ARTIKEL HUKUM
Yang disebut kebebasan berusaha, artinya tidak terdapat intervensi pihak pemerintah selaku regulator. Namun, sampai sejauh manakah kebebasan berusaha itu harus diberi kelonggaran agar tidak menjelma praktik monopoli usaha dan persaingan yang tidak sehat?
Terdapat dua kubu yang saling tarik-menarik bandul mazhab kebebasan berusaha, yakni protektionisme dan liberalisme. Kita, tentunya tidak ingin terjebak dalam kedua kutub ekstrem demikian. Tanpa intervensi pemerintah, tentunya praktik kartel harga tidak akan mampu dibendung oleh pihak pemerintah lewat PPATK, yang pada hilirnya akan menjadikan pihak konsumen tanpa jaring perlindungan apapun.
Terlepas dari wacana teoretik, perihal asas kebebasan berusaha yang berkelindan dengan asas kebebasan berkontrak, secara monumental dapat diilustrasikan lewat putusan Mahkamah Agung RI yang fenomenal perkara permohonan keberatan hak uji materiil terhadap Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM.26 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam Trayek, register Nomor 37 P/HUM/2017 tanggal 20 Juni 2017, perkara antara:
- 6 (enam) orang warga negara yang berprofesi sebagai driver “taksi online”, sebagai Para Pemohon; melawan
- MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA, selaku Termohon.
Dengan telah diterbitkan serta diberlakukannya Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM. 26 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek (Objek Permohonan), maka dicabut serta dinyatakan tidak lagi berlaku peraturan sebelumnya, yakni Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek (Permenhub Nomor PM 32/2016).
Termohon mengeluarkan Permenhub Nomor PM 32/2016 yang disahkan pada tanggal 1 April 2016 untuk mulai berlaku 6 bulan sejak tanggal disahkan. Namun, Termohon kemudian menunda pemberlakuan Permenhub Nomor PM 32/2016 untuk jangka waktu 6 bulan lagi, sehingga Permenhub Nomor PM 32/2016 seharusnya akan mulai efektif berlaku terhitung sejak tanggal 1 April 2017.
Uniknya, tepat sehari sebelum berlakunya secara efektif Permenhub Nomor PM 32/2016, pada tanggal 31 Maret 2017 Termohon menerbitkan Permenhub Nomor PM.26/2017, yang ditetapkan serta dinyatakan berlaku pada tanggal yang sama, dimana dalam Pasal 71 dinyatakan bahwa pada saat Permenhub Nomor PM.26/2017 ini mulai berlaku, Permenhub Nomor 32/2016, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku—alias Permenhub tahun 2016 praktis tidak pernah diberlakukan.
Implikasinya, mengingat adanya fakta bahwa Permenhub Nomor PM 32/2016 sebenarnya belum pernah berlaku secara efektif, maka hal demikian menimbulkan pertanyaan mengenai status hukum dari Kepmenhub Nomor KM 35/2003 yang notabene seyogyanya statusnya baru akan dicabut serta dinyatakan tidak berlaku bilamana Permenhub Nomor PM 32/2016 mulai berlaku.
Dikarenakan Permenhub Nomor PM 32/2016 belum pernah berlaku secara efektif, maka pada dasarnya status hukum Kepmenhub Nomor KM 35/2003 secara sendirinya juga menjadi belum dicabut secara efektif serta tidak dapat dinyatakan sudah tidak berlaku lagi sebagai konsekuensi logisnya.
Baik isi maupun materi serta ketentuan yang terdapat dalam Permenhub Nomor PM.26/2017, pada prinsipnya tidak jauh berbeda dengan isi maupun materi serta ketentuan yang terdapat dalam Permenhub Nomor PM 32/2016. Dengan kata lain, hal-hal yang sekarang diatur dalam Permenhub Nomor PM.26/2017 pada dasarnya adalah serupa dengan hal-hal yang sebelumnya diatur dalam Permenhub Nomor PM 32/2016.
Pemohon mendalilkan, kerkembangan teknologi menjadi suatu keniscayaan. Sebagaimana tampak nyata dalam beberapa bidang usaha, antara lain transportasi dan komunikasi yang menjadi lebih mudah diakses, lebih efisien dan produktif, dan pada akhirnya menguntungkan masyarakat, baik dari perspektif pengguna maupun penyedia barang atau jasa.
Dalam era globalisasi dan digitalisasikan, selalu terjadi dinamika di dalam dunia usaha yang juga menyesuaikan dengan perkembangan teknologi, yang telah menjadi kebutuhan masyarakat. Dari sudut pandang pelaku usaha, fenomena ini dapat dilihat sebagai suatu peluang sekaligus tantangan. Para pengusaha dituntut untuk selalu bisa berinovasi, berimprovisasi dan beradaptasi sehingga bisa memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus berkembang dengan baik dan menjadi lebih baik.
Semakin menipisnya batas-batas kegiatan ekonomi secara nasional maupun regional disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya adalah komunikasi dan transportasi yang kian canggih dan efektif, lalu-lintas devisa yang semakin bebas, ekonomi negara yang semakin terbuka dan metode produksi dalam suatu perusahaan yang semakin efisien, sebagai buah manis kontribusi kemajuan teknologi.
Kolaborasi teknologi juga telah mempercepat proses produksi (baik barang atau jasa) dan memindahkan produk dari satu tempat ke tempat lain secara efektif dan efisien. Kemajuan teknologi mempunyai dampak negatif maupun positif, khususnya terhadap pengusaha yang masih konvensional untuk memproduksi jasa dan maupun barang yang ada dalam negeri, karena pengusaha konvensional harus menyesuaikan diri dengan kemajuan yang ada, bila tidak pelaku usaha akan tertinggal oleh kemajuan teknologi yang mengakibatkan kesulitan memenuhi kebutuhan konsumen yang sudah mendapat pelayanan yang jauh lebih baik dari pengusaha yang telah menggunakan teknologi terkini.
Pengaruh negatif terhadap pengusaha konvensional dapat juga disebabkan oleh pengusaha yang berbasis teknologi terkini semakin cepat menguasai pasar domestik, sehingga dapat menyisihkan pengusaha-pengusaha konvensional yang tidak memiliki kemauan untuk meningkatkan daya saing. Adapun dampak positifnya, semua pengusaha akan bersaing untuk berlomba-lomba memberikan pelayanan yang terbaik bagi konsumen, yang pada gilirannya masyarakat akan dapat menentukan keseimbangan permintaan dan penawaran dengan pilihan produk / jasa yang lebih baik dan pilihan harga yang semakin beragam.
Kisruh antara kelompok angkutan umum berbasis aplikasi online (yang secara umum dikenal sebagai “taksi online” atau “ojek online” atau secara formal didefinisikan dalam Permenhub Nomor PM.26/2017 sebagai angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum tidak dalam trayek dengan tujuan tertentu yang melayani angkutan sewa khusus yang dipesan melalui aplikasi berbasis teknologi informasi untuk selanjutnya disebut sebagai “Angkutan Sewa Khusus”, versus kelompok angkutan umum konvensional, memunculkan pertanyaan: Sebenarnya, mana yang lebih menguntungkan bagi bangsa ini?
