Akta Kelahiran dan e-KTP Tidak Mensyaratkan Surat Pengantar RT RW

LEGAL OPINION
Question: Katanya bikin e-KTP tidak perlu lagi surat pengantar dari RT maupun RW (Ketua Rukun Tetangga dan Ketua Rukun Warga). Hanya ingin ubah status pekerjaan dalam e-KTP, kok, petugas di kelurahan masih saja hingga kini minta syarat adanya surat pengantar RT RW. Sebenarnya aturannya gimana sih?
Brief Answer: Bila hanya mengubah status profesi dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik, alias KTP-el, dimana tiada perubahan status yuridis domisili, maka secara normatif: tidak diwajibkan adanya surat pengantar Ketua RT maupun RW.
Terhadap petugas pelayanan di instansi setempat yang melanggar kaedah norma yang terbitkan instansinya sendiri, dapat diajukan pengaduan ataupun laporan kepada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil sesuai Kota / Kabupaten ataupun Dinas Provinsi. Pada prinsipnya bukan hanya perihal penerbitan KTP-el, namun juga Akta Kelahiran, tidak lagi disyaratkan adanya surat pengantar Ketua RT maupun RT.
Kebijakan Menteri Dalam Negeri patut diapresiasi, karena memangkas birokrasi yang tidak efisien. Perubahan status dalam fisik KTP dari bujang/lajang menjadi menikah, kini tidak lagi dibutuhkan surat pengantar Ketua RT maupun RW. Begitupula ketika terjadi perceraian, kelahiran anak, status pekerjaan atau gelar kesarjanaan, tidak dibutuhkan syarat serupa. Sehingga praktis hanya disyaratkan ketika terjadi perpindahan domisili (tempat tinggal aktual de facto).
 Meski demikian, masih banyak birokrasi prosedural kependudukan dan catatan sipil yang masih perlu dipangkas jenjang dan panjang rantainya. Sebagai contoh, seseorang yang telah merekam data kependudukannya pada database KTP-el, ternyata masih harus menempuh prosedur yang demikian panjang dan rumit, disamping memakan waktu serta tenaga, hanya untuk sekadar meminta surat keterangan masih lajang untuk keperluan menikah. Sehingga, menjadi meragukan kedayagunaan anggaran perekaman data KTP-el bila dalam implementasi praktiknya masih menggunakan paradigma konvensional yang sama sekali tidak praktis.
Sebagai ilustrasi, seorang Warga Negara Indonesia, yang hendak menikah, diwajibkan memiliki Surat Keterangan Masih Lajang dari Dinas Catatan Sipil Kota / Kabupaten. Pertanyaannya, bila sudah pernah merekam data dalam sistem database KTP-el, bahkan sudah punya fisik KTP-el, mengapa masih harus dimintai Surat Keterangan semacam itu?
Keanehan lainnya, tiada sangkut-paut antara rencana untuk menikah dengan surat pengantar RT dan RW. Apakah tujuan atau kegunaan dari surat pengantar RT dan RW demikian bila bukan prosedural sekadar demi prosedural itu sendiri? Warga negara hendak menikah, namun dipersukar oleh prosedural yang dibentuk oleh pemerintah itu sendiri. Bila merubah status lajang / menikah dalam KTP, sudah tidak disyaratkan surat pengantar Ketua RT maupun RW, mengapa untuk mendapatkan Surat Keterangan Masih Lajang, tetap dipersyaratkan?
Tidak hanya sampai disitu, calon pasangan yang hendak menikah diwajibkan mendapat Surat Keterangan Izin dari orang tua untuk menikah. Bukankah Undang-Undang tentang Perkawinan sudah menetapkan, bila warga negara pria telah berusia minimum 19 tahun, dan wanita minimum berusia 16 tahun, maka dirinya berhak untuk menikah (cakap secara hukum). Mengapa harus ditambah Surat Keterangan Izin dari orang tua? Bukankah UU Perkawinan hanya mensyaratkan izin orang tua, bila calon pasangan hendak melangsungkan pernikahan dibawah usia cakap hukum tersebut diatas?
Note Penulis: Syarat bagi calon mempelai untuk melangsungkan pernikahan, berupa surat izin dari orangtua, meski calon telah cukup umur (dewasa), dipastikan akan dihapus ketika terdapat warga negara yang berniat untuk mengajukan uji materiil ke Mahkamah Agung RI.
