Ketika Panitia Pengadaan Tanah Keliru Memberi Ganti Rugi pada Pihak yang Tidak Berhak

LEGAL OPINION
Telaah Makna dan Hakekat Pembebasan Lahan / Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum
Question: Panitia Pengadaan Tanah (P2T) yang sedang melakukan pembebasan lahan untuk kepentingan umum, justru membayar ganti-rugi pembebasan tanah kepada pihak lain yang tidak berhak untuk menerima ganti-rugi, karena orang tua mereka dahulu telah menjual bidang tanah tersebut kepada orang tua kami. Selaku ahli waris yang sah atas bidang tanah, apa yang bisa kami lakukan?
Brief Answer: P2T yang baik, akan menganulir ganti-rugi yang telah diberikan, jika terdapat pihak lain yang mengaku sebagai pemilik sah atas bidang tanah yang masuk dalam peta lokasi pembebasan lahan, dengan dokumen pembuktian yang patut dan mencukupi. Ketika P2T telah menganulir / meminta kembali uang ganti-rugi, maka uang ganti-rugi akan dititipkan oleh P2T kepada Pengadilan Negeri setempat, bila kemudian terjadi sengketa klaim antara pihak satu dan pihak lain, atas bidang tanah yang sama.
Selanjutnya dan selebihnya, menjadi sengketa perdata kepemilikan antara para pihak yang saling mengklaim sebagai pemilik yang sah, tanpa lagi keterlibatan pihak P2T. Bila Pengadilan Negeri terhadap aksi gugat-menggugat klaim kepemilikan tersebut, kemudian memutuskan salah satu pihak yang paling berhak mendapat ganti-rugi, maka pihak yang dimenangkan tersebutlah yang berhak menarik dana titipan P2T (konsignasi) pada Pengadilan Negeri.
Konsignasi memiliki karakter yang berbeda dengan pembebasan lahan biasa, karena dalam konteks pembebasan lahan biasa, P2T melakukan pendekatan peer to peer, dalam arti berhadapan dengan pihak-pihak yang mendaku sebagai pemilik sah atas bidang yang akan dibebaskan. Pendekatan ini menyerupai proses negosiasi jual-beli biasa yang dilandasi asas konsensual, ditandai dengan adanya penawaran dan penerimaan, tanda-tangan kuitansi pembayaran, dsb.
Sementara dalam konsignasi, seketika itu juga terhadap sebidang tanah, dibebaskan dari segala beban ataupun kepemilikan apapun dan dari siapapun secara sepihak (top to down), sehingga tidak mensyaratkan kesukarelaan pihak pemilik tanah untuk melepaskan hak pemilikannya. Selebihnya, siapa yang mendaku sebagai pemilik yang merasa sah berhak atas uang ganti-rugi yang dititipkan P2T, tampil membuktikan alas hak yang dimiliki dirinya, dan bertarung di meja hijau agar dapat dinyatakan sebagai pihak yang paling berhak atas ganti-rugi.
Itulah juga sebabnya, ketika P2T mendapat komplain adanya klaim pihak-pihak yang mengaku sebagai pemilik sah yang sebenarnya atas bidang tanah yang telah dibelinya, P2T pasti akan menarik kembali dana ganti-rugi, lalu akan dilakukan konsignasi.
Mengapa? Karena yang bisa benar-benar menghapus hak kepemilikan diatas suatu bidang tanah, hanyalah konsignasi. Jika memberi ganti-rugi ke suatu pihak tanpa melalui mekanisme konsignasi, itu sebetulnya bukan pembebasan lahan, tapi tergolong layaknya jual-beli biasa.
Yang disebut pembebasan lahan, sejatinya menurut hukum hanyalah mekanisme konsignasi, karena suatu warga negara pemegang hak atas tanah, suka tidak suka, hak kepemilikannya akan hapus seketika itu juga, dan siapa juga itu. Selebihnya, tinggal buktikan siapa yang berhak atas ganti-rugi yang telah dititipkan ke pengadilan. Itulah esensi dari “pengadaan/pembebasan lahan” yang kerap kali disalahtafsirkan masyarakat awam sebagai “jual-beli tanah”.
