Menggugat Perjanjian Terapeutik Medis

LEGAL OPINION
Question: Jika memang perjanjian terapeutik dimaknai sebagai memberi hak prerogatif kalangan kedokteran untuk lepas tanggung jawab, lantas, dimana perlindungan hukum negara bagi kalangan pasien? Selalu saja, kalangan rumah sakit dan kedokteran memakai alasan “sudah sesuai prosedur” untuk berkilah ketika dimintai tanggung jawab, yang ngak jelas prosedurnya itu seperti apa.
Brief Answer: Prosedur medis (yang biasa diistilahkan sebagai Standar Operation Procedure, SOP) merupakan standar prosedur yang dirancang untuk kepentingan pasien. Namun ketika SOP yang dibuat justru semata untuk melindungi kalangan profesi medik, maka sejatinya SOP menjadi alibi sempurna untuk berkelit.
Belum lagi ditambah oleh “tembok tebal” bernama “inspanning verbintenis” yang memberi celah lebar bagi kalangan medik untuk berkilah. Namun, ketika SOP secara akal sehat dinilai tidak layak, masih terbuka kemungkinan untuk mengajukan gugatan terhadap kalangan medik untuk meminta pertanggungjawaban secara perdata.
PEMBAHASAN:
Sebagai ilustrasi, SHIETRA & PARTNERS untuk itu merujuk pada putusan Pengadilan Tinggi Jakarta sengketa malpraktik medis register Nomor 240/PDT/2016/PT.DKI tanggal 17 Mei 2016, perkara antara:
1. SAMMARIE FAMILY HEALTHCARE; 2. PT. SAMMARIE PURNAFIAT, sebagai Pembanding I semula Tergugat II, VI; dan
3. RUMAH SAKIT ASRI (RS ASRI) JAKARTA; 4. dr. TAMTAM OTAMAR SAMSUDIN, SpOG, (Spesialis Obstetri dan Ginekologi), berpraktik di RUMAH SAKIT ASRI (RS ASRI); 5. PT. RASHAL SIAR CAKRA MEDIKA, selaku Pembanding II semula Tergugat I, III dan V; melawan
1. MARTINI NAZIF, selaku Terbanding I semula Penggugat;
2. dr. KEUMALA PRINGGARDINI, SpA (Spesialis Anak) berpraktik di RUMAH SAKIT ASRI (RS ASRI), selaku Terbanding II semula Tergugat IV.
Penggugat sejak awal kehamilan terhitung sejak tanggal 10 Maret 2011 sampai dengan tanggal 22 Oktober 2011, merupakan pasien Tergugat III di SAMMARIE FAMILY HEALTHCARE (Tergugat II) yang secara rutin melakukan konsultasi kehamilan anak pertama Penggugat kepada Tergugat III sebanyak 9 kali.
Tergugat II adalah unit usaha milik Tergugat VI, yang merupakan Klinik dan Rumah Sakit Khusus untuk fertilitas, menoandropause dan kesehatan keluarga terpadu yang juga menawarkan “metode dan fasilitas melahirkan di dalam air (‘water birth’)” sebagaimana dipromosikan di dalam website Tergugat II.
Selama Penggugat melakukan konsultasi kehamilan kepada Tergugat III di klinik Tergugat II, Penggugat telah memberitahukan kepada Tergugat III bahwa Penggugat memiliki rasa takut untuk melihat darah sehingga Penggugat meminta untuk dilakukan tindakan Operasi Sectio Sesaria untuk proses persalinan anak pertama Penggugat, akan tetapi saat itu Tergugat III menyarankan kepada Penggugat proses persalinan yang berbeda, yaitu dengan melakukan persalinan dengan “metode dan fasilitas melahirkan di dalam air (water birth)”. Alasan utama yang disampaikan oleh Tergugat III saat itu adalah hanya karena ukuran anak Penggugat dalam kandungan kecil sehingga lebih mudah untuk melakukan persalinan dengan metode water birth (WB).
Pada konsultasi terakhir yaitu tanggal 22 Oktober 2011, Penggugat meminta persalinan dilakukan di Tergugat II, tetapi saat itu Tergugat III mengatakan tidak bisa karena Tergugat III mempunyai masalah internal dengan Tergugat II, dan Tergugat III menyarankan untuk menjalani persalinan dengan “metode dan fasilitas melahirkan di dalam air (water birth) di RS ASRI (Tergugat I), klinik milik Tergugat V atau di RS MMC, dan akhirnya karena mempertimbangkan jarak yang dekat dari tempat tinggal Penggugat ke rumah sakit, akhirnya Penggugat dan suami Penggugat menyetujui untuk menjalani persalinan dengan “metode dan fasilitas melahirkan di dalam air (water birth)” tersebut di Tergugat I.
Pada saat Tergugat III menyarankan kepada Penggugat untuk melahirkan dengan water birth tersebut, Tergugat III tidak pernah menjelaskan akibat buruk atau resiko-resiko yang mungkin bisa terjadi saat proses persalinan dengan water birth.
