ARTIKEL HUKUM
Berikut ini adalah kisah sederhana yang baru-baru ini penulis alami ketika menghadapi petugas kepolisian yang mengenakan seragam polisi, namun bermental korup (lebih tepatnya kolusi) sekaligus berjiwa pemeras—sungguh sudah “putus” urat malu para jajaran kepolisian di Tanah Air, menggunakan (menyalahgunakan) seragam penegak hukum justru untuk merusak hukum dan memeras rakyat.
Sedari awal, penulis tidak pernah habis pikir dengan peraturan hukum yang mewajibkan pengendara motor roda dua untuk menyalakan lampu utama di siang hari, meski keadaan terik dan sinar mentari terang-benderang—hanya memperpendek umur aki motor dan menyilaukan mata pengemudi dari arah berlawanan.
Ketika sampai pada akhirnya penulis di-stop oleh seorang polisi yang dengan buasnya mencari buruan di jalan raya, pada akhirnya penulis menjadi satu dari ribuan korban sang oknum kepolisian. Sang opsir polisi menyuruh penulis menepikan kendaraan motor roda dua yang penulis kendarai.
Selanjutnya sang opsir polisi menyuruh penulis untuk berjalan mengikutinya menuju ke dalam posnya. Dari sini saja sudah tercium gelagat tidak baik dari sang polisi. Ada agenda tersembunyi apakah gerangan? Berikut petikan dialog yang kemudian terjadi:
“Tak menghidupkan lampu. Mana Surat Izin Mengemudi?”
Penulis menyerahkan SIM dan STNK. Sang polisi mengambilnya lalu berjalan masuk ke dalam posnya, duduk di sebuah bangku, mengeluarkan buku tilang tebal yang menjadi “makanan” sehari-hari sang opsir. Sambil mengamati dokumen-dokumen penulis, sang opsir menyuruh penulis duduk tepat di samping sang opsir yang berlagak baik dan ramah.
Umn, makin mencurigakan. Mari kita simak ...
“Coba kamu lihat ini,” ujar sang opsir sambil memperlihatkan tabel pasal pelanggaran, dan rincian denda. “Tak nyalakan lampu, dendanya Rp. 100.000.”
Itu ancaman denda maksimum. Ternyata seperti ini cara-cara polisi menakuti korbannya.
“Jadi, mau diapakan ini?”
Lho, kok jadi ini polisi yang nanya, mau diapakan?
“Tilang saja, Pak !” sahut penulis dengan nada datar.
“Mau ditilang SiM atau STNK-nya?”
Lho, kok jadi dia yang nanya.
“Terserah.”
“STNK-nya, ya.” Sang Opsir mulai sibuk menulis diatas surat tilang.
Mendadak sang opsir yang terhormat yang dijuluki penegak hukum ini berbisik pada penulis, “Mau tilang atau mau damai aja?”
Lho, kok lagi-lagi dia yang nanya?
Damai?
Yang korban sebetulnya siapa, ya?
“Tilang aja.”
“...” sang opsir kembali menulis. Sempat terlihat raut wajah sang polisi menjadi ‘kecele”.
Sang opsir berhenti menulis, menoleh. “Kamu punya berapa?” tanya sang opsir tiba-tiba. “Udah, lima puluh (ribu Rupiah) aja.”
Hah?
Ini polisi atau preman berpakaian polisi?
“Sepuluh (ribu Rupiah) aja,” sahut penulis kemudian.
Kalau sang opsir menerima suap senilai Rp. 10.000;- maka sama artinya sang opsir polisi benar-benar bermental ‘gembel’.
“Bener ngak mau lima puluh (ribu Rupiah)?”
Sebenarnya ada beberapa lembar pecahan uang Rp. 50.000;- menganggur di dompet. Tapi buat apa diberikan ke perampok berjubah polisi yang sudah digaji dengan pajak rakyat ini? Mending didanakan saja ke kas negara dengan ikut sidang denda di pengadilan.
“Tilang aja.”
Singkat cerita, STNK milik penulis disita, dan diberikan surat tilang untuk membayar denda di pengadilan. Namun, apakah penulis berjalan pulang dengan wajah merengut?
Marah?
Ataukah kecewa?
Tentu tidak. Penulis justru pulang dengan demikian gembira, bagai habis memenangkan sebuah pertarungan melawan raksasa berjubah polisi. Mengapa? Karena penulis berhasil membuat sang polisi korup merasa “kecele” pada akhirnya.
Inilah kata-kata yang penulis lontarkan dalam hati ketika melajukan kembali kendaraan penulis dalam perjalanan pulang pasca ditilang oleh sang polisi yang terhormat:
“YES, YES, akhirnya berhasil juga membuat polisi korup jadi kecele !!! YES, YES...”
