Kebijakan Pemerintah Bersifat Non Retroaktif, Konteks Pertanahan Hukum itu Keras, Namun Hukum Tidak dapat Menutup Mata

LEGAL OPINION
Question: Dahulu pernah terjadi, suatu kawasan pemukiman, yang telah lama dibangun perumahan oleh para penduduk, secara mendadak peruntukan kawasan diubah dijadikan sebagai kawasan hijau. Ini gimana pemerintah? Kini ada kawasan daerah kami yang juga ingin diubah peruntukan tanahnya, jadi kami ngak bisa lagi minta IMB ataupun izin usaha. Apa artinya kami, para penduduk, nantinya harus tergusur ketika peruntukan tanah diubah pemerintah, secara sepihak?
Brief Answer: Pada prinsipnya kebijakan hukum tidak boleh berlaku surut (non retroaktif). Dalam kejadian tertentu, hukum dapat bersifat retroaktif, sepanjang tidak ada pihak-pihak yang dirugikan karenanya (lihat Undang-Undang tentang Administrasi Pemerintahan).
Bila kita taat asas tertib administrasi pemerintahan yang baik, maka yang dapat diubah peruntukan tanahnya menjadi Ruang Terbuka Hijau atau kawasan hijau atau istilah lain serupa, ialah daerah-daerah yang memang belum terdapat pemukiman, atau ketika pemerintah telah terlebih dahulu melakukan Pembebasan Lahan suatu daerah yang merupakan pemukiman penduduk.
PEMBAHASAN:
Bila kaedah hukum ditarik secara analogi, putusan Mahkamah Agung RI sengketa kebijakan pertanahan berikut dapat menjadi rujukan SHIETRA & PARTNERS sebagaimana tertuang dalam register Nomor 3214 K/Pdt/2015 tanggal 24 Februari 2016, perkara antara:
1. KOPERASI UNIT DESA BINA JAYA LANGGAM; 2. PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA, cq. MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, sebagai Para Pemohon Kasasi I dan II dahulu Tergugat I dan II; melawan
- MULIADI CHANDRA, selaku Termohon Kasasi dahulu Penggugat; dan
1. PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA cq. MENTERI DALAM NEGERI cq. PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN PELALAWAN, cq. DINAS KEHUTANAN KABUPATEN PELALAWAN; 2. ZAINUDDIN (mantan Kepala Desa Pangkalan Gondai), dan H. LASRI (Sekdes Desa Pangkalan Gondai)—dalam hal ini mewakili berbagai masyarakat Penerima Pembayaran ganti rugi lahan seperti yang terdapat dalam SKGR sehubungan dengan perkara ini; 3. BATIN MUDO, BATIN PELABI, beserta ketiapanya/Pemangku Adat Desa Gondai; 4. KEPALA DESA PANGKALAN GONDAI KABUPATEN PELALAWAN; 5. CAMAT LANGGAM, selaku Para Turut Termohon Kasasi dahulu Tergugat III dan Para Turut Tergugat.
Bermula ketika para Penggugat, membeli berbagai bidang tanah girik dari masyarakat hukum adat setempat. Setelah surat-surat tanah selesai diurus dan diterbitkan oleh Pemerintah Desa Pangkalan Gondai (Turut Tergugat III), Penggugat mulai mempekerjakan warga/memberi upah kepada penduduk setempat untuk bekerja mengolah lahan tersebut untuk dijadikan perkebunan dan ditanami tanaman kelapa sawit.
Pada awalnya setelah lahan ditanami kelapa sawit dan mulai berbuah, tidak pernah ada pihak lain yang mengklaim ataupun yang mempermasalahkan lahan tersebut, bahkan tidak ada satu pun tanda-tanda berupa plang atau plakat yang menerangkan bahwa lahan tersebut merupakan kawasan hutan atau hutan tanaman milik dari suatu perusahaan atau pihak lain, sebab didalam lahan/tanah tersebut hanya terdapat tanaman kelapa sawit milik Penggugat yang status kepemilikannya didapatkan dari hasil pembelian dari para masyarakat Desa Pangkalan Gondai (yang diwakili Turut Tergugat I) pada tahun 2004-2005 dimana surat-surat atas kepemilikan lahan tersebut telah diterbitkan oleh Pemerintah Desa Pangkalan Gondai (Turut Tergugat III).
