KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Penurunan Produksi yang Signifikan sebagai Alasan PHK Efisiensi

LEGAL OPINION
Question: Iklim investasi tidak selalu kondusif dan stagnan. Ada kalanya resesi dan ini berimbas pula pada pesanan dari pihak langganan. Jika sampai resesi kembali terjadi, demi menghindari pabrik kolaps, apa bisa sebagian buruh kami PHK sepihak? Daripada pabrik tutup sepenuhnya dan untuk selamanya, bukankah lebih baik masih kami selamatkan dan operasionalkan seadanya dan semampunya, meski kami hanya mampu mempertahankan separuh dari seluruh pegawai yang kami punya.
Brief Answer: Sepihak tidak bisa, tapi mengajukan permohonan (“gugatan”) pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada Pengadilan Hubungan Industrial, dengan alasan efisiensi usaha—namun wajib dibuktikan adanya alasan mendesak untuk melakukan efisiensi usaha disamping bukti-bukti konkret, disertai hak-hak normatif Pekerja yang terkena kebijakan PHK dengan kriteria efisiensi usaha.
Dalam hal ini, Mahkamah Agung RI telah merasionalisasi kaedah hukum yang dibentuk oleh lembaga Mahkamah Konstitusi RI yang menyatakan bahwa efisiensi ketenagakerjaan hanya dapat dimaknai sebagai “tutup secara permanen dan keseluruhan tenaga kerja”—yang dalam praktik kerap dimaknai pula sebagai penutupan permanen divisi / unit usaha.
Dalam konsepsi “too big to fall”, disaat kondisi ekonomi makro dan ekonomi mikro nasional sedang mengalami kelesuan, penutupan usaha secara permanen bukanlah solusi yang ideal. Rasionalisasi dan efisiensi, merupakan jawaban paling rasional yang mampu ditawarkan pihak Pengusaha dalam titik ekuilibrium ini.
PHK dengan alasan merugi, sejatinya sudah terdapat ketentuan normatif Pasal 164 Ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan, yang mengatur:
“Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).”
Dalam Ayat ke-2 dan ke-3, diatur pula, bahwa kerugian perusahaan harus dibuktikan dengan laporan keuangan 2 tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik. Namun, Pengusaha dapat melakukan PHK terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) UU Ketenagakerjaan.
PEMBAHASAN:
Pasal 21 Peraturan Umum Mengenai Perundang-Undangan Untuk Indonesia (Algemene Bepalingen van wetgeving voor Indonesie) memiliki pengaturan, dengan bunyi sebagai berikut:
 “Hakim harus memutus perkara berdasarkan undang-undang. Hakim sama sekali tidak diperkenankan menilai isi dan keadilan dari undang-undang itu.”
Namun Mahkamah Agung RI telah berevolusi menjadi pengadilan yang rasional. Sebagai ilustrasi, untuk itu SHIETRA & PARTNERS merujuk pada putusan Mahkamah Agung RI sengketa efisiensi usaha register Nomor 881 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 22 November 2016, perkara antara:
- SUDARSO, sebagai Pemohon Kasasi, semula selaku Tergugat III; melawan
- PT. PERKASA INAKAKERTA, selaku Termohon Kasasi dahulu Penggugat; dan
1. ABIDIN ISHAK; 2. AGUS SALIM; 3. SYARAMAN, sebagai Para Turut Termohon Kasasi dahulu Tergugat I, II, IV.
Penggugat merupakan perusahaan pemegang Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang ditandatangani dengan pemerintah pusat pada tanggal 20 November 1997 yang bergerak dibidang pertambangan batubara, dimana Para Tergugat merupakan karyawan Penggugat.
Sejak awal tahun 2012, terjadi penurunan harga jual batubara di pasar global, yang hingga saat ini menurun terus dan sudah mencapai titik di harga kisaran USD 60 per ton. Penurunan harga jual batubara tersebut lebih rendah dari ongkos produksi batubara yang berakibat pada kerugian yang dialami oleh Penggugat sebagai penambang.
Selain itu Undang Undang Minerba yang baru Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara mengatur bahwa pemerintah mempunyai kewenangan untuk menetapkan kebijakan pengutamaan mineral dan/atau batubara untuk kepentingan dalam negeri melalui pengendalian produksi dan ekspor.
Dengan kondisi saat ini dimana terjadinya penurunan harga batubara, maka Pemerintah melalui Ditjen Minerba meminta kepada para pelaku usaha dibidang batubara untuk melakukan penurunan produksinya. Kondisi ini berkonsekuensi logis membawa pengaruh terhadap perusahaan-perusahaan yang bergerak bidang pertambangan batubara, tidak terkecuali Penggugat.
Terkait dengan penurunan produksi tersebut, terhitung sejak Januari 2013, Penggugat memulai melakukan perubahan jam kerja dari 2 shift kerja menjadi 3 shift kerja, sebagai upaya untuk menghindari adanya pemutusan hubungan kerja dengan karyawan.