Yang juga perlu dipahami, sengketa kepemilikan menjadi ranah Pengadilan Negeri, bukan Pengadilan Tata Usaha Negara—inilah sebabnya konsignasi menjadi ranah Pengadilan Negeri. Dalam hal ini, P2T tidak perlu ditarik sebagai pihak-pihak dalam gugatan, oleh sebab murni merupakan sengketa kepemilikan—sebab falsafahnya konsignasi dalam rangka pembersihan bidang tanah dari segala beban dan kepemilikan adalah hak prerogatif otoritas pemerintah secara “top to down” sehingga pada falsafahnya kebijakan pembebasan lahan oleh pemerintah tidak lagi dapat diganggu-gugat.
Kecuali, bila P2T melakukan perbuatan melawan hukum dengan tetap memberikan uang ganti-rugi kepada pihak yang dinilai tidak berhak, sekalipun telah mengetahui adanya sengketa atau terdapat pihak-pihak lain yang mengklaim sebagai pemilik yang sah atas bidang tanah.
PEMBAHASAN:
Ilustrasi konkret berikut SHIETRA & PARTNERS jadikan sebagai cerminan sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI sengketa kepemilikan tanah terkait proyek pemerintah dalam pembebasan lahan, register Nomor 160 K/TUN/2016 tanggal 16 Juni 2016, perkara antara:
1. MUMUN; 2. SAMSUDIN Bin EMAN; 3. SAEPULOH; 4. OBUR, sebagai Para Pemohon Kasasi, semula selaku Para Penggugat; melawan
I. KEPALA KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN BANDUNG BARAT, selaku Termohon Kasasi I, semula sebagai Tergugat; dan
II. SULTON, selaku Termohon Kasasi I dahulu sebagai Tergugat II Intervensi.
Penggugat merasa dirugikan oleh Tergugat yang menerbitkan Sertipikat Hak Milik (SHM) Nomor 1 Tahun 1982 tanggal 11 November 1982/Desa Cibitung, luas tanah 5.130 M2, sehingga Penggugat tidak dapat menyewakan ataupun menjual tanah yang di miliki.
Para Penggugat mengklaim menguasai fisik tanah tersebut sampai sebagian dari luas tanah tersebut dijual kepada PT. PLN (Persero). Para Penggugat baru mengetahui objek tanah telah disertipikatkan oleh suatu pihak, ketika pada tanggal 2 September 2014 Para Penggugat diundang rapat oleh Camat Rongga, karena ada komplain dari PT. PLN (Pesero) dan didalam rapat diterangkan bahwa tanah milik Para Penggugat seluas 5.130 M2, oleh PT. PLN (Pesero) untuk proyek PLTA Upper Cisokan Pumped Storage, ada orang yang bernama Sulton mengaku sebagai pemilik tanah tersebut dengan bukti SHM No. 1 Tahun 1982 dengan diperlihatkan fotocopy sertipikat dimaksud.
Pada bulan Januari 2014, sebagian dari bidang-bidang tanah milik Penggugat, dibebaskan/dibeli oleh PT. PLN (Persero) dengan bantuan Panitia Pengadaan Tanah (P2T) Kabupaten Bandung Barat dan Tergugat bagian dari Panitia Pengadaan Tanah untuk Proyek PLTA Upper Cisokan Pumped Storage.
Tanggal 2 September 2014, Para Penggugat diundang Rapat oleh Camat Rongga karena ada komplain dari PT. PLN (Pesero) dan didalam rapat, diterangkan bahwa tanah milik Para Penggugat yang telah dibayar oleh PT. PLN (Pesero) untuk proyek PLTA Upper Cisokan Pumped Storage, ada orang yang bernama Sulton (Tergugat II Intervensi) mengaku sebagai pemilik tanah tersebut dengan bukti SHM No. 1 Tahun 1982.