Hingga kini, lahan yang menjadi Objek Perkara tetap dikuasai oleh Penggugat. Akan tetapi, pada Tahun 2012 Tergugat I mengklaim lahan Penggugat adalah areal dari hak pengelolaan hutan milik Tegugat I dengan cara melaporkan Penggugat Kepada Kepolisian Daerah Riau.
Kepolisian Daerah Riau kemudian memanggil dan memeriksa Penggugat sebagai Tersangka sehubungan dengan adanya dugaan tindak pidana dibidang kehutanan, menduduki, mengerjakan dan atau merambah kawasan hutan secara tidak sah dan atau tanpa mendapat ijin dari pejabat yang berwenang dan atau diduga melakukan budidaya tanaman perkebunan berupa kelapa sawit, tidak memiliki ijin usaha perkebunan dari pejabat yang berwenang di areal IUPHHK-HTI (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri) milik KUD Bina Jaya Langgam seluas kurang lebih 162 Ha (hektar) yang dilakukan oleh Sdr. Muliadi Chandra dan kawan-kawan, sebagaimana dimaksud dalam rumusan Pasal 50 ayat (3) huruf (a) juncto Pasal 78 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan dan/atau Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan.
Adapun yang menjadi dasar hukum Tergugat I (Koperasi Unit Desa Bina Jaya Langgam) mengklaim bahwa letak tanah Tergugat I berada diatas tanah milik Penggugat adalah Surat IUPHHK-HTI yang diterbitkan oleh Tergugat II, yaitu Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.228/MENHUT-II/2007 Tentang Pembaharuan IUPHHK-HTI dalam hutan tanaman KUD Bina Jaya Langgam atas areal hutan produksi seluas kurang lebih 1.910 hektar di Propinsi Riau.
Sementara alas hak kepemilikan dan pengolahan lahan dari Penggugat adalah berasal dari jual-beli dengan anggota masyarakat Desa Pangkalan Gondai pada Tahun 2004, dengan alas hak kepemilikan berupa Surat Keterangan Ganti Rugi yang diterbitkan Pemerintahan Gondai Tahun 2005 (Turut Tergugat III).
Maka menjadi ganjil bila lahan kemudian diklaim Tergugat I sebagai areal IUPHHK-HTI miliknya yang diberikan oleh Tergugat II, sebab asal-usul lahan dimaksud adalah lahan yang telah lama diolah dan dikuasai serta dimiliki oleh penduduk masyarakat Desa Pangkalan Gondai secara turun-temurun dan lahan tersebut merupakan hak ulayat dari Masyarakat Desa Pangkalan Gondai sesuai dengan Surat Pernyataan Penyerahan Lahan dari Ninik Mamak yang diketahui oleh Kepala Desa Pangkalan Gondai (Turut Tergugat III) beserta Camat Langgam (Turut Tergugat IV), pada bulan November 2004, dan surat Pernyataan tersebut dibuat sebelum dilaksanakan transaksi jual-beli antara Penggugat dengan Turut Tergugat I pada Tahun 2004-2005, sehingga tanah sah sebagai milik Penggugat.
Lagipula, pada bagian amar memutuskan dan menetapkan pada Surat Penunjukan Kawasan yang diterbitkan oleh Tergugat II, yaitu Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 228/MENHUT-II/2007 tanggal 20 Juni 2007, dalam salah satu ketentuan didalamnya, disebutkan:
“Apabila didalam areal IUPHHK-HTI dalam hutan tanaman terdapat lahan yang telah menjadi tanah milik, perkampungan, tegalan, persawahan atau telah diduduki dan digarap oleh pihak ketiga secara sah maka lahan tersebut dikeluarkan dari areal kerja IUPHHK pada tanaman hutan tanaman industri.”
Sehingga jika seandainya pun tanah lahan tersebut merupakan sebahagian dari lahan areal IUPHHKHTI dalam hutan tanaman yang diberikan oleh Tergugat II kepada Tergugat I berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan, maka sudah sepatutnya lahan/tanah milik Penggugat harus dikecualikan dan dikeluarkan dari lahan areal milik Tergugat I.