Setibanya di kediaman, penulis dengan antusias menceritakan pengalaman penilangan ini kepada anggota keluarga. Dengan bangga penulis menolak usul anggota keluarga untuk “berdamai” saja dengan sang opsir. Alih-alih kecewa atau sedih, penulis justru merasa sebagai pemenang yang telah berhasil menaklukkan monster raksasa bernama kepolisian.
Penulis menyadari, masyarakat sipil sangatlah lemah di mata mereka yang memegang kekuasaan seperti mereka yang mengenakan jubah polisi. Satu-satunya cara untuk melawan sikap korup aparatur negara yang menyalahgunakan wewenang, ialah dengan bersikap jujur dan tidak tunduk terhadap deal-deal politis mereka yang bermental dan berperilaku korup (serta kolutif).
Dari pengamatan penulis di keseharian, para polisi kotor tersebut selalu berkumpul di tikungan jalan yang sama setiap harinya, dengan berbagai mangsa yang selalu “berjatuhan”, ialah karena para polisi tersebut berhasil memeras para warga negara, dari hari ke hari sebagai suatu rutinitas yang bisa dikatakan sebagai “ritual” kalangan kepolisian. Maka dari itu, para polisi demikian akan terus menampakkan sosok dirinya di tikungan yang sama, setiap harinya.
Jika saja seluruh warga negara di Tanah Air mau bersikap kompak untuk tidak mau tunduk terhadap sikap korup dan aksi kolusi para apartur negara, maka dapat dipastikan para polisi itu “tidak digaji hanya untuk memungli warga negara”.
Selama ini Kapolri selalu menyebutkan kekurangan anggaran untuk belanja pegawai dan operasional, tapi mengapa tenaga kepolisian justru dikerahkan untuk menjadi “tukang” tilang dan “tukang” peras demikian? Seakan belum terlampau banyak pelaku kejahatan yang perlu dikejar dan disidik. Mengapa sang opsir justru sibuk menilang dan memungli warga seakan tiada hal lain yang lebih penting untuk dikerjakan?
Akankah, di mata kepolisian, warga negara pengguna jalan adalah sekadar mesin “ATM” (anjungan tunai mandiri) untuk menarik uang, alih-alih untuk mengayomi dan melindungi warga masyarakat? Semua orang sudah tahu jawabannya.
Ketika aparatur penegak hukum justru berperilaku kotor dan korup, yang mana sang aparatur itu sendiri yang perlu diadili dan dihukum, maka warga masyarakat, sebagai efek berantainya, akan merasa apatis terhadap penegakan hukum—dimana penegakan hukum menjadi demikian transaksional dan negosiatif demi kepentingan sang pejabat korup itu sendiri.
Ketika warga masyarakat tidak lagi merasa memiliki, terhadap upaya penegakan hukum, bahkan timbul persepsi publik bahwa aparatur “penegak hukum” adalah musuh publik dan merongrong masyarakat, maka pada titik itulah, masyarakat luas tidak lagi memiliki rasa memiliki terhadap hukum negara.
Dalam titik nadir kekecewaan itulah, timbul euforia dalam benak publik untuk membuat sistem hukum baru di Tanah Air, yakni hukum agama untuk menggantikan hukum negara yang terbukti korup (dicerminkan oleh para aparatur penegak hukumnya). Itulah penjelasannya, mengapa simpatisan ide untuk mengubah haluan hukum negara menjadi hukum agama, demikian tingginya di Indonesia.
Dalam berbagai aksi ter0risme, tanpa bermaksud untuk membela aksi kaum radikal demikian, yang justru menggeser strategi aksinya dengan menghancurkan aparat kepolisian di Indonesia, bukanlah sesuatu yang demikian mengejutkan dalam persepsi penulis secara pribadi—dan memang sudah dapat diprediksi jauh sebelumnya, yakni ketika pecah tragedi “Arab Spring” seperti yang terjadi di Libya beberapa tahun lampau.
Persepsi publik terhadap tingkat kejujuran kepolisian Indonesia sangatlah rendah. Cobalah ketika Anda mengalami suatu tindak kriminil, melaporkan kepada pihak kepolisian tidak akan membawa faedah, karena sang pelaku kejahatan sudah akan pergi dari TKP karena kepolisian tidak tanggap, bahkan tidak akan melakukan tindakan penegakan hukum tanpa adanya “uang pelicin”.
Selama ini masyarakat kita sejatinya telah dibodohi oleh alasan klise: “Tidak boleh main hakim sendiri. Negara Indonesia adalah negara hukum, sehingga hanya aparatur penegak hukum yang dapat menghukum. Masyarakat tidak boleh main hakim sendiri, karena masyarakat yang menjadi korban seharusnya melapor ke polisi.”