Para Penggugat pada tanggal 2 September 2014 waktu rapat di Kecamatan Rongga, merasa kaget mengetahui bahwa tanah milik Para Penggugat telah disertipikatkan pada tanggal 11 November 1982 oleh yang tidak berhak, karena selama ini Para Penggugat tidak pernah mendapat gangguan/gugatan atas kepemilikan tanah tersebut oleh Sanusi dan ahli warisnya (Sulton dan saudara-saudaranya) maupun oleh pihak lainnya. Terbitnya SHM No. 1 Tahun 1982 dinilai janggal, dengan alasan:
1. Dasar pembuatan SHM No. 1 Tahun 1982 adalah Nomor: C/Kohir 378 dan No. Persil 538/534, sedangkan No. C/Kohir 378 dan No. Persil 538/534 adalah letaknya bukan di lokasi tanah Para Penggugat, akan tetapi berdasarkan catatan administrasi Kantor Desa Sukaresmi bidang tanah dengan No. C/Kohir 378 adalah terletak di Blok Cilawang milik Bapak Medi yang beralamat di Cimarel, sedangkan No. Persil 538/534 adalah letak tanahnya di blok Cibima milik bapak Madhomi, dimana Persil 538 dengan Persil 534 letaknya berjauhan dibatasi sungai dan bidang-bidang tanah milik orang lain tidak seperti dalam gambar situasi SHM No. 1 Tahun 1982 yang menggambarkan satu bidang hamparan.
2. Bahwa di dalam terbitnya SHM No. 1 Tahun 1982 tercatat Madhomi sebagai pemegang Hak pertama dan sebagai orang yang menunjukkan batas-batas tanah adalah sudah meninggal dunia pada Tahun 1957. Hal ini sangat janggal sekali orang yang telah meninggal sejak Tahun 1957, pada Tahun 1982 melakukan penunjukkan batas-batas tanah;
3. Perubahan nama pemegang hak yang tercatat dalam SHM No. 1 Tahun 1982 terdapat kejanggalan, yaitu pada tanggal 11 November 1982 tercatat sebagai pemegang hak yang pertama kali atas nama Mahdomi (padahal sudah meninggal dunia pada Tahun 1957) dan pada tanggal 26 November 1983 berubah menjadi atas nama Dadi dan Sanusi, dan dua hari kemudian pada tanggal 28 November 1983 berubah menjadi atas nama Sanusi. Perubahan Madhomi atas nama Dadi dan Sanusi kemudian berubah lagi menjadi atas nama Sanusi keduanya berdasarkan Surat Keterangan Susunan Ahli Waris, padahal antara Madhomi, Dadi, dan Sanusi tidak ada hubungan darah yang masuk dalam susunan ahli waris;
Sejak Tahun 1983 hingga saat ini, alm. Bapak Sanusi dan ahli warisnya tidak pernah menguasai fisik tanah Para Penggugat dan selama ini tidak pernah menggugat/mempersoalkan tanah tersebut kepada Para Penggugat.
Sementara itu pihak Tergugat dalam bantahannya menyebutkan, gugatan ini telah salah diajukan Para Penggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara, karena sengketa ini adalah murni mengenai sengketa keperdataan/kepemilikan yang menjadi kewenangan Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan mengadili perkara ini.
Penggugat telah mendalilkan yang menjadi Objek Gugatan adalah Sertipikat Hak Milik No. 1/Desa Cibitung atas nama Sanusi yang diterbitkan berdasarkan konversi Tanah Milik Adat C.378 Persil, 538 D.III. dan persil 534 D.II. Sedangkan Para Penggugat mendalilkan kepemilikannya berdasarkan C. No. 35/56 persil 538 dan persil 539.
