LEGAL OPINION
Question: Sebenarnya jika ada tanda-tanda sengketa kepemimpinan internal suatu perusahaan, apa sebaiknya rencana kerjasama dengan perusahaan itu ditunda terlebih dahulu, atau bagaimana?
Brief Answer: Jika memang sudah terdapat tanda-tanda sengketa antar kepengurusan, sebaiknya ditunda atau bahkan dibatalkan, karena sangat rawan. Jangankan terhadap pihak eksternal, terhadap pihak internal seperti karyawan sekalipun, berpotensi tiadanya ketidakpastian hukum.
Namun bila memang terpaksa melakukan hubungan hukum dengan badan hukum yang sedang mengalami sengketa internal manajemen, maka yang menjadi patokan yuridis bagi pihak-pihak eksternal, ialah lewat analogi berikut: suatu keputusan ataupun penetapan Tata Usaha Negara (beschikking), semisal penetapan gubernur perihal pemberian izin, yang kemudian apabila dipersengketakan oleh suatu pihak ke pengadilan, dimana meski Pengadilan Tata Usaha Negara kemudian menjatuhkan amar putusan berupa “membatalkan keputusan / penetapan”, namun sepanjang belum berkekuatan hukum tetap karena masih berlangsung suatu upaya hukum ataupun kasasi oleh salah satu pihak yang bersengketa, maka penetapan / keputusan Tata Usaha Negara tersebut masih sah keberlakuannya, mengingat putusan pengadilan yang belum berkekuatan hukum tetap diasumsikan belum merubah status hukum suatu keadaan yang dipersengketakan—kecuali bila terdapat amar “putusan serta-merta” (uit voorbaar bij vooraad).
PEMBAHASAN:
Secara analogi, untuk itu SHIETRA & PARTNERS merujuk pada putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 64 K/Pdt.Sus-PHI/2015 tanggal 19 Maret 2015, perkara antara:
- YULIMAYANTI, sebagai Pemohon Kasasi, semula selaku Penggugat; melawan
- PERHIMPUNAN PENGHUNI PERMATA HIJAU APARTEMEN (PPPHA), selaku Termohon Kasasi dahulu Tergugat.
Penggugat bekerja berdasarkan kontrak yang ditandatangani pada tanggal 3 Oktober 2012 dan berakhir tanggal 2 Oktober 2013, dengan gaji sebesar Rp4.000.000,00 dengan jabatan sebagai Legal Officer. Kontrak tersebut ditandatangani untuk dan atas nama Tergugat oleh Ketua Pengurus PPPHA periode Juli 2011-2014 sesuai dengan AD/ ART PPPHA.
Timbul permasalah intern dalam tubuh Tergugat (antara pengurus dan anggota PPPHA), yang berujung kepada upaya perebutan pengurusan yang berawal dari adanya rapat warga tertanggal 2 Juni 2012, yang dinilai tanpa mengindahkan aturan yang ada dalam AD/ART.
Dalam rapat tersebut, sebagian anggota PPPHA menyatakan bahwa Pengurus PPPHA tahun 2011-2014 telah dibekukan sejak tanggal 2 Juni 2012, dan menyatakan adanya pembentukan caretaker. Tanggal 3 Juni 2013, Para caretaker menekankan kepada Penggugat, selaku acting Building Manager, bahwa telah terjadi pembekuan pengurus dan sekarang yang mengambil alih operasional adalah caretaker. Untuk itu Penggugat dilarang memberikan cek, giro, dan apapun kepada Pengurus PPPHA 2011-2014 untuk ditandatangani.
Ketika Penggugat tanyakan mengenai surat-surat pendukung dari sah tidaknya rapat tanggal 2 Juni 2012 tersebut, caretaker selalu mengelak dan menyatakan sedang di kantor notaris, kami juga menanyakan melalui surat kepada Notaris tentang kebenaran hal tersebut, namun tidak mendapatkan jawaban hingga saat ini.
Berulang kali Penggugat menanyakan dokumen-dokumen tersebut, namun tidak mendapatkan hasil, sehingga Penggugat memutuskan untuk menjalankan tugas seperti biasa, yaitu dengan berkoordinasi dengan Pengurus PPPHA periode 2011-2014. Karena menurut Penggugat, rapat tanggal 2 Juni 2013 tidak sah dan pengurus yang sah adalah Pengurus yang diangkat pada bulan Juli 2011.
Keyakinan Penggugat didukung oleh surat dari Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintah Daerah yang menyatakan tidak pernah mendukung rapat tertanggal 2 Juni 2013, dan menyatakan bahwa semua rapat harus sesuai dengan AD/ART.
Kemudian Pengurus PPPHA periode 2011-2014 mempromosikan Penggugat menjadi Building Manager dan menandatangani kontrak tertanggal 17 Juni 2013 sampai dengan 16 Juni 2014 dengan gaji sebesar Rp6.500.000,00 dengan tunjangan makan dan transport sebesar Rp25.000,00 per hari kehadiran.
Pada tanggal 24 Juni 2013, Penggugat masuk kantor untuk melakukan tugas, namun kemudian Penggugat diusir secara paksa oleh Ketua caretaker, juga oleh bendahara caretaker, serta chief security. Pihak Careteker juga menahan gaji Penggugat sejak bulan Juni 2013.
