Hanya Separuh Hak Tagih yang Diakui Pengurus, Resiko PKPU

LEGAL OPINION
Question: Kebetulan kami adalah kreditor yang jumlah piutangnya paling besar ketimbang kreditor-kreditor lain yang rencananya dalam waktu dekat akan mengajukan tagihan dalam rapat pencocokan piutang atas keadaan PKPU debitor. Apa saja resiko yang perlu dimitigasi?
Brief Answer: Pernah terjadi, salah satu resiko terbesar saat proses verifikasi piutang yang dilakukan oleh Pengurus debitor PKPU, ialah hanya diakuinya separuh kecil dari seluruh jumlah klaim piutang yang diajukan oleh kreditor.
Untuk itu, dokumentasi alat bukti hubungan dan jumlah besaran nominal hutang-piutang, menjadi prasyarat mutlak untuk mengajukan keberatan ke hadapan Pengadilan Niaga ketika Pengurus menolak sebagian besar klaim hak tagih kreditor yang menghadap dalam rapat pencocokan hutang-piutang.
Dampak kedua, ketika hanya separuh kecil klaim piutang yang diakui Pengurus, maka kekuatan suara sang kreditor saat mengadakan voting atas rencana perdamaian yang diajukan sang debitor, akan tampak menjelma minoritas dibanding jumlah suara para kreditor lain.
PEMBAHASAN:
Salah satu kasusnya dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan dari putusan Mahkamah Agung RI perkara keberatan atas proses voting homologasi terkait pencocokan piutang dalam PKPU register Nomor 707 K/Pdt.Sus-Pailit/2015 tanggal 12 Mei 2016, antara:
- PT. BANK NEGARA INDONESIA (PERSERO) Tbk., sebagai Pemohon Kasasi, semula selaku Kreditor Lain; melawan
- 1. TIM PENGURUS PT. KUSUMAPUTRA SANTOSA; 2. PT. KUSUMAPUTRA SANTOSA, selaku Termohon Kasasi I, II dahulu Kurator dan Termohon PKPU; dan
- PT. AGANSA PIMATAMA, selaku Turut Termohon Kasasi dahulu Pemohon PKPU.
Bermula saat PT. Kusumaputra Santosa jatuh dalam keadaan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) berdasarkan putusan Pengadilan Niaga No. 05/Pdt.Sus-PKPU/2014/PN.Niaga.Smg, sehingga Tim Pengurus kemudian melaksanakan agenda Rapat Kreditor sekaligus Rapat Pemungutan Suara (voting) Rencana Perdamaian yang diajukan oleh sang debitor.
Adapun tanggapan dari PT. Bank Negara Indonesia, selaku salah satu Kreditor Separatis, adalah keberatan terhadap proposal perdamaian dikarenakan jumlah tagihan yang diakui dan juga dijadikan dasar bagi proposal perdamaian, tidak sesuai dengan tagihan yang diajukan pertama kali oleh pihak PT. Bank Negara Indonesia.
Hakim Pengawas kemudian mengambil sikap untuk memulai voting tentang Rencana Perdamaian dikarenakan seluruh Debitur dan para Kreditur telah menyampaikan tanggapannya atas rencana perdamaian yang telah diajukan oleh Debitur.
Terhadap rencana perdamaian tersebut, selanjutnya Pengadilan Niaga Semarang menjatuhkan putusan Nomor 05/Pdt.Sus-PKPU/2014/PN Niaga.Smg., tanggal 9 Februari 2015, dengan pertimbangan serta amar sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa dalam hubungan ini debitor telah ternyata mengajukan rencana perdamaian kepada pihak kreditornya, untuk mendapatkan persetujuan;
“Menimbang, bahwa rencana perdamaian yang diajukan oleh Pemohon/debitor a quo, telah mendapatkan persetujuan dengan presentase 24% (dua puluh empat persen) dari para kreditornya sebagaimana ternyata pada hasil voting yang dipimpin oleh Hakim Pengawas pada tanggal 26 Januari 2015;
“Menimbang, bahwa atas dasar mayoritas kreditor menerima rencana perdamaian, maka status rencana perdamaian berubah menjadi perjanjian perdamaian;
“Menimbang, bahwa perjanjian perdamaian yang diterima oleh mayoritas kreditor, dan telah ternyata ditandatangani oleh mayoritas kreditor, debitor dan diketahui oleh Hakim Pengawas dan Tim Pengurus, adalah perjanjian perdamaian tanggal 3 Februari 2015, yang isinya terlampir dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari uraian pertimbangan putusan ini;
“Menimbang, bahwa berpedoman ketentuan Pasal 285 ayat (1) Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU tersebut, oleh karena ternyata mayoritas kreditor menerima rencana perdamaian yang diajukan oleh debitor, maka pengadilan wajib memberikan pengesahan perdamaian disertai alasan-alasannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (3);
“Menimbang, bahwa Kreditor separatis PT. Bank Negara Indonesia (Persero), Tbk. melalui kuasa hukumnya telah mengajukan keberatan terhadap jumlah piutang/tagihan PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. yang ditetapkan oleh pengurus PT. Kusumaputra Sentosa (dalam PKPU) dalam perkara Nomor 05/Pdt.sus-PKPU/2014/PN.Niaga.Smg. Bahwa tagihan yang diakui adalah sebesar Rp55.927.162.900,00 dan yang dibantah sebesar Rp246.927.313.053,00;
“Menimbang, bahwa alasan yang dikemukakan oleh kreditor separatis dalam hubungannya dengan alasan penolakan pengadilan untuk mengesahkan perjanjian perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 285 ayat (2) huruf a, b, c dan d Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, ternyata dalam persidangan tidak mendalilkan hal-hal tersebut, dengan bukti-bukti yang cukup sekalipun telah diberikan kesempatan untuk itu;
“Menimbang, bahwa oleh karena ternyata tidak terdapat alasan yang kuat untuk menyatakan menolak mengesahkan perjanjian perdamaian, Pengadilan wajib memberikan putusan mengenai pengesahan perdamaian a quo;
MENGADILI :
I. Menyatakan sah perjanjian perdamaian tanggal 3 Februari 2015 yang telah disepakati oleh debitor, dengan para kreditornya yang terdiri dari: [Note SHIETRA & PARTNERS: Perhatikan, Bank BNI tidak tunduk dan tidak terikat pada putusan homologasi ini, karena tidak tercantum namanya dalam amar dibawah ini.]
