LEGAL OPINION
Question: Kalau ternyata pas di PHI, amar putusannya perusahaan dihukum untuk pekerjakan kembali karyawan, maka apa bisa, karyawan bersangkutan minta kasasi ke Mahkamah Agung, agar putusan dikoreksi menjadi PHK dengan kompensasi pesangon?
Brief Answer: Itulah sebabnya, memahami apa yang menjadi keinginan pihak Pekerja perlu dirumuskan secara matang sejak awal penyusunan pokok permintaan dalam gugatan (petitum). Perlu diingat, ketidaksempurnaan dalil dan kronologi masih dapat ditolerir lewat membuat pokok permasalahan (posita) yang lebih jelas dalam surat memori permohonan kasasi.
Khusus untuk petitum, petitum yang telah diajukan saat mengajukan gugatan ke pengadilan, sifatnya ialah mengikat hakim, karena hakim tidak diperkenankan memutus melebihi dari apa yang diminta (non ultra petitum), meski dilekati permintaan subsidair “ex aequo et bono”.
Mengingat petitum sifatnya dapat menyandera pihak Penggugat itu sendiri, maka perlu dipertimbangkan secara cermat dan matang, apakah memilih agar pengadilan memerintahkan Pengusaha untuk mempekerjakan kembali Pekerjanya, ataukah agar Pengusaha membayar sejumlah pesangon serta hak-hak normatif Pekerja yang menggugat.
Pada dasarnya, tiada satupun pihak Pengusaha yang akan menerima kembali seorang Pekerja, dengan tangan terbuka, setelah berhadapan di ‘meja hijau’. Potensi ‘perang dingin’ inilah yang menjadi biaya terbesar bila Pekerja memilih untuk menyusun petitum “agar dipekerjakan kembali”.
Bagaikan sanksi embargo bagi negara-negara lain yang terlibat sengketa geopolitik, dimana sanksi embargo sendiri merupakan sanksi secara sosial dan politik. Begitupula dalam sendi-sendi pergaulan sosial hubungan industrial, dimana kalangan Pengusaha acapkali menggunakan cara-cara atau pendekatan tekanan sosial dan politis bagi Pekerja yang tidak disukainya.
Perlu juga untuk dipahami, jika kemudian terjadi sengketa lagi pasca dipekerjakan kembali, apakah sang Pekerja masih berhak mengajukan gugatan kembali? Resiko potensi gugatan dinyatakan “nebis in idem”, tetap terbuka kemungkinan terjadi.
Disharmoni tampak tidak kentara, ketika “rantai komando” sangat berjenjang, semisal antara manajemen terhadap seorang pekerja yang menangani proses produksi di sebuah pabrik yang berlainan lokasi dengan kantor manajemen. Akan tetapi ketika “rantai komando” sifatnya demikian dekat, maka “perang dingin” dan tekanan sosial serta politis akan sangat terasa.
PEMBAHASAN:
Ilustrasi konkret berikut menjadi rujukan SHIETRA & PARTNERS, sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 841 K/Pdt.Sus-PHI/2015 tanggal 18 Februari 2016, perkara antara:
- DARYATI, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Penggugat; melawan
- PT. NATINDO ADI RAYA, selaku Termohon Kasasi dahulu Tergugat.
Perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.
Perselisihan PHK antara Penggugat dan Terggugat, telah diupayakan penyelesaiannya secara bipartit, namun tidak ada titik temu, sehingga selanjutnya ditempuh mediasi pada Dinas Ketenagakerjaan Kota Tangerang. Kemudian Mediator Hubungan Industrial menerbitkan Anjuran tertulis, yang pada amarnya menganjurkan:
“MENGANJURKAN
1. Hubungan kerja antara perusahaan PT. Natindo Adi Raya dengan pekerja Sdri Daryati masih dapat berlanjut;
2. Agar pengusaha mempekerjakan kembali Sdri Daryati dengan diberikan pembinaan berupa surat peringatan (SP);
3. Agar perusahaan PT. Natindo Adi Raya setelah menerima anjuran ini memanggil pekerja Sdri Daryati untuk bekerja kembali;
4. Agar pekerja Sdri Daryati setelah menerima surat anjuran segera melapor ke perusahaan PT. Natindo Adi Raya untuk bekerja kembali;
5. Agar kedua belah pihak tetap melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.”
Penggugat menyetujui isi anjuran, akan tetapi Tergugat menolak untuk menjalankan anjuran tersebut. Merujuk pada kaedah Pasal 82 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004:
“Gugatan oleh pekerja/buruh atas pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 dan Pasal 171 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 (satu) tahun sejak diterimanya atau diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha.”
