KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Negara Hukum yang Baik, Taat Asas

ARTIKEL HUKUM
Dalam konsep negara berhukum, berlaku asas tertinggi peraturan perundang-undangan, bahwa “norma hukum yang dikandung dan diatur dalam peraturan, tidak dapat bertentangan atau menyimpang dari kaedah yang terkandung dalam peraturan yang lebih tinggi derajat hierarkhinya”.
Satu tingkat dibawah derajat Undang-Undang Dasar RI 1945, ialah Undang-Undang. Dengan kata lain, tidak boleh terdapat peraturan pemerintah, peraturan presiden, ataupun peraturan menteri, yang melanggar kaedah norma dalam undang-undang yang menjadi payung hukumnya, terlebih bertentangan atau menyimpangi norma UUD RI 1945.
Inilah yang kemudian diistilahkan sebagai, konsep “taat asas dalam hukum”. Sama halnya, seorang kolonel tidak dapat dibenarkan membantah perintah seorang jenderal, dan seorang jenderal wajib patuh terhadap seorang presiden. Membantah, dimaknai sebagai upaya “desersi” yang tidak sepele ancaman hukumannya.
Apa jadinya, bila seorang bintara atau bahkan seorang tamtama bergelar sersan menyimpangi atau bahkan membantah dan membangkang perintah seorang jenderal? Itulah yang kini Indonesia hadapi dalam “rimba hukum” yang telah menjelma “benang kusut”. Dalam kesempatan ini, penulis akan mengupas bagaimana keruhnya praktik hukum di Tanah Air, yang akan membuat kita terheran-heran sekaligus terkaget-kaget—tanpa bermaksud berlebihan.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), merupakan regulasi dengan derajat undang-undang, yang menjadi payung dari segala peraturan perundang-undangan dibidang perdata. Salah satu kaedah yang diatur dalam Pasal KUHPerdata, ialah Pasal 330, memiliki substansi norma:
“Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin.”
Dengan demikian, segala bentuk perikatan perdata yang dilakukan oleh seorang subjek hukum perorangan (naturlijk persoon), adalah tidak cakap hukum untuk melakukan perikatan sebagaimana syarat sah perjanjian vide Pasal 1320 KUHPerdata, sepanjang yang bersangkutan belum mencapai usia 21 tahun—dengan ancaman “dapat dibatalkan” karena bertentangan dengan unsur subjektif syarat sah perjanjian bila dilanggar.
Sekarang, mari kita simak kaedah “salah kaprah”, yang salah satunya dibentuk oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional / Menteri Agraria dan Tata Ruang, perihal cakap hukum usia kedewasaan dalam konteks perbuatan hukum terkait tanah (semisal peralihan hak atas tanah lewat jual-beli).
Pada tanggal 9 Desember 2016, Ketua Mahkamah Agung RI melalui suratnya Nomor 04/Bua.6/Hs/SP/XII/2016 telah menerbitkan Surat Edaran kepada seluruh jajaran Hakim Pengadilan Negeri maupun Hakim Tinggi seluruh Indonesia, dengan judul: “RUMUSAN HUKUM RAPAT PLENO KAMAR MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016”, dengan substansi norma:
“RUMUSAN HUKUM KAMAR PERDATA:
“Penentuan mengenai batas usia dewasa seseorang dalam melakukan perbuatan hukum tidak dapat ditentukan pada usia yang sama tetapi ditentukan berdasarkan undang-undang atau ketentuan hukum yang mengaturnya dalam konteks perkara yang bersangkutan (kasuistis).”
“RUMUSAN HUKUM KAMAR TATA USAHA NEGARA:
“Objek gugatan pada Pengadilan Tata Usaha Negara meliputi: Bersifat:
- Konkret-Individual (contoh: keputusan izin mendirikan bangunan, dsb).
- Abstrak-Individual (contoh: keputusan tentang syarat-syarat pemberian perizinan, dsb).
- Konkret-Umum (contoh: keputusan tentang penetapan upah minimum regional, dsb).”
Apa yang dimaksud Mahkamah Agung RI Kamar Perdata, dengan menyebut istilah “kasuistik”? Maksudnya ialah, disesuaikan dengan konteksnys. Perdata umum, untuk melakukan perikatan jual-beli, tunduk pada KUHPerdata dimana usia kedewasaan ialah bila seseorang genap berusia 21 tahun. Sementara berdasarkan Undang-Undang tentang Perkawinan, ialah 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria. Sementara untuk diberikan hak mengemudi dan memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM), berdasarkan Undang-Undang tentang Lalu Lintas, ialah ketika seseorang telah berusia 17 tahun.
