ARTIKEL HUKUM
Setelah berulang kali pejabat pengadilan, baik hakim hinga panitera, yang tentunya bersimbiosis dengan kalangan pengacara di Tanah Air, telah ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi dan dijerat pidana oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, tampaknya korupsi (tepatnya kolusi) yang terjadi di lembaga peradilan, adalah bersifat permanen, selama sistem hukum di Indonesia masih belum atau masih separuh hati menerapkan daya ikat preseden yang dipandang masih bernuansa “preseden tidak mengikat hakim saat kini karena hakim bersifat bebas dan independen”.
Justru karena sifat independen yang mutlak dan bebas itulah, menjadi celah pintu masuk kolusi. Kejahatan bukan hanya terjadi karena ada niat, tapi juga kesempatan. Kesempatan apakah yang dibuka menjadi “ruang bermain dan transaksional” dalam praktik peradilan di Tanah Air? Penulis dalam kesempatan lain telah berulang kali menjelaskan potensi bahaya dibalik konsep sifat bebas dan independensi hakim di Tanah Air. Berhubung masih hanya segelintir sarjana hukum di Indonesia yang memahami bahaya dibalik kebebasan seorang hakim, dalam kesempatan ini penulis akan mengulangi beberapa uraian perihal fungsi preseden terkait independensi hakim.
Sekadar perbandingan, di negara-negara Anglo Saxon, dengan sistem hukum Common Law, dimana hukum yang berlaku mutlak ialah “the binding force of precedent”, maka hakim sejatinya tidak bebas dalam memutus, namun terikat sepenuhnya oleh semacam “blangko” putusan. Ketika suatu perkara yang kini dihadapkan pada hakim di negara-negara Anglo Saxon, memiliki karakter kasuistik yang serupa dengan putusan dalam putusan hakim pendahulu mereka, maka sang hakim saat kini wajib menerapkan isi amar putusan serupa. Tidak kurang, tidak lebih.
Karena hakim-hakim di negara Anglo Saxon tidak bebas dan tidak independen, namun terikat oleh preseden, maka ketika sang hakim memutus menyimpang dari preseden yang ada, yang kemudian terjadi ialah: terlacak, dimana putusan yang menyimpang dari preseden sudah merupakan bukti konkret judicial corruption dimana sang hakim terancam di-“non palu”-kan. Alhasil, adalah percuma bila terdapat pengacara di negara Anglo Saxon yang hendak mencoba menyuap hakim, karena hakim tidak bebas dalam memutus, tapi sudah terikat oleh “blangko putusan” bernama preseden.
Sejatinya, Mahkamah Agung Republik Indonesia itu sendiri yang membuka celah lebar peluang atau ruang untuk “bermain dan bernegosiasi”. Betapa tidak, lembaga Mahkamah Agung RI kerap membuat putusan yang saling kontradiktif dan bahkan berdisparitas antar satu putusan dengan putusan lainnya, overlaping, bahkan saling tumpang-tindih dan bertolak-belakang meski diputus pada satu era yang sama dari hakim pada kamar yang sama.
Lebih ekstrim lain, para hakim dapat membuat putusan apapun, sekalipun menyimpang dari preseden, sekalipun menyimpang dari bunyi norma dalam peraturan perundang-undangan, bahkan menyimpangi dari putusan sebelumnya yang diputus diri pribadi sang hakim itu sendiri atas perkara serupa, tanpa ada teguran ataupun sanksi apapun dari lembaga Mahkamah Agung RI selaku pengawas dan kepala dari Lembaga Yudikatif RI.
Maka dari itu, bukanlah sebuah kabar burung, ketika disebutkan, bahwa setiap hakim selalu memiliki dua versi putusan yang saling bertolak-belakang satu sama lain atas suatu perkara yang dihadapkan kepadanya untuk diputus. Putusan versi manakah yang akan dipakai saat membacakan putusan, semua bergantung pada “pendekatan” dari para pihak yang saling bertikai. Apa yang kemudian akan diputuskan, tidak lain bergantung pada selera sang hakim, bukan lagi “hakim adalah corong dari undang-undang”—suatu jargon yang tidak pernah terjadi dalam praktiknya karena hakim diberi imunitas lewat “kebebasan” dan “independensinya”.
Putusan versi mana yang akan dipakai dan dibacakan saat membacakan amar putusan, bukankah merupakan sebuah pertanyaan yang sangat menggiurkan dan menggoda? Sejatinya, kekuasaan seorang hakim sungguh luar biasa, setidaknya di negara-negara dengan budaya hukum civil law seperti Indonesia yang tergabung dalam negara sistem hukum Eropa Kontinental. Hal tersebut diperkeruh oleh diberikannya kekuasaan absolut lebih besar lagi untuk berlaku korup (kolusi), lewat memberikan “mahkota” bagi setiap hakim sebagai “bebas” serta “independen”.
