Pertanyaan Hukum Paling Konyol

ARTIKEL HUKUM
Berbagai latar belakang klien telah penulis hadapi, dengan segala manis dan pahitnya. Segala jenis pertanyaan klien pun, telah harus penulis hadapi, dengan segenap suka dan dukanya. Dari segala jenis pertanyaan hukum yang pernah penulis terima, bukanlah pertanyaan-pertanyaan lugu dan polos yang menjadi “alergen” kalangan profesi konsultan hukum—justru adalah peran dan fungsi utama seorang konsultan hukum untuk memberi “gambaran”, “peta”, serta “edukasi” perihal hukum.
Dari 1001 pertanyaan yang pernah dialamatkan kepada penulis, berikut pertanyaan paling konyol yang pernah penulis dapatkan dari seorang calon klien ketika menghubungi penulis, sepanjang karir penulis sebagai seorang konsultan hukum:
“Dalam sesi konsultasi, saya harap Bapak bisa memberikan alternatif-alternatif dan resikonya, agar saya paham resiko untuk tiap pilihan yang saya ambil. Saya harap, harapan saya ini bisa dipenuhi dalam sesi tanya jawab dalam layanan konsultasi Bapak.”
Pertanyaan tersebut diatas wajar dan memang patut diutarakan oleh setiap klien jasa konsutasi. Untuk itu, penulis memberi respon sebagai berikut:
“Pada prinsipnya, memang demikian fungsi konsultan. Konsultan (bersikap) netral dan objektif sekaligus memberikan edukasi hukum, berbeda dengan lawyer. Agar tidak conflict of interest, maka dari itu saya tidak jadi seorang pengacara.”
Alangkah mengejutkannya, ketika sang calon klien kemudian menimpali konfirmasi penulis dengan sebuah pertanyaan lanjutan sebagai berikut:
“Akan tetapi tidak menutup konsultasi hal-hal yang sifatnya praktis kan, Pak? Tidak melulu akademis, tapi praktis yang terjadi di lapangan.”
Bila kebetulan Anda adalah seorang sarjana hukum praktisi, maka dapatkah Anda menemukan kejanggalan dari dialog nyata diatas? Seorang sarjana hukum akademisi teoretis saja dipastikan akan menemukan kejanggalan dibalik dialog diatas. Akan cukup memalukan bila Anda mengaku sebagai sarjana hukum praktisi, namun tidak mampu menemukan apa yang penulis maksudkan.
Situs hukum-hukum.com bukan hanya menjadi situs publikasi hukum rujukan bagi kalangan akademisi, tapi juga bagi kalangan praktisi dari berbagai latar belakang profesi, bahkan berbagai buku ilmu hukum yang penulis tulis menjadi konsumsi dari kalangan advokat di Tanah Air.
Perhatikan petunjuk dari penulis, sebagai berikut: Amati kembali kata-kata paling akhir yang disebutkan oleh sang calon klien, terdapat kalimat “... , tapi praktis yang terjadi di lapangan.” Geli sekaligus ironis, mungkin itulah perasaan paling mewakili, ketika seorang analis hukum harus menghadapi pertanyaan demikian.
Hukum, sejatinya tidak bicara praktik. Hukum adalah norma kaedah yang bersifat normatif, bukan bicara deskriptif “praktiknya demikian”. Hukum bersifat “ought to” (seharusnya), bukan bicara “is” (apa yang ada di lapangan). Dengan demikian, berbicara norma hukum, maka sifatnya ialah imperatif, bukan deskriptif.
Jika kita bicara “is” (apa yang terjadi dalam praktik), maka berikut-lah jawaban yang paling relevan dan paling masuk akal, untuk ukuran budaya bangsa sekelas Indonesia:
- Tidak ada hukum, yang ada ialah hukum rimba;
- Tidak ada hukum, yang ada ialah tidak tegaknya hukum;
- Tidak ada hukum, yang ada ialah penyimpangan terhadap aturan-aturan hukum;
- Tidak ada hukum, yang ada ialah suap, pungli, kolusi, serta korupsi;
- Tidak ada penegak hukum, yang ada ialah calo dan makelar kasus;
- Tidak ada kepastian hukum, yang ada ialah “selera” hakim pemutus;
- Tidak ada keadilan, yang ada ialah putusan yang saling ber-disparitas;
- Tidak ada daya prediktabilitas, sekalipun dalam derajat paling minimum dalam sistem hukum Eropa Kontinental, sebagaimana dianut Indonesia, yang tidak mengakui daya ikat preseden—namun yang ada ialah putusan yang saling overlaping;
- Tidak ada undang-undang, yang ada ialah aturan hukum tumpul keatas dan tajam kebawah;
- Tidak ada supremasi hukum, yang ada ialah kekuasaan faktor politis dan ekonomis diatas hukum—sebagai “hukumnya hukum”;
- Tidak ada parameter hukum, yang ada ialah “kesemerawutan” praktik;
- Tidak ada penegakan hukum, yang ada ialah “nego” dan “transaksionil”.
