Hak Pemilik Rumah untuk Memperpanjang SHGB Diatas HPL Pemerintah Daerah

LEGAL OPINION
Question: Bangunan rumah keluarga kami sertifikatnya Hak Guna Bangunan (SHGB). Saat ini masa berlaku sertifikat sudah akan berakhir, tapi BPN (Kantor Pertanahan) tidak juga mau mengambulkan permohonan perpanjangan SHGB kami. Tetangga juga tidak bisa. Alasan orang BPN, sertifikat rumah kami berdiri diatas tanah Hak Pengelolaan (HPL) suatu instansi pemerintah yang tidak memberi izin perpanjangan HGB kami. Apa memang tidak bisa berkutik, kami selaku warga pemilik rumah untuk memperpanjang sertifikat rumah kami sendiri?
Brief Answer: Problematika hukum pertanahan demikian kerap terjadi, dan sudah cukup banyak menjatuhkan “korban”. “SHGB tidak murni” memang cukup rentan dibanding “SHGB murni”, karena “SHGB tidak murni” berdiri diatas HPL milik instansi pemerintah ataupun Pemerintah Daerah setempat. Ketika pemilik HPL tidak mengizinkan pemegang “SHGB tidak murni” untuk memperpanjang masa berlaku SHGB warga, maka tentunya hal tersebut akan menjadi “mimpi buruk” pemegang SHGB.
Meski demikian, tampaknya masih terdapat secercah harapan, sekalipun hak atas tanah “SHGB tidak murni” telah kadaluarsa, terutama bila para pemegang SHGB merupakan para konsumen produk properti, disamping fakta aktual bahwa pemegang SHGB menguasai secara efektif fisik objek tanah.
PEMBAHASAN:
Putusan Mahkamah Agung RI sengketa tanah berikut dapat SHIETRA & PARTNERS kategorikan sebagai landmark decision, sebagaimana register Nomor 850 K/Pdt/2012 tanggal 24 Oktober 2012, perkara antara:
- PEMERINTAH KOTA/WALIKOTA SEMARANG, sebagai Pemohon Kasasi, semula selaku Tergugat I; melawan
- 42 orang warga pemilik SHGB, selaku Para Termohon Kasasi dahulu para Penggugat; dan
1. PT. PAGAR GUNUNG KENCANA; 2. KEPALA KANTOR PERTANAHAN KOTA SEMARANG, selaku Para Turut Termohon Kasasi dahulu Tergugat II & III.
Penggugat adalah pemilik yang sah atas tanah dan bangunan berdasarkan Sertifikat Hak Atas Tanah (SHGB) yang diterbitkan oleh pihak yang berwenang, yakni Kantor Pertanahan Kota Semarang, sesuai prosedur dan telah memenuhi Ketentuan Peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebagai akta otentik, sehingga sertifikat hak atas tanah tersebut merupakan alat bukti kepemilikan yang sah, mempunyai kekuatan hukum yang konsekuensi logisnya ialah dilindungi pula oleh hukum.
Penggugat dengan demikian merujuk yurisprudansi Mahkamah Agung RI No. 1230 K/Sip/1980, yang membentuk kaedah norma: “Bahwa pembeli yang beritikad baik harus mendapatkan perlindungan hukum.”
Selama ini, sejak timbulnya hak atas tanah sampai dengan kini, para Penggugat adalah pihak yang menguasai secara fisik (antara kain dengan menghuni dan melakukan kegiatan usaha) atas tanah & bangunan milik para Penggugat. Yang mana bila berdasarkan norma Pasal 32 Ayat 2 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, memiliki pengaturan:
“Apabila sebidang tanah diterbitkan secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan kepala kantor pertanahan yang bersangkutan atau pun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut.”
Proses perolehan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) atas bangunan-bangunan milik para Penggugat tersebut dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang (Pemerintah Kota Semarang), yang diterbitkan sesuai prosedur. Para Penggugat juga merupakan pihak yang telah memenuhi segala kewajiban terhadap Negara, seperti melaksanakan segala persyaratan dan tertib administrasi pajak-pajak atas tanah dan bangunan.
