ARTIKEL HUKUM
Penerbit izin, selalu melekat hak secara prerogatif untuk mencabut. Selama ini, berbagai perizinan dan legalitas seperti Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Tanda Daftar Perusahaan (TDP), Izin Usaha Impor-Ekspor, izin pendirian badan hukum, dsb, dapat sewaktu-waktu dicabut oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, mengapa tidak ada yang protes?
Dahulu kala, sebelum terbit Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, di zaman Orde Baru, kita dapat berteriak bahwa pemerintah bersikap otoriter dengan mencabut izin seorang advokat yang vokal menentang aspirasi dan suara kalangan pengacara di Tanah Air. Namun paradigma usang demikian telah tidak lagi relevan, sejak terbitnya dan berdirinya lembaga yang bernama Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), dimana keputusan pemerintah yang mencabut izin tersebut dapat dijadikan objek sengketa di hadapan PTUN.
Bila dipaksakan agar pemerintah wajib menggugat pembatalan izin yang telah diberikannya sendiri, maka pemerintah akan semakin sukar memberikan izin dikemudian hari, dengan segenap persyaratan yang kian berlebihan, karena adanya pertimbangan kini kian sukar dan memakan waktu bagi pemerintah untuk mencabut izin yang telah diberikannya sendiri.
Dan para pihak lainnya akan dapat beragumentasi, bahwa pemerintah boleh mencabut izin TDP perusahaan seorang pelaku usaha swasta, namun harus dilakukan via gugatan di pengadilan. Apakah logika demikian patut kita benarkan? Bukankah beban peradilan telah cukup besar dalam menangani sengketa gugatan perdata perceraian, harta goni-gini, hak asuh anak, sengketa waris, sengketa tanah, terdakwa perkara korupsi yang pandai “bersilat lidah”, pidana pencurian ayam, pidana asusila, pelaku usaha yang memainkan kejahatan sistematis dan rapih berupa praktik kartel, bahkan hingga dibebani monopoli kewenangan uji materiil pembatalan Peraturan Daerah yang tidak pernah diinginkan oleh Mahkamah Agung untuk memiliki kewenangan monopoli demikian.
Terdapat puluhan ribu Perda di Tanah Air, dan terdapat pula puluhan ribu Organisasi Massa yang tercatat di Republik Indonesia. Jumlah personel Hakim Agung tidak akan pernah sanggup untuk menanggung beban gugatan yang menjurus ke arah “inflasi” gugatan demikian.
Ingat, harus ada salah satu yang akan dikorbankan oleh pengadilan: “kualitas putusan” ataukah “kuantitas putusan”. Semakin besar dan tingginya tingkat kuantitas perkara yang harus segera diputus, maka mau tidak mau, kualitas putusan akan dikorbankan oleh sang hakim pemutus.
Bila sebuah organisasi massa yang berhaluan ideologi anti Pancasila, dimana ideologi tersebut di Negara-Negara Timur Tengah sendiri telah dilarang kebedaannya, maka tidaklah dapat dibenarkan argumentasi seorang “pakar” hukum yang menyebutkan, bahwa organisasi massa (Ormas) yang sekalipun memiliki ideologi radikal dan merongrong ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia, tidak dapat secara serta-merta dibubarkan legalitasnya oleh pemerintah tanpa adanya putusan pengadilan, karena seorang penjahat yang divonis bersalah di negara lain, tidak dapat dihukum di Indonesia.
Pernyataan sang “pakar” hukum tata negara tersebut, patut kita sayangkan, mengingat seorang pelaku aksi ter0risme yang telah memporak-porandakan negara lain, dan kini menjadi buron di berbagai negara, apa akan kita biarkan masuk ke teritori wilayah NKRI dan membawa ancaman nyata kepada penduduk Indonesia hanya karena belum ada putusan oleh pengadilan di Indonesia terkait sang pelaku ter0risme buronan interpol tersebut? Mengapa kita harus menunggu jatuh korban di tanah air kita sendiri?