Di negara-negara Anglo Saxon, hakim hanyalah “corong preseden”. Sebaliknya, dengan sangat kontras, hakim-hakim di negara civil law legal system seperti Indonesia, mendudukkan seorang hakim sebagai “hukum itu sendiri”—mulut sang hakim adalah bunyi hukum itu sendiri, bukan undang-undang. Undang-undang selalu dapat diberikan sedikitnya dua penafsiran / interpretasi. Ingat, bahasa tertulis (undang-undang) tidak sempurna, dan tidak akan pernah sempurna. Selalu terbuka ruang untuk multitafsir. Tidak pernah ada bunyi pasal dalam undang-undang yang benar-benar “telah jelas”. Sejatinya setiap pasal dalam undang-undang adalah “pasal karet”.
Teks, sangat jauh dari sempurna, karena tidak melekatkan konteks dibalik setiap kaedah normanya. Sebaliknya, konteks yang menjadi ujung tombak preseden (di Indonesia dikenal juga dengan istilah “yurisprudensi”), memiliki karater yang demikian spesifik dan kasuistik, sehingga tertutup ruang interpretasi—selebihnya ialah perihal menentukan, apakah spesifikasi perkara dan kronologi kejadian serupa atau tidaknya dengan karakter perkara yang saat ini dihadapkan pada sang hakim untuk diputuskan.
Pengacara, di negara-negara Anglo Saxon merupakan profesi yang membanggakan. Mengapa? Karena daya prediktabilitas hukum dan praktik litigasi di negara-negara common law tersebut sangat tinggi—hakim tidak bebas dalam memutus, namun terikat oleh preseden. Hakim dengan demikian, sangat berintegritas, karena memang tidak akan mungkin lagi berlaku korup (kolusi) terkait kewenangan jabatannya. Kalangan konsultan hukum maupun pengacara di negara-negara Anglo Saxon, dapat memprediksi hasil amar putusan, bahkan sebelum gugatan atau tuntutan dimajukan ke persidangan. Adalah tidak salah, bila kalangan pengacara di negara-negara tersebut, menjanjikan kemenangan bila memang berbagai preseden yang ada lebih berpihak kepada kedudukan hukum permasalahan sang klien.
Akan tampak kontras, di Indonesia, profesi konsultan dan pengacara adalah dua profesi yang paling menyedihkan di Indonesia—dan sama sekali tidak berlebihan. Berkecimpung sebagai konsultan hukum ataupun pengacara di Tanah Air, sama artinya menjelma menjadi seorang “pen-ju-di” yang kerap “ber-ju-di”. Mengapa demikian?
Karena hakim “bebas” dan “independen” dalam memutus, tidak terikat oleh preseden apapun, maka pertanyaan terbesarnya: apa yang menjadi pegangan bagi pihak penggugat, tergugat, jaksa, maupun terdakwa? Hakim bebas, sebebas-bebasnya, bahkan bebas untuk menyimpangi undang-undang (putusan hakim di Indonesia kerap dijumpai putusan yang secara terang-terangan menyimpangi bunyi undang-undang yang sudah tampak jelas dan tegas).
Hakim di Indonesia juga “independen” dalam arti independen dari preseden ataupun yurisprudensi apapun—saking independennya, bahkan Ketua Mahkamah Agung RI pada awal tahun 2017 sempat melontarkan pernyataan ketika MA RI menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) yang menyebutkan bahwa hakim hanya mengakui hasil audit BPK, bukan BPKP, dengan berkilah bahwa hakim tidak terikat oleh SEMA sehingga hakim tetap boleh berpegang pada hasil temuan BPKP dalam menentukan ada atau tidaknya kerugian keuangan negara dalam kasus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Karena hakim demikian “bebas” dan “independen”, maka sama artinya hakim tidak lagi bebas dari anasir pengaruh transaksional dan politik. Siapa yang melakukan pendekatan dan transaksional, maka dirinyalah yang akan lebih condong dimenangkan dalam suatu sengketa, baik perdata maupun pidana. Bukan hanya kalangan hakim yang tergiur, kalangan pengacara pun, dengan demikian akan mudah untuk tergiur melakukan pendekatan (yang dalam istilah lapangan, sebagai “entertaint kepada sang hakim”). Ada gula, ada semut. Para spekulan pun bermunculan bak cendawan di musim penghujan.
Kebebasan dan independensi hakim di Indonesia itulah, yang kemudian mematikan fungsi preseden, sekaligus membuka ruang “nego” bagi para pihak yang saling bertikai lewat perantara peradilan. Artinya, pengadilan bukanlah lagi sarana sakral untuk mengadili, tapi siapa yang melakukan pendekatan, ialah yang akan dijadikan sebagai favoritisasi.