Penggugat melanjutkan dalilnya, bahwa selama ini ternyata tidak pernah ada pihak manapun yang membantah secara hukum atas penguasaan tanah dan bangunan milik para Penggugat tersebut, dimana hingga kini tidak ada putusan dari Pengadilan manapun yang membatalkan validitas sertifikat hak guna bangunan atas nama para Penggugat.
Dengan demikian, dikatakan bahwa para Penggugat adalah pemilik yang sah / pihak yang berhak atas tanah dan bangunan milik para Penggugat tersebut, oleh karena itu segala tindakan yang dilakukan oleh pihak lain manapun yang bermaksud untuk menghilangkan hak kepemilikan atas tanah dan bangunan milik para Penggugat, harus dinyatakan tidak melawan hukum.
Sebagai pemilik yang sah atas tanah dan bangunan maka para Penggugat merasa memiliki hak subyektif untuk melakukan tindakan hukum apapun terhadap tanah dan bangunan diatasnya, termasuk dalam hal ini untuk mempertahankan status hak kepemilikannya dengan mengajukan Permohonan Perpanjangan Hak Guna Bangunan (HGB) atas tanah dan bangunan milik Penggugat.
Berkaitan dengan hal tersebut, ternyata pihak Tergugat I (Pemerintah Kota Semarang), telah melarang dan/atau memerintahkan agar Tergugat III (Kepala Kantor Pertanahan Kota Semarang) untuk tidak memperpanjang Hak Guna Bangunan yang diajukan oleh para Penggugat.
Hal tersebut sesuai dengan surat Tergugat I (Pemerintah Kota Semarang) kepada Tergugat III (Kepala Pertanahan Kota Semarang), perihal: menolak perpanjangan HGB Kanjengan, yang menyatakan:
- Bersama ini kami sampaikan bahwa pada saat dikeluarkannya HGB atas nama Yuser di Kanjengan, peraturan mengenai HPL pada saat itu belum ada; [Note SHIETRA & PARTNERS: Suatu fakta yuridis yang dibongkar sendiri oleh Pemda.]
- Sehubungan dengan hal tersebut diminta agar Kantor Pertanahan Kota Semarang untuk tidak memperpanjang HGB Komplek Kanjengan.
Berdasarkan bukti otentik Sertifikat HGB dan Akta Jual Beli beserta akta-akta turutannya, terdapat hubungan hukum antara para Penggugat dengan pihak Tergugat II, yang mana Tergugat II adalah sebagai pihak penjual asal atas tanah dan bangunan tersebut.
Proses jual beli atau perolehan hak atas tanah-tanah dan bangunan, telah dilakukan menurut prosedur dan berdasarkan pada hukum yang berlaku, oleh karena itu demi hukum pihak para Penggugat adalah pemegang hak yang sahih dan merupakan pembeli yang beritikad baik, oleh karena itu pihak Penggugat harus dilindungi hukum.
Berdasarkan ketentuan azas kejujuran yang harus dipenuhi dengan dituangkan dalam klausula yang terdapat dalam Akta Jual Beli tanah dan bangunan, sebagai pihak penjual, Tergugat II seharusnya berlaku jujur dan berkewajiban untuk menjamin tanah dan bangunan yang dijualnya bebas dari sengketa ataupun segala beban hukum berkaitan dengan pihak lain yang dapat merugikan pihak pembeli.
Penjual (Tergugat II) berkewajiban untuk memberi informasi secara jujur dan terbuka mengenai segala hal yang penting atas obyek/tanah dan bangunan yang dijualnya, sehingga pembeli (para Penggugat) dapat mengambil keputusan yang tepat dan benar dalam membeli obyek/tanah dan bangunan yang akan dibelinya.
Sejak semula Tergugat II sebagai penjual asal telah menjamin tanah dan bangunan yang dijualnya, yang sekarang telah menjadi milik para Penggugat, bebas dari sengketa, bebas dari hubungan perikatan dengan pihak lain, serta menjamin hak (SHGB) atas tanah dan bangunan dapat diperpanjang pada Kantor Pertanahan Kota Semarang.
