Menggugat Putusan KPPU oleh Kompetitor yang Dirugikan Pelaku Usaha yang Curang

LEGAL OPINION
Question: Apakah beneficial owner dimungkinkan mengajukan keberatan terhadap putusan KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha)?
Brief Answer: Tampaknya belum memungkinkan. Jangankan beneficial owner, pelaku usaha lainnya yang dirugikan oleh pelaku usaha pesaing yang telah dihukum KPPU, namun keberatan atas putusan KPPU yang dinilai kurang tegas dan kurang memberi efek jera bagi pelaku usaha curang, dalam praktiknya tidak diberikan hak oleh Mahkamah Agung untuk mengajukan “Keberatan Intervensi”.
Meski demikian, mengingat putusan dan vonis hukum KPPU adalah bersifat publik yang menyerupai “quasi pidana denda” (dimana negara vs. warga negara), maka kompetitor yang merasa telah dirugikan oleh seorang pelaku usaha yang telah dihukum KPPU, tetap berhak mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum untuk meminta ganti-rugi dari pelaku usaha yang tidak jujur.
Telah dihukumnya pelaku usaha yang melakukan persaingan usaha secara tidak sehat, tidak menghapus kewajiban perdata—sama seperti halnya seorang pelaku penipuan, meski telah divonis pidana, tetap memberi hak bagi korban untuk menggugat sang pelaku, secara perdata.
PEMBAHASAN:
Ilustrasi konkret dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI sengketa persaingan usaha tidak sehat, register Nomor 306 K/Pdt.Sus/2012 tanggal 30 Juli 2012, perkara antara:
I. LNG INTERNATIONAL PTY. LTD.; II. PT. LNG ENERGI UTAMA, selaku Para Pemohon Kasasi I dan II semula sebagai Pemohon Intervensi I dan II; melawan
I. MITSUBISHI CORPORATION; II. PT. PERTAMINA (Pesero); III. PT. MEDCO ENERGI INTERNATIONAL,Tbk., sebagai Para Termohon Kasasi dahulu Para Pemohon Keberatan I, II, III dan IV; dan
- KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA (KPPU), selaku Termohon Kasasi semula Termohon Keberatan.
Bermula ketika Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah menjatuhkan Putusan No. 35/KPPU-I/2011 tanggal 5 Januari 2011, yang amarnya sebagai berikut:
MEMUTUSKAN :
1. Menyatakan bahwa Terlapor I: PT Pertamina (Persero); Terlapor II: PT. Medco Energi Internasional, Tbk; dan Terlapor IV: Mitsubishi Corporation terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999;
2. Menyatakan bahwa Terlapor II: PT Medco Energi Internasional, Tbk; Terlapor III: PT Medco E&P Tomori Sulawesi dan Terlapor IV: Mitsubishi Corporation telah terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 23 UU No. 5 Tahun 1999;
3. Menghukum Terlapor I: PT Pertamina (Persero) untuk membayar denda sebesar Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar Rupiah) yang harus disetorkan ke Kas Negara sebagai Setoran Pendapatan Denda Pelanggaran di bidang Persaiangan Usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui Bank Pemerintah dengan Kode Penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha); [Note SHIETRA & PARTNERS: BUMN/D dapat menjadi subjek hukum yang tunduk serta dihukum oleh KPPU.]
4. Menghukum Terlapor II: PT Medco Energi Internasional, Tbk untuk membayar denda sebesar Rp5.000.000.000,00 (lima miliar Rupiah) yang harus disetorkan ke Kas Negara sebagai Setoran Pendapatan Denda Pelanggaran di bidang Persaingan Usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaian Usaha melalui Bank Pemerintah dengan Kode Penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);
5. Menghukum Terlapor III: PT Medco E&P Tomori Sulawesi untuk membayar denda sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar Rupiah) yang harus disetorkan ke Kas Negara sebagai Setoran Pendapatan Denda Pelanggaran di bidang Persaingan Usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui Bank Pemerintah dengan Kode Penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);
6. Menghukum Terlapor IV: Mitsubishi Corporation untuk membayar denda sebesar Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar Rupiah) yang harus disetorkan ke Kas Negara sebagai Setoran Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui Bank Pemerintah dengan Kode Penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha).”
Terhadap putusan KPPU, para Pemohon Intervensi mengajukan keberatan. Pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Putusan KPPU (Perma No. 3 Tahun 2005) memang hanya memberikan hak kepada Pelaku Usaha Terlapor untuk mengajukan upaya hukum Keberatan terhadap Putusan KPPU.