Demonstrasi sopir taksi konvensional yang didukung perusahaan taksi karena pasarnya mengecil akibat tak mampu bersaing dengan taksi online, dipandang sebagai merupakan aksi kekanak-kanakan. Mereka seharusnya mengevaluasi diri. Besar kemungkinan, taksi konvensional selama ini tak efisien atau mengambil untung kelewat banyak.
Berkah teknologi digital, membuat cepat dan mudah berbagai urusan. Kemajuan teknologi juga membuka lapangan pekerjaan baru. Dalam situasi ekonomi yang sedang sukar, tak bisa dipungkiri, pekerjaan berbekal ponsel pintar menjadi katup penyelamat bagi para sopir dan pengojek “online”.
Masyarakat tidak mempermasalahkan transportasi tersebut apakah angkutan yang digunakan berpelat kuning atau tidak, melainkan semurah apa harga yang ditawarkan. Di lapangan masing-masing penyedia aplikasi baik untuk ojek dan Angkutan Sewa Khusus di Indonesia, menetapkan tarifnya berdasarkan hitungan harga tertentu per kilometer. Dengan demikian menggunakan transportasi taksi online, hitungan harganya sudah pasti. Sedangkan menggunakan ojek konvensional, harganya berubah-ubah bahkan tawar-menawar, sehingga bila tidak mengerti harga dapat tertipu. Demikianlah yang sering terjadi di lapangan tanpa dapat kita pungkiri.
Filipina melegalkan Angkutan Sewa Khusus berbasis pemesanan “online” sejak tahun 2015. Otoritas Transportasi Filipina melakukan regulasi yang berbeda terhadap taksi online dengan taksi reguler. Taksi online tak boleh mengambil penumpang di pinggir jalan, namun harus dipesan melalui aplikasi—sehingga dibedakan segmen pasar.
Layanan “taksi online” secara resmi telah dilegalkan pemerintah Inggris. Pengadilan Tinggi Inggris telah meresmikannya pada akhir tahun 2015 setelah sebelumnya pengemudi taksi plat hitam ini merasa diremehkan dan dianggap berstatus illegal. Pengadilan Inggris telah diminta untuk memutuskan apakah sebuah teknologi itu melanggar hukum atau tidak. Pemerintah kota London sendiri menolak desakan untuk membatasi operasional layanan taksi online. Penolakan didasarkan pada hasil konsultasi tentang layanan taksi swasta yang dilakukan pemerintah kota London.
Di Indonesia, belakangan ini banyak pengemudi angkutan umum konvensional, meski tidak semua, berdemo menuntut agar “taksi online” atau dalam Permenhub Nomor PM.26/2017 disebut sebagai “Angkutan Sewa Khusus” dan “ojek yang berbasis aplikasi”, agar ditutup. Menurut mereka, pendapatan berkurang seiring dengan meningkatnya popularitas dari Angkutan Sewa Khusus dan ojek online. Demo ini diwarnai dengan aksi kerusuhan, yang kemudian menjadikan warga ketakutan. Lantas, mengapa fenomena ini terjadi?
Terdapat perbedaan cara pandang di kedua pihak. Di pihak pengemudi taksi konvensional, mereka merasa dirugikan, karena merasa bahwa:
1. Taksi konvensional terdaftar secara resmi di Dinas Perhubungan, sehingga berhak mendapat plat kuning tanda angkutan umum sedangkan Angkutan Sewa Khusus menggunakan kendaraan biasa yang bukan untuk angkutan umum;
2.Resmi sebagai angkutan umum, sehingga berkewajiban membayar pajak yang berbeda dengan pengemudi kendaraan plat hitam, plat kendaraan biasa yang juga digunakan oleh Angkutan Sewa Khusus;
3. Taksi konvensional menggunakan metode menunggu penumpang, sedangkan Angkutan Sewa Khusus menjemput penumpang;
4. Paling krusial yakni perihal perbedaan tarif, dimana untuk tarif taksi konvensional jika dibandingkan dengan tarif Angkutan Sewa Khusus keduanya berbeda jauh.
Namun demikian, Pemohon mendalilkan, bentuk keberatan tersebut muncul karena para pengusaha angkutan umum konvensional belum beradaptasi dengan teknologi yang diambil peluangnya oleh pengguna Angkutan Sewa Khusus.
Sebenarnya, munculnya angkutan umum berbasis aplikasi sudah dapat diprediksi sejak dikenalnya “teknologi internet dalam genggaman tangan” dengan semakin meningkatnya pengguna telepon pintar. Namun demikian, ketika hal demikian semakin masif terjadi seperti saat kini, perubahan menjadi tidak terencana. Pengemudi yang kurang tanggap pun pada akhirnya hanya bisa meluapkan kekesalannya dengan marah dan berdemonstrasi.
Perubahan sosial dalam bidang transportasi terlihat menonjol, disebabkan oleh revolusi informasi dan komunikasi. Perubahan besar dalam teknologi informasi dan komunikasi membuat banyak dampak—salah satunya, bidang transportasi umum.
Pihak konvensional tidak tanggap dengan perubahan zaman, belum lagi kesalahan dalam demonstrasi yang berujung anarki. Pihak penyedia transportasi berbasis aplikasi juga bersalah, karena tidak mengikuti peraturan yang berlaku, disamping tidak menyediakan harga yang berkeadilan dengan pesaing yang sudah lama ada. Pemerintah pun memiliki turut andil kesalahan, karena tidak tanggap dalam melihat fenomena yang ada di masyarakat, dengan belum menyediakan peraturan yang dapat mengakomodir dan menertibkan konflik yang ada.
Maka, solusinya dapat ditarik dari kesalahan semua pihak. Pihak taksi konvensional sudah harus lebih tanggap terhadap perkembangan teknologi, buatlah layanan yang sama dengan membuat aplikasi yang menarik. Pihak penyedia transportasi berbasis aplikasi, sebaiknya menggunakan plat kuning, juga tidak memberikan harga yang berdisparitas sehingga persaingan menjadi sehat. Pemerintah, sudah selayaknya membuat peraturan, dan memastikan bahwa persaingan yang ada terjadi secara sehat dan tidak ada ‘adu modal’ yang merupakan ciri kapitalisme.
Para Pemohon adalah merupakan perseorangan WNI yang memiliki hak sebagai pengusaha mikro dan kecil untuk menumbuhkan, mengembangkan dan memperdayakan usahanya guna membangun perekonomian Indonesia yang berasaskan demokrasi ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf (c) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah (Undang-Undang Nomor 20/2008)
“Tujuan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah: meningkatkan peran Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam pembangunan daerah, penciptaan lapangan kerja, pemerataan pendapatan, pertumbuhan ekonomi, dan pengentasan rakyat dari kemiskinan.”