Sementara itu substansi norma Pasal 171 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003:
“Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), dan Pasal 162, dan pekerja/buruh yang bersangkutan tidak dapat menerima pemutusan hubungan kerja tersebut, maka pekerja/buruh dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal dilakukan pemutusan hubungan kerjanya.”
Pasal 160 ayat (3) berkaitan dengan PHK yang timbul karena menjalani proses pidana lebih dari 6 bulan. Sedangkan, Pasal 162 berkaitan dengan PHK karena alasan mengundurkan diri—itulah sebabnya, pengunduran diri masih dapat dipersengketakan oleh Pekerja yang sebelumnya telah mengundurkan diri.
Penggugat bekerja sebagai operator pada bagian Quality Control (QC). Tugasnya adalah memastikan barang yang akan dikirim ke customer dalam kondisi baik. Penggugat memiliki atasan kerja, yang mana dalam menjalankan dan mengambil tindakan atas pekerjaan selalu berdasarkan perintah dan persetujuan dari atasannya.
Perselisihan bermula ketika pada tanggal 21 Januari 2013, Tergugat melakukan PHK terhadap Penggugat. Adapun alasan Tergugat melakukan PHK terhadap Penggugat adalah karena Penggugat melakukan pelanggaran kerja. Yang dimaksud pelanggaran oleh Tergugat adalah berkaitan dengan adanya barang NH.36B.03 Black yang partisinya tebal ikut terkirim ke pelanggan.
Oleh Tergugat, Penggugat dianggap sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas terkirimnya barang yang tidak memenuhi standard tersebut kepada pembeli. Akan tetapi Penggugat menolak tuduhan demikian.
Apa yang dilakukan Penggugat adalah dalam rangka menjalankan perintah atasan, sehingga tidak dapat dimaknai sebagai melakukan kesalahan. Penggugat menolak PHK, didasarkan pada fakta sebagai berikut:
a. pada tanggal 7 Januari 2013, Penggugat mengecek barang NH.36.B.03 Black. Saat itu Penggugat mendapati barang bergelembung dan partisinya terbal. Terhadap hal ini, kemudian Penggugat melaporkan kepada atasannya;
b. selain kepada sang atasan, Penggugat juga menyampaikan hal yang sama kepada atasan yang lain. Selanjutnya, Penggugat diminta untuk menghentikan mesin. Setelah mesin berhenti, Penggugat memberi keterangan di palet yang partisinya tebal tersebut dengan tulisan: ”Partisine Ora Standard” (partisinya tidak standard);
c. pada tanggal 8 Januari 2013, sang atasan mengambil 1 pcs dari palet yang oleh Penggugat sudah diberi tulisan ”partisine ora standart”. Setelah dilakukan pengecekan, sang atasan mengatakan kepada Penggugat jika barang tersebut bisa diloloskan. Setelah mendapatkan persetujuan inilah, Penggugat meloloskan barang dimaksud.
Penggugat merasa di-‘kambing-hitam’-kan. Meski Penggugat telah melaporkan adanya partisi yang tebal, namun koordinasi dengan atasan menghasilkan keputusan di tangan sang atasan, bukan lagi tanggung jawab Penggugat untuk memutuskan.
Diloloskannya barang ke pembeli, bukan atas keinginan Penggugat, tetapi atas perintah dari atasan Penggugat. Lagi pula, sebagai operator biasa, Penggugat tidak memiliki kewenangan untuk mengirim barang tersebut ke pembeli.
