Gugatan yang Menampar Wajah Sendiri

LEGAL OPINION
Question: Pak Hery (SHIETRA & PARTNERS) selalu saja bilang, kalau instrumen gugatan harus digunakan sehemat mungkin. Maksudnya apa?
Brief Answer: Gugatan harus selalu dimaknai sebagai the last effort. Maksud kedua, gugatan tidak pernah dimaknai sebagai akan membuat Majelis Hakim akan berpihak pada pihak yang secara aktif menggugat. Makna ketiga, selalu terdapat social cost dibalik setiap aksi gugatan.
Secara politis dan sosiologi, besar kemungkinan upaya gugatan justru akan membuka aib pihak penggugat itu sendiri—oleh karenanya, perlu dipertimbangkan faktor positif dan negatif dibalik setiap opsi untuk mengajukan gugatan. Menggugat adalah hal yang mudah, namun konsekuensi sosial dan politisnya akan permanen dikemudian hari.
Zaman sudah jauh berubah. Satu dekade lampau, putusan pengadilan sukar untuk diakses publik. Pada era reformasi di tubuh Mahkamah Agung RI sekarang ini, setiap putusan pengadilan telah menjadi domain public, dimana setiap rekam jejak “sejarah” pihak-pihak yang saling menggugat akan terbuka bagi umum.
Tujuan utama dibalik kebijakan Mahkamah Agung RI membuat kebijakan “putusan sebagai bagian dari era keterbukaan informasi”, ialah guna menyikapi berbagai penyalahgunaan lembaga gugatan yang dalam praktik sering digunakan untuk “mengerjai” warga negara lain. Kini, setiap pihak yang hendak menggugat, tidak lagi dapat sesuka hati menggugat namun disaat bersamaan menghendaki untuk menghapus rekam jejaknya.
Pihak-pihak yang “menggebu” hendak menggugat, bagai bara api yang panas. Ketika dirinya justru mendekat dengan “minyak” yang hanya akan memprovokasi dirinya untuk mengajukan gugatan, yang terjadi kemudian ialah kobaran api yang dapat membakar dirinya sendiri. Inilah umpama yang kerap penulis sampaikan, bahwa nasehat hukum yang objektif dan netral adalah sangat vital, fungsi dan peranannya.
Untuk itu masyarakat perlu memahami, terdapat perbedaan signifikan antara “menggugat” dengan “membuka aib sendiri”. Dalil-dalil dalam gugatan yang tampak tidak rasional dan tidak mencerminkan kepatutan dalam pergaulan sosial maupun pergaulan niaga di tengah masyarakat, akan tampak seperti sebuah langkah membuka aib pihak penggugat itu sendiri.
PEMBAHASAN:
Penyalahgunaan lembaga gugatan bukanlah sebuah isu semata, namun telah menjadi sebagian besar dari jumlah gugatan di pengadilan (mayoritas seputar gugatan kredit macet oleh pihak debitor kepada kreditornya sendiri). Terdapat sebuah ilustrasi sempurna untuk menjadi cerminan sebagaimana kerap SHIETRA & PARTNERS jadikan sebagai rujukan, yakni putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 639 K/Pdt.Sus-PHI/2016tanggal 23 Agustus 2016, perkara antara:
- HARIADI SULISTIJO, S.H., sebagai Pemohon Kasasi dahulu Penggugat; melawan
- PT. BANK CIMB NIAGA Tbk., selaku Termohon Kasasi dahulu Tergugat.
Penggugat adalah karyawan Tergugat sejak tahun 1995,dengan jabatan terakhir Consumer Bangking Legal Officer. Bermula pada tanggal 22 Januari 2015, Penggugat menerima e-mail dari seorang pegawai anti Fraud Management, guna menghadiri undangan dalam acara interview karyawan, sehubungan dengan pertanggungjawaban Penggugat dalam proses penunjukkan penanganan perkara perdata dan pidana di wilayah Jatim Indtim Legal & Litigasi.