1. PT. Agansa Primatama;
2. Koperasi Karyawan Kusumaputra Santosa;
3. PT. Kusuma Dewa Santosa;
4. PT. Pamor Spinning Mills;
5. Sinoasi Holding Limited;
II. Menghukum debitor dan para kreditor untuk mentaati perjanjian perdamaian yang telah disahkan;
III. Menyatakan imbalan jasa tim pengurus akan ditetapkan kemudian.”
Bank BNI mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan bahwa Pengadilan Niaga telah keliru menerapkan hukum berkaitan dengan ketentuan Pasal 281 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, dimana menurut Majelis Hakim rencana perdamaian dapat diterima apabila disetujui oleh mayoritas kreditor.
Pertimbangan hukum Pengadilan Niaga, dinilai keliru, karena hanya mengakui separuh kecil dari total klaim piutang Bank BNI, mengakibatkan kekuatan suara Bank BNI menjadi tampak kecil proporsionalnya bila dibanding dengan suara para kreditor lain.
Bank BNI merujuk pula kaedah Pasal 281 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU sebagai berikut:
“Rencana perdamaian dapat diterima berdasarkan:
a. Persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah kreditor konkuren yang haknya diakui atau sementara diakui yang hadir pada rapat kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 268 termasuk kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280, yang bersama-sama mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari seluruh tagihan yang diakui atau sementara diakui dari kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut; dan
b. Persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah kreditor yang piutangnya dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 (dua per tiga) bagian dari seluruh tagihan dari kreditor tersebut atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut.”
Persyaratan diatas, merupakan syarat kumulatif sekaligus mutlak. Saat pelaksanaan Rapat Pemungutan Suara, jumlah kreditor separatis yang hadir dan berhak mengeluarkan suara, ada dua kreditor, yaitu Bank BNI dan Sinoasia Holding Limited. Bank BNI secara tegas menolak rencana perdamaian, disampaikan secara langsung dalam rapat sedangkan Sinoasia Holding Limited menyetujui rencana perdamaian.
Dengan ditolaknya rencana perdamaian oleh Bank BNI, maka syarat rencana perdamaian dapat diterima berdasarkan persetujuan lebih dari ½ (satu perdua) jumlah kreditor separatis yang hadir, menjadi tidak terpenuhi, sehingga dengan sendirinya syarat untuk dapat diterimanya suatu rencana perdamaian sebagaimana diatur dan ditentukan dalam Pasal 281 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, juga tidak terpenuhi.
Sebelum rapat kreditor untuk voting dilaksanakan, Bank BNI dengan tegas menyatakan keberatan ketika tagihan Bank BNI hanya diakui sebesar Rp55.927.162.900,00 dari total tagihan sebesar Rp302.854.475.953,00 sehingga tagihan yang dibantah oleh pihak Pengurus adalah sebesar Rp246.927.313.053,00 sehingga terdapat perbedaan jumlah yang sangat siginifikan. Karena itu, Bank BNI sempat meminta agar rencana voting ditunda, karena sesuai dengan ketentuan Pasal 228 Ayat (6) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, jangka waktu PKPU dapat diberikan paling lama 270 hari, meski faktanya jangka waktu PKPU (sementara) yang sudah berjalan baru 42 hari, akan tetapi permintaan Bank BNI secara langsung ditolak oleh para kreditor lain maupun oleh Pengurus dan Hakim Pengawas.
Penetapan jumlah tagihan yang diakui dan ditolak oleh Pengurus, dimana jumlah tagihan Bank BNI yang diakui sangat kecil, yakni hanya sebesar 18,4% dari total tagihan yang Bank BNI ajukan.
