LEGAL OPINION
Question: Yang disebut dengan kolusi, artinya kan ada kaitan dengan posisi atau kekuasaan seorang pejabat, bukan begitu? Jadi ngak mungkin kan, sipil bisa kena pasal kolusi undang-undang Tipikor (tindak pidana korupsi)?
Brief Answer: Bila melihat dari praktik peradilan Tipikor, tampaknya begitu. Meski, bila ditilik dari segi falsafah, tidak selamanya pasal perihal “kolusi” hanya menjadi monopoli beban bagi Aparatur Sipil Negera (ASN). Sebagai contoh, seluruh peserta tender pengadaan jasa dan barang, saling bersekongkol agar peserta tender tertentu yang dapat keluar sebagai pemenang.
Dalam konteks demikian, sipil peserta tender yang saling berkolusi, sejatinya memiliki kekuasaan, namun disalahgunakan, dan itulah esensi dari “kolusi”, sehingga tidak selamanya identik dengan jabatan dalam struktur pemerintahan.
PEMBAHASAN:
Meski demikian, dalam praktik, tampaknya kalangan sipil hanya memungkinkan dikenakan pasal “korupsi”, sementara kalangan ASN dikualifikasi dengan pasal “kolusi”. Dual system pemidanaan ini akan tampak lebih jelas ketika kita merujuk pada putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Surabaya perkara Tipikor register Nomor 213/Pid.Sus/2015/PN.Sby tanggal 15 Januari 2016, bermula ketika Terdakwa GATOT SOENYOTO, tidak mengendalikan pelaksanaan kontrak sesuai dengan tugas dan kewenangannya selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), dimana Terdakwa seharusnya melakukan check dan recheck untuk menjamin bahwa kualitas dan kuantitas pengadaan barang/jasa telah sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan dalam kontrak, sehingga membuat BAMBANG MULYONO (Direktur CV. Usaha Mandiri) selaku pelaksana pengadaan jasa Kegiatan Pelatihan Ketrampilan Alternatif Kelompok Masyarakat untuk Berwirausaha, dengan leluasa tidak melaksanakan pekerjaan sesuai dengan spesifikasi teknis sebagaimana dalam Kontrak.
Demikian pula dengan HARJANI, AMIN WAHJOE BAGIO, dan ANGGORO DIANTO yang tidak melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya selaku Panitia / Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP) dengan baik dan benar, dimana PPHP tersebut hanya melakukan pengawasan / pemantauan pelaksanaan pekerjaan sebanyak 3 kali, sehingga BAMBANG MULYONO (Direktur CV. Usaha Mandiri) selaku pelaksana kegiatan dengan leluasa tidak melaksanakan pekerjaan sesuai dengan spesifikasi teknis dalam kontrak.
PPHP hanya mendasarkan pada daftar hadir Peserta Pelatihan Angkatan I s/d XIV yang ditunjukkan oleh BAMBANG MULYONO, dan langsung menyatakan pekerjaan sudah sesuai dengan Rencana Kerja dan Syarat-syarat Pekerjaan (RKS), serta menyatakan bahwa pekerjaan telah mencapai 100%, dan langsung menerima hasil pekerjaan tanpa melakukan klarifikasi kebenaran Daftar Hadir Peserta Pelatihan Automotif angkatan I s/d XIV tahun 2013 tersebut.
Kegiatan Pelatihan Ketrampilan Alternatif Kelompok Masyarakat untuk Berwirausaha berupa Pelatihan Automotif Mekanik Sepeda Motor pada Dinas Tenaga Kerja Kota Surabaya Tahun Anggaran 2013, dilaksanakan tidak sesuai dengan spesifikasi teknis pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Kontrak, dan dalam kenyataannya terdapat 100 orang peserta fiktif, namun BAMBANG MULYONO tetap mengajukan permintaan pembayaran 100% atau sebesar Rp. 882.000.000,-.
Sekalipun GATOT SOENYOTO selaku PPK tidak melaksanakan tupoksinya dengan baik dan benar, namun ia tetap menandatangani semua dokumen-dokumen pendukung dan memproses tagihan 100 % dari BAMBANG MULYONO, meski setelah dilampirkannya Laporan Pertanggungjawaban Kegiatan oleh CV. Usaha Mandiri.