Dalam proses pemeriksaan tersebut, terkait dengan proses penunjukkan penanganan perkara perdata dan pidana di wilayah Jatim Indtim Legal & Litigasi itu, pada awalnya berjalan sebagaimana mestinya, dimana Penggugat dapat menyampaikan secara keseluruhan atas perkara-perkara yang dilakukan oleh satu atau lebih Advokat Rekanan Bank (Tergugat).
Kapasitas Penggugat dalam setiap penunjukan dan penanganan perkara di Jatim dan Intim tersebut, Penggugat tidak memiliki Kapasitas untuk menunjuk, memerintah, ataupun memberikan persetujuan kepada salah satu atau lebih Advokat rekanan Tergugat, dalam menangani suatu perkara, karena Penggugat adalah Karyawan biasa yang tidak memiliki kewenangan memutuskan.
Permasalahan mulai timbul setelah materi investigasi beralih dan mengarah menjadi sangkaan dan tuduhan fraud dikembangkan dengan transaksi rekening pribadi Penggugat, dimana secara melawan hak dan sewenang-wenang, dengan tanpa mendapatkan izin dari Penggugat telah membuka akun rekening Penggugat, bahkan melihat aktivitas transaksi selama 10 tahun kebelakang.
Dengan mendasarkan pada transaksi yang ada pada rekening tersebut, pegawai anti Fraud Management internal dari Tergugat, atas nama management tanpa didahului dengan adanya upaya pembuktian, telah menuduh, bahwa Penggugat telah melakukan Fraud dengan kerja sama/menerima suap/melakukan pemerasan kepada Advokat rekanan Tergugat, maupun terhadap Nasabah/Debitur Tergugat. hanya berdasar dari bukti transaksi yang ada pada rekening pribadi milik Penggugat.
Tergugat tidak melakukan investigasi terlebih dahulu dan Tergugat juga tidak minta klarifikasi terlebih dahulu kepada Advokat rekanan dimaksud, maupun kepada Nasabah dan/atau debitur yang bersangkutan, telah secara sepihak menuduh Penggugat telah menerima gratifikasi dari Advokat rekanan.
Tergugat dengan menggunakan data yang tidak valid tersebut dengan menggunakan kekuasaannya secara sewenang–wenang, memaksa Penggugat untuk menandatangani hasil investigasi pada hari itu juga tanpa memberikan waktu kepada Penggugat untuk berpikir, mempertimbangkan, ataupun bahkan membuktikan dalam rangka hak untuk membela diri.
Tergugat juga tidak bersedia menerima pembuktian secara lisan/saksi yang kebetulan pada waktu tersebut Penggugat ingat dan telepon kepada rekanan bisnis Penggugat, diluar bank atas beberapa transaksi yang disangkakan juga.
Pada tanggal 8 April 2015, Penggugat diminta oleh management untuk menandatangani surat pernyataan “mengundurkan diri”, karena dianggap telah melakukan pelanggaran berat dan harus mengundurkan diri atau di PHK. Pada kesempatan itu pula, Tergugat menerbitkan surat perihal skorsing.
Tanggal 06 dan 08 Mei 2015, Penggugat mengirimkan Surat Permohonan Klarifikasi yang masing-masing Penggugat kirimkan ke Kantor Pusat dan departemen Audit Anti Fraud Management, namun sebagai tanggapannya pada tanggal 9 Mei 2015, Penggugat menerima Surat perihal Pengakhiran Hubungan Kerja (PHK) dan berlaku surut, efektif sejak tanggal 17 April 2015.
Selain menuntut pesangon, Penggugat juga meminta agar hakim memerintahkan Tergugat menerbitkan Surat Pengalaman Kerja dengan Kualifikasi baik, sesuai masa kerja Penggugat.