Ingat, hakim di Indonesia selalu memiliki dua versi putusan untuk perkara yang dihadapkan kepadanya disaat bersamaan. Inilah salah satu kelemahan utama mengajukan gugatan di Tanah Air maupun di negara-negara yang masih mengadopsi sistem hukum civil law. Sekalipun Anda benar dan menjadi korban, bukan berarti Anda dengan sendirinya akan dapat dipastikan menang dalam gugatan.
Mengapa Komisi Pemberantasan Korupsi hanya dapat melakukan aksi Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap pejabat peradilan hanya ketika ada bukti rekaman penyadapan upaya kolusi di tubuh peradilan? Karena KPK tidak bisa melacak hakim, adalah korup atau tidaknya, lewat kualitas pertimbangan hukum dan amar putusan seorang hakim.
Mengapa? Karena hakim di Indonesia tidak terikat oleh preseden apapun, tidak juga terikat oleh SEMA, bahkan juga tidak terikat bunyi norma dalam undang-undang. Hakim bebas dan “independen” sepenuhnya. Belum pernah ada kasus seorang hakim di Indonesia mendapat sanksi teguran karena melanggar preseden ataupun norma kaedah undang-undang saat memutus (lihat kasus putusan hakim Sarpin saat menjabat sebagai hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan saat memutuskan perkara praperadilan Budi Gunawan Vs. KPK).
Sebaliknya, di negara-negara Anglo Saxon, menjerat hakim korup sangatlah mudah. Cukup dilakukan cross examination terhadap berbagai putusan sang hakim, apakah telah sesuai yang digariskan oleh preseden yang ada, ataukah justru menyimpang? Ketika sang hakim memutus menyimpang dari preseden, maka itulah salah satu alat bukti tak terbantahkan, bahwa telah terjadi judicial corruption. Hakim bersangkutan tidak mungkin berkilah atau mencoba mengelak, karena sejatinya preseden berlaku mutlak di negara-negara Anglo Saxon. Kasus yang menjerat Patrialis Akbar, bila terjadi di Amerika Serikat, sangat mudah untuk diketahui telah terjadi praktik kolusi tanpa harus ada rekaman penyadapan sekalipun, cukup dengan membenturkannya dengan preseden putusan Mahkamah Konstitusi RI sebelumnya yang menyatakan bahwa perihal importasi hewan ternak adalah bersifat maximum security, namun kemudian oleh Patrialis Akbar beserta delapan hakim MK RI lainnya dengan suara bulat mengesampingkan preseden tersebut menjadi importasi hewan ternak menjadi bersifat relative security. Penulis tidak memiliki bukti rekaman penyadapan apapun, namun dapat dikatakan, itulah salah satu bukti circumstansial evidence bahwa sembilan hakim MK RI era Patrialis Akbar, korup berjemaah, bila memakai sudut pandang sistem hukum Anglo Saxon dimana preseden adalah mengikat hakim.
Singkat kata, selama fungsi dan peran preseden masih di-“anak-tirikan” dalam praktik peradilan di Indonesia, maka selamanya akan membuka ruang bermain bagi hakim-hakim korup (kolusi) yang bersimbiosis terhadap makelar kasus dan para spekulan yang hendak menjual-belikan amar putusan. Hukum menjelma menjadi demikian transaksional, sekaligus “menggiurkan”.
Sering penulis jumpai, kalangan sarjana hukum di Tanah Air, memberikan respon berupa melecahkan pernyataan penulis, bahwa hukum adalah ilmu tentang prediksi, dengan berkomentar: “Saya belasan tahun telah menggugat, tidak pernah pakai prediksi-prediksian segala.”
Cobalah para pembaca renungkan, apakah Anda akan menaiki pesawat, bila otoritas bandara tidak pernah menggunakan instrumen pengamatan dan prediksi cuara hasil pemantauan menara pemantau cuara? Sama halnya, menggantungkan nasib Anda di tangan seorang spekulan, yang “ber-ju-di” di meja hijau peradilan, tanpa pernah mau mengakui fungsi preseden, sama artinya menjadikan sang klien sebagai “kelinci percobaan”.
Lagipula, apakah Anda benar-benar berniat menggantungkan nasib Anda di tangan seorang hakim yang dapat dibeli “selera”-nya, mengingat hakim tidak terikat oleh preseden apapun? Mungkin saja secara undang-undang, pihak Anda adalah korban yang berpotensi dan berpeluang besar dimenangkan.
Namun sekali lagi, hakim “bebas” dan “independen”. Jika sang hakim hendak memutus menyimpang dari bunyi pasal dalam undang-undang, bahkan seorang Ketua Mahkamah Agung RI sekalipun tidak akan mampu memberi teguran, terlebih memberi sanksi bagi sang hakim. Mereka yang berkecimpung dibidang hukum di Tanah Air, semetinya merasa malu setelah membaca artikel singkat ini yang mengupas wajah sebenarnya dari praktik peradilan di Tanah Air—tanpa lagi dapat terbantahkan.
© SHIETRA & PARTNERS Copyright.