Keputusan Menteri Kehutanan tersebut juga menyebutkan: “KUD Bina Jaya Langgam sebagai pemegang IUPHHK pada HTI dalam hutan tanaman harus memenuhi kewajiban-kewajiban salah satu antara lain: Melaksanakan penataan batas areal kerja paling lambat 1 (satu) Tahun sejak diberikan IUPHHK dalam hutan tanaman.” Namun hal tersebut belum pernah dilaksakan oleh Tergugat I.
Keputusan Menteri Kehutanan juga mengatur: “Luas dan letak Definitif areal IUPHHK pada HTI dalam hutan tanaman atas areal hutan produksi tersebut amar kesatu ditetapkan oleh Departemen Kehutanan setelah dilaksanakan penataan batas di lapangan.”
Senyatanya Tergugat I belum melakukan penataan batas sehingga luas areal dan letak definitif areal IUPHHK pada HTI dalam hutan tanaman belum dilakukan oleh Tergugat I, sehingga status areal KUD Bina Jaya Langgam (BJL) belum jelas dan belum mempunyai kekuatan hukum, oleh karena itu perbuatan Tergugat I yang mengklaim bahwa tanaman sawit milik Penggugat seluas 162 hektar yang selama ini dikelola oleh Penggugat adalah kawasan/areal IUPHHK pada HTI dalam hutan tanaman Tergugat I, adalah tidak berdasarkan hukum.
Tindakan Tergugat I yang mengklaim lahan milik Penggugat yang menjadi objek perkara ini, hanya dengan dasar berupa memegang Surat Keputusan menteri Nomor 228/MENHUT-II/2007 tanggal 20 Juni 2007 dari Tergugat II, sementara surat tersebut bukanlah sebagai bukti kepemilikan jika tidak diikuti dengan pemetaan luas tanah dan letak tanah, persetujuan masyarakat banyak, maupun surat penetapan Departemen Kehutanan.
Dalam pemberian izin IUPHHKHT, Tergugat II seharusnya melakukan cross-cek ke lapangan sehingga dapat diketahui keadaan objek hak yang akan diberikan izin sehingga tidak menimbulkan adanya tumpang-tindih hak. Dalam pemberian hak pengelolaan hutan, tidak semata-mata hanya berlandaskan rekomendasi dari Kepala Daerah (Bupati), melainkan pemberi hak dan kewajiban atau Tergugat II dan Tergugat III juga harus melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan hak tersebut (Hak dan Kewajiban dari Tergugat I sebagai penerima izin IUPHHKHT), sehingga pelaksanaan dan pemberian izin tersebut tidak menyebabkan keresahan pada masyarakat, terutama bagi masyarakat yang telah mengolah dan menanami dengan kelapa sawit seperti yang dialami Penggugat.
Perbuatan Tergugat I yang menyatakan lahan dimaksud adalah milik KUD Bina Jaya Langgam, dinilai sebagai Perbuatan Melawan Hukum yang membawa kerugian bagi Penggugat, baik secara materil maupun immateril.
Sementara itu pihak Tergugat dalam bantahannya menyebutkan, masalah sesungguhnya dalam hal ini adalah tentang kawasan hutan yang telah ditunjuk oleh Pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor 173/Kpts-II/1986 tanggal 6 Juni 1986, bukan sengketa kepemilikan antara Penggugat dengan Tergugat I.
SK Menteri Kehutanan Nomor 173/KPTS-II/1986 tanggal 6 Januari 1986 tentang Penunjukan Areal Hutan di Wilayah Propinsi Daerah TK I Riau sebagai kawasan hutan, sementara Penggugat mendalilkan, bahwa lahan terletak di areal Non Hak Pengusahaan Hutan (HPH) tetapi Penggugat tidak mengetahui bahwa areal dan atau lahan tersebut berada dalam kawasan hutan, sehingga bukti kepemilikan lahan/tanah yang dimiliki Mulyadi Chandra sebagai Penggugat belum mempunyai kekuatan hukum sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Gugatan yang diajukan oleh Mulyadi Chandra terhadap lahan seluas 162 hektar yang sudah ditanami dengan kelapa sawit, merupakan areal Kawasan Hutan Produksi Terbatas Tesso Nilo dan belum mempunyai Surat Izin Pelepasan Kawasan Hutan dari Menteri Kehutanan, dimana terhadap pembangunan perkebunan yang dimiliki Mulyadi Chandra, belum mempunyai Ijin Usaha Perkebunan dan Ijin Lokasi dari Pejabat yang berwenang sesuai dengan yang diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 26/Permentan/OT.140/2007 tanggal 28 Februari 2007.