Beberapa ketentuan dalam Permenhub Nomor PM.26/2017 telah menghambat Para Pemohon sebagai pelaku usaha mikro dan kecil (in casu selaku pengemudi Angkutan Sewa Khusus), sehingga mengakibatkan Para Pemohon menjadi tidak diberdayakan oleh pemerintah dalam menumbuhkan, mengembangkan dan memperdayakan usahanya guna membangun perekonomian Indonesia yang berasaskan demokrasi ekonomi.
Ketentuan-ketentuan Permenhub Nomor PM.26/2017, yang menjadi pokok keberatan Pemohon, ialah:
a. Ketentuan Terkait Pembatasan Wilayah dan Jumlah Kendaraan
1. Pasal 20 Permenhub Nomor PM.26/2017 yang mengatur sebagai berikut:
(1) Pelayanan Angkutan Sewa Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, merupakan pelayanan dari pintu ke pintu dengan wilayah operasi dalam Kawasan Perkotaan;
(2) Wilayah operasi Angkutan Sewa Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan mempertimbangkan:
a. Penetapan klasifikasi Kawasan Perkotaan;
b. Perkiraan kebutuhan jasa Angkutan Sewa Khusus;
c. Perkembangan daerah kota atau perkotaan; dan
d. Tersedianya prasarana jalan yang memadai;
(3) Wilayah operasi Angkutan Sewa Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan oleh:
a. Kepala Badan, untuk wilayah operasi Angkutan Sewa Khusus yang melampaui lebih dari 1 (satu) daerah provinsi di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek); atau
b. Gubernur, untuk wilayah operasi angkutan sewa khusus yang melampaui lebih dari 1 (satu) daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi.”
2. Pasal 21 Permenhub Nomor PM.26/2017:
(1) Angkutan Orang Dengan Tujuan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, ditetapkan dengan mempertimbangkan:
a. Perkiraan kebutuhan jasa Angkutan Orang Dengan Tujuan Tertentu; dan
b. Adanya potensi bangkitan perjalanan;
(2) Berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal, Kepala Badan, Gubernur sesuai dengan kewenangan menetapkan rencana kebutuhan kendaraan Angkutan Orang Dengan Tujuan Tertentu untuk jangka waktu 5 (lima) tahun;
(3) Rencana kebutuhan kendaraan Angkutan Orang dengan Tujuan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), digunakan sebagai dasar dalam pembinaan;
(4) Rencana kebutuhan kendaraan Angkutan Angkutan Orang dengan Tujuan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diumumkan kepada masyarakat;
(5) Kebutuhan kendaraan Angkutan Orang dengan Tujuan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilakukan evaluasi secara berkala setiap 1 (satu) tahun.”
b. Tarif Angkutan Sewa Khusus
Pasal 19 ayat (2) huruf f Permenhub Nomor PM.26/2017:
“Angkutan Sewa Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi pelayanan sebagai berikut: Penentuan tarif dilakukan berdasarkan tarif batas atas dan batas bawah atas dasar usulan dari Gubernur/Kepala Badan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri setelah dilakukan analisa.”
c. Ketentuan STNK Atas Nama Pemegang Izin:
1. Pasal 19 ayat (3) huruf (e) Permenhub Nomor PM.26/2017:
“Kendaraan yang dipergunakan untuk pelayanan Angkutan Sewa Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: Dilengkapi dokumen perjalanan yang sah, berupa surat tanda nomor kendaraan atas nama badan hukum, kartu uji, dan kartu pengawasan.”
2. Pasal 27 huruf (a) Permenhub Nomor PM.26/2017:
“Untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), Perusahaan Angkutan Umum wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: Wajib memiliki paling sedikit 5 (lima) kendaraan yang dibuktikan dengan STNK atas nama badan hukum.”
3. Pasal 36 ayat (4) huruf c dan Pasal 37 ayat (4) huruf (c) Permenhub Nomor PM.26/2017 yang mana masing-masing mengatur serta menyebutkan:
“Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), antara lain: salinan surat tanda nomor kendaraan bermotor yang masih berlaku atas nama perusahaan.”
4. Pasal 66 ayat (4) Permenhub Nomor PM.26/2017:
“Sebelum masa peralihan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor menjadi atas nama badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus dilampirkan dengan perjanjian yang memuat kesediaan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor menjadi badan hukum dan hak kepemilikan kendaraan tetap menjadi hak pribadi perorangan.”
d. Ketentuan Terkait Penyedia Aplikasi:
1. Pasal 51 ayat (2) dan ayat (3) Permenhub Nomor PM.26/2017:
(2) Perusahaan penyedia aplikasi berbasis teknologi informasi yang memfasilitasi dalam pemberian pelayanan angkutan orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilarang bertindak sebagai penyelenggara angkutan umum.
(3) Larangan bertindak sebagai penyelenggara angkutan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2), meliputi kegiatan:
a. Menetapkan tarif dan memberikan promosi tarif di bawah tarif batas bawah yang telah ditetapkan;
b. Merekrut pengemudi;
c. Memberikan layanan akses aplikasi kepada orang perorangan sebagai penyedia jasa angkutan; dan
d. Memberikan layanan akses aplikasi kepada Perusahaan Angkutan Umum yang belum memiliki izin penyelenggaraan angkutan orang tidak dalam trayek.”
e. Ketentuan Penggunaan Sertifikat Registrasi Uji Tipe Untuk Keperluan Perizinan dan Pelaksanaan Uji Berkala;
1. Pasal 35 ayat (9) huruf a angka 2 dan ayat (10) huruf a angka 3 Permenhub Nomor PM.26/2017 sebagai berikut:
(9) Pemohon dalam mengajukan Surat Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (8), dengan melampirkan dokumen untuk: kendaraan bermotor baru, sebagai berikut: salinan Sertifikat Registrasi Uji Tipe (SRUT) kendaraan bermotor;
(10) Setelah mendapatkan Surat Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (9), pemohon mengajukan permohonan penerbitan izin penyelenggaraan angkutan beserta kartu pengawasan dengan melampirkan dokumen sebagai berikut: Kendaraan baru, meliputi: Salinan Sertifikat Registrasi Uji Tipe (SRUT) kendaraan bermotor;
2. Pasal 38 ayat (9) huruf a angka 2 dan ayat (10) huruf a angka 3 Permenhub Nomor PM.26/2017:
(9) Pemohon dalam mengajukan Surat Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (8), dengan melampirkan dokumen untuk: Kendaraan bermotor baru, sebagai berikut: Salinan Sertifikat Registrasi Uji Tipe (SRUT) kendaraan bermotor;
(10) Setelah mendapatkan Surat Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (9), Pemohon mengajukan permohonan penerbitan izin penyelenggaraan angkutan beserta kartu pengawasan dengan melampirkan dokumen sebagai berikut: Kendaraan baru, meliputi: Salinan Sertifikat Registrasi Uji Tipe (SRUT) kendaraan bermotor.”