Dengan demikian, gugatan semestinya diajukan ke Pengadilan Negeri untuk membuktikan dalil-dalil yang disampaikannya. Sengketa Tata Usaha Negara, pada hakekatnya adalah sengketa mengenai sah atau tidaknya keputusan Tata Usaha Negara yang telah dikeluarkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara, sehingga tidak menyangkut kepentingan hak seseorang.
Terhadap gugatan Penggugat, Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung kemudian menjatuhkan putusan Nomor 109/G/2014/PTUN-BDG. tanggal 13 Mei 2015, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Batal Surat Keputusan Tergugat berupa: Sertipikat Hak Milik Nomor: 1 Tahun 1982/Desa Cibitung, Gambar Situasi Nomor: 9261/1982 luas Tanah 5.130 M2 atas nama Sanusi terletak di Desa Cibitung, Kecamatan Gunung Halu, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat, dikeluarkan di Bandung tanggal 11 November 1982;
3. Mewajibkan kepada Tergugat untuk mencabut surat Keputusan Tergugat berupa: Sertipikat Hak Milik Nomor: 1 Tahun 1982/Desa Cibitung, Gambar Situasi Nomor: 9261/1982 luas Tanah 5.130 M2 atas nama Sanusi terletak di Desa Cibitung, Kecamatan Gunung Halu, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat, dikeluarkan di Bandung tanggal 11 November 1982.”
Dalam tingkat banding atas permohonan Tergugat dan Tergugat II Intervensi, putusan Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut kemudian dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta sebagaimana Putusan Nomor 217/B/2015/PT.TUN.JKT., tanggal 28 Oktober 2015, dengan amar sebagai berikut:
“Menerima permohonan banding dari Tergugat/Pembanding dan Tergugat II Intervensi/Pembanding;
“Membatalkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung Nomor: 109/G/2014/PTUN.BDG. tanggal 13 Mei 2015, yang dimohon banding tersebut;
MENGADILI SENDIRI:
DALAM EKSEPSI:
- Menerima Eksepsi dari Tergugat/Pembanding dan Tergugat II Intervensi/ Pembanding tentang Kompetensi Absolut Peradilan;
DALAM POKOK PERKARA:
- Menyatakan Gugatan Para Penggugat/Para Terbanding tidak diterima.”
Penggugat mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena Putusan Judex Facti Pengadilan Tinggi sudah tepat dan tidak salah menerapkan hukum, karena walaupun sertifikat objek sengketa telah memenuhi unsur Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, dan tidak termasuk dalam pengecualian Keputusan Tata Usaha Negara objek sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud Pasal 2 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 atau Pasal 49 Tahun 1986, akan tetapi berdasarkan gugatan Para Pemohon Kasasi/Para Penggugat, bahwa tanah pada sertifikat objek sengketa merupakan milik Para Penggugat/Para Pemohon Kasasi yang dibeli dari Bapak Aje, dan sebaliknya pihak Termohon Kasasi/Tergugat menyatakan bahwa tanah a quo adalah miliknya pula, maka berarti alasan utama gugatan Para Penggugat/Para Pemohon Kasasi adalah mengenai keabsahan alas hak yang diajukan dalam proses penerbitan sertifikat objek sengketa yang hal itu merupakan kewenangan absolut Peradilan Umum;
“Bahwa disamping itu, Para Pemohon Kasasi tidak mempunyai kepentingan mengajukan gugatan a quo, karena berdasarkan posita gugatan, bahwa sertifikat objek sengketa tercatat pada buku C/kohir 378, persil 538/534, sedangkan tanah Para Pemohon Kasasi yang dibeli dari Bapak Aje terdaftar pada buku C Nomor 35/56, persil 538 dan persil 539 tahun 1976;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, ternyata putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: 1. MUMUN, 2. SAMSUDIN Bin EMAN, 3. SAEPULOH, 4. OBUR tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: 1. MUMUN, 2. SAMSUDIN Bin EMAN, 3. SAEPULOH, 4. OBUR tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.