Fakta adanya surat Tergugat I (Pemerintah Kota Semarang) kepada Tergugat III (Kepala Pertanahan Kota Semarang) perihal: Menolak perpanjangan HGB Kanjengan, maka hal membuktikan bahwasannya pihak Tergugat II telah memberikan keterangan tidak benar kepada pihak Penggugat, oleh karena ternyata telah menutupi informasi tentang adanya hubungan hukum dengan pihak lain (Tergugat I), yang mana hal tersebut dapat merugikan pihak Penggugat. [Note SHIETRA & PARTNERS: Kasus tersebut sejatinya sama seperti kasus yang menimpa para pembeli kios di atas HPL Pemda DKI Jakarta, dalam sengketa antara Khoe Seng Seng dan para Pemilik Kios Mangga Dua Vs. PT. Duta Pertiwi. Lihat pula kontras yang terjadi dalam amar putusan perkara tersebut dengan perkara ini.]
Tindakan Tergugat II dinilai melanggar kepatutan dan asas keterbukaan dalam hukum, karena Tergugat II sejak semula sama sekali tidak pernah memberitahukan hal yang sebenarnya mengenai status hukum dan/atau adanya hubungan hukum/perikatan dengan pihak lain, terhadap tanah dan bangunan yang dijualnya, sehingga hal tersebut sudah cukup untuk membuktikan bahwa sebenarnya pihak Tergugat II mempunyai itikad tidak baik yang bertujuan merugikan para Penggugat.
Sudah seharusnya para Penggugat berhak untuk mengajukan Permohonan Perpanjangan HGB atas tanah dan bangunan, sebab sebagai pemilik yang sah dan demi untuk mempertahankan haknya yang dijamin dan dilindungi oleh hukum, sesuai prosedur hukum para Penggugat telah mengajukan permohonan perpanjangan HGB, akan tetapi hingga kini pihak Tergugat III tetap tidak mengabulkan permohonan para Penggugat.
Sementara itu, adapun yang menjadi pokok sanggahan pihak Tergugat, yakni bahwa permohonan untuk menyatakan sah atau tidak sah atau mencabut sebuah obyek produk hukum administrasi negara, haruslah diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), bukan kepada Pengadilan Negeri.
Dalam sejarahnya, Hak Guna Bangunan para Penggugat adalah berasal dari pemberian hak atas Tanah Negara berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. SK.23/HGB/DA/1976 tanggal 17 Juli 196, kemudian berdasarkan Surat Keputusan tersebut, diterbitkanlah SHGB No. 73/ Kartoharjo atas nama PT. Pagar Gunung Kencana, yang kemudian dijual kepada para Penggugat dengan seizin Menteri Dalam Negeri dan dipecah-pecah/dipisahkan menjadi HGB-HGB atas nama para Penggugat.
Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri RI No. SK. 231/HGB/DA/76 tanggal 17-7-1976 dalam konsideran “Memutuskan/Menetapkan” bagian Diktum Kedua angka 5, menyatakan: “Tanah yang diberikan dengan Hak Guna Bangunan ini apabila akan dialihkan/dipindahkan haknya kepada pihak lain harus dimintakan ijin terlebih dahulu kepada Menteri Dalam Negeri Cq. Dirjen Agraria”; dan diktum kedua angka 10, berbunyi “Bahwa selama tanah yang dimaksud dikuasai / diberikan kepada PT. Pagar Gunung Kencana dengan Hak Guna Bangunan, maka hak penguasaan atas tanah tersebut menjadi tidak berlaku lagi/batal dan setelah jangka waktu Hak Guna Bangunan atas tanah tersebut berakhir maka hak penguasaan tanah tersebut kembali pada Pemerintah Daerah Kotamadya Semarang.”