3. Pasal 43 ayat (3) huruf (b) angka 1 sub huruf b Permenhub Nomor PM.26/2017:
“Penggantian kendaraan atau peremajaan kendaraan untuk kendaraan bermotor baru dan kendaraan bermotor bukan baru dengan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor berwarna dasar hitam tulisan putih sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b, dilaksanakan dengan tahapan: Setelah mendapatkan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor umum, pemohon mengajukan permohonan penerbitan kartu pengawasan, dengan melampirkan dokumen sebagai berikut: kendaraan baru, meliputi: salinan Sertifikat Registrasi Uji Tipe (SRUT) kendaraan bermotor.”
4. Pasal 44 ayat (10) huruf a angka 2 dan ayat (11) huruf a angka 2 Permenhub Nomor PM.26/2017:
(10) Pemohon dalam mengajukan surat rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (9), dengan melampirkan dokumen untuk: kendaraan baru, meliputi: salinan Sertifikat Registrasi Uji Tipe (SRUT) kendaraan bermotor;
(11) Setelah mendapatkan surat rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (9), pemohon mengajukan permohonan penerbitan izin penyelenggaraan angkutan beserta kartu pengawasan tidak dalam trayek dengan melampirkan dokumen sebagai berikut: kendaraan baru, meliputi: salinan Sertifikat Registrasi Uji Tipe (SRUT) kendaraan bermotor.”
f. Tarif Taksi:
Pasal 5 ayat (1) huruf (e) Permenhub Nomor PM.26/2017:
“Pelayanan Angkutan Taksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, wajib memenuhi pelayanan sebagai berikut: tarif angkutan berdasarkan argometer atau tertera pada aplikasi berbasis teknologi informasi.”
g. Kewajiban Penggunaan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor Sesuai Domisili:
Pasal 30 huruf (b) Permenhub Nomor PM.26/2017:
“Perusahaan Angkutan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1), dapat mengembangkan usaha di kota/kabupaten lain dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut: Menggunakan tanda nomor kendaraan bermotor sesuai domisili cabang tersebut.”
Tujuan dari kehadiran Para Pemohon selaku pengusaha mikro dan kecil adalah untuk meningkatkan peran usaha mikro, kecil, dan menengah dalam pembangunan daerah, penciptaan lapangan kerja, pemerataan pendapatan, pertumbuhan ekonomi, dan pengentasan rakyat dari kemiskinan, sehingga Pemerintah sudah seharusnya memperdayakan Para Pemohon sebagai pelaku ekonomi mikro dan kecil.
Bahkan menurut hukum, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memiliki kewajiban untuk menumbuhkan iklim usaha lewat peraturan perundang-undangan dan kebijakan agar pengusaha mikro dan kecil dapat berkembang.
Objek Permohonan justru merugikan hak Para Pemohon, baik atas kesempatan untuk mendapatkan kesempatan sebagai pengusaha mikro atau kecil serta penghasilan yang layak sesuai dengan kemampuannya maupun atas kesempatan untuk menikmati pendapatannya dengan modal yang kecil sehingga dapat berusaha dengan fasilitas praktis, efektif dan efisien sehingga dapat menjual jasanya kepada masyarakat luas dengan harga yang terjangkau dan nyaman dan tepat waktu.
Selain memperhatikan kepentingan Pemohon, perlu juga memperhatikan dari sisi atau cara pandang konsumen, sehingga diperlukannya pengaturan terkait dengan Angkutan Sewa Khusus oleh Pemerintah adalah demi melindungi serta menjamin aspek kenyamanan dan keselamatan dari para konsumen pengguna jasa.
Bila ketentuan dalam Permenhub Nomor PM.26/2017 tidak dapat mengakomodasi berbagai kepentingan, maka dapat ditengarai diterbitkan demi melindungi kepentingan bisnis usaha golongan tertentu saja, terutama para pelaku usaha konvensional yang tidak mau mengikuti kemajuan zaman.
Terdapat berbagai ketentuan dalam Permenhub Nomor PM.26/2017 yang lebih condong memihak kepentingan golongan tertentu, yakni para pengusaha angkutan konvensional yang selama ini sudah cukup nyaman dengan bisnis atau usaha yang dijalankannya serta telah menikmati keuntungan yang sangat besar dari usaha yang dijalankannya selama ini.
Dengan demikian, tidak dapat dihindari, ketentuan-ketentuan dalam Permenhub Nomor PM.26/2017 terkesan lebih mementingkan ataupun lebih mengedepankan tujuan untuk menyelamatkan bisnis atau usaha dari para pelaku usaha angkutan konvensional yang sudah eksis sebagai “dinasti raksasa” selama ini, tanpa sedikitpun mempertimbangkan adanya faktor untuk membantu terciptanya serta meningkatkan perekonomian dari para pengemudi Angkutan Sewa Khusus selaku pengusaha ekonomi mikro dan kecil—suatu dalil yang sejatinya adalah pengalihan isu, karena para pengusaha dibalik jasa pemesanan Kendaraan Sewa Khusus via daring juga merupakan korporasi bermodal besar.
Ditengarai juga lebih cenderung demi mengamankan posisi serta pendapatan para pelaku usaha angkutan umum konvensional ketimbang demi meningkatkan taraf hidup serta penghasilan Para Pemohon selaku pengusaha ekonomi mikro dan kecil. Dengan kata lain, pengaturan yang dibuat dalam Permenhub Nomor PM.26/2017 tidak lagi semata bertujuan untuk kepentingan masyarakat banyak seperti pengusaha ekonomi mikro dan kecil—juga tidak melindungi ataupun menjamin kenyamanan serta keselamatan dari para konsumen pengguna jasa Angkutan Sewa Khusus, namun lebih mementingkan kepentingan agar tetap terjaganya penghasilan ataupun pendapatan dari para pelaku usaha angkutan umum konvensional.
Penetapan wilayah operasi Angkutan Sewa Khusus akan membuat terbatasnya akses konsumen terhadap Angkutan Sewa Khusus. Hal ini akan membuat ketersediaan penghasilan pengemudi Angkutan Sewa Khusus menjadi terbatas. Penetapan jumlah kendaraan juga akan membatasi ketersediaan tempat bagi masyarakat yang ingin berusaha sebagai pengemudi Angkutan Sewa mengingat ketidakjelasan mekanisme penentuannya.
Dengan kata lain, ketentuan-ketentuan tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 20/2008 karena tidak menumbuhkan dan mengembangkan usaha dalam rangka membangun perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi yang berkeadilan dan telah menyalahi prinsip pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah.
Ketentuan tarif Angkutan Sewa Khusus dalam Permenhub Nomor PM.26/2017 dinilai bertentangan dengan Pasal 183 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Undang-Undang Nomor 22/2009), yang memiliki pengaturan sebagai berikut:
“Tarif Penumpang untuk angkutan orang tidak dalam trayek dengan tujuan tertentu, pariwisata, dan di kawasan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf b, huruf c, dan huruf d ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengguna Jasa dan Perusahaan Angkutan Umum.”