Jikalaupun hendak memprotes aksi pemerintah yang menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) yang mencabut izin pendirian suatu Ormas, maka yang menjadi pokok argumentasi bukanlah pemerintah lewat Perpunya dinilai mematikan kebebasan berorganisasi, tapi subtasnsi sebuah Perpu yang setingkat dengan Undang-Undang, tidak dapat berisi norma kaedah yang bersifat khusus, karena Perpu dan Undang-Undang hanya dibenarkan berisi kaedah norma yang berifat umum dan abstrak.
Undang-Undang tentang Ormas yang ada selama ini, mewajibkan pihak pemerintah yang hendak mencabut izin kegiatan dan legalitas sebuah Ormas, lewat putusan pengadilan—dan inilah norma hukum yang dapat dirubah lewat sebuah Perpu ataupun perubahan Undang-Undang.
Perihal Ormas mana saja yang dapat diberendel, maka hal tersebut bukanlah substansi sebuah Perpu ataupun peraturan perundang-undangan setingkat Undang-Undang. Dengan menjadikan Perpu sebagai payung hukum, pemerintah kemudian dapat menerbitkan surat keputusan tata usaha negara (beschikking), yang menyebutkan secara spesifik, khusus, dan konkret nama-nama Ormas mana saja yang dicabut izin pendiriannya.
Ketika Ormas-Ormas yang dicabut izinnya, dan merasa keberatan, dapat mengajukan gugatan ke hadapan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), dimana yang menjadi objek gugatan tidak lain ialah Keputusan TUN berupa Keputusan Pencabutan Izin Pendirian Ormas bersangkutan.
Dengan demikian, ketakutan akan kemungkinan negara (dalam hal ini ialah Lembaga Eksekutif) bersikap otoriter terhadap rakyat dan kebebasan berorganisasi, maka pihak-pihak yang merasa berkepentingan dapat mengajukan gugatan pembatalan objek TUN ke hadapan PTUN, yang merupakan Lembaga Yudikatif—terpisah dari Lembaga Eksekutif sebagai bagian dari penerapan asas negara berdasarkan hukum (rechtsstaat) dan prinsip check and balances.
Pemerintah telah terlampau sibuk mengurusi hajat hidup orang banyak, sehingga adalah pemborosan energi bila seluruh perhatian harus terkuras untuk mengajukan berbagai gugatan hanya demi membatalkan berbagai Perda yang bermasalah maupun berbagai Ormas yang merongrong ideologi Pancasila sebagai dasar negara.
Bagaimana mungkin seluruh sumber daya pemerintah yang (sejatinya) terbatas, harus tersedot untuk mengajukan gugatan terhadap berbagai Ormas dan Perda yang sangat kontraproduktif terhadap percepatan kemajuan bangsa menghadapi persaingan global yang sudah bersifat lintas batas dan tanpa sekat ruang maupun waktu ini.
Apakah tidak lebih baik segenap energi dan perhatian pemerintah dipusatkan untuk hal-hal yang lebih penting? Kita perlu menyadari, sumber daya, apapun itu, baik sumber daya alam, sumber daya hukum, sumber daya hakim peradilan, sumber daya aparatur penegak hukum, sumber daya waktu, sumber daya keuangan, selalu bersifat terbatas—terutama di tengah iklim keuangan negara yang sedang kurang kondusif.
Begitupula sumber daya hakim di peradilan, yang demikian amat terbatas, tidak dapat dibenarkan untuk terjadi “inflasi” gugatan yang tidak produktif dan cenderung menambah berat beban peradilan. Biarlah para hakim untuk fokus memeriksa dan memutus perkara yang sudah banyak menumpuk di meja kerjanya, tanpa harus direcoki oleh berbagai tetek-bengek perizinan yang awalnya diberikan pemerintah kemudian pemerintah itu sendiri yang kemudian mengajukan gugatan pembatalan perizinan tanpa hak prerogatif untuk secara serta-merta mencabut dan membatalkan perizinan yang telah diberikan oleh pemerintah itu sendiri.
Jika tidak terima dicabut izinnya (izin mana diberikan oleh pemerintah itu sendiri), maka untuk apa pemerintah kemudian menyediakan lembaga peradilan bernama PTUN? Bila PTUN sudah tersedia, berdiri, dan beroperasional untuk mengadili sengketa TUN, mengapa masih menyesakkan wacana dan memperkeruhnya dengan segenap pro dan kontra yang memboroskan emosi?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.