Mendasarkan kepada keberadaan Surat Perjanjian dan Surat Keputusan Mendagri, menjadi jelas apa yang dilakukan Tergugat III dengan menghentikan segala proses perpanjangan hak dan perubahan status hak karena tanpa adanya ijin dari pihak Pemerintah Daerah Kota Semarang, merupakan Keputusan Tata Usaha Negara, yang mana sengketa Tata Usaha Negara yang diajukan Para Penggugat dalam perkara terpisah, PTUN telah menjatuhkan amar putusan berupa “menolak” gugatan dan kini telah berkekuatan hukum tetap.
Karena dasar dari penolakan proses Perpanjangan Hak Guna Bangunan oleh Tergugat III sebagai Keputusan Tata Usaha Negara, maka konsekuensi logisnya bukan lagi kewenangan dari Peradilan Umum. Terhadap gugatan Penggugat maupun dalil-dalil bantahan Tergugat, Pengadilan Negeri Semarang kemudian menjatuhkan putusan Nomor: 193/Pdt.G/2010/PN.Smg., tanggal 15 Juni 2011, dengan pertimbangan serta amar sebagai berikut:
“Para Penggugat asal adalah pemilik tanah dan HGB di Komplek Kanjengan Semarang berdasarkan Jual Beli dengan Tergugat II dan oleh karenanya sebagai pembeli beritikat baik secara hukum harus dilindungi (Vide: Pasal 19 ayat (2) dan Pasal 10 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA, Pasal 32 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Pasal 31 PP No. 24 Tahun 1977, Pasal 1870 KUHPerdata jo. Pasal 165 HIR dan Yurisprudensi MARI No. 1230 K/Sip/1980);
MENGADILI :
Dalam Eksepsi:
- Menolak Eksepsi Tergugat I, Tergugat II;
Dalam Pokok Perkara:
1. Menyatakan gugatan para Penggugat dikabulkan sebagian;
2. Menyatakan para Penggugat masing-masing adalah pemilik yang sah atas tanah dan bangunan sebagai berikut:
2.1. Bahwa Penggugat 01 (Meyliani Yuwono) adalah pemilik yang sah atas sebidang tanah dan 1 (satu) unit bangunan Ruko yaitu: ...;
2. ...;
2.42. Bahwa Penggugat 42 (Susanto alias Tjiong Tjiauw Sing) adalah satu-satunya pemilik sah atas sebidang tanah dan 1 (satu) unit bangunan Ruko yaitu: ...;
3. Menyatakan para Tergugat telah melakukan ‘Perbuatan melawan hukum’ (Onrechtmatige daad) terhadap para Penggugat;
4. Menyatakan sah menurut hukum dan memerintahkan Kepala Kantor Pertanahan Kota Semarang (Tergugat III) untuk memperpanjang haknya atas Sertifikat Hak Guna Bangunan, sebagai berikut:
1. Sertifikat Hak Guna Bangunan No. 231, seluas kurang lebih 105 M2, Gambar Situasi No. 267/VIII/1997 tanggal 23 Mei 1997, atas nama Insinyur Meyliani Yuwono (Vide bukti P-1);
...;
5. Menghukum pada Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat III untuk membayar biaya perkara secara tanggung renteng sebesar Rp1.697.000,00;
6. Menolak gugatan para Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
Dalam tingkat banding, atas permohonan Tergugat I, putusan Pengadilan Negeri diatas kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Semarang dengan putusan No. 336/Pdt/2011/PT.Smg., tanggal 19 Oktober 2011.
Pihak Pemda mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan bahwa Sertifikat HGB No. 73/Kartohardjo a/n PT. Pagar Gunung Kencana dahulunya adalah merupakan Tanah Bekas Hak Eigendom Verponding No. 1484 a/n T. Gouvernement Van Ned Indie seluas 16.421 M2 yang beralih kepemilikannya menjadi milik Pemerintah Kota Semarang berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah Partikelir.