Ketentuan tarif justru akan menghalangi kreativitas dari pelaku usaha untuk berinovasi dan memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat. Secara konkretnya dalam memberikan kepastian harga bagi konsumen, karena konsumen dapat mengetahui harga yang perlu dibayarkan sejak awal dipesannya kendaraan, melalui mekanisme pasar. Pemberlakuan batas bawah jelas akan membatasi inovasi.
Kalau ternyata tarif Angkutan Sewa Khusus bisa lebih murah dari tarif angkutan umum konvesional, justru seharusnya yang perlu diubah ataupun melakukan penyesuaian struktur biaya atau tarif, adalah pelaku jasa industri transportasi konvensional tersebut dan bukan justru sebaliknya, tarif Angkutan Sewa Khusus yang murah harus dibuat menjadi mahal agar bisa bersaing dengan tarif Angkutan Sewa Khusus. Patut dipertanyakan, kepentingan siapakah yang sebetulnya sedang dilindungi oleh Kementrian Perhubungan Republik Indonesia (Termohon) dengan dibuatnya ketentuan terkait dengan tarif dalam Pasal 19 Ayat (2) Permenhub Nomor PM.26/2017 ini?
Menjadi tampak terang-benderang, ketentuan demikian secara sengaja dibuat demi melindungi kepentingan para pelaku usaha angkutan konvensional semata tanpa mempedulikan kepentingan para konsumen serta adanya fakta bahwa ketentuan ini sebenarnya justru telah bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Khususnya terkait dengan adanya keharusan agar kendaraan yang dipergunakan sebagai Angkutan Sewa Khusus harus terdaftar atas nama perusahaan atau badan hukum dan tidak diperbolehkan atas nama pribadi, tidak ada korelasi dengan aspek kenyamanan dan keselamatan bagi pengguna jasa, dan oleh karenanya tidak ada dasar dan pertimbangan yang dapat diterima oleh akal sehat mengapa hal tersebut perlu diatur oleh Termohon dalam Permenhub Nomor PM.26/2017.
Tidak terdapat satupun ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur adanya keharusan bahwa setiap kendaraan yang akan dipergunakan untuk berusaha, khususnya dalam hal ini bagi pengusaha kelas ekonomi mikro dan kecil, harus terdaftar atas nama badan hukum, sehingga tidak ada pula dasar ataupun alasan untuk diterapkannya sanksi atas ketidak-patuhannya.
Adalah hal yang tidak dapat diterima oleh akal sehat bahwa keselamatan penumpang atau pengguna jasa akan serta-merta dapat dijamin semata hanya dengan terdaftarnya kendaraan atas nama perusahaan. Dengan kata lain, tidak ada jaminan bagi kendaraan angkutan konvensional yang terdaftar atas nama perusahaan akan lebih menjamin keselamatan penumpang atau pengguna jasanya dibandingkan dengan keselamatan para pengguna jasa Angkutan Sewa Khusus.
Justru bagi pengguna jasa Angkutan Sewa Khusus, kesempatan untuk melakukan komplain atau keluhan dapat langsung segera dilakukan mengingat nomor telepon pengemudi tercatat dan diberitahukan kepada pengguna jasa dan komplain dengan detail waktu dan lokasi kejadian bisa langsung dilakukan dengan menginputnya pada aplikasi yang ada, dan segera dapat ditindaklanjuti oleh perusahaan penyedia/penyelenggara aplikasi, dan si pengemudi akan langsung mendapatkan sanksi dari pihak perusahaan penyelenggara/penyedia jasa aplikasi. Hal demikian berbeda dengan penyedia jasa angkutan umum konvensional, dimana komplain atas ketidak-becusan si pengemudi tidak bisa serta-merta dilakukan dan tidak jelas pula tindak lanjutnya.
Kendaraan milik para pengemudi Angkutan Sewa Khusus yang saat ini masih dalam skema pembiayaan (leasing) tentunya tidak dapat dibalik nama karena masih dalam penjaminan oleh pemberi pinjaman. Dengan diberlakukannya ketentuan ini, maka akan membatasi kesempatan para pengemudi Angkutan Sewa Khusus untuk memiliki kendaraan serta menjalankan usahanya dengan cara mendapatkan kendaraan melalui skema pembiayaan (leasing). Dengan kata lain, Termohon dengan demikian mengharuskan agar para pengemudi Angkutan Sewa Khusus harus terlebih dahulu memiliki kendaraan dengan cara pembelian secara kontan baru boleh memiliki kesempatan untuk berusaha dengan cara yang disediakan oleh perusahaan penyedia aplikasi.
Padahal, justru yang selama ini diharapkan oleh para pengemudi adalah dengan cara menjalankan usaha ini, maka kendaraan yang dipergunakannya untuk usaha tersebut akan dapat menjadi miliknya sendiri dengan cara membayar serta melunasi cicilan pembayarannya kepada perusahaan pembiayaan (leasing) dari hasil usaha yang dijalankannya.
Ketentuan peralihan untuk kewajiban pendaftaran Surat Tanda Nomor Kendaraan, berkonsekuensi pada biaya yang timbul dari proses balik, cenderung membuat pemilik kendaraan tidak patuh (karena pemilik kendaraan diharuskan mengalihkan asetnya untuk kemudian agar dapat memperoleh kembali asetnya tersebut harus melakukan proses balik nama secara berganda.
Sebaliknya, dengan adanya keharusan sebagaimana diatur dalam Permenhub Nomor PM.26/2017 yang memberikan kesempatan agar aset milik pribadi diakui atau dibuat seolah-olah menjadi miliki atau terdaftar atas nama badan hukum, maka terdapat potensi yang sangat besar bagi pihak-pihak tertentu untuk memanfaatkan peraturan atau ketentuan ini guna melakukan penyamaran atas harta kekayaannya (oleh orang-perorangan) sehingga dapat memfasilitasi terjadinya tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Di samping itu, dengan memanfaatkan ketentuan ini, pembebanan pajak progresif pun dapat dihindari dengan adanya konsep semacam ini. Hal ini jelas bertentangan dengan semangat pemerintah untuk menggiatkan kegiatan perpajakan yang perlu didukung dengan prinsip keterbukaan.
Hal-hal demikian dirasakan menghambat masyarakat yang ingin berpartisipasi dalam usaha Angkutan Sewa Khusus. Sehingga, ketentuan demikian akan menghambat pengembangan usaha dalam rangka membangun perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi yang berkeadilan dan telah menyalahi prinsip pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah.