Akibat perbuatan orang-orang tersebut diatas, maka berdasarkan Laporan Hasil Audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Perwakilan Provinsi Jawa Timur, diketahui bahwa kerugian Negara mencapai Rp. 672.988.000,-.
Yang unik, terdapat uang titipan dari BAMBANG MULYONO pada Kejaksaan Negeri Tanjung Perak sebesar Rp. 300.000.000,- yang dimaksudkan sebagai pembayaran atas sebagian kerugian negara yang timbul. Dalam perkara ini Terdakwa didakwa dengan dakwaan subsidairitas yaitu melakukan tindak pidana korupsi, yakni:
Primair: Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP;
Subsidair: Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP;
Lebih Subsidair: Pasal 9 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Dimana terhadap tuntutan Jaksa, Majelis Hakim membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa oleh karena surat dakwaan disusun secara subsidairitas, maka Majelis terlebih dahulu akan mengkaji dan mempertimbangkan dakwaan Primair yaitu Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, apakah Terdakwa GATOT SOENYOTO, SH, M.Hum in casu telah memenuhi unsur-unsur pasal sebagaimana dakwaan Penuntut Umum;
“Menimbang, bahwa ketentuan yang termaktub dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang didakwakan dalam dakwaan Primer rumusannya berbunyi :
‘Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).’
“Menimbang, bahwa rumusan yang termaktub dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut unsurnya meliputi:
1. Unsur ‘Setiap orang’;
2. Unsur ‘secara melawan hukum’;
3. Unsur ‘melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi’;
4. Unsur ‘yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara’;
Ad. 1. Unsur ‘Setiap orang’;
“Menimbang, bahwa pengertian setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi. Orang perseorangan berarti orang secara individu atau dalam konstruksi biologis disebut manusia dan lazimnya dalam konstruksi hukum dikenal dengan natuurlijke person.
“Dalam bahasa KUHP ‘setiap orang’ dirumuskan dengan kata ‘barang siapa’, sedangkan pengertian Korporasi menurut Undang-Undang No. 31/1999 tersebut adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Adapun yang berbentuk badan hukum antara lain Perseroan Terbatas, Yayasan dan Koperasi, sedangkan yang bukan badan hukum antara lain adalah Firma (Fa), Comanditaire Vennootschap (CV), Usaha Dagang (UD) dan perkumpulan lain-lain yang tidak berbadan hukum;
“Menimbang, bahwa pengertian setiap orang sebagaimana tersebut dalam Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana dikemukakan di atas menurut Majelis adalah bersifat umum;
“Menimbang, bahwa demikian pula dengan maksud dari kata ‘setiap orang’ yang termaktub dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, Majelis berpendapat bahwa pengertian ‘setiap orang’ dalam Pasal 2 ayat (1) tersebut juga bersifat umum yaitu siapapun orang itu terlepas dari apakah pelaku tindak pidana korupsi itu menyandang suatu jabatan atau kedudukan atau tidak, maupun apakah pelaku tindak pidana korupsi itu sebagai pegawai negeri atau bukan pegawai negeri;
“Menimbang, bahwa pengertian ‘setiap orang’ yang termaktub dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Majelis memandang mempunyai sifat yang lebih khusus jika dibandingkan dengan Pasal 2 ayat (1), yaitu adanya predikat unsur jabatan atau kedudukan yang melekat pada orang dimaksud;
“Menimbang, bahwa pengertian unsur ‘setiap orang’ dalam Pasal 3 adalah pelaku tindak pidana korupsi yang bersifat orang perseorangan yang memangku suatu jabatan atau kedudukan, berbeda dengan Pasal 2 ayat (1) yang bersifat umum dan dengan unsur delik ‘secara melawan hukum’ yang bersifat general;
“Menimbang, bahwa dengan demikian unsur ‘setiap orang’ yang termaktub dalam Pasal 3 memiliki sifat kekhususan yang tidak terdapat didalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
“Menimbang, bahwa sesuai dengan azas spesialitas, apabila dalam waktu, tempat dan obyek yang sama saling diperhadapkan antara ketentuan yang bersifat umum dengan ketentuan yang bersifat khusus, maka yang diterapkan adalah ketentuan yang bersifat khusus;