Inikah yang dikehendaki oleh sang calon klien? Jika memang itulah yang dimaksud dengan “di lapangan”, maka bukanlah seorang konsultan hukum yang sejatinya sedang dicari oleh sang calon klien, namun seorang “calo” yang menyaru sebagai sarjana hukum.
Sekadar kilas-balik kasus tindak pidana penyuapan terhadap hakim oleh seorang pengacara senior, OC Kaligis, yang sejatinya disewa oleh sang klien bukanlah jasa seorang pengacara yang menegakkan hukum maupun keadilan, namun seorang “calo” yang memakai merek “pengacara”.
Mengapa OC Kaligis bukanlah seorang pengacara senior, namun lebih tepat diberikan julukan sebagai “calo senior”? Karena OC Kaligis tidak mengakui perbuatannya dalam sidang, justru mengkambing-hitamkan anak buahnya sendiri—suatu perilaku yang sangat tidak terpuji. Lebih tidak etis ketika OC Kaligis menimpali amar putusan Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi yang “menghadiahi” dirinya vonis 10 tahun penjara: “Ini Mahkamah Agung mau membuat saya busuk di penjara?” Bandingkan dengan M. Nazaruddin yang mengakui segala perbuatannya, bahkan menjadi justice collaborator bagi KPK, menjadi tampak demikian kontras.
Justru karena praktik “hukum” di lapangan sudah sangat dalam taraf memprihatinkan, saking keruhnya yang menyerupai “benang kusut”, mengingat betapa menyimpangnya praktik-praktik di dunia “persilatan hukum” di Indonesia, yang beberapa dekade terakhir ini kian “sakit” (bila tidak dapat disebut sebagai “gila”), maka sejatinya praktik hukum di lapangan harus dikembalikan kepada semangat imperatif norma hukum: hukum tegak dengan kepastian hukum sebagai pilar utamanya.
Karena kepastian hukum sebagai supremasinya, maka tertutup sudah ruang negosiasi, ruang penyimpangan, ruang transaksional, dan ruang “hukum macan ompong”. Tidak ada lagi dualistis biner “hukum dalam buku” dan “hukum dalam praktik”. Mengapa juga hukum dalam undang-undang dan hukum dalam prakteknya harus berbeda?
Sungguh sukar menghapi klien yang memang memiliki karakter yang kurang baik. Tuntutan paling utama tipikal klien demikian, antara lain dicirikan oleh watak pertanyaan sebagai berikut: “Bisa tidak, hukum yang ini di-akali?”Ada tidak celah hukumnya?” “Bisakah pasal pidana ini dibeli dari jaksa agar jaksa memakai pasal lain untuk menjerat?” “Praktiknya bisa tidak ini di-simpangi?” “Saya tidak mau begini, saya inginnya begitu!” “Bisa ngak, ketentuan ini tidak diberlakukan?” “Bisa tidak orang itu kita penjarakan?” “Ngak mau tahu gimana caranya, yang penting bisa, berhasil, dan menang. Ngak peduli apa aturan hukumnya. Pokoknya beres !!!” “Saya ngak suka aturan macam itu, bikin aturan yang lain.”
Adalah bentuk arogansi, ketika seorang sarjana hukum menyatakan, bahwa dirinya adalah seorang praktisi, dan merendahkan martabat seorang sarjana hukum teoretis / akademis. Sejatinya para sarjana hukum praktisi, sebagian besar adalah para pelanggar hukum—paling tidak seorang yang gemar bermain diranah “celah” dan “negosiasi” hukum. Mau memungkiri? Anda hanya akan membuka aib Anda sendiri bila masih mungkir.
Semestinya, kalangan praktisi merasa malu terhadap kalangan akademisi hukum. Seyogianya, praktik hukum dikembalikan sesuai bunyi dalam aturan hukum, tidak lagi menyimpang tanpa aturan dan semrawut tidak ubahnya “hukum rimba”: Siapa yang kuat, ia yang menang. Yang lemah akan termakan, dan yang kuat akan tetap bertahan. Yang besar akan memonopoli, yang kecil kian tersisih.
Mereka yang hidup sepenuhnya di dunia praktisi, sejatinya “sudah jauh dari hukum”. Semoga dengan telah dipublikasikannya artikel singkat ini, tidak ada lagi pertanyaan-pertanyaan serupa dengan pertanyaan ganjil tersebut dikemudian hari dari para masyarakat yang meminta layanan jasa konsultasi hukum—bukan konsultasi praktik yang lebih tepat dialamatkan kepada para calo dari berbagai “biro jasa”. Semoga tiada lagi yang salah alamat.
© SHIETRA & PARTNERS Copyright.