Tidak adanya upaya yang sungguh-sungguh dari Tergugat untuk menghindari terjadinya PHK, terbukti dengan tidak ada teguran atau surat peringatan terlebih dahulu yang diberikan oleh Tergugat kepada Penggugat sebelum dilakukan pemutusan hubungan kerja. Bahkan, atasan yang memerintahkan agar barang tersebut diloloskan seperti “lepas tangan”, sehingga dalam hal ini Penggugat merasa dikorbankan.
Penggugat sudah bekerja di perusahaan Tergugat selama 14 (empat belas) tahun lamanya. Selama 14 tahun bekerja, Penggugat tidak pernah melakukan pelanggaran serius selama bekerja di perusahaan Tergugat. Sesuai dengan pendapat mediator Disnaker, disebutkan bahwa jika menilai dari kejadian tersebut, apa yang dituduhkan kepada Penggugat sebenarnya kesalahan bukan sepenuhnya ada pada Penggugat dimana Penggugat sendiri sudah melaporkan kepada atasannya dan melakukan pekerjaannya atas perintah atasan bukan atas kemauannya sendiri.
Perhatikan apa yang menjadi pokok permintaan dalam gugatan Penggugat, antara lain agar pengadilan memutuskan:
2. Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat tidak pernah putus;
3. Memerintahkan Tergugat untuk mempekerjakan kembali Penggugat di PT. Natindo Adi Raya.”
Terhadap gugatan sang Pekerja dan gugatan balik pihak Pengusaha, Pengadilan Hubungan Industrial Serang kemudian menjatuhkan putusan Nomor 73/Pdt.Sus-PHI/2014/PN.Srg, tanggal 7 April 2015, dengan pertimbangan serta amar sebagai berikut:
“Berdasarkan hal tersebut, maka PHK yang dilakukan oleh Tergugat terhadap Penggugat haruslah dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum, dan oleh karenanya maka hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat masih berlanjut;
“Menimbang, ... petitum ketiga Penggugat dapat dikabulkan dengan mempekerjakan kembali Penggugat dengan memberikan surat peringatan sebagai bentuk pembinaan;
“MENGADILI :
DALAM KONVENSI
DALAM POKOK PERKARA
1. Mengabulkan gugatan konpensi untuk sebagian;
2. Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat tidak pernah putus;
3. Memerintahkan Tergugat untuk mempekerjakan kembali Penggugat, dengan memberikan surat peringatan sebagai bentuk pembinaan;
4. Menghukum Tergugat untuk membayar THR Keagamaan Penggugat Tahun 2013 dan Tahun 2014, sejumlah Rp4.647.301,00 (empat juta enam ratus empat puluh tujuh ribu tiga ratus satu rupiah);
5. Menolak gugatan konvensi untuk selain dan selebihnya;
DALAM REKONVENSI
DALAM POKOK PERKARA
1. Mengabulkan gugatan rekonvensi untuk sebagian;
2. Menyatakan Tergugat Rekonvensi bersalah telah melakukan pelanggaran yang merugikan perusahaan;
3. Menolak gugatan rekonvensi untuk selain dan selebihnya.”
Meski senyatanya gugatan dikabulkan, sang Pekerja justru kemudian mengajukan upaya hukum kasasi, meminta agar dirinya diberikan pesangon saja alih-alih dipekerjakan kembali, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“Bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 7 Mei 2015 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Serang tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa putusan Judex Facti mempekerjakan kembali telah tepat dan benar karena dalam memorinya Pemohon Kasasi menghendaki bekerja kembali, dan Termohon Kasasi tidak pula mengajukan kontra memori kasasi untuk menolak mempekerjakan kembali;
- Bahwa Pekerja/Pemohon Kasasi tidak berhak atas upah selama tidak bekerja, karena tidak ada bukti sewaktu perselisihan berlangsung berkehendak melaksanakan pekerjaan sesuai ketentuan Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, sehingga berlaku ketentuan no work no pay, Pasal 93 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata bahwa Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Serang dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: DARYATI tersebut harus ditolak;
“M E N G A D I L I :
“Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : DARYATI tersebut; Membebankan biaya perkara kepada Negara.”
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.