“Menimbang, bahwa mengutip pendapat Prof. Dr. Andi Hamzah yang menegaskan bahwa addresat Pasal 3 adalah sebagai berikut : ‘… dengan kata-kata menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan’ yang menunjukkan bahwa subyek delik pada Pasal 3 harus memenuhi kualitas sebagai pejabat atau mempunyai kedudukan. (vide Guse Prayudi, Varia Peradilan No. 299 Oktober 2010, h. 68);
“Menimbang, bahwa dengan demikian menurut hemat Majelis pembentuk undang-undang memang bermaksud menghendaki adanya personalitas subyek hukum yang berbeda antara Pasal 2 ayat (1) dengan Pasal 3 dalam undang-undang dimaksud;
“Menimbang, bahwa berdasarkan semua uraian tersebut di atas, yang bila dihubungkan dengan dakwaan Penuntut Umum yang pada pokoknya mendakwa terdakwa GATOT SOENYOTO, SH. M.Hum yang menjabat sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam Kegiatan Pelatihan Ketrampilan Alternatif Kelompok Masyarakat Untuk Berwirausaha / Pelatihan Automotif Mekanik Sepeda Motor pada Dinas Tenaga Kerja Kota Surabaya TA. 2013, dimana dengan jelas terlihat bahwa terdakwa GATOT SOENYOTO, SH., M.Hum tersebut memiliki kewenangan karena jabatan dan kedudukannya yang secara umum untuk menjalankan tugas pokok dan fungsinya (tupoksi) selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada kegiatan dimaksud;
“Menimbang bahwa berkaitan dengan unsur yang pertama ini Terdakwa sepatutnya dikualifisir sebagai ‘setiap orang’ sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
“Menimbang, bahwa Majelis menilai cukup beralasan secara hukum bahwa unsur ‘setiap orang’ yang termaktub dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak tepat untuk diterapkan terhadap diri Terdakwa;
“Menimbang, bahwa oleh karena unsur ‘setiap orang’ yang termaktub dalam Pasal 2 ayat (1) tidak tepat untuk diterapkan terhadap diri Terdakwa, maka Majelis berpendapat bahwa unsur ‘setiap orang’ yang termaktub dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut tidak cukup memenuhi personalitas terdakwa sebagai orang yang mempunyai jabatan atau kedudukan yang didakwa sebagaimana dakwaan a quo yang jelas berkaitan dengan jabatan atau kedudukannya selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK);
“Menimbang, bahwa dengan demikian unsur ‘setiap orang’ yang termaktub dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dinyatakan tidak terpenuhi;
“Menimbang, bahwa dengan tidak terpenuhinya unsur ‘setiap orang’ yang termaktub dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, maka Majelis tidak akan mempertimbangkan unsur-unsur selanjutnya dari pasal tersebut, oleh sebab itu Majelis menyatakan tidak terbukti dan membebaskan Terdakwa dari dakwaan Primair.
“Menimbang, bahwa oleh karena dakwaan Primair telah dinyatakan tidak terbukti, maka Mejelis selanjutnya akan mempertimbangkan dakwaan Subsidair, yaitu melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP;
“Menimbang, bahwa ketentuan yang termaktub dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, rumusannya sebagai berikut:
‘Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).’
“Menimbang, bahwa rumusan yang termaktub dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, unsurnya meliputi:
1. Setiap orang;
2. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
3. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan;
4. Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara;
“Menimbang, bahwa sekarang Majelis akan mempertimbangkan satu-persatu unsur-unsur tersebut dihubungankan dengan fakta-fakta hukum yang terungkap didepan persidangan a quo, yakni sebagai berikut:
Ad. 1. Unsur ‘Setiap orang’;
“Menimbang, bahwa pada bagian terdahulu Majelis telah menguraikan pengertian ‘setiap orang’ dalam tindak pidana korupsi sehingga dengan begitu Majelis berpendapat tidak perlu mengulanginya lagi pembahasan mengenai hal tersebut, namun Majelis akan langsung mempertimbangkan fakta hukum yang berkaitan dengan pembuktian terhadap unsur ini;
Ad. 2. Unsur ‘Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi’.
“Menimbang, bahwa unsur ‘dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi’ mengandung makna alternatif, kata ‘atau’ dalam unsur kedua diatas artinya mempunyai kapasitas yang sama di dalam pemenuhan unsur tersebut, dimana dengan terpenuhinya salah satu elemen unsur berarti telah memenuhi unsur tersebut;
“Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan menguntungkan adalah sama artinya dengan mendapat untung, yaitu pendapatan yang diperoleh lebih besar dari pengeluaran.