Terhadap gugatan sang Pekerja, meski Tergugat tidak banyak mengajukan bantahan secara panjang-lebar, Pengadilan Hubungan Industrial kemudian menjatuhkan putusan Nomor 13/G/2016/PHI.Sby tanggal 25 April 2016, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
Dalam pokok perkara :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan putus hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat dengan alasan Penggugat indisipliner terhitung sejak tanggal 30 April 2015;
3. Menghukum Tergugat untuk membayar kepada Penggugat secara tunai dan sekaligus berupa uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dengan perhitungan dan perincian sebagai berikut :
1. Uang Pesangon : Rp.4.883.000 x 9 Bln x 1 = Rp.43.947.000,00
2. Uang Penghargaan Masa Kerja: Rp.4.883.000 x 7 Bln=Rp.34.181.000,00
Sub Total =Rp.78.128.000,00
3. Uang Penggantian Hak, Penggantian Perumahan Dan Pengobatan : 15% x Rp. 78.128.000,- =Rp.11.719.200,00
Sub Total =Rp.11.719.200,00
TOTAL =Rp.89.847.200,00
 ... Sehingga jumlah seluruhnya yang wajib dibayarkan oleh Tergugat kepada Penggugat sebesar Rp. 89.847.200,00 (delapan puluh sembilan juta delapan ratus empat puluh tujuh ribu dua ratus rupiah);
4. Menghukum Tergugat untuk membayar uang kompensasi cuti Tahun 2015 yang belum dibayarkan oleh Tergugat kepada Penggugat secara tunai dan sekaligus dengan perhitungan 8/23 X Rp. 5.683.000,- = Rp. 1.976.695,00 (satu juta sembilan ratus tujuh puluh enam ribu enam ratus sembilan puluh lima rupiah);
5. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
Sang mantan Pekerja mengajukan upaya hukum kasasi, karena merasa keberatan dinyatakan PHK oleh PHI (meski dalam gugatan pihak Penggugat justru meminta pesangon sehingga hanya dapat dimaknai pengadilan sebagai meminta PHK), dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“Bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 25 Mei 2016 dan kontra memori kasasi tanggal 8 Juni 2016 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Surabaya tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa ternyata Penggugat telah melakukan pelanggaran terhadap Perjanjian Kerja Bersama, karena menerima hadiah dari Advokat yang sedang menangani perkara Tergugat, oleh karenanya sebagaimana diatur dalam Pasal 161 ayat (3) Nomor 13 Tahun 2003, Penggugat beralasan hukum di PHK dengan uang pesangon dan hak-hak lainnya sebagaimana telah benar dipertimbangkan Judex Facti;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, ternyata bahwa Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Surabaya dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: HARIADI SULISTIJO, S.H., tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi HARIADI SULISTIJO, S.H., tersebut.”
Dalam kasus diatas, alangkah bijaknya bila pihak Pekerja mau memahami, lebih baik di-PHK tanpa pesangon apapun, daripada mengajukan gugatan yang hanya akan merusak dan mencemarkan reputasi nama baiknya sendiri. Dikemudian hari, dapat dipastikan sang Pekerja yang justru menggugat Pemberi Kerja yang telah dirugikannya, akan sukar mendapat pekerjaan baru.
Itulah faktor non yuridis yang perlu dicermati sebelum secara sebebas-bebasnya mengajukan gugatan ke hadapan pengadilan. Institusi peradilan telah cukup banyak dibebani oleh tumpukan berkas perkara, tidak pada tempatnya kita menambah banyak beban tugas para hakim pemutus untuk sebuah gugatan sejatinya tidak layak dimajukan. Dapat pula dikatakan, gugatan Penggugat hanya akan membuat suram keadaan masa depan sang Penggugat itu sendiri. Konsultan hukum yang baik akan berupaya semaksimal mungkin mencegah sang klien untuk melukai dirinya sendiri.
© SHIETRA & PARTNERS Copyright.