Kemudian melalui jasa kurir, Penggugat menerima surat PHK tertanggal 1 Juli 2013 yang isinya selain pemutusan hubungan kerja, juga menyatakan tidak akan membayar sisa kontrak karena dinilai telah merugikan Perusahaan. Surat tersebut ditandatangani oleh Ketua caretaker.
Pada tanggal 7 Oktober 2013, Penggugat mengadukan permasalah ini ke Disnaker Jakarta Selatan untuk bisa dilakukan mediasi, dimana selanjutnya Mediator Disnaker menerbitkan Anjuran tertulis tertanggal 20 Februari 2014, yang berisi:
“Menganjurkan:
1. Agar pihak Pengusaha Perhimpunan Penghuni Permata Hijau Apartement (PPPHA) bersedia membayar ganti rugi kepada phak Pekerja Sdr. Yulimayanti sebesar upah pekerja sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja dan upah bulan Juni 2013;
2. Agar pihak sdr. Yulimayanti bersedia untuk menerima kompensasi pengakhiran hubungan kerja sebagaimana dimaksud angka 1 di atas.”
Penggugat sependapat dengan anjuran Disnaker dan meminta agar Tergugat segera membayarkan hak Penggugat sebagaimana diatur dalam Pasal 62 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan:
“Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebeelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti kerugian kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.”
Sementara pihak Tergugat memaparkan, adapun hasil Keputusan Rapat Umum Luar Biasa tanggal 2 Juni 2014 PPPHA tersebut, ialah: “... Pembekuan Pengurus Perhimpuan Periode 2011-2014.” Penggugat dengan demikian, membuat dan menandatangani pembaharuan kontrak kerja untuk masa kerja tertanggal 17 Juni 2013 sampai dengan 16 Juni 2014 dengan pihak-pihak yang sudah tidak mempunyai kewenangan apapun untuk bertindak atas nama PPPHA. Dimana diketahui dengan pasti kepengurusan tersebut (Penggurus yang lama) sudah dibekukan dengan Rapat Umum Luar Biasa tanggal 2 Juni 2013 sehingga tidak dapat lagi melakukan perbutan hukum apapun yang berkaitan dengan PPPHA.
Atas tindakan-tindakan tersebut, Tergugat menerbitkan surat Pemutusan Hubungan Kerja tertanggal 1 Juli 2013. Kontrak Kerja tanggal 17 Juni 2013 yang ditandatangani oleh Penggugat dan pengurus lama periode 2011 sampai dengan 2014, adalah cacat hukum oleh karena pengurus yang mewakili PPPHA periode 2011 sampai dengan 2014, telah dibekukan sejak tanggal 2 Juni 2013. Konsekuensinya, pengurus yang menandatangani Perjanjian Kerja tanggal 17 Juni 2013 tersebut tidak lagi berwenang mewakili PPPHA, sehingga apapun tindakan yang dilakukan pengurus periode 2011 sampai dengan 2014 adalah cacat hukum dan haruslah dibatalkan.
Terhadap gugatan sang Pekerja, Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta Pusat kemudian menjatuhkan Putusan Nomor 103/PHI.G/2014/PN.Jkt.Pst, tanggal 6 Oktober 2014, dengan pertimbangan serta amar sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa Kepengurusan lama sudah dibekukan berdasarkan rapat penghuni tanggal 2 Juni 2013 sehingga kontrak kerja yang ditandatangani oleh Pengurus Lama dengan Penggugat, tidak menjadi tanggung jawab Pengurus Baru;
“MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan ‘Putus’ hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat terhitung sejak putusan ini diucapkan;
3. Menghukum Tergugat untuk membayar kepada Penggugat upah sisa masa kontrak kerja yang belum dibayarkan sejak bulan Juli sampai dengan Oktober 2013 dan upah bulan Juni 2013 yang seluruhnya sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah);
4. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya.”
Sang Pekerja mengajukan upaya hukum kasasi. Adapun salah satu argumentasi, salah satunya berkeberatan atas pertimbangan Pengadilan Hubungan Industrial yang menyatakan bahwa Penggugat tidak berhak atas THR tahun 2013 karena tidak memenuhi syarat sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor Per-04/MEN/1994.
Sementara jika syarat yang yang dimaksud oleh Pengadilan Hubungan Industrial adalah PHK tersebut dilakukan lebih dari 1 bulan sebelum jatuhnya tanggal Hari Raya sehingga Penggugat kehilangan haknya atas THR, maka pertimbangan ini menjadi kontradiktif dengan diktum amar ke-2: “Menyatakan Putus hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat terhitung sejak putusan ini diucapkan.”
Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“Bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 6 Nopember 2014 dan kontra memori kasasi tanggal 20 Nopember 2014 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa Judex Facti sudah tepat dan benar dalam pertimbangan hukumnya dengan menerapkan ketentuan Pasal 62 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap peristiwa hukum a quo;
“Bahwa mengenai perjanjian kerja sama untuk jangka waktu tertentu tertanggal 17 Juni 2003 sebagaimana bukti P-2 tidak dapat dipertimbangkan, karena ditandatangani oleh orang yang tidak berhak;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, ternyata bahwa Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: YULIMAYANTI tersebut harus ditolak;
“M E N G A D I L I :
“Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi YULIMAYANTI tersebut.”
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.