“Dengan demikian yang dimaksud dengan unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi adalah sama artinya dengan mendapatkan untung untuk diri sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi (vide R. Wiyono, hal 46);
“Menimbang, bahwa berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 813 K/Pid/1987 tanggal 29 Juni 1989 dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan cukup dinilai dari kenyataan yang terjadi atau dihubungkan dengan perilaku Terdakwa sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya karena jabatan atau kedudukannya;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sebagaimana tersebut di atas bila dihubungkan dengan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan ini yang antara lain :
- Bahwa benar, Kegiatan Pelatihan Ketrampilan Alternatif Kelompok Masyarakat untuk Berwirausaha / Pelatihan Automotif Mekanik Sepeda Motor pada Dinas Tenaga Kerja Kota Surabaya Tahun Anggaran 2013 dilaksanakan tidak sesuai dengan spesifikasi teknis pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Kontrak, dan dalam kenyataannya terdapat 100 (seratus) orang peserta fiktif, namun BAMBANG MULYONO (Direktur CV. Usaha Mandiri) tetap mengajukan permintaan pembayaran 100% atau sebesar Rp. 882.000.000,- (delapan ratus delapan puluh dua juta rupiah);
- Bahwa benar, sekalipun GATOT SOENYOTO, SH., M.Hum selaku PPK tidak melaksanakan tupoksinya dengan baik dan benar, namun ia tetap menandatangani semua dokumen-dokumen pendukung dan memproses tagihan 100 % dari BAMBANG MULYONO (Direktur CV. Usaha Mandiri) tersebut, meskipun setelah dilampirkannya Laporan Pertanggungjawaban Kegiatan oleh CV. Usaha Mandiri;
- Bahwa benar, berdasarkan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) Nomor ... tanggal 08 Juli 2013, keseluruhan tagihan atas Kegiatan Pelatihan Ketrampilan Alternatif Kelompok Masyarakat untuk Berwirausaha / Pelatihan Automotif Mekanik Sepeda Motor TA 2013 sebesar Rp. 882.000.000,- telah dicairkan ke Bank Jatim No. rekening ... an. CV. Usaha Mandiri (Direktur BAMBANG MULYONO);
- Bahwa benar, akibat perbuatan orang-orang tersebut di atas, maka berdasarkan Laporan Hasil Audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Perwakilan Provinsi Jawa Timur dalam rangka Penghitungan Kerugian Negara atas dugaan penyimpangan dalam Kegiatan Pelatihan Ketrampilan Alternatif Kelompok Masyarakat untuk Berwirausaha / Pelatihan Automotif Mekanik Sepeda Motor pada Dinas Tenaga Kerja Kota Surabaya TA 2013 tanggal 9 Mei 2014, diketahui bahwa kerugian Negara mencapai Rp. 672.988.000,-;
“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum di atas Majelis melihat bahwa terdakwa GATOT SOENYOTO, SH., M.Hum yang bersama-sama dengan HARJANI, AMIN WAHYOE, ANGGORO DIANTO, NASUCHI ALI dan BAMBANG MULYONO sadar betul mengenai apa yang dilakukannya terkait dengan pencairan tagihan pembayaran 100 % atas Kegiatan Pelatihan Ketrampilan Alternatif Kelompok Masyarakat untuk Berwirausaha / Pelatihan Automotif Mekanik Sepeda Motor TA 2013 sebesar Rp. 882.000.000,- ke rekening CV. USAHA MANDIRI (dengan Direktur BAMBANG MULYONO), padahal pekerjaan pelatihan yang dilaksanakan CV. USAHA MANDIRI tersebut tidak sesuai dengan kontrak, bahkan terdapat 100 orang peserta fiktif sehingga jumlah yang dibayarkan jauh melebihi yang seharusnya yakni semestinya hanya sebesar Rp. 191.362.000,- yang artinya terdapat kelebihan pembayaran sebesar Rp. 672.988.000,- kepada CV. USAHA MANDIRI sebagaimana terungkap dan menjadi fakta-fakta hukum dalam persidangan yang jelas membuktikan bahwa hal itu (kelebihan pembayaran tersebut) tentu telah memberikan suatu keuntungan sejumlah uang kepada CV. USAHA MANDIRI dimaksud;
“Menimbang, bahwa dengan demikian unsur ‘dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi’ dalam pasal ini telah terpenuhi;
Ad. 3. Unsur ‘Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan’;
“Menimbang, bahwa pengertian unsur ‘menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan’ juga mengandung pengertian yang sifatnya alternatif, artinya unsur menyalahgunakan kewenangan, dialternatifkan dengan menyalahgunakan sarana yang ada pada diri Terdakwa karena jabatan atau kedudukannya;
“Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, dimana kewenangan berarti kekuasaan atau hak, sehingga yang disalahgunakan itu adalah kekuasaan atau hak yang ada pada pelaku, misalnya menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan anak, saudara atau kroni sendiri;
“Menimbang, bahwa pengertian menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dipersyaratkan harus ada hubungan kausal antara keberadaan kewenangan, kesempatan atau sarana dengan jabatan atau kedudukan.