Ketentuan sehubungan dengan adanya kewajiban balik nama bagi kendaraan menjadi atas nama perusahaan, justru mendorong praktik “perjanjian pura-pura”, yakni seolah-olah pemilik kendaraan tersebut adalah perusahaan padahal sesungguhnya dimiliki oleh pribadi atau perserorangan, yang notabene dijadikan sebagai salah satu syarat guna mendapatkan izin serta mengikuti uji berkala agar dapat dioperasikan sebagai Angkutan Sewa Khusus.
Pada prakteknya penyediaan SRUT oleh pemilik kendaraan merupakan suatu masalah besar ketika para pemilik kendaraan berusaha mendapatkan SRUT dari masing-masing ATPM, yang pada umumnya tidak menerbitkan SRUT bagi para pembeli individu. Padahal informasi yang terdapat di dalam SRUT merupakan informasi yang digunakan dalam penerbitan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor. Dengan kata lain, Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor sendiri sudah cukup menjadi dokumen terkait dengan keabsahan kendaraan yang dipergunakan sebagai Angkutan Sewa Khusus, sehingga persyaratan atas keharusan adanya SRUT ini sudah barang tentu menimbulkan pemborosan biaya dan dipandang sia-sia.
Bilamana kewajiban terkait dengan SRUT ini tetap diberlakukan, maka Para Pemohon serta para pengemudi lainnya menjadi memiliki beban atau biaya tambahan lainnya, yang pada dasarnya sebenarnya tidak perlu dikeluarkan serta tidak dapat pula dipahami tujuannya untuk apa.
Di samping itu, belum tentu juga perusahaan ATPM bersedia untuk mengeluarkan SRUT ini kepada para pemilik kendaraan atas nama pribadi atau orang perorangan, dan tidak ada juga sanksi yang dikenakan terhadap perusahaan ATPM bilamana tidak mengabulkan permintaan dari para pemilik kendaraan atas nama pribadi atau orang perorangan untuk mendapatkan SRUT yang dipersyaratkan oleh Termohon dalam Permenhub Nomor PM.26/2017. Di sisi lain, tidak dapat juga dipahami apa kaitannya ketentuan ini dengan aspek kenyamanan dan keselamatan dari para pengguna jasa (konsumen) yang menggunakan pelayanan Angkutan Sewa Khusus.
Era digital dipandang membuka jalan bagi masyarakat untuk mendapatkan cara baru dalam memperoleh pekerjaan yang tersedia bagi semua lapisan masyarakat. Perseorangan yang memiliki kendaraan pribadi dapat menggunakan kendaraannya sebagai taksi untuk menghasilkan uang. Pajak dan asuransi kendaraan di bayar sendiri oleh pemilik kendaraan.
Dampak positif Angkutan Sewa Khusus dan ojek online telah membuka lapangan kerja dari sektor informal, dinilai mampu menurunkan angka kemiskinan. Objek permohonan dinilai juga tidak menumbuhkan iklim usaha dalam rangka membangun kemitraan, kesempatan berusaha karena menyalahi prinsip pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah karena membutuhkan syarat-syarat perizinan yang sifatnya konvensional, ruwet dan berbiaya tinggi.
Prinsip yang dirujuk Pemohon, ialah kaedah norma bahwasannya prinsip perlindungan UMKM ialah untuk mencegah terjadinya penguasaan pasar dan pemusatan usaha oleh orang-perorangan atau kelompok tertentu yang merugikan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Sebagaimana tampak dalam ketentuan Pasal 12 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 20/2008:
“Aspek perizinan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf e ditujukan untuk:
a. Menyederhanakan tata cara dan jenis perizinan usaha dengan sistem pelayanan terpadu satu pintu; dan
b. Membebaskan biaya perizinan bagi Usaha Mikro dan memberikan keringanan biaya perizinan bagi Usaha Kecil.”
Perusahaan penyedia aplikasi pemesanan tersebut berhasil memenangkan hati konsumen dengan memberikan pelayanan yang lebih baik, jaminan keamanan perjalanan dengan harga yang relatif murah. Model bisnis berbasis aplikasi demikian disebut dengan istilah “ride sharing”. Ride sharing ini adalah bagian dari tren sharing economy yang memungkinkan masyarakat memperoleh layanan berkualitas dengan harga lebih murah.
Angkutan Sewa Khusus mempunyai fitur layanan memungkinkan kedua pihak, pengemudi taksi dan penumpangnya memberikan evaluasi langsung dengan sistem seperti sistem rating. Sistem ini mengisi celah dalam kesenjangan informasi antara pengemudi taksi dan penumpangnya seperti yang selama ini terjadi pada taksi konvensional. Yaitu konsumen dapat memberikan penilaian dan dapat mengakses informasi atas integritas dan kualitas layanan taksi dan pengemudinya.
Selama ini Perusahaan taksi konvensional memperoleh keuntungan di atas normal karena pasarnya berbentuk monopoli dan harga layanan ditetapkan di atas biaya operasional. Dugaan tersebut dapat dilihat ketika tarif taksi selama ini dibahas dan ditetapkan oleh Organda bersama Dinas Perhubungan provinsi setempat.
Untuk DKI Jakarta tarif buka pintu taksi Rp7.000,- dan tarif setiap satu kilometer Rp4.000,00. Sedangkan industri yang disebut kompetitif biasanya perusahaan hanya mendapatkan keuntungan normal (normal profit), yaitu ketika semua faktor produksi sudah dihitung perusahaan memperoleh imbal jasanya sesuai nilai keuntungan pasar. Kehadiran Angkutan Sewa Khusus sedikit banyak mengubah bentuk pasar dari monopoli ke bentuk persaingan pasar yang kompetitif. Perusahaan teknologi Angkutan Sewa Khusus berhasil mengubah pasar tersebut dengan memanfaatkan keunggulan pada sisi teknologi untuk bermitra dengan masyarakat pengusaha mikro dan kecil dengan konsep sharing economy yang saling menguntungkan.
Jumlah kebutuhan konsumen di suatu wilayah pada satu waktu tertentu, dan pengerahan Angkutan Sewa Khusus bersifat dinamis lewat mobilisasi berkat olah data secara masif lewat analisis yang dilakukan simultan oleh operator dan menjadi strategic advantage dari perusahaan penyedia aplikasi pemesanan tersebut dibandingkan dengan perusahaan taksi konvensional sehingga akibatnya Angkutan Sewa Khusus mampu mengetahui dan menghitung segala aktifitasnya yang berujung ongkos produksi jasa rendah dan nilai harga jual jasa pun (biaya taksi) menjadi rendah.
Strategic Advantage yang digunakan oleh Angkutan Sewa Khusus membuat perusahaan Angkutan Sewa Khusus dapat memprediksi bahwa di waktu-waktu tertentu konsumen sangat membutuhkan taksi dan bersedia membayar lebih untuk mendapatkan layanannya saat itu juga. Asalkan konsumen diberitahukan sebelumnya tentang besaran biaya sebelum perjalanan taksi dimulai. Ada harga yang tepat pada saat yang tepat di lokasi tertentu. Demikian sehingga tarif transportasi menjadi dinamis dan fleksibel naik turun mengikuti pola dan perilaku konsumen.