Lagi-lagi, tidak hanya sampai disitu, calon pasangan masih harus melampirkan Surat Pernyataan dari calon mempelai bahwa dirinya masih lajang, fotokopi Kartu Keluarga, fotokopi KTP, mengisi formulir, barulah pihak kelurahan menerbitkan surat keterangan masih bujang / lajang. Tidak berhenti sampai disitu saja, prosedur yang sama persis masih harus dihadapi saat menghadap ke Dinas Catatan Sipil Kota / Kabupaten: Surat Pernyataan Masih Lajang, fotokopi Kartu Keluarga, fotokopi KTP, surat dari kelurahan, dsb.
Mengapa Dinas Catatan Sipil tidak percaya pada Surat Keterangan yang diterbikan oleh Kelurahan? Untuk apa lagi fotokopi Kartu Keluarga dan sebagainya? Bukankah cukup dengan mengetikkan Nomor Induk Kependudukan (NIK), maka status pemohon surat keterangan sudah dapat terbaca dan terlihat secara real time dan efektif? Mengapa harus demikian prosedural? Demikian besar anggaran dihabiskan untuk membangun server pusat data kependudukan serta operasionalnya, namun sama sekali tidak digunakan demi pelayanan kepada warga negara pembayar pajak. Pemborosan anggaran.
Untuk apakah prosedur diciptakan bila hanya untuk menyengsarakan rakyat sendiri? Apakah dapat dibenarkan, negara mempersulit warga negaranya sendiri yang hendak untuk melangsungkan pernikahan? Ilustrasi diatas baru sebatas perihal keanehan prosedural dan birokrasi untuk memohon Surat Keterangan Masih Lajang—seakan KTP bukanlah bukti otentik—belum perihal catatan sipil dan kependudukan lainnya.
Demikian tebalnya prosedural yang berlaku di suatu negara, sejatinya merupakan cerminan daya berpikir para pemimpin bangsa yang bersifat dangkal dan tidak efektif disamping tidak efisien—yang tidak lain hanya bermotif menyengsarakan anak bangsa sendiri. Ketika prosedur diciptakan untuk robot, namun kemudian diberlakukan bagi manusia yang merupakan makhluk hidup, maka itulah hukum prosedural Republik Indonesia—tiada makna dan sangat tidak rasional.
Program nasional pemerintah KTP-el memakan anggaran “Uang Rakyat” (hindari penggunaan istilah “uang negara”) yang tidak sedikit, bahkan menjadi ajang korupsi. Namun, dalam fakta de facto, biaya serta waktu dan tenaga yang dihabiskan rakyat di lapangan jauh lebih besar ketimbang biaya program KTP-el.
Satu orang penduduk yang hendak menikah, menghabiskan anggaran fotokopi dan print dokumen untuk prasyarat guna mendapat Surat Keterangan Masih Lajang, rata-rata sebesar Rp. 5000,- belum termasuk ongkos transportasi dan biaya waktu serta tenaga untuk mengantri dan menuju kelurahan dan berbagai instansi. Dikalikan dengan 250.000.000 penduduk RI, maka berapa besar anggaran yang telah di-“bakar” oleh pemimpin NKRI yang tidak kompeten menyusun prosedur. Baru sebatas prosedur, kita belum bicara mengenai substansi.
PEMBAHASAN:
Untuk membuktikan kaedah normatif hukum yang berlaku, maka setiap warga negara tidak perlu merujuk secara patuh terhadap apa yang menjadi ucapan atau sikap petugas yang bisa jadi menyalahi hukum positif yang berlaku, namun dapat merujuk langsung kepada Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 471/1768/SJ tanggal 12 Mei 2016 tentang Percepatan Penerbitan KTP-el dan Akta Kelahiran, yang ditujukan kepada Gubernur dan Bupati/Walikota di seluruh Indonesia, dengan substansi:
“Memperhatikan Pasal 2 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 yang mengamanatkan bahwa setiap Penduduk mempunyai hak untuk memperoleh Dokumen Kependudukan, serta mempertimbangkan bahwa sampai saat ini cakupan perekaman KTP-el baru mencapai 86 % dan cakupan kepemilikan akta kelahiran baru mencapai 61,6 % dengan hormat diminta perhatian Saudara untuk segera melakukan percepatan layanan perekaman dan penerbitan KTP-el serta penerbitan akta kelahiran dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Seiring dengan semakin tertatanya database kependudukan di seluruh Indonesia, maka dalam pelayanan perekaman, penerbitan dan penggantian KTP-el yang rusak dan tidak merubah elemen data kependudukan, perlu penyederhanaan prosedur, yaitu cukup dengan menunjukkan fotocopy Kartu Keluarga tanpa perlu surat pengantar dari RT, RW, dan Kelurahan/kecamatan.
2. Membuka loket khusus untuk pelayanan bagi penduduk yang belum mendapatkan KTP-el pada saat perekaman massal dan memberikan pelayanan rekam cetak di luar domisili sesuai amanat Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 2016.