Baik Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat III TIDAK PERNAH menjelaskan perihal apakah proses persalinan dengan water birth tersebut TELAH DIAKUI atau TIDAK oleh Dunia Kedokteran yang ada di Indonesia, dimana Penggugat sepenuhnya percaya saja kepada saran yang diberikan oleh Tergugat III karena Tergugat III adalah dokter spesialis kandungan bergelar SPOG, sehingga akhirnya Penggugat menyetujui anjuran untuk melakukan persalinan dengan water birth.
Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat III, dinilai telah bersikap tidak jujur kepada pasien dan tidak memberikan informasi yang sebenar-benarnya sebagaimana diatur lewat ketentuan Pasal 45 Ayat (1) dan Pasal 45 Ayat (3) Huruf (a) jo. Pasal 52 huruf a Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Penggugat merasa cemas, mengingat kehamilan anak pertama, maka Penggugat terus-menerus meminta saran dan penjelasan yang akurat dari Tergugat III, namun Tergugat III selalu menenangkan Penggugat dengan menyatakan sama sekali tidak ada indikasi yang berbahaya dalam kandungan Penggugat.
Pada tanggal 5 Nopember 2011 Penggugat masuk ke RS ASRI (Tergugat I) namun kandungan Penggugat belum menunjukan pembukaan di dalam rahim. Penggugat diperiksa dengan observasi menggunakan CTG dan Doppler, lalu diberikan obat induksi untuk merangsang rasa mulas oleh perawat Tergugat I bukan oleh Tergugat III.
Pemberian induksi yang dilakukan kepada Penggugat sebanyak 8 kali yaitu 2 tablet dosis 1/4 yang berakibat Penggugat merasa mulas, sering kontraksi dan terus-menerus kesakitan. Tergugat III menyebutkan keadaan yang dialami Penggugat masih dalam batas kewajaran sehingga induksi tetap terus-menerus diberikan, namun apabila kandungan Penggugat tetap tidak memperlihatkan adanya pembukaan atas sampai tanggal 7 Nopember 2011, Tergugat III mengatakan akan dilakukan persalinan dengan water birth di RS ASRI (Tergugat I).
Sepanjang malam pada tanggal 6 Nopember 2011, Penggugat berada di RS ASRI (Tergugat I) dalam keadaan kesakitan hingga keesokan pagi harinya pada tanggal 7 Nopember 2011 dan Penggugat tetap belum memperlihatkan adanya pembukaan, dan baru pada tanggal 8 Nopember 2011 Penggugat mengalami pembukaan ke-3 hingga namun masih harus menunggu pembukaan yang mencukupi untuk dilaksanakannya persalinan dengan water birth seperti yang disarankan oleh Tergugat III.
Saat rahim Penggugat sudah terjadi pembukaan ke-6, Penggugat disuruh oleh perawat Tergugat I memasuki kolam air (seperti kolam plastik) yang berada di dalam suatu ruangan di RS ASRI, pada pukul 08.30 WIB mulailah dilaksanakan proses persalinan dengan keadaan Penggugat terus-menerus diberikan induksi dibawah lidah dengan dosis 1/2 tablet sebanyak 3 kali, sehingga total induksi yang telah diberikan kepada Penggugat adalah sebanyak 8 kali.
Pada saat Penggugat telah berada di kolam air, ternyata Tergugat III belum berada di RS ASRI sampai pada pukul 09.30 WIB dan Tergugat III tidak bisa dihubungi untuk segera menuju ke RS ASRI padahal saat itu kondisi Penggugat sudah mengalami pembukaan penuh, dan hanya ditemani 1 orang perawat Tergugat I yang menjaga secara bergantian (berbeda-beda) di dalam suatu ruangan tempat dilaksanakannya water birth tersebut.
Di dalam ruangan, pada saat yang bersamaan ada juga pasien water birth lainnya yang juga ditangani oleh Tergugat III yang bersama-sama dengan Penggugat menjatani persalinan dengan water birth, yang hanya dibatasi oleh tirai antara ruangan Penggugat dengan ruangan pasien lainnya dengan pintu-pintu yang terbuka semuanya, sehingga situasi dan kondisi seperti demikian menambah ketakutan dan ketegangan yang dialami Penggugat. Namun Penggugat tidak bisa berbuat apa-apa selain pasrah pada penanganan yang dilakukan oleh perawat, tanpa didampingi oleh Tergugat III selaku dokter kandungan Penggugat.
Di dalam ruangan tersebut banyak juga perawat Tergugat I yang keluar masuk ruangan secara bergantian, bahkan ada juga tukang dan pekerja laki-laki yang mencoba untuk mengambil alat dan air untuk mengisi air kolam untuk pasien water birth lainnya yang ada di sebelah Penggugat. Bahkan karena tidak ada petugas/perawat lain, maka perawat meminta agar suami Penggugat yang mendampingi Penggugat untuk menjaga dan mengoperasikan alat vakum airnya.
