LEGAL OPINION
Question: Ada penurunan omzet usaha secara drastis, dan kini keuangan perusahaan sedang terancam menuju defisit. Jika nantinya benar-benar memasuki keadaan defisit finansial, apa bisa Pekerja Kontrak kami di-PHK tanpa membebani perusahaan akan kompensasi PHK? Pekerja Kontrak (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, PWKT), tidak mengenal kata pesangon, kan?
Brief Answer: Tetap saja, apapun alasannya, sekalipun dapat dibuktikan terjadi kerugian usaha dan merosotnya pemesanan dari pihak pelanggan, PKWT yang diputus secara sepihak mengakibatkan pihak yang memutus hubungan kerja berkewajiban membayar kompensasi berupa Upah sebesar sisa masa kerja dalam PKWT.
PEMBAHASAN:
Sebagai ilustrasi, tepat kiranya SHIETRA & PARTNERS merujuk pada putusan Mahkamah Agung RI sengketa PHK register Nomor 11 K/Pdt.Sus-PHI/2015 tanggal 19 Juni 2015, perkara antara:
- PT. RINNAI INDONESIA, sebagai Pemohon Kasasi, semula selaku Tergugat; melawan
- 16 orang Pekerja, selaku Para Termohon Kasasi dahulu Para Penggugat.
Para Penggugat merupakan Pekerja Kontrak pada Tergugat, dimana masa kerja dalam PKWT ialah 1 (satu) tahun. Namun pada bulan Maret 2013, secara mendadak Tergugat menghentikan Para Penggugat dari kegiatannya di perusahaan Tergugat, alias memutus kontrak kerja secara sepihak, sebelum kontrak kerja yang diperjanjikan selesai, sehingga menyisakan sekitar 7 (tujuh) bulan sisa masa kerja dalam kontrak.
Dengan demikian Para Penggugat menuntut kompensasi berupa Upah sesuai masa kerja dalam kontrak yang belum usai. Oleh kerena Tergugat tidak menanggapi permintaan perundingan bipartit, Para Penggugat selanjutnya mengajukan penyelesaian perselisihan ke hadapan Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Tangerang, dimana untuk itu Mediator Disnaker menerbitkan anjuran tertulis, agar Tergugat membayar Upah sebesar sisa kontrak para Penggugat selama 7 bulan. Meski demikian, Tergugat tetap saja tidak menunjukkan itikad baik untuk melaksanakan anjuran Disnaker.
Dengan demikian, para Pekerja Kontrak ini merujuk pada norma Pasal 62 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang mengatur:
“Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerjanya sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, maka pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.”
Terhadap gugatan sang Pekerja Kontrak, Pengadilan Hubungan Industrial Serang kemudian menjatuhkan putusan Nomor 7/PHI.G/2014/PN.Srg tanggal 11 Agustus 2014, dengan amar sebagai berikut:
“MENGADILI:
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan putus hubungan kerja antara Para Penggugat dengan Tergugat karena Tergugat mengakhiri kontrak kerja secara sepihak, khusus Para Penggugat bernama Bahrudin nomor urut dua putusan dan pertimbangan ini tidak mengikat;
3. Menghukum dan mewajibkan Tergugat untuk memberikan ganti rugi kepada masing-masing Para Penggugat sesuai ketentuan Pasal 62 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan total keseluruhan sebesar Rp.264.400.000,00 (dua ratus empat puluh enam juta empat ratus ribu rupiah), khusus Para Penggugat bernama Bahrudin nomor urut dua putusan dan pertimbangan ini tidak mengikat;
4. Menghukum Tergugat untuk membayar seluruh biaya perkara yang timbul dalam perkara ini;
5. Menolak gugatan Para Penggugat selain dan selebiihnya.”
Pihak Pengusaha mengajukan upaya hukum kasasi, dengan argumentasi bahwa berdasarkan Pasal 61 UU Ketenagakerjaan, terdapat pengaturan:
“Perjanjian kerja berakhir apabila adanya keadaan memaksa atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, atau perjanjian bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.”
Pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada Para Penggugat yang dilakukan Tergugat telah mengacu pada apa yang sudah disepakati dalam PKWT tepatnya dalam Pasal 6 Ayat (d) antara Penggugat dan Tergugat, yakni dikarenakan keadaan perusahaan mengalami kondisi yang tidak kondusif akibat menurunnya order, sehingga putusan PHI yang menghukum Tergugat untuk membayar sisa kontrak para Pekerja Kontrak-nya dinilai menyalahi isi kesepakatan dalam PKWT.
Dengan demikian Tergugat mendalilkan, PKWT antara Tergugat dan para Pekerjanya, telah mencantumkan bahwa Kontrak Kerja dapat berakhir sebelum jangka waktu jatuh tempo dalam perjanjian, tanpa konpensasi apapun, selama terjadi force majeur, yang aktualnya kini terjadi karena terjadi penurunan order yang telah dibuktikan di persidangan yang menjadi sebab akibat terjadinya kelebihan tenaga kerja dimana sebelumnya sudah dilakukan upaya-upaya lain untuk menghindari terputusnya PKWT, namun PHK tetap tidak bisa dihindari.
Dimana terhadap alasan-alasan sang Pengusaha, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“Bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, Judex Facti telah tepat menerapkan hukum, dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa pemutusan hubungan kerja terhadap para Penggugat terjadi sebelum berakhirnya masa kerja Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Oleh karena itu sebagaimana diatur dalam Pasal 62 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, maka Pemohon Kasasi / Tergugat harus membayar uang sisa kontrak yang telah diperjanjian;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata bahwa Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Serang dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: PT. RINNAI Indonesia, tersebut harus ditolak;
“M E N G A D I L I :
“Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PT. RINNAI Indonesia tersebut.”
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.