Akan tetapi, legal standing Permohonan Intervensi tidak dihalangi atau setidak-tidaknya tidak dilarang Perma No. 3 Tahun 2005. Bunyi selengkapnya Pasal 2 ayat (1) Perma No. 3 Tahun 2005:
Keberatan terhadap Putusan KPPU hanya diajukan oleh Pelaku Usaha Terlapor kepada Pengadilan Negeri di tempat kedudukan hukum usaha Pelaku Usaha tersebut.”
Perma No. 3 Tahun 2005 pada dasarnya tidak menghalangi siapapun yang memiliki kepentingan untuk mengajukan Permohonan Intervensi terhadap Upaya Hukum Keberatan yang diajukan oleh Pelaku Usaha Terlapor kepada Pengadilan Negeri, demikian Pemohon Intervensi mendalilkan, sembari merujuk Pasal 8 Perma No. 3 Tahun 2005 yang menyebutkan:
“Kecuali ditentukan lain dalam Peraturan Mahkamah Agung ini, Hukum Acara Perdata yang berlaku diterapkan pula terhadap Pengadilan Negeri.”
Karena Perma No. 3 Tahun 2005 tidak mengatur mengenai permohonan intervensi oleh pihak ketiga terhadap upaya hukum keberatan yang diajukan oleh Pelaku Usaha Terlapor, maka hukum acara yang sepatutnya diterapkan oleh Hakim adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan Negeri yang lazim dijumpai pihak Penggugat Intervensi maupun Tergugat Intervensi.
Yang disayangkan oleh Pemohon Intervensi, Termohon Keberatan pada Putusan terkait persaingan usaha tidak sehat, tidak mempergunakan kewenangannya untuk menetapkan pembayaran ganti-rugi kepada Para Pemohon Keberatan sebagaimana diakomodir norma UU No. 5 Tahun 1999 dan Pedoman Pasal 47 UU No. 5 Tahun 1999 serta pernah dilakukan oleh Termohon Keberatan dalam Putusan No. 19/KPPU-L/2007.
Tidak dicantumkannya penetapan pembayaran ganti rugi dalam Putusan Perkara No. 35/KPPU-I/2010, dinilai merugikan Para Pemohon Intervensi mengingat Para Pemohon Intervensi, dalam Perkara No. 35/KPPU-I/2010, bukan merupakan pihak yang diberikan kesempatan untuk menuntut pemenuhan hak atau kepentingan hukumnya. Dalam perkara tersebut, Pemohon Intervensi II memang pernah dipanggil oleh Termohon Keberatan namun hanya dalam kapasitas sebagai saksi. Sebagai saksi, Pemohon Intervensi II hanya dapat memberikan keterangan yang diperlukan oleh Termohon Keberatan dan bukan tuntutan hak, dalam hal ini pembayaran ganti-rugi atas pelanggaran Pasal 22 dan Pasal 23 UU No. 5 Tahun 1999 yang dilakukan oleh Para Pemohon Keberatan.
Tindakan persekongkolan di antara Pemohon Keberatan I, Pemohon Keberatan II, dan Pemohon Keberatan III untuk mengatur dan/atau menentukan Pemohon Keberatan I sebagai pemenang Tender Proyek LNG Donggi-Senoro, sebagaimana terbukti dari Putusan Termohon Keberatan telah menyebabkan kerugian bagi Para Pemohon Intervensi dalam bentuk disingkirkan dari Tender Proyek LNG Donggi-Senoro melalui persaingan usaha yang tidak sehat dan dan melawan hukum.
Para Pemohon Intervensi sebelumnya telah mengajukan Permohonan Intervensi sebelum diambilnya kesimpulan Perkara No. 34/Pdt.G/2011/PN.JKT.PST tentang Keberatan atas Putusan Termohon Keberatan. Adanya persekongkolan sebagaimana dinyatakan dalam Putusan Termohon Keberatan, telah menimbulkan kerugian bagi Para Pemohon Intervensi dalam bentuk kerugian atas biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh Para Pemohon Intervensi.
Berbeda dengan peserta Tender/ Beauty Contest Proyek LNG Donggi-Senoro lain, Para Pemohon Intervensi telah melakukan persiapan-persiapan pra-proyek termasuk uji Analisis Mengenai Dampak Lingkungan/AMDAL dan pembiayaan terhadap program-program pengembangan bagi masyarakat sekitar wilayah proyek dengan biaya Para Pemohon Intervensi sendiri.
Putusan Termohon Keberatan tidak menghukum Pemohon Keberatan I, Pemohon Keberatan III, dan Pemohon Keberatan IV untuk membayar ganti kerugian apapun kepada biaya-biaya yang telah secara nyata dikeluarkan Para Pemohon Intervensi, sehingga Para Pemohon Intervensi merasa berkepentingan dan berhak untuk mengajukan Permohonan Intervensi dalam perkara Keberatan ini.