Secara kontradiktif, terbit juga Surat Edaran Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4/SE/I/2015 tentang Batasan Usia Dewasa Dalam Rangka Pelayanan Pertanahan, yang diterbitkan pada tanggal 26 Januari 2015, menyebutkan:
“Ditetapkan usia dewasa yang dapat melakukan perbuatan hukum dalam rangka pelayanan pertanahan adalah paling kurang 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin.”
Apa yang melatarbelakangi surat edaran dari Kementerian Agraria demikian? Kementerian Agraria dalam konsideransnya surat edarannya tersebut mengutip kaedah dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2012, yang ironisnya, BPN telah salah kaprah memaknai SEMA tersebut.
Adapun kutipan bunyi asli dari kaedah norma SEMA Nomor 7 Tahun 2012, sebagai berikut:
“Rumusan Kamar Pidana: Ukuran kedewasaan tergantung kepada kasusnya (kasuistis). Dalam berbagai undang-undang berbeda tentang batas usia dewasa akan tetapi khusus untuk pelaku pidana Anak tetap mengacu kepada ketentuan batas usia anak sesuai dengan UU Pengadilan Anak dan UU Perlindungan Anak, yaitu 18 tahun.”
“Rumusan Kamar Perdata: DEWASA adalah cakap bertindak didalam hukum (cakap hukum), yaitu orang yang telah mencapai umur 18 tahun atau telah kawin.”
Ketidak-konsistenan SEMA Tahun 2012 diatas, kemudian telah dikoreksi oleh SEMA Tahun 2016 yang telah dibahas dimuka. Sehingga, payung hukum Kepala BPN dalam menerbitkan regulasi dibidang cakap hukum konteks pertanahan, menjadi tidak lagi memiliki validitas.
Pertanyannya, mengapa alih-alih Kepala BPN tidak menjadikan KUHPerdata sebagai payung hukum, justru menjadikan SEMA sebagai payung hukum ketika membentuk suatu regulasi? Kini, Peraturan Kepala BPN perihal usia cakap hukum dibidang pertanahan, tidak lagi memiliki validitasnya, sebab SEMA Tahun 2012 yang menjadi dasar pegangannya telah dikoreksi dan dianulir sendiri oleh Mahkamah Agung lewat SEMA Tahun 2016.
Itulah salah satu cerminan petaka hukum ketika suatu instansi menerbitkan regulasi yang berpayung hukum bukan kepada regulasi yang lebih tinggi tingkat hierarkhinya. Kini, kita memasuki bahasan kedua, yakni isu yang lebih kompleks, perihal putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Nomor 21/G/2017/PTUN.JKT tanggal 8 Agustus 2017, dimana gugatan Serikat Pekerja terhadap Peraturan Gubernur DKI Jakarta perihal Upah Minimum Provinsi Tahun 2017, dikabulkan PTUN dimana Pergub tersebut secara yuridis dinyatakan dicabut sehingga batal dan tidak lagi memiliki daya ikat secara yuridis.
Dalam perkara di PTUN tersebut, eksepsi Gubernur DKI Jakarta yang didudukkan sebagai pihak Tergugat, “tidak diterima” oleh Majelis Hakim, meski eksepsi atau sanggahan Pemprov DKI Jakarta cukup relevan, yakni UUD RI 1945 menyatakan secara tegas dan jelas, bahwa kewenangan membatalkan regulasi setingkat Peraturan Gubernur yang berlaku secara umum (bukan secara khusus), ialah lewat mekanisme judicial review ke Mahkamah Agung RI, bukan ke PTUN.
Namun, lagi-lagi, Mahkamah Agung RI membuat keruh keadaan lewat SEMA Tahun 2016, yang menyatakan bahwa perihal UMR dan UMP, dapat diajukan sebagai objek gugatan di PTUN. Pertanyaannya, dapatkah SEMA melanggar bahkan membantah UU tentang Mahkamah Agung dan juga UUD RI 1945?