Pada bulan Agustus 2013, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara mengeluarkan surat Persetujuan Revisi Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB) tahap Operasi Produksi tahun 2013 kepada Penggugat dengan persetujuan produksi maksimum 1,9 juta ton.
Terhitung sejak bulan November 2013, Penggugat telah mulai melakukan efisiensi melalui pengurangan karyawan dengan tata cara memberikan kesempatan kepada karyawan Penggugat untuk mengajukan pensiun dini atau mengajukan pengunduran diri, dan diberikan pesangon dengan perhitungan perkalian 2 (dua) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan.
Langkah efisiensi melalui pengurangan karyawan tersebut, berkaitan dengan kondisi ekonomi global dimana adanya penurunan harga jual batubara dan berkurangnya produksi, sehingga terjadi ketidakseimbangan antara jumlah tenaga kerja dengan volume pekerjaan yang ada, yang berakibat pada kerugian yang dialami oleh Penggugat sebagai penambang.
Sebagai implementasi dari permintaan Pemerintah untuk menurunkan produksi kepada para penambangan, pada bulan Februari 2014, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara mengeluarkan surat Persetujuan Produksi Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB) tahap Operasi Produksi tahun 2014 kepada Penggugat, dengan persetujuan produksi maksimum, turun menjadi 1,4 juta ton.
Adanya persetujuan RKAB Tahap Operasi Produksi tahun 2014 yang turun menjadi 1,4 juta ton, maka terjadinya penurunan produksi yang sangat drastis, sehingga berdampak terhadap adanya kelebihan karyawan yang sangat mencolok dibandingkan dengan volume pekerjaan yang ada.
Dengan turunnya produksi secara drastis tersebut, maka terhitung sejak bulan Juni 2014, Penggugat kembali melakukan efisiensi pengurangan karyawan dengan tata cara penunjukan sebanyak 93 orang karyawan, termasuk Para Tergugat.
Bulan Juni 2014, Penggugat mulai melakukan pemanggilan kepada karyawan yang akan dilakukan pemutusan hubungan kerjanya, untuk mendapat penjelasan mengenai kondisi perusahaan dan pemberitahuan mengenai rencana pemutusan hubungan kerja tersebut.
Tanggal 24 Juni 2014, saat pemanggilan karyawan, sebanyak 73 karyawan telah menerima dilakukannya pemutusan hubungan kerja, dan berkaitan dengan PHK tersebut, semua hak-hak normatif Pekerja diberikan sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
Pada kesempatan itu pula, Para Tergugat menyatakan menolak kebijakan PHK yang akan dilakukan terhadap mereka. Pada tanggal 3 Juli 2014, Penggugat mengirimkan surat panggilan kepada Para Tergugat untuk dilakukan perundingan secara bipartit, berkaitan dengan rencana PHK terhadap Para Tergugat.
Pada tanggal 5 Juli 2014 telah dilakukan pertemuan bipartit, dan dalam pertemuan tersebut tidak tercapai kesepakatan. Para Tergugat tetap menolak rencana PHK.
Berlanjut pada tanggal 16 Juli 2014, Penggugat mengajukan permasalahan PHK ke Dinas Tenaga Kerja Kutai Timur untuk dilakukan mediasi. Namun masing-masing pihak tetap pada pendirian semula. Adapun yang kemudian menjadi anjuran tertulis dari mediator Disnakertrans, sebagai berikut:
1. Agar pihak perusahaan PT. Perkasa Inakakerta Bengalon membayar hak-hak pekerjanya: saudara Abidin Ishak, saudara Agus Salim, saudara Sudarso, saudara Syaraman;
2. Agar kedua belah pihak memberikan jawaban secara tertulis atas anjuran tersebut diatas selambat-lambatnya dalam jangka waktu 10 hari setelah menerima anjuran ini;
3. Apabila pihak-pihak menerima anjuran ini, maka akan membantu membuat perjanjian bersama dan didaftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Samarinda;
4. Apabila anjuran ini ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka para pihak atau salah satu pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Samarinda.”
Penggugat menyatakan menerima anjuran, sementara Para Tergugat menolak dengan cara tidak memberikan jawaban. Atas penolakan terhadap anjuran Mediator oleh Para Tergugat, ternyata Para Tergugat tidak melakukan upaya hukum ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
Dikarenakan Para Tergugat tidak melakukan upaya hukum ke Pengadilan Hubungan Industrial, maka demi kepastian hukum, maka Penggugatlah yang kemudian mengajukan gugatan PHK ke PHI.
Dalam hal ini pihak Pengusaha telah cukup gentlemen, karena meminta pengadilan untuk mengabulkan PHK disertai pesangon 2 kali ketentuan normal, diserta Uang Penghargaan Masa Kerja, Uang Penggantian Pengobatan & Perumahan, sisa cuti tahunan, THR, tunjangan, hingga Upah Proses, sehingga senyatanya telah cukup layak sebagai kompensasi bagi pihak Pekerja.