Lagipula, tidak ada Yurisprudensi yang melarang atau menghalangi upaya Intervensi dalam perkara keberatan atas putusan Termohon Keberatan. Terhadap keberatan yang diajukan oleh para pelaku usaha tidak sehat atas vonis KPPU, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kemudian menjatuhkan putusan No. 34/KPPU/2011/PN.JKT.PST, tanggal 24 Agustus 2011, dengan pertimbangan serta amar sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa berdasarkan permohonan-permohonan Intervensi a quo dan tanggapan dari Para Termohon Intervensi tersebut, Majelis Hakim memberikan pendapat sebagai berikut :
- Bahwa masalah yang sangat essensial dan penting untuk dibahas sebelum melanjutkan pemeriksaan substansi dari Permohonan Intervensi dan Keberatan atas Putusan KPPU adalah : Apakah ketentuan Permohonan Intervensi dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku dapat diberlakukan juga dalam Perkara Keberatan atas Putusan KPPU;
- Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU No. 04 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam proses peradilan Hakim wajib mengadili menurut hukum. Suatu peradilan yang dilakukan tidak menurut hukum adalah batal demi hukum;
- Bahwa untuk terwujudnya prinsip due process of law, dalam hal ini pada peradilan perdata, diperlukan pemahaman dan pengertian yang luas secara factual dan kontekstual mengenai ruang lingkup hukum acara. Bahwa Majelis Hakim sependapat dengan para pihak bahwa UU No. 05 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan PERMA No. 03 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Putusan KPPU, tidak secara tegas mengatur mengenai apakah dalam proses Upaya Hukum Keberatan terhadap Putusan KPPU dapat atau tidak dapat dilakukan Intervensi. Bahwa Pasal 16 UU No. 04 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, memberikan tugas dan kewenangan kepada Hakim untuk menemukan hukumnya apabila hukum kurang jelas mengatur, dan menciptakan hukumnya apabila hukum tidak mengatur;
- Bahwa dalam melaksanakan tugas dan kewenangan untuk menemukan hukum, Hakim melakukan penafsiran, konstruksi atau penghalusan hukum;
- Bahwa Pasal 14 UU No. 5 Tahun 1999, menentukan bahwa Pelaku Usaha dapat mengajukan keberatan terhadap Putusan KPPU kepada Pengadilan Negeri selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah menerima pemberitahuan putusan;
- Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) PERMA No. 03 Tahun 2005 yang dimaksud dengan ‘keberatan’ adalah upaya hukum bagi Pelaku Usaha yang tidak menerima putusan KPPU;
- Bahwa selanjutnya Pasal 2 ayat (1) PERMA No. 3 Tahun 2005 menyebutkan secara tegas: keberatan terhadap Putusan KPPU hanya diajukan oleh Pelaku Usaha Terlapor. Secara tegas Pasal 2 ayat (1) PERMA No. 3 Tahun 2005, menyebutkan bahwa keberatan terhadap Putusan KPPU hanya diajukan oleh Pelaku Usaha Terlapor;
- Bahwa frasa ‘hanya’ menurut Majelis mengandung arti ‘satu-satunya’ atau ‘tidak ada yang lain’;
- Bahwa berdasarkan Permohonan Intervensi yang diajukan oleh Para Pemohon dan berdasarkan Tanggapan dari Para Termohon Intervensi, serta berdasarkan pemahaman Majelis Hakim setelah mencermati hal-hal yang dikemukakan oleh kedua belah pihak, diperoleh fakta sebagai berikut:
- Bahwa Para Pemohon Keberatan atas Putusan KPPU adalah Para Pelaku Usaha Terlapor;
- Bahwa Para Pemohon Intervensi adalah bukan Pelaku Usaha Terlapor, dan mereka pada dasarnya keberatan terhadap Putusan KPPU;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, Majelis berpendapat Pasal 2 ayat 1 PERMA No. 03 Tahun 2005 telah secara tegas dan jelas mengatur, sehingga tidak perlu ditafsirkan lagi, bahwa hanya Pelaku Usaha terlapor lah yang dapat mengajukan keberatan terhadap Putusan KPPU;
“Menimbang, bahwa apapun ketentuan dalam Pasal 8 PERMA No. 03 Tahun 2005 yang menyebutkan: ‘Kecuali ditentukan lain dalam Peraturan Mahkamah Agung ini, Hukum Acara Perdata yang berlaku diterapkan pula terhadap Pengadilan Negeri’, hanyalah merupakan pengecualian apabila tidak ditentukan lain;
“Menimbang, bahwa Hukum Acara Perdata yang berlaku, khususnya Pasal 279 RV memberikan dasar kepada siapapun yang mempunyai kepentingan untuk melakukan Intervensi;
“Menimbang, bahwa walaupun Pasal 8 PERMA No. 03 Tahun 2005 menyebutkan, Hukum Acara Perdata yang berlaku diterapkan, Majelis sependapat dengan Para Termohon Intervensi/Pemohon Keberatan dan Termohon Keberatan, bahwa ketentuan tersebut tidak dapat diartikan secara luas dengan mengartikan seluruh ketentuan yang diatur dalam Hukum Acara;
“Menimbang, bahwa Tata Cara Upaya Hukum Keberatan terhadap Putusan KPPU mempunyai karakteristik yang berbeda dengan pemeriksaan perkara perdata umumnya. Hal ini terlihat antara lain dengan adanya pembatasan waktu (time frame) dimana Majelis Hakim dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak dimulainya pemeriksaan keberatan, harus memberikan putusan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, tanpa mempertimbangkan substansi Permohonan Intervensi, Majelis Hakim berpendapat bahwa Permohonan Intervensi dari Para Pemohon Intervensi tidak beralasan hukum dan karenanya harus ditolak;
MENGADILI :
Menolak permohonan intervensi dari Pemohon Intervensi I, Pemohon Intervensi II tersebut.”
