ARTIKEL HUKUM
Dalam teori hukum orthodoks, disebutkan bahwa terdapat dua jenis norma didalam hukum, yakni: “norma hukum primer” dan “norma hukum sekunder”. Norma hukum primer, berisi kaedah tindak perilaku, berupa perintah, kebolehan, maupun larangan. Sementara norma hukum sekunder berisi kaedah sanksi bila norma hukum primer terlanggar.
Teori hukum orthodoks tersebut kemudian menyebutkan, hukum tidak identik dengan “norma hukum sekunder”, karena terdapat “norma hukum primer” tanpa disertai “norma hukum sekunder” secara berpasang-pasangan. Untuk itu, artikel ini sekaligus menjadi alat uji tes bagi segenap sarjana hukum Indonesia, untuk mengetahui karakter Anda selaku sarjana hukum, apakah merupakan seorang sarjana hukum visioner ataukah sarjana hukum yang tidak memiliki kemampuan “meneropong” masa depan apapun dibalik setiap proses “aksi dan reaksi”.
Jawablah pertanyaan sederhana berikut, tanpa harus menganalisa terlampau berkepanjangan: Setujukah Anda dengan pernyataan bahwa hukum tidak identik dengan sanksi?
Anda akan menemukan jawabannya setelah kita menyimak beberapa dialektika singkat berikut. Norma yang berisi kebolehan, dimaknai bahwa segala suatu selain atau diluar kebolehan itu, adalah sebuah larangan. Artinya, disaat bersamaan “norma kebolehan” mengandung secara inheren “norma larangan”, yakni larangan untuk berlaku sikap diluar apa yang telah disebutkan / dirinci dalam kebolehan tersebut.
Baik perintah maupun larangan, adalah bersifat imperatif. Sementara yang dimaksud dengan imperatif, artinya bukanlah fakultatif, dan karena sifatnya ialah bukan fakultatif, maka dapat dibebankan daya paksa secara hukum untuk mengatur dan menegakkan aturan tersebut.
Jika memang terdapat norma hukum tanpa norma komplementernya berupa sanksi, maka apa bedanya norma hukum dengan norma sosial—yang bahkan sanksi tekanan masyarakat pun sudah merupakan sebentuk sanksi itu sendiri dalam norma sosial?
Norma moral berpulang pada kesadaran dan suara batin sang pelaku itu sendiri selaku warga negara. Jika norma hukum hanya sampai sebatas norma moril, maka apa bedanya antara hukum dengan moril, dimana tidak dapat diberikan daya pemaksa terhadap pelanggarnya oleh alat-alat kelengkapan negara, sehingga warga negara bebas melanggarnya tanpa merasa takut atas penghukuman?
Jika norma moril cukup diatur dalam ajaran agama dan budaya, maka untuk apa lagi hukum turut campur dalam norma moril yang bisa dilanggar seenaknya oleh setiap warga masyarakat, semata-mata karena tidak berpasangan dengan norma hukum sekunder untuk menghukum dan memberi sanksi bagi sang pelanggar?
Perhatikan ilustrasi berikut: sebuah pabrik pengolah limbah akan habis perizinan legalitas usahanya, sementara itu untuk mengurus dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) serta berbagai pungutan liar yang melingkupinya, bukanlah perkara kecil cost yang harus dikeluarkan sang pengusaha. Akan tetapi, mengapa sang pengusaha tetap juga rajin untuk mengurus segala perizinan usahanya setiap tahun?
Jawabannya ialah terdapat norma sanksi yang bekerja dibalik konstruksi hukum demikian. Tanpa izin yang resmi, maka tiada usaha apapun yang diperkenankan. Jika kegiatan usaha tetap dilangsungkan tanpa izin, maka sang pengusaha terancam sanksi hukuman denda, administrasi, hingga ancaman vonis pidana karena terdapat kaedah hukum yang mengantur sanksi bagi pelaku usaha yang melakukan kegiatan usaha tanpa izin.
Peraturan hukum mengenai syarat-syarat untuk mengajukan perizinan, memang tampak sekadar menyerupai norma-norma administrasi yang tidak dipasangkan dengan norma sanksi. Tapi kemudian mengapa pada ujungnya tetap saja dapat diancam oleh sanksi sebagaimana contoh diatas?
Hal itu karena kita harus melihat hukum sebagai satu-kesatuan sistem, tidak dapat secara parsial. Peraturan perundang-undangan tentang perizinan, memang tampak tidak memiliki kandungan materi norma perihal sanksi, namun ketika izin tidak dimiliki, dan seorang subjek hukum tetap saja melakukan operasional tanpa izin, maka ancaman sanksi akan menghantui. Itulah sebabnya, setiap kalangan pengusaha demikian penuh perhatian dan patuh terhadap berbagai legalitas perizinan, apapun bayaran yang harus dirinya tanggung.
Inilah salah satu bentuk ilustrasi konkret daya visibilitas seorang sarjana hukum, yang harus mampu untuk melihat jauh ke depan, bagai memainkan pion di papan catut, hanya mampu melihat lima atau enam langkah ke depan dari setiap kemungkinan, sama artinya memiliki benteng pertahanan yang lemah. Falsafah hukum ialah: prepare for the wortst case, selalu bersifat relevan sampai kapanpun sepanjang masih terdapat peradaban manusia di muka Bumi ini.