Adapun bukti-bukti atau dokumen-dokumen yang Bank BNI sampaikan untuk membuktikan jumlah tagihan, yakni berupa puluhan Dokumen Kredit—yang anehnya, sebagian besar berupa dokumen kreditor “dibawah tangan”, sehingga memang diluar kewajaran praktik kebiasaan kalangan perbankan dalam menyalurkan kredit dengan akta kredit “dibawah tangan”.
Dalam rapat pencocokan piutang, masing-masing kreditor telah menyampaikan jumlah tagihan, dimana terhadap tagihan-tagihan tersebut hanya tagihan dari Bank BNI yang sebagian besar dibantah, sedangkan tagihan para kreditor lain yang jumlahnya signifikan langsung diakui keseluruhannya oleh sang debitor.
Terhadap tagihan-tagihan dari kreditor selain dari Bank BNI, sang debitor menyatakan mengakui dan menerima seluruh tagihan tersebut, sedangkan untuk tagihan Bank BNI, hanya diakui sebesar Rp36.637.043.101,00.
Menurut sang debitor, jumlah hutang sebesar Rp36.637.043.101,00 diperoleh dari hasil konversi mata uang pinjaman yang dilakukan sendiri oleh sang debitor, dasar perhitungan tersebut sama sekali tidak dapat dipertanggung-jawabkan, karena konversi dilakukan sendiri oleh sang debitor tanpa adanya kesekapakan dan/atau persetujuan dari Bank BNI. Jumlah nominal hak tagih tersebut berimbas kepada hak jumlah suara yang dihitung untuk voting.
Bank BNI sempat mengajukan permintaan kepada Pengurus dan Hakim Pengawas, agar pelaksanaan voting dapat ditunda terlebih dahulu sampai ada penyelesaian terkait adanya perbedaan jumlah tagihan yang sangat signifikan, permintaan mana sangat rasional karena sesuai ketentuan Undang-Undang, jangka waktu PKPU dapat berlangsung paling lama 270 hari, namun permintaan tersebut ditolak seketika itu juga oleh Pengurus, sang debitor, serta para kreditor lainnya.
Pada hari yang bersamaan setelah dikeluarkannya DPT, agenda rapat langsung membahas mengenai proposal perdamaian yang ditawarkan oleh sang debitor. Kemudian jika melihat dari tagihan yang diajukan oleh Sinoasia Holidng Limited dan diakui seluruhnya oleh sang debitor, yaitu sebesar Rp181.700.741.133,00 dengan sifat separatis dan Rp155.966.301.384,00 dengan sifat konkuren, dengan total sebesar Rp337.667.042.517,00 dalam proposal perdamaian hanya akan dibayar sebesar 20% dari pokok utang, dan dalam hal ini Sinosia Holding Limited tanpa mengajukan keberatan sedikipun langsung menyetujui tawaran tersebut, walaupun dalam hal ini Sinosia Holding Limited adalah kreditor separatis yang telah dijamin dengan hak kebendaan.
Ditengarai, perdamaian yang dicapai dalam proses PKPU dicapai karena adanya persekongkolan dan karena pemakaian upaya lain yang tidak jujur, yang melibatkan Pengurus, sang debitor, dan para kreditur lainnya dalam menjatuhkan putusan homologasi.
Dengan demikian Bank BNI meminta agar Mahkamah Agung berkenan membatalkan putusan homologasi dan selanjutnya menyatakan sang debitor jatuh pailit beserta segala akibat hukumnya. Pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Niaga Semarang yang menyatakan Rencana Perdamaian dapat disahkan menjadi perjanjian perdamaian karena mayoritas kreditor telah setuju terhadap proposal perdamaian tersebut, adalah keliru, karena Bank BNI sebagai salah satu dari dua kreditur separatis, telah menolak rencana perdamaian yang diajukan oleh debitor, sehingga syarat rencana perdamaian dapat diterima berdasarkan persetujuan lebih dari ½ jumlah kreditor separatis yang hadir, tidak pernah terpenuhi.
Dimana terhadapnya, meski argumentasi yuridis Bank BNI adalah dapat dibenarkan, namun secara antiklimaks, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara seksama memori kasasi tanggal 16 Februari 2015 dan kontra memori kasasi masing-masing tanggal 25 Maret 2015 dan 26 Februari 2015 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti dalam hal ini Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi dahulu Pemohon secara formil dapat diterima;
- Bahwa akan tetapi permohonan tersebut tidak dapat dibenarkan, karena sesuai hasil penelitian Hakim Pengawas jumlah tagihan Pemohon yang dibenarkan telah sesuai dengan bukti-bukti pendukung, sedangkan selebihnya tidak dikuatkan dengan bukti yang cukup;
- Sehingga tidak ditemukan adanya kekeliruan dalam penerapan hukum oleh Judex Facti (Pengadilan Niaga);
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PT. BANK NEGARA INDONESIA (PERSERO), Tbk. tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.