Penggugat dinilai hanya memakai ketentuan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan hanya sepotong-sepotong untuk mengambil Pasal yang diinginkan saja demi kepentingannya tanpa menghubungkan dengan ketentuan ayat sebelumnya yang menjadi landasan penjelasan ayat berikutnya yang mengakibatkan pengertian maupun pemahaman Penggugat tentang makna pasal-pasal menjadi salah dan keliru.
Terhadap gugatan Penggugat, Pengadilan Negeri Pelalawan kemudian menjatuhkan Putusan Nomor 05/Pdt.G/2014/PN.Plw., tanggal 29 Oktober 2014, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan bahwa perbuatan Tergugat I adalah perbuatan melawan hukum;
3. Menyatakan bahwa lahan yang menjadi objek perkara a quo adalah milik Penggugat dan 13 (tiga belas) orang lain yang diwakili oleh Penggugat dalam Surat Kuasa yang dibuat dihadapan Notaris ... , Nomor 11 tanggal 05 April 2014, dan dikeluarkan/dikecualikan dari objek hak pengelolaan hutan dari Tergugat I berdasarkan Surat Keputusan Nomor 228/MENHUT-II/2007 tanggal 20 Juni 2007;
4. Menyatakan bahwa jual-beli antara Penggugat dengan Turut Tergugat I serta semua dokumen yang berhubungan dengan Lahan a quo yang dimiliki dan diperoleh Penggugat dengan cara membeli dari Turut Tergugat I adalah sah dan berharga;
5. Menyatakan bahwa Penggugat sebagai pemilik yang sah atas lahan yaitu atas nama Muliadi Chandra sebanyak 7 (tujuh) SKGR yaitu: ... Bahwa SKGR yang selebihnya tetap dinyatakan pemiliknya seperti yang tercantum atas nama yang tertera dalam SKGR yang bersangkutan;
6. Menyatakan Tergugat II dan Tergugat III telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum yaitu perbuatan yang lalai dalam pengawasan terhadap pemberian izin pengelolaan hutan berdasarkan Keputusan Nomor 228/MENHUT-II/2007 tanggal 20 Juni 2007 kepada Tergugat I;
7. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
Dalam tingkat banding atas permohonan Tergugat I dan Tergugat II, putusan Pengadilan Negeri tersebut telah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Pekanbaru dengan Putusan Nomor 41/PDT/2015/PT PBR., tanggal 4 Juni 2015.
Tergugat I dan II selanjutnya mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan yang memiliki kaedah norma yang penting untuk disimak, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“Bahwa alasan-alasan kasasi dari Pemohon Kasasi I dan II tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah membaca Memori Kasasi tanggal 27 Juli 2015, 4 Agustus 2015 dan Kontra Memori Kasasi tanggal 5 Agustus 2015, 24 Agustus 2015 dengan dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti (Putusan Pengadilan Tinggi Pekanbaru yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Pelelawan tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa objek sengketa telah lebih dahulu dibeli dan dikuasakan Penggugat dari Masyarakat Pemilik Lahan pada tahun 2005, jauh sebelum ijin Kemenhut yang baru terbit kepada Tergugat tahun 2007;
“Bahwa dengan demikian kepemilikan lahan objek sengketa oleh Penggugat harus dilindungi, lebih lagi sesuai hasil pemeriksaan setempat oleh Judex Facti ternyata diatas tanah objek sengketa telah menjadi perkebunan kelapa sawit milik Penggugat dan telah menghasilkan buah dan diurus dan dikelola dengan baik;
“Bahwa sebaliknya, pihak Tergugat belum sama sekali melakukan pembatasan lahan atas kepemilikan pihak lain dan juga kewajiban lain belum dilakukan, sehingga tindakan Tergugat mengklaim objek sengketa sebagai miliknya adalah tidak dapat dibenarkan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas ternyata putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi I: KOPERASI UNIT DESA BINA JAYA LANGGAM, dan Pemohon Kasasi II: PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA, cq. MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I: KOPERASI UNIT DESA BINA JAYA LANGGAM, dan Pemohon Kasasi II: PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA, cq. MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.