Alat-alat vakum air tersebut pada saat yang sama juga dipakai berganti-gantian antara Penggugat dengan pasien water birth lainnya yang ada di sebelah Penggugat. Hal ini membuktikan bahwa fasilitas Tergugat I untuk melahirkan dengan metode/cara melahirkan di dalam air (water birth) tidak profesional dan tidak dipersiapkan secara baik, Tergugat I selaku tempat Pelayanan Kesehatan pasti tidak memiliki Standar Operasional Prosedurr (‘SOP’) untuk penanganan melahirkan dengan water birth.
Tergugat III baru tiba di ruangan tempat persalinan water birth Tergugat I pada pukul 11.00 WIB, dan Penggugat pun masih harus menunggu penanganan dari Tergugat III karena faktanya Tergugat III yang datang terlambat tidak siap menangani proses persalinan Penggugat. Tergugat III bahkan sibuk berkomunikasi dengan menggunakan telepon genggamnya (hand phone) padahal saat itu kondisi Penggugat sudah kehabisan tenaga untuk mengejan karena sudah 2.5 jam direndam di dalam air, dan Tergugat III malah menyarankan untuk di-vakum saja, Tergugat III berjalan bolak-balik secara bergantian mengawasi proses persalinan Penggugat dengan pasien water birth lainnya karena saat itu tidak ada dokter kandungan lainnya ataupun dokter asisten, akibatnya Tergugat III tidak menemani Penggugat sampai persalinan selesai, padahal Penggugat datang terlebih dahulu dari pasien water birth lainnya.
Ketidakseriusan dan ketidakprofesional Tergugat III dalam menangani persalinan Penggugat semakin terlihat dengan terus-menerus menerima telepon yang masuk, sibuk membalas pesan dengan telepon genggamnya dan tidak fokus menangani persalinan sementara Penggugat dibiarkan terus direndam di dalam air.
Seluruh rangkaian perbuatan Tergugat III tersebut membuktikan bahwa Tergugat III tidak serius, tidak fokus dan tidak profesional dalam menjalankan tugas serta kewajibannya selaku Pelayan Medis. Berikut petikan pernyataan Penggugat dalam gugatannya yang terkesan satir:
“Tergugat III telah menjadikan Penggugat dan pasien water birth lainnya sebagai kelinci percobaan tanpa rasa tanggung jawab yang telah mendorong/menyarankan agar Penggugat mau menjalani proses persalinan dengan metode water birth. Perbuatan Tergugat III tersebut jelas merupakan Perbuatan Melawan Hukum kepada Penggugat.”
Tergugat I sama sekali tidak mempersiapkan dan tidak memiliki ruangan khusus untuk melakukan persalinan water birth, tidak memiliki dan tidak mempersiapkan peralatan dan fasilitas-fasilitas tainnya yang dibutuhkan untuk melakukan proses melahirkan dengan metode water birth.
Tergugat I juga tidak memiliki perawat/petugas yang terdidik dan berpengalaman atau setidaknya mengerti dan terlatih untuk menjalankan tugas membantu proses persalinan dengan metode ini, namun sekalipun demikian Tergugat I tetap mengizinkan Tergugat III dan menugaskan perawatnya untuk menjalankan praktik proses persalinan metode tersebut kepada Penggugat. Hal tersebut bertentangan dengan kewajiban Tergugat I sebagai penyedia tempat/fasilitas kesehatan dimana Tergugat III dan Tergugat IV berpraktik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Pada tanggal 8 November 2011 pukul 14.15 WIB bayi Penggugat berhasil dilahirkan dengan berat 3,45 Kg, namun tidak mengeluarkan suara tangisan dan tidak bernafas. Tergugat III langsung mengambil dan membawa bayi Penggugat ke ruangan pemeriksaan, dengan diikuti oleh suami Penggugat, namun Tergugat IV selaku dokter anak yang harusnya menangani bayi begitu lahir TIDAK KELIHATAN/TIDAK ADA, dan Penggugat ditinggalkan dengan seorang perawat, dan selanjutnya perawat Tergugat I pun pergi meninggalkan Penggugat sendirian di dalam kolam dengan kondisi yang masih bersimbah darah dan masih kesakitan serta ari-ari bayi Penggugat masih di dalam rahim Penggugat selama kurang lebih 1 1/2 jam.
Di ruangan pemeriksaan bayi, suami Penggugat yang mengikuti Tergugat III membawa bayi Penggugat, menyaksikan Tergugat III memeriksa dan memberikan nafas buatan dengan memasukkan beberapa selang kecil melalui hidung bayi selama berulang kali serta memeriksa jantung bayi, dan sekitar beberapa menit kemudian, dokter anestesi datang dan meminta seorang perawat senior berkacamata memasangkan infus, akan tetapi perawat tersebut kesulitan menginfus tangan dan kaki bayi, dan akhirnya infus dipasang di tali pusar bayi.
Seluruh proses penanganan bayi Penggugat tersebut tanpa kehadiran Tergugat IV padahal ialah yang seharusnya menangani dan melakukan upaya-upaya penyelamatan bayi, namun tidak diketahui keberadaannya. Tergugat IV sebagai dokter anak baru datang pada pukul 14