Dimana terhadap gugatan sang Pengusaha, Pengadilan Hubungan Industrial Bandung kemudian menjatuhkan putusan Nomor 01/Pdt.Sus-PHI/2015/PN Smr. pada tanggal 30 Juli 2015, dengan pertimbangan serta amar sebagai berikut:
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
- Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
- Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat putus sejak 24 Juni 2014 karena efisiensi;
- Memerintahkan kepada Penggugat untuk membayar hak-hak Tergugat III sebesar Rp61.866.360,00 (enam puluh satu juta delapan ratus enam puluh enam ribu tiga ratus enam puluh rupiah);
- Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
Namun Tergugat III selaku salah satu Pekerja, mengajukan upaya hukum kasasi, dengan membenturkannya pada amar putusan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi RI Perkara Nomor 19/PUU-IX/2011, yang berbunyi:
Mengadili:
- Menyatakan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang frasa “perusahaan tutup” tidak dimaknai “perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu”.
Note SHIETRA & PARTNERS: Jika merujuk pada putusan MK RI diatas, maka tidak dimungkinkan perusahaan melakukan rasionalisasi separuh karyawannya. Kembali pada konsep / asas “too big to fall”, maka rasionalisasi usaha ini kemudian dapat dirasionalkan, agar perusahaan tetap dapat “bernafas” dan survive untuk dapat menguatkan dirinya lagi disaat kondisi ekonomi mulai kembali kondusif. Jatuhnya satu orang pengusaha saja, sudah akan membawa pengaruh signifikan tatkala kondisi ekonomi nasional sedang melemah.
Dari perspektif kemanfaatan, akan lebih bermanfaat memutus hubungan kerja sebagian jumlah Pekerja, yang disaat bersamaan pula artinya menyelamatkan separuh Pekerja lainnya—dengan logika sederhana yang mendasararinya: daripada seluruh Pekerja terkena kebijakan PHK akibat usaha tutup secara permanen.
Dimana terhadap pendirian salah satu Pekerja tersebut, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“Bahwa keberatan-keberatan kasasi tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah setelah meneliti secara saksama memori kasasi yang diterima Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Samarinda pada tanggal 24 Agustus 2015 dan kontra memori kasasi yang diterima Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Samarinda pada tanggal 19 Oktober 2016 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Samarinda telah benar menerapkan hukum menyatakan pemutusan hubungan kerja karena efisiensi sesuai ketentuan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Bahwa sebagaimana fakta hukum yang telah benar dipertimbangkan Judex Facti berdasarkan Dokumen Persetujuan RKAB Tahun 2013, 2014 menunjukkan adanya penurunan produksi yang sangat signifikan (vide bukti P-5, P-6);
2. Bahwa pada tanggal 24 Juni 2014 selain Pemohon Kasasi/Tergugat III/Pekerja, 73 (tujuh puluh tiga) orang pekerja lainnya telah menyatakan menerima pemutusan hubungan kerja dengan alasan yang sama;
3. Bahwa dengan demikian beralasan hukum menyatakan sah pemutusan hubungan kerja sesuai ketentuan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003;
4. Bahwa adapun alasan Pemohon Kasasi/Tergugat III bahwa pemutusan hubungan kerja bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia tidak beralasan hukum karena putusan Mahkamah a quo hanya bersifat law in abstracto bukan bersifat law in concreto;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata bahwa putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Samarinda dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi SUDARSO tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
- Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi SUDARSO tersebut.”
Sebagai penutup, terdapat satu buah argumentasi dari pihak Tergugat III, yang dalam keberatannya menyinggung bahwa, Penggugat mengaku melakukan efisiensi berdasarkan RKAB yang oleh Pemerintah diminta untuk diturunkan nilai produksinya. Namun di sisi lain, para saksi, termasuk saksi yang diajukan oleh Penggugat, memberi keterangan bahwa sampai saat ini, sang Pengusaha masih melakukan rekrutmen karyawan baru dan bahkan merekrut tenaga outsourcing untuk mengisi posisi yang ditinggalkan oleh karyawan yang di-PHK. Kondisi tersebut jelas berlawanan dengan klaim Penggugat yang mendalilkan efesiensi.
Begitupula ketika kita kaitkan dengan Surat Edaran Nomor SE-907/MEN/PHI-PPHI/X/2014 tentang Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja Massal juncto Surat Edaran Nomor SE-643/MEN/PHI-PPHI/IX/2005 tentang Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja, maka seharusnya tahapan-tahapan berikut menjadi perhatian semua pihak, khususnya pengusaha, yakni:
a. Mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas, misalnya tingkat manajer dan direktur;
b. Mengurangi shift;
c. Membatasi/menghapuskan kerja lembur;
d. Mengurangi jam kerja;
e. Mengurangi hari kerja;
f. Meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu;
g. Tidak atau memperpanjang kontrak bagi pekerja yang sudah habis masa kontraknya;
h. Memberikan pensiun bagi yang sudah memenuhi syarat.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.