Pihak kalangan buruh dapat saja berkilah, bahwa di Indonesia, tidak mungkin dapat mengajukan uji materil perihal Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, ataupun Peraturan Gubernur yang terkait ketenagakerjaan, sebab peraturan internal di Mahkamah Agung RI mensyaratkan, untuk mengajukan uji materiil ke Mahkamah Agung, salah satu syaratnya ialah undang-undang yang menjadi dasar hukum uji materiil tidak boleh sedang diuji materiil oleh Mahkamah Konstitusi RI.
Kendalanya, sepanjang tahun untuk setiap tahunnya, UU tentang Ketangakerjaan selalu saja diuji materiil, sehingga adalah mustahil mengajukan uji materiil Peraturan Gubernur ke hadapan Mahkamah Agung. Namun, bila kita mencoba untuk bersikap lebih realistis dan mau membuka mata (alias bersikap jujur dan terbuka), adalah absurb ketika Mahkamah Agung menyatakan “tidak dapat menerima” permohonan uji materiil Peraturan Gubernur perihal UMP hanya karena UU Ketenagakerjaan disaat bersamaan sedang di-uji materiil dihadapan Mahkamah Konstitusi, meski pasal UU Ketenagakerjaan yang sedang diuji materiil di MK RI adalah perihal serikat pekerja—tidak memiliki sangkut paut apapun dengan perihal UMP, sebagai ilustrasi.
Melihat fenomena tidak dapatnya diuji materiil Peraturan Gubernur terkait UMP ke hadapan Mahkamah Agung, solusinya bukanlah dengan menerbitkan norma SEMA Tahun 2016 yang menyatakan bahwa PTUN berwenang menjadikan Peraturan Gubernur sebagai objek gugatan di PTUN—itulah bukanlah solusi, justru memperkeruh. Argumentasi yang dapat membuat pendirian MA RI tidak tahan uji moril, antara lain:
- Mahkamah Agung RI semestinya mengubah kebijakan internal perihal uji materiil ke hadapan Mahkamah Agung, bukanlah dengan tidak adanya uji materiil Undang-Undang Ketenagakerjaan ke hadapan Mahkamah Konstitusi, namun melihat apakah UU Ketenagakerjaan yang sedang diuji materiil di Mahkamah Konstitusi, normanya relevan atau tidak dengan peraturan yang sedang diajukan uji materiil ke hadapan Mahkamah Agung;
- Menjadikan Peraturan Gubernur sebagai objek gugatan di PTUN, sama artinya putusan PTUN tidak dapat dijalankan, karena tanpa amar putusan “serta-merta”, maka sekalipun Peraturan Gubernur perihal UMP dibatalkan oleh PTUN, namun ketika pihak Pemda mengajukan upaya hukum banding hingga kasasi yang dapat memakan waktu bertahun-tahun—sama artinya gugatan ke PTUN menjadi mubazir, oleh sebab Peraturan Gubernur perihal UMP hanya berlaku selama 1 tahun, selebihnya kadaluarsa. Bandinkan dengan menjadikan Peraturan Gubernur sebagai objek uji materiil di Mahkamah Agung, maka langsung seketika itu juga diputuskan oleh Hakim Agung Kamar Tata Usaha Negara—sehingga bisa “potong kompas” tanpa harus melewati PTUN.
Hukum sejatinya sederhana dan sangat logis. Yang membuat praktik hukum demikian keruh dan menjelma “benang kusut”, ialah akibat tidak taat asasnya berbagai instansi pemerintahan yang menerbitkan regulasi, tidak terkecuali sumbangsih Mahkamah Agung yang membuat keruh lewat berbagai SEMA yang tumpang tindih dengan SEMA lainnya, sebagaimana SEMA Tahun 2012 dikoreksi oleh SEMA Tahun 2014, kemudian SEMA tersebut dianulir kembali lewat SEMA Tahun 2016.
Terlihat jelas, betapa Mahkamah Agung tidak pernah secara matang menerbitkan suatu norma hukum yang berlaku secara umum dan mengikat publik. Lagipula, siapa juga Mahkamah Agung, yang menyaru sebagai Lembaga Legislatif meski sejatinya Mahkamah Agung hanyalah Lembaga Yudikatif yang hanya berwenang mengadili, bukan membuat kebijakan yang berlaku dan mengikat publik (erga omnes). Bila Mahkamah Agung RI sendiri tidak taat asas, bagaimana kita dapat mengharap agar penduduk Indonesia merasa segan dan patuh serta taat pada hukum?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.