3. Melakukan jemput bola dengan pelayanan keliling untuk perekaman di sekolah, kampus, mall, perusahaan-perusahaan, panti jompo, lembaga pemasyarakatan dan ke desa/kelurahan.
4. Bagi penduduk yang pada tanggal 1 Mei 2016 sudah berusia lebih dari 17 Tahun atau sudah menikah dan tidak sedang menetap di luar negeri, wajib melakukan perekaman paling lambat tanggal 30 September 2016.
5. Penarikan KTP-el bagi penduduk yang pindah dilakukan di daerah tujuan setelah diterbitkan KTP-el yang baru.
6. Secara bertahap agar semua unit layanan yang berada di wilayah Saudara dapat menggunakan alat baca KTP-el / Card reader, sehingga dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik.
7. Untuk penerbitan akta kelahiran mempedomani Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2016 dan tidak perlu surat pengantar RT, RW, dan Kelurahan / Desa.
8. Memerintahkan kepada Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten / Kota untuk bekerjasama dengan Kepala Dinas Pendidikan, Kepala Dinas Kesehatan, dan Rumah Sakit di daerah untuk melakukan jemput bola pengurusan akta kelahiran, antara lain melalui sekolah TK, SD, SMP, SMU/SMK, dan rumah sakit/puskesmas atau penolong persalinan.
9. Pemerintah Daerah dilarang memberikan syarat tambahan dalam pelayanan perekaman dan penerbitan KTP-el dan penerbitan akta kelahiran, misalnya dengan lunas pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), dan lain-lain.
10. Agar Saudara memerintahkan Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten / Kota atau Unit Kerja yang membidangi Administrasi Kependudukan di Provinsi untuk membuat SMS / Whatsapp Gateway dan menyebarluaskan nomor Handphone-nya kepada masyarakat luas untuk memudahkan sarana komunikasi dengan pemohon layanan/masyarakat.
Demikian disampaikan untuk dipedomani dalam pelaksanaannya.
MENTERID DALAM NEGERI

TJAHJO KUMOLO
Namun, apakah yang dimaksud dengan “perubahan elemen data kependudukan”? Apakah setiap perubahan elemen data kependudukan wajib menggunakan surat pengantar RT/RW?
Surat Edaran Menteri Dalam Negeri tidak memberi penjelasan apapun. Namun secara terperinci, dapat kita temukan dalam peraturan di Provinsi DKI Jakarta, terdapat pengaturan yang lebih teknis guna menindaklanjuti Surat Edaran Menteri Dalam Negeri tersebut diatas, sebagaimana tertuang dalam Instruksi Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 103 Tahun 2016 tentang Percepatan Penerbitan KTP-el dan Akta Kelahiran, dengan substansi:
“Dalam rangka menindaklanjuti surat Menteri Dalam Negeri tanggal 12 Mei 2016 Nomor 471/1768/SJ hal Percepatan Penerbitan KTP-el dan Akta Kelahiran, dengan ini menginstruksikan:
Kepada:
1. Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Provinsi DKI Jakarta.
2. Kepala Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi DKI Jakarta.
3. Para Walikota Provinsi DKI Jakarta.
4. Bupati Kepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta.
5. Para Camat Provinsi DKI Jakarta.
6. Para Lurah Provinsi DKI Jakarta.
Untuk :
KESATU :
A. Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Provinsi DKI Jakarta, agar:
1. Dalam memberikan pelayanan perekaman, penerbitan, dan penggantian KTP-el yang rusak dan tidak merubah elemen data kependudukan, perlu penyederhanaan prosedur, cukup dengan menunjukkan fotokopi Kartu Keluarga tanpa perlu surat pengantar dari RT/RW dan Kelurahan/Kecamatan.
2. Bersama dengan Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, Camat, Kepala Seksi Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kecamatan, Kepala Seksi Satuan Pelaksana PTSP Kecamatan, Lurah, Kepala Satuan Pelayanan Registrasi Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Kasatpelreg Dukcapil) Kelurahan dan Kasi Satuan Pelaksana PTSP Kelurahan untuk membuka loket khusus pada Kantor Kelurahan dan Kecamatan untuk melayani penduduk yang belum mendapatkan KTP-el pada saat perekaman massal dan memberikan pelayanan rekam cetak di luar domisili sesuai dengan amanat Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2011 tentang Pedoman Penerbitan Kartu Tanda Penduduk Berbasis Nomor Induk Kependudukan Nasional.
3. Melakukan jemput bola dengan pelayanan keliling untuk perekaman dan penerbitan KTP-el di Provinsi DKI Jakarta.
4. Melakukan penarikan KTP-el bagi penduduk yang pindah dimana KTP-el yang baru diterbitkan.
5. Dalam melakukan penerbitan Akta Kelahiran berpedoman kepada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2016 dan tidak perlu surat pengantar RT/RW dan Kelurahan.
