BISLAMIE PUTRA tersebut dan membatalkan Putusan Mahkamah AgungNomor 783 K/Pdt.Sus/2012 tanggal 20 Februari 2013 selanjutnya Mahkamah Agung akan mengadili kembali perkara ini dengan amar sebagaimana akan disebutkan di bawah ini;
M E N G A D I L I :
- Mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali: MOHAMAD ESA BISLAMIE PUTRA tersebut;
- Membatalkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 783 K/Pdt.Sus/2012 tanggal 20 Februari 2013;
MENGADILI KEMBALI:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan putus hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat sejak putusan Judex Facti diucapkan;
3. Menghukum Penggugat membayar kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja kepada Tergugat sebesar Rp10.731.531,00 (sepuluh juta tujuh ratus tiga puluh satu ribu lima ratus tiga puluh satu rupiah);
4. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.