Secara teknologi, perusahaan taksi konvensional dapat melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh Angkutan Sewa Khusus namun membutuhkan waktu dan biaya tambahan untuk menyesuaikannya atau membutuhkan kemauan yang serius menuju persaingan yang sehat. Jadi permasalahan yang terjadi sebenarnya bukan pada sistem online ataupun tidak, namun lebih kemauan untuk berubah untuk mengikuti kemajuan teknologi. Sebab semua perusahaan taksi juga sudah menyadari tren teknologi ini dan nantinya seluruh perusahaan taksi juga menggunakan aplikasi pemesanan online untuk memenuhi tuntutan zaman untuk dapat bertahan dalam industri yang semakin kompetitif.
Agar perusahaan taksi konvensional dapat bersaing dengan Angkutan Sewa Khusus maka diharapkan agar pemerintah membuat peraturan yang dapat mengakomodir kepentingan semua pihak menuju perbaikan sistem kearah kemajuan teknologi (bukan stagnan konvensional).
Mempersulit penyedia aplikasi untuk beroperasi menggunakan kemajuan teknologi, karena ketentuan demikian mencoba memaksa kemajuan teknologi untuk mundur mengikuti model bisnis taksi konvensional, hal tersebut tentukan akan menambah biaya yang mahal sehingga pengusaha Angkutan Sewa Khusus tidak dapat menjual jasa dengan harga murah dan dipaksa untuk mengikuti harga taksi konvensional.
Bahkan mewajibkan pengemudi Angkutan Sewa Khusus (pengusaha Angkutan Sewa Khusus yang berskala mikro dan kecil) mendirikan badan hukum dan menyediakan bengkel yang akibatnya menimbulkan biaya operasional tambahan, yang notabene sebenarnya tidak diperlukan.
Dapat juga dimaknai sebagai memaksa para pengemudi Angkutan Sewa Khusus menjadi karyawan atau pekerja. Padahal, dalam prinsip model usaha modern ini, para pengendara diberdayakan dan didorong menjadi pemilik-pengusaha (owner-entrepeneur).
Materi muatan Permenhub Nomor PM.26/2017 menghilangkan hak Para Pemohon untuk menjadi pengusaha mikro dan kecil maka para pelaku bisnis Angkutan Sewa Khusus. Sementara dalam model usaha tradisional, pembagian hasil antara perusahaan taksi dan pengendara adalah 80 persen untuk perusahaan dan 20 persen untuk pengendara. Adapun dalam model bisnis e-hailing, pembagiannya dibalik, yaitu pengendara 80 persen sampai 85 persen dan perusahaan 15 persen sampai 20 persen.
Salah satu asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang Undangan yang baik sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12/2011, ialah berlandaskan Asas “Dapat Dilaksanakan” serta “Kedayagunaan dan Kehasilgunaan”. Adapun Penjelasan Pasal 5 huruf (d) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, disebutkan:
“Yang dimaksud dengan ‘Asas Dapat Dilaksanakan’ adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.”
Sementara, dalam Penjelasan Pasal 5 huruf (e) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, dijelaskan pula:
“Yang dimaksud dengan ‘Asas Kedayagunaan Dan Kehasilgunaan’ adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”
Termohon tidak pernah memberikan bukti kajian-kajian urgensi pembentukan Permenhub Nomor PM.26/2017 kepada Para Pemohon, sekalipun Para Pemohon telah meminta dan Termohon telah menjanjikan untuk memberikan studi-studi dimaksud kepada Para Pemohon.
Pemohon membuat kesimpulan, berlakunya Permenhub Nomor PM.26/2017, manfaatnya secara ekonomi bagi Pemohon selaku pengusaha mikro dan masyarakat luas sebagai pengguna tidak menguntungkan karena menimbulkan biaya tinggi.
Dengan syarat yang harus dipaksakan kepada Pengusana taksi online agar dapat berusaha menjadi seperti cara Taksi Konvensional sebagaimana yang terjadi selama ini, kondisi ini menimbulkan tarif taksi menjadi mahal. Karena berbisnis dengan cara Konvensional membuat administrasi yang panjang, waktu yang boros tidak efektif bahkan memakan biaya mahal atau tidak efisien. Semua syarat-syarat tersebut menimbulkan biaya tinggi yang ujungnya akan dibebankan kepada konsumen atau pengguna jasa pengguna taksi. Keadaan ini dapat dikatakan pemerintah tidak melindungi masyarakat luas pengguna taksi, tetapi menghidupkan taksi yang bertarif biaya mahal.
Dinilai pula, menghilangkan kesempatan “taksi online” beroperasi yang berbiaya murah sehingga Taksi Konvensional yang bertarif mahal kembali menjadi pilihan konsumen. Kondisi demikian mengakibatkan Konsumen pengguna dirugikan karena tidak lagi dapat memilik taksi dengan tarif yang berbiaya murah, sekaligus tidak terjadi persaingan sehat dalam bisnis Taksi sehingga harga / tarif dapat dipermainkan Taksi Konvensional sebagaimana yang terjadi selama ini.
Pembatasan jumlah kendaraan di pasar tidak menimbulkan persaingan usaha yang sehat sehingga kecil kemungkinan terbentuknya tarif normal dibentuk oleh mekanisme pasar permintaan dan penawaran. Kondisi demikian dapat dipermainkan oleh pengusaha, sehingga dapat berdampak biaya tarif tinggi yang akan dibebankan pada konsumen.
Kebutuhan kendaraan di pasar sudah seharusnya ditentukan oleh keseimbangan pasar antara penawaran (supply) dan permintaan (demand) yang akhirnya akan terbentuk tarif normal di lapangan. Penetapan pembatasan wilayah operasi Angkutan Sewa Khusus tidak memberikan pilihan yang luas bagi konsumen, sehingga tarif harga sangat mungkin ditentukan oleh penguasa pasar seperti taksi konvensional yang bebas beroperasi tanpa batas, yang berujung konsumen menanggung tarif mahal.
Permenhub Nomor PM.26/2017 dengan demikian dinilai menimbulkan keresahan di masyarakat serta telah pula mengakibatkan terjadinya insiden main hakim sendiri dan razia ataupun penyisiran yang tidak pada tempatnya dan tidak seharusnya dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak berwenang khususnya terhadap para pengemudi Angkutan Sewa Khusus sehingga telah mengakibatkan terhambatnya para pengemudi Angkutan Sewa khusus termasuk para Pemohon dalam menjalankan usahanya.