Para pengusaha yang merasa dirugikan oleh kompetitornya yang curang, mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan bahwa Perma No. 3/2005 itu sendiri tidak ada aturan yang melarang diajukannya permohonan Intervensi. Di satu sisi Pengadilan Negeri mendasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) yang menentukan hanya pelaku usaha terlapor yang dapat mengajukan keberatan atas putusan KPPU, namun pada sisi lain Pengadilan Negeri menyatakan bahwa Intervensi tidak dapat diterapkan dalam perkara KPPU meskipun dalam Perma tersebut tidak dilarang dan tidak diatur secara jelas.
Jika tidak diatur dalam Perma No. 3/2005, seharusnya pengadilan konsisten dengan merujuk pada ketentuan Pasal 8 dari Perma dimaksud yang telah mengatur dengan jelas bahwa jika tidak ditentukan lain dalam Perma, maka yang berlaku adalah hukum acara perdata.
Dalam konteks demikian, menurut pemohon kasasi, seharusnya penafsiran yang dilakukan oleh pengadilan adalah penafsiran secara argumentum a contrario. Sebaliknya, ketika tidak dilarang, maka secara analogi berarti dibolehkan. Permohonan Intervensi tidak dilarang karena hukum acara perdata berlaku dalam proses keberatan, kecuali ditentukan lain dalam Perma No. 3/2005, dimana Perma tersebut tidak melarang dilakukannya permohonan Intervensi. Jadi, secara a contrario, permohonan Intervensi diperbolehkan.
Singkat kata, yang menjadi isu hukum ialah: Upaya “keberatan” memang menjadi hak pelaku usaha yang dihukum KPPU, namun untuk mengajukan “intervensi” tidak terdapat larangan oleh undang-undang terkait persaingan usaha tidak sehat. Dimana terhadap kasasi yang diajukan, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“Bahwa alasan-alasan kasasi dari Pemohon Kasasi tidak dapat di benarkan, oleh karena Judex Facti/Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sudah tepat dan benar serta tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan;
“Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) PERMA No. 3 Tahun 2005, Pelaku Usaha Terlapor adalah satu-satunya pihak yang berhak mengajukan keberatan terhadap putusan KPPU;
“Bahwa setelah meneliti hasil pemeriksaan di persidangan Pemohon Kasasi/Pemohon Intervensi bukanlah pelaku Usaha Terlapor dalam perkara a quo, sehingga tidak berhak untuk mengajukan keberatan terhadap putusan KPPU (Termohon keberatan);
“Bahwa meskipun diajukan dalam bentuk permohonan Intervensi, dalil Pemohon Kasasi tersebut berisi tentang keberatan terhadap pertimbangan dan putusan Termohon (KPPU) meskipun untuk sebagian, sehingga pada dasarnya merupakan keberatan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) PERMA No. 3 Tahun 2005;
“Bahwa selain daripada itu dalam hukum acara perkara persaingan usaha tidak dikenal lembaga Intervensi, karena sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) jo ayat 5 (4) PERMA No. 3 Tahun 2003, Judex facti memeriksa dan memutus perkara keberatan hanya didasarkan pada putusan KPPU dan berkas perkara yang melekat pada putusan tersebut, sehingga berkas yang berasal dari pihak ketiga (Pemohon Intervensi/Pelaku Usaha bukan Terlapor) tidak dapat dipertimbangkan, oleh karenanya adalah tepat apabila permohonan Intervensi tersebut ditolak;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, lagi pula ternyata bahwa putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh para Pemohon Kasasi: LNG INTERNATIONAL PTY. LTD., dan kawan tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi: I. LNG INTERNATIONAL PTY. LTD., II. PT. LNG ENERGI UTAMA tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.