Betul, idealnya demikian. Masalahnya, polisi tidak pernah hadir saat benar-benar dibutuhkan, dan sekalipun korban mengajukan laporan, tiada tindak-lanjut apapun. Masalah kedua, mental kepolisian itu sendiri yang selama ini bukan berjiwa pengayom dan pelindung serta penegak hukum, namun bermental “pemeras” dan “pengabai”. Keadaan ini diperparah oleh perilaku kejaksaan dan kehakiman. Dari sudut pandang ini, dalam derajat tertentu, penulis menyetujui konsep “main hakim sendiri”.
Apakah argumentasi logisnya? Para warga masyarakat di Amerika Serikat diperbolehkan untuk memiliki senjata api untuk melindungi diri. Karena para calon pencuri dan perampok menyadari bahwa para penghuni rumah calon korbannya memiliki senjata api untuk membela diri dan harta bendanya, dibenarkan untuk menembak kriminil yang mengancam, maka tindak kejahatan pencurian dan perampokan tercatat sangat rendah di negara tersebut.
Sebaliknya, bandingkan sendiri dengan Indonesia, tingkat aksi pencurian dan perampokan terjadi sangat masif, karena aparatur kepolisian tidak pernah hadir saat benar-benar dibutuhkan, dan sekalipun telah diberikan laporan, tiada tindak lanjut apapun. Sementara, warga masyarakat tidak dibekali hak untuk membela diri apapun—dengan ancaman kriminalisasi karena “main hakim sendiri”.
Setiap warga negara pasti pernah mengalami tindak kriminil mulai dari dianiaya, dirampok, dicuri, diperas, dirusak properti kepemilikannya. Pertanyaan yang kemudian paling mendasar dapat kita ajukan ialah: “Mengapa tidak melapor?” “Apakah melapor ada manfaatnya?” “Apakah melapor tidak membuat si pelaku keburu pergi?” “Apakah melapor tidak justru hilang kambing malah kemudian kehilangan sapi?”
Cobalah Anda melaporkan tindak kriminil pencurian yang dialami kediaman Anda. Betul, bahwa kemudian sang polisi melakukan olah TKP dan memasang garis kepolisian (police line). Namun, sampai kapan garis polisi itu harus terus terpasang? Jika untuk memasangnya “tidaklah gratis”, maka melepaskannya pun “tidaklah gratis”.
Itulah sebabnya, mayoritas korban tindak kriminil di Tanah Air, tidak pernah mengajukan laporan pidana apapun kepada pihak berwajib, sekalipun mengalami berbagai macam pelanggaran hukum pidana oleh pihak-pihak lain. Salah satu saksi korbannya, ialah penulis itu sendiri, mulai dari aksi penganiayaan, pencurian, perusakan properti, bilget giro ‘aspal’ (asli tapi palsu), dan berbagai tindak kejahatan lain, semua itu kini bagai sebuah mimpi saja. Datang dan berlalu, sekalipun melapor dan menjerit, dianggap “angin lalu”.
Bahkan, salah seorang tetangga kediaman penulis, tercatat sebagai satuan polisi di sebuah Polsek, yang setiap bulan selalu menerima gaji sebagai polisi, namun setiap hari pula dirinya tidak pernah bertugas dan hanya sibuk mengurusi kolam pemancingan ikannya di rumah. Inilah fakta di lapangan yang tidak pernah mau diakui oleh para petinggi POLRI maupun Kapolri yang menjabat saat kini.
Indonesia tidak pernah kekurangan aparatur penegak hukum. Buktinya, lihatlah betapa “produktifnya” para opsir tersebut melakukan aksi penilangan di jalan raya. Namun, mengapa penyelidikan dan penyidikan oleh kesatuan kepolisian, tercatat sangat rendah di Tanah Air?
Lagi-lagi, Kapolri dan para jajaran pimpinan POLRI mengambil alasan klise yang sudah “basi”: Kami kekurangan anggaran operasional untuk penyelidikan maupun penyidikan.
Bagaimana tidak, anggaran POLRI habis terkuras untuk menggaji opsir-opsir yang justru bertugas untuk menjadi penarik uang di ATM yang bernama pengemudi kendaraan bermotor dan para korban tindak kriminil. Bukan bermaksud apatis, namun inilah fakta empiris yang perlu kita akui dan hadapi bersama. Semoga terjalin perubahan untuk kedepannya. Semoga, meski tiada harapan secara berlebihan.
© SHIETRA & PARTNERS Copyright.