Terhadap permohonan uji materiil yang diajukan oleh para driver pemesanan via daring (online) tersebut, untuk itu Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Bahwa Para Pemohon, Sutarno, dkk adalah seorang warga Negara Indonesia yang bekerja sebagai Pengemudi Angkutan Sewa Khusus, oleh karenanya bertindak untuk dan atas nama dirinya sendiri;
“Bahwa dalam permohonannya, Para Pemohon telah mendalilkan bahwa Para Pemohon mempunyai kepentingan dengan alasan, diberlakukannya Objek Permohonan telah merugikan hak Para Pemohon, baik untuk mendapatkan kesempatan sebagai pengusaha mikro atau kecil serta penghasilan yang layak sesuai dengan kemampuannya maupun atas kesempatan untuk menikmati pendapatannya dengan modal yang kecil sehingga dapat berusaha dengan fasilitas praktis, efektif dan efisien sehingga dapat menjual jasanya kepada masyarakat luas dengan harga yang terjangkau, nyaman dan tepat waktu;
“Bahwa dari dalil Para Pemohon di atas dikaitkan dengan bukti-bukti yang diajukan, Mahkamah Agung berpendapat bahwa Para Pemohon merupakan subjek hukum yang kedudukannya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31A ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, dan haknya dirugikan akibat berlakunya peraturan perundang-undangan yang dimohonkan pengujian.
“Dengan demikian, Para Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) dalam pengajuan permohonan keberatan hak uji materiil a quo sebagaimana dimaksud Pasal 31A ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 dan Pasal 1 angka 4 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011;
“Bahwa oleh karena Mahkamah Agung berwenang untuk menguji, dan Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing), maka permohonan a quo secara formal dapat diterima;
“Bahwa selanjutnya Mahkamah Agung akan mempertimbangkan pokok permohonan, yaitu apakah ketentuan yang dimohonkan a quo bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau tidak;
“Bahwa setelah mencermati dan mempelajari dalil-dalil permohonan dari Para Pemohon dan bukti-bukti surat/tulisan yang diajukan, Mahkamah Agung berpendapat bahwa dalil-dalil Para Pemohon tersebut dapat dibenarkan dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa Angkutan Sewa Khusus berbasis aplikasi online merupakan konsekuensi logis dari perkembangan teknologi informasi dalam moda transportasi yang menawarkan pelayanan yang lebih baik, jaminan keamanan perjalanan dengan harga yang relatif murah dan tepat waktu;
- Bahwa fakta menunjukkan kehadiran Angkutan Sewa Khusus telah berhasil mengubah bentuk pasar dari monopoli ke persaingan pasar yang kompetitif, dengan memanfaatkan keunggulan pada sisi teknologi untuk bermitra dengan masyarakat pengusaha mikro dan kecil dengan konsep sharing economy yang saling menguntungkan dengan mengedepankan asas kekeluargaan sebagaimana amanat Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945;
- Bahwa penyusunan regulasi dibidang transportasi berbasis teknologi dan informasi seharusnya didasarkan pada asas musyawarah mufakat yang melibatkan seluruh stakeholder dibidang jasa transportasi sehingga secara bersama dapat menumbuh-kembangkan usaha ekonomi mikro, kecil dan menengah, tanpa meninggalkan asas kekeluargaan;
- Bahwa dalam permohonan keberatan hak uji materiil ini, Mahkamah Agung menilai objek permohonan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, sebagai berikut:
a. bertentangan dengan Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008, karena tidak menumbuhkan dan mengembangkan usaha dalam rangka membangun perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi yang berkeadilan dan prinsip pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah;
b. bertentangan dengan Pasal 183 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, karena penentuan tarif dilakukan berdasarkan tarif batas atas dan batas bawah, atas usulan dari Gubernur/Kepala Badan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri, dan bukan didasarkan pada kesepakatan antara pengguna jasa (konsumen) dengan perusahaan Angkutan Sewa Khusus;
“Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, dalil permohonan Para Pemohon beralasan hukum;
“Pokok permohonan dari Para Pemohon beralasan menurut hukum;
“Oleh karena itu, permohonan keberatan hak uji materiil patut untuk dikabulkan, dan pasal-pasal yang menjadi objek permohonan harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dan selanjutnya memerintahkan kepada Termohon untuk mencabut objek permohonan a quo;
“M E N G A D I L I :
1. Mengabulkan permohonan keberatan hak uji materiil dari Para Pemohon: 1. SUTARNO, 2. ENDRU VALIANTO NUGROHO, 3. LIE HERMAN SUSANTO, 4. IWANTO, 5. IR. JOHANES BAYU SARWO AJI, 6. ANTONIUS HANDOYO tersebut; 2. Menyatakan Pasal 5 ayat (1) huruf e, Pasal 19 ayat (2) huruf f dan ayat (3) huruf e, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 huruf a, Pasal 30 huruf b, Pasal 35 ayat (9) huruf a angka 2 dan ayat (10) huruf a angka 3, Pasal 36 ayat (4) huruf c, Pasal 37 ayat (4) huruf c, Pasal 38 ayat (9) huruf a angka 2 dan ayat (10) huruf a angka 3, Pasal 43 ayat (3) huruf b angka 1 sub huruf b, Pasal 44 ayat (10) huruf a angka 2 dan ayat (11) huruf a angka 2, Pasal 51 ayat (3), dan Pasal 66 ayat (4) Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM.26 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam Trayek, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu:
- Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah; serta
- Undang Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
3. Menyatakan Pasal 5 ayat (1) huruf e, Pasal 19 ayat (2) huruf f dan ayat (3) huruf e, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 huruf a, Pasal 30 huruf b, Pasal 35 ayat (9) huruf a angka 2 dan ayat (10) huruf a angka 3, Pasal 36 ayat (4) huruf c, Pasal 37 ayat (4) huruf c, Pasal 38 ayat (9) huruf a angka 2 dan ayat (10) huruf a angka 3, Pasal 43 ayat (3) huruf b angka 1 sub huruf b, Pasal 44 ayat (10) huruf a angka 2 dan ayat (11) huruf a angka 2, Pasal 51 ayat (3), dan Pasal 66 ayat (4) Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM.26 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam Trayek, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
4. Memerintahkan kepada Menteri Perhubungan Republik Indonesia untuk mencabut Pasal 5 ayat (1) huruf e, Pasal 19 ayat (2) huruf f dan ayat (3) huruf e, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 huruf a, Pasal 30 huruf b, Pasal 35 ayat (9) huruf a angka 2 dan ayat (10) huruf a angka 3, Pasal 36 ayat (4) huruf c, Pasal 37 ayat (4) huruf c, Pasal 38 ayat (9) huruf a angka 2 dan ayat (10) huruf a angka 3, Pasal 43 ayat (3) huruf b angka 1 sub huruf b, Pasal 44 ayat (10) huruf a angka 2 dan ayat (11) huruf a angka 2, Pasal 51 ayat (3), dan Pasal 66 ayat (4) Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM.26 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam Trayek;
5. Memerintahkan kepada Panitera Mahkamah Agung untuk mengirimkan petikan putusan ini kepada Percetakan Negara untuk dicantumkan dalam Berita Negara;
6. Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta Rupiah).”
© SHIETRA & PARTNERS Copyright.