6. Bekerja sama dengan Kepala Dinas Pendidikan, Kepala Dinas Kesehatan, Direktur Rumah Sakit di Wilayah Provinsi DKI Jakarta untuk melakukan jemput bola pengurusan Akta Kelahiran, antara lain melalui sekolah TK, SD, SMP, SMU/SMK, dan Rumah Sakit / Puskesmas atau penolong persalinan, dan
7. Membuat SMS / Whtsapp Gateway dan menyebarluaskan nomor telephone genggamnya kepada masyarakat luas untuk memudahkan sarana komunikasi dengan pemohon layanan / masyarakat.
b. Kepala Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi DKI Jakarta, agar:
1. semua unit layanan yang berada di wilayah Provinsi DKI Jakarta dapat melayani penerimaan berkas dan penyerahan berkas hasil perekaman serta penerbitan KTP-el.
2. Bersama dengan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Provinsi DKI Jakarta, Camat, dan Lurah untuk membuka loket khusus di Kantor Kelurahan dan Kecamatan untuk pelayanan bagi penduduk yang belum mendapatkan KTP-el pada saat perekaman massal dan memberikan pelayanan rekam cetak di luar domisili sesuai dengan amanat Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 2016.
3. Kepala Satuan Pelaksana PTSP Kecamatan dan Keluruhan dalam menerima berkas pelayanan perekaman, penerbitan, dan penggantian KTP-el yang rusak dan tidak merubah elemen data kependudukan, cukup menunjukkan copy Kartu Keluarga tidak perlu Surat Pengantar dari RT/RW.
4. Dalam melakukan pelayanan perekaman dan penerbitan KTP-el dan penerbitan Akta Kelahiran tidak menambahkan syarat tambahan antara lain lunas pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan, Surat Ketarangan Catatan Kepolisian (SKCK), dan lain-lain; dan
5. Secara bertahap agar semua unit layanan yang berada di wilayah Provinsi DKI Jakarta dapat menggunakan alat baca KTP-el / card reader, sehingga dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik.
c. Para Walikota / Bupati Kabupaten Kepulauan Seribu agar melakukan pemantauan terhadap seluruh pelaksanaan kegiatan dalam rangka percepatan penerbitan KTP-el dan Akta Kelahiran di wilayah kerjanya.
d. Para Camat dan Lurah, agar:
1. Melakukan sosialisasi kepada warga masyarakat dan memberikan penjelasan kepada Pengurus RT/RW di wilayah kerjanya tentang perubahan elemen data kependudukan tanpa menggunakan surat pengantar RT/RW pada Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 471/1768/SJ tanggal 12 Mei 2016 Perihal Percepatan Penerbitan KTP-el dan Akta Kelahiran, antara lain:
a) Perubahan status pernikahan dengan melampirkan fotokopi surat / akta nikah dan memperlihatkan aslinya.
b) Penghapusan data status perkawinan suami / istri karena cerai atau meninggal dunia dengan melampirkan surat / akta perceraian / kematian dan memperlihatkan aslinya.
c) Penambahan anggota keluarga karena kelahiran dengan melampirkan surat keterangan kelahiran dari dokter / bidan atau akta kelahiran.
d) Perubahan tingkat pendidikan dengan melampirkan fotokopi ijazah dan memperlihatkan aslinya.
e) Kecuali untuk perubahan elemen data kependudukan terhadap alamat, maka wajib disertai surat pengantar RT / RW dan Kelurahan / Kecamatan, Surat Keterangan Pindah dari pejabat yang berwenang serta persyaratan lain sesuai ketentuan.
2. Mengimbau kepada seluruh penduduk di wilayah kerjanya yang pada tanggal 1 Mei 2016 sudah berusia lebih dari 17 tahun atau sudah menikah dan tidak sedang menetap di luar negeri untuk wajib melakukan perekaman paling lambat tanggal 30 September 2016.
3. Bersama dengan Kepala Satuan Pelaksana PTSP Kecamatan dan Kelurahan menyediakan loket khusus untuk pelayanan bagi penduduk yang belum mendapatkan KTP-el pada kantor Kelurahan dan Kecamatan; dan
4. Dilarang memberikan syarat tambahan dalam pelayanan perekaman dan penerbitan KTP-el dan penerbitan Akta Kelahiran, misalnya dengan lunas pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), dan lain-lain.
KEDUA : Melaporkan hasil pelaksanaan Instruksi Gubernur ini kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah.
Instruksi Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 26 Juli 2016

Gubernur Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta

Basuki T. Purnama.
© SHIETRA & PARTNERS Copyright.