Seorang sarjana hukum yang visioner, tidak hanya mampu melihat fakta yuridis semata, namun juga metafisika yang melingkupinya, semisal faktor moril, faktor sosial, faktor politis, serta faktor-faktor lain yang senantiasa melingkupi suatu permasalahan hukum. Permasalahan hukum, dengan demikian, tidak hanya mampu dipecahkan secara “perang dingin” (hukum).
Mengurai masalah hukum, semata hanya dengan alat-alat yang terkandung dalam hukum, sama artinya memperparah benang kusut, karena para subjek hukum yang diatur oleh hukum ialah para manusia (makhluk hidup) yang memiliki perasaan, empati, itikad baik ataupun itikad buruk, daya ikatan sosial, kohesi, arus budaya, pergerakan tren, berbagai motif, motivasi, hukum kebiasaan, hingga permasalahan-permasalahan sentimentil yang tidak dapat dilawan / dibenturkan dengan hukum—guna menghindari permasalahan yang jauh lebih kompleks dikemudian hari.
Terkadang, pendekatan yang terbaik ialah pendekatan non yuridis. Bagai sebuah api yang menyala, menyiramnya dengan bensin yang merupakan representasi hukum, hanya akan membuat api itu berkobar dan akan melahap apapun sejadi-jadinya. Hukum sangat kering empati dan sifatnya adalah hanyalah tulisan diatas kertas yang tidak mengenal konteks yang bisa jadi tidak relevan dengan aturan tertulis yang hidup di tengah masyarakat. Seorang mediator yang baik, tahu betul akan falsafah paling mendasar tersebut diatas.
Ketika faktor yuridis diterapkan secara kaku dan keras, maka berbagai social cost akan menjadi harga mahal yang harus kita bayar. Kegagalan untuk melihat dan mempertimbangkan faktor-faktor non yuridis demikian, adalah salah satu penyebab banyaknya sengketa kecil menjelma menjadi permasalahan hukum yang demikian keruh dan kian memanas, sehingga berujung pada aksi gugat-menggugat: penggugat menggugat, dan tergugat balik menggugat.
Dalam praktik, penulis melihat banyak keterlibatan kalangan sarjana hukum yang justru memperkeruh keadaan dengan bersikap “sok” tahu dan bicara banyak soal hukum (baca: memprovokasi sang klien untuk menggugat), menerapkan bunyi aturan hukum secara kaku, dan tidak peka terhadap situasi dan kondisi yang relevan apakah sudah tepat ditetapkan dan diterapkan atau tidaknya.
Faktor manusia adalah faktor sosial yang sangat sensitif. kita tidak dapat mengintervensi ikatan sosial ini dengan norma yuridis yang kaku dan tidak mampu mengadaptasikan dirinya dengan lingkungan. Yang kemudian terjadi, ialah kontraproduktif terhadap tujuan pembentukan hukum itu sendiri. Terkadang, hukum-lah yang harus mengadaptasi dengan lingkungannya. Solusi terbaik seringkali berada “diluar sana”, ketimbang di dalam faktor yuridis semata.
Secara faktor yuridis, mungkin sang klien benar dan sudah kuat di mata hukum. Namun ketika posisi “diatas angin” demikian dimaknai sebagai dapat bersikap keras terhadap faktor-faktor non yuridis yang melingkupinya, maka benih-benih sengketa sejatinya sedang kita tumbuhkan, yang sewaktu-waktu dapat tumbuh besar dan menjadi bumerang bila penggunaannya tidak secara hati-hati dan tidak secara tepat guna (perihal faedah / kemanfaatan).
Bagai seorang pilot yang mengetahui bahwa pesawat yang dikemudikannya adalah pesawat canggih dengan teknologi tinggi yang mampu menebus cuaca buruk sekalipun. Namun ketika dirinya sadar sedang membawa banyak penumpang di dalam pesawat yang dikemudikannya, dimana ia perlu memikirkan perasaan para penumpang yang menjadi konsumen maskapai penerbangan komersiel, dan tetap memutuskan menembus awan tidak bersahabat, alih-alih singgah sementara di bandara terdekat menunggu cuaca membaik, sama artinya dirinya akan membawa maskapainya mengalami kejatuhan secara reputasi di mata konsumen. Seorang visioner adalah berkebalikan dengan watak seorang spekulan yang dicirikan oleh cara berpikir yang pendek dan sembrono.
Kerapkali, merangkul setiap konstituen lebih baik dari bersengketa, meski kita paham dan sadar bahwa secara yuridis kita sepenuhnya kuat dan benar. Karena, dibalik potensi kemungkinan menang tersebut, masih tersimpan serangkaian kisah yang tidak selesai ataupun berakhir saat hukum menyatakan diri kita dimenangkan. Kita perlu ingat dampak berantai (efek domino) dan “jangka-panjangnya”.
Terkadang, konsultan hukum yang baik akan “mengerem” hasrat sang klien untuk menggunakan “sehemat” mungkin norma-norma kaedah hukum, alih-alih mendorong sang klien untuk menerapkan norma-norma hukum itu secara boros, kaku, dan tajam, bahkan membabi-buta—yang bisa jadi akan disesalinya sendiri dikemudian hari.
Ingatlah selalu, kemenangan bersifat temporer, tidak kekal untuk selamanya, sementara kehidupan masih panjang ini masih juga harus berlanjut dan dihadapi—suka atau tidak suka. Itu jugalah sebabnya, instrumen hukum harus digunakan “sehemat” mungkin, hingga pada suatu titik dimana pelanggaran oleh suatu pihak tidak lagi dapat ditolerir.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.