Oleh karena pada waktu itu Pemerintah Daerah Kotamadya Semarang belum memerlukan obyek sengketa, maka dalam kedudukannya sebagai pemilik tanah, Walikota Semarang kemudian melakukan kerjasama dengan PT. Pagar Gunung Kencana untuk memanfaatkan Obyek Sengketa sebagaimana tersebut dalam Surat Perjanjian tanggal 11 Juli 1974 dan Surat Perjanjian tambahan tanggal 31 Desember 1975, yang pada intinya berisi:
- PT. Pagar Gunung Kencana diberi Hak menguasai dan memanfaatkan Obyek Sengketa untuk membangun Ruko dan Super Market dengan diberikan Hak berupa Hak Guna Bangunan (HGB) selama 30 tahun;
- Setelah jangka waktu HGB berakhir, maka PT. Pagar Gunung Kencana harus menyerahkan penguasaannya tersebut kepada Pemerintah Kota Semarang.
Atas dasar Surat Perjanjian tersebut, maka untuk selanjutnya pihak Mendagri menerbitkan Surat Keputusan tertanggal 17 Juli 1976 yang memberikan persetujuan untuk memberikan HGB kepada PT. Pagar Gunung Kencana selama 30 tahun, dengan ketentuan apabila PT. Pagar Gunung Kencana akan memindah-tangankan atau mengalihkan HGB tersebut, terlebih dahulu harus mendapatkan ijin dari Mendagri cq. Direktorat Agraria dan Pemerintah Daerah Kotamadya Semarang.
Berdasarkan SK. Mendagri tertanggal 17 Juli 1976, kemudian Kantor Pertanahan Kota Semarang (d/h Kantor Agraria) menerbitkan Sertifikat HGB No. 73/Kartohardjo atas nama PT. Pagar Gunung Kencana. Hak Guna Bangunan yang dikuasai para Penggugat, berasal dari pemecahan Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 73 dimana batas waktu berakhirnya pada tanggal 25 Oktober 2006, sehingga konsekuensi logisnya selepas tanggal berakhirnya masa berlaku SHGB, penguasaan atas tanah kembali kepada Pemerintah Daerah Kotamadya Semarang.
Tidak ada satupun bukti berupa sertifikat atau akta yang menyatakan Hak Milik atas tanah yang dimiliki oleh para Penggugat, kecuali Sertifikat Hak Bangunan yang menunjukkan hak atas bangunan saja (Note SHIETRA & PARTNERS: suatu dalil yang sebenarnya tidak dapat dibantah), sedangkan tanah yang dipergunakan untuk mendirikan bangunan adalah tanah milik Pemerintah Daerah selaku pemegang HPL.
Pemerintah Kota Semarang tidak dapat memiliki tanah dengan status Hak Milik (HM) tetapi hanya dapat memiliki dengan status Hak Pengelolaan (HPL). Sehingga, dengan demikian surat perjanjian antara Pemda dan pihak penjual rumah, mengikat terhadap pihak ke tiga (i.c. para Penggugat selaku para pembeli rumah) yang telah memperoleh peralihan dari HGB No. 73/Kartodihardjo a.n PT. Pagar Gunung Kencana.
Dimana terhadap perkara yang sangat pelik sekaligus kompleks tersebut, mengingat dalil Pemda selaku Tergugat sejatinya cukup relevan secara yuridis, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena Judex Facti/Pengadilan Tinggi Semarang yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Semarang sudah tepat dan benar yaitu tidak salah dalam menerapkan hukum, dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa sebagaimana ketentuan Pasal 32 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menentukan bahwa Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut, sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersengketa;
- Bahwa oleh karena secara fisik para Penggugat menguasai tanah obyek sengketa sejak dibeli sampai gugatan perkara a quo diajukan dan telah memiliki Sertifikat Hak Guna Bangunan atas nama para Penggugat, maka para Penggugat sebagai pembeli yang beritikad baik harus dilindungi dan berhak untuk memperpanjang Hak Guna Bangunan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, lagi pula ternyata bahwa putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: PEMERINTAH KOTA/WALIKOTA SEMARANG tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PEMERINTAH KOTA / WALIKOTA SEMARANG tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.