“Oleh karena memangku jabatan atau kedudukan akibatnya seseorang mempunyai kewenangan, kesempatan dan sarana yang timbul dari jabatan atau kedudukan tersebut. Jika jabatan atau kedudukan itu lepas, maka kewenangan, kesempatan atau sarana akan hilang, dengan demikian tidaklah mungkin ada penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana karena jabatan atau kedudukan yang sudah tidak dimilikinya (vide: Adami Chazawi. Op.cit h. 53);
“Menimbang, bahwa terdakwa GATOT SOENYOTO, SH., M.Hum adalah Pejabat Pembuat Komitmen dalam Kegiatan Pelatihan Ketrampilan Alternatif Kelompok Masyarakat untuk Berwirausaha / Pelatihan Automotif Mekanik Sepeda Motor pada Dinas Tenaga Kerja Kota Surabaya TA 2013, dimana tanggungjawab dan tugas pokok terdakwa selaku PPK jelas mempunyai kewenangan sepenuhnya untuk mengendalikan pelaksanaan proyek Kegiatan Pelatihan Ketrampilan dimaksud, yang bilamana perlu dengan kewenangan yang dimilikinya itu terdakwa dapat mengambil langkah-langkah tegas misalnya: mengevaluasi atau meminta evaluasi atas pelaksanaan pelatihan, melakukan teguran-teguran atas hal-hal yang dipandang tidak benar, bahkan hingga memutus kontrak atau menolak melakukan pembayaran 100% jika memang ternyata kegiatan tersebut tidak 100% dilaksanakan sesuai kontrak, atau setidaknya tidak memproses tagihan hingga kegiatan dilaksanakan dengan sebagaimana mestinya.
“Terdakwa adalah petugas negara, terdakwa wajib memposisikan diri atau bertindak laksana terdakwa benar-benar merupakan bagian dari sistem pengelolaan keuangan Negaral—akan tetapi, pada kenyataannya terdakwa justru tidak menjalankan wewenangnya dengan baik dan benar, terdakwa selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) bahkan tidak mengendalikan pelaksanaan kontrak dengan CV. USAHA MANDIRI dan tidak juga berupaya meluruskan jalannya kegiatan pelatihan, yang pada akhirnya terdakwa tidak menyelamatkan uang negara, melainkan justru dengan kewenangannya itu terdakwa ikut-ikutan membuat persyaratan pembayaran tagihan dengan menandatangani dokumen-dokumen atau Berita Acara-Berita Acara yang isinya tidak benar, bahkan fiktif;
“Menimbang, bahwa apa yang dilakukan oleh terdakwa GATOT SOENYOTO, SH., M.Hum sebagaimana uraian diatas, dalam penilaian Majelis adalah suatu perbuatan yang menyalahgunakan kewenangan yang ada pada diri terdakwa karena jabatannya selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK);
“Menimbang, bahwa dengan demikian unsur ‘menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan’ dalam pasal ini telah terpenuhi;
Ad. 4. Unsur ‘Dapat merugikan Keuangan Negara atau perekonomian Negara’;
“Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan merugikan keuangan Negara itu sendiri adalah sama artinya dengan menjadi rugi atau menjadi berkurang, sehingga dengan demikian yang dimaksud dengan unsur merugikan keuangan Negara adalah sama artinya dengan menjadi ruginya keuangan Negara atau berkurangnya keuangan Negara (vide : R. Wiyono, h. 32);
“Menimbang, bahwa menurut Yurisprudensi yang termuat dalam putusan Mahkamah Agung RI No. 813 K/Pid/1987 tanggal 29 Juni 1989 menyebutkan: ‘bahwa jumlah kerugian Negara akibat perbuatan terdakwa tidak perlu pasti jumlahnya, sudah cukup adanya kecenderungan timbulnya kerugian Negara.’; [Note SHIETRA & PARTNERS: Suatu kaedah bentukan Yurisprudensi yang jauh lebih elaboratif dan kontemplatif ketimbang Putusan Mahkamah Konstitusi RI yang menghapus frasa ‘dapat’ dalam UU Tipikor.]
“Menimbang, bahwa dalam dakwaan subsidair Jaksa Penuntut Umum telah menghubungkan dengan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP;
“Menimbang, bahwa Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP menentukan : ‘Dipidana sebagai pembuat (dader) sesuatu perbuatan pidana : mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan.’;
“Menimbang, bahwa dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum jelas disebutkan bahwa terdakwa GATOT SOEYOTO, SH., M.Hum sebagai orang yang melakukan atau yang turut serta melakukan bersama–sama dengan HARJANI, AMIN WAHYOE, ANGGORO DIANTO, NASUCHI ALI dan BAMBANG MULYONO (penuntutannya dilakukan secara terpisah) telah melakukan suatu perbuatan sebagaimana tersebut dalam dakwaan Penuntut Umum, dengan status dan perannya masing-masing yang jelas terungkap dan menjadi fakta-fakta hukum dalam persidangan sehingga menimbulkan akibat terjadinya kerugian Negara sebagaimana telah diuraikan dalam pembuktian unsur-unsur sebelumnya, yang oleh sebab itu Majelis berpendapat bahwa terdakwa GATOT SOENYOTO, SH., M.Hum sebagai pembuat (dader) dengan kualifikasi yang melakukan, yang dengan demikian unsur ini telah terpenuhi;
“Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis akan mempertimbangkan apakah terhadap terdakwa GATOT SOENYOTO tersebut sepatutnya dijatuhi pula dengan pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001;
“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan, diketahui bahwa dari pembayaran atas tagihan sebesar Rp. 882.000.000,- tersebut telah cair dan masuk ke rekening CV. Usaha Mandiri semua, dan tidak ditemukan adanya aliran dana atau pemberian apapun dari CV. USAHA MANDIRI atau BAMBANG MULYONO kepada terdakwa;
“Menimbang, bahwa dengan demikian tidak sepatutnya terhadap terdakwa tersebut dijatuhi pidana tambahan uang pengganti;
“Menimbang, bahwa terdapat uang titipan dari BAMBANG MULYONO pada Kejaksaan Negeri Tanjung Perak sebesar Rp. 300.000.000,- yang dimaksudkan sebagai pembayaran atas sebagian kerugian negara yang timbul, yang oleh karena itu Majelis mempertimbangkannya uang tersebut dirampas untuk negara;
“Menimbang, bahwa dengan demikian unsur-unsur pasal dalam dakwaan Subsidair yakni Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP telah terpenuhi, maka Majelis berpendapat yang pada kesimpulannya menyatakan bahwa Terdakwa GATOT SOENYOTO, SH., M.Hum telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Korupsi secara bersama-sama;
“Menimbang, bahwa sebelum Majelis menjatuhkan putusan, perlu terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan Terdakwa sebagai berikut:
Hal-hal yang memberatkan:
- Bahwa terdakwa tidak peka terhadap program pemerintah dalam hal Pemberantasan Korupsi yang sedang giat-giatnya dilaksanakan;
Hal-hal yang meringankan:
- Terdakwa berterus terang, dan tidak berbelit;
- Terdakwa belum pernah dihukum;
- Terdakwa masih mempunyai tanggungan keluarga;
- Terdakwa menyesali perbuatannya;
“M E N G A D I L I :
1. Menyatakan Terdakwa GATOT SOENYOTO, SH., M.Hum tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan dalam dakwaan primair;
2. Membebaskan Terdakwa GATOT SOENYOTO, SH., MHum oleh karena itu dari dakwaan primair tersebut;
3. Menyatakan Terdakwa GATOT SOENYOTO, SH., M.Hum tersebut terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ‘korupsi secara bersama-sama’ sebagaimana dalam dakwaan subsidiair;
4. Menjatuhkan pidana Terhadap terdakwa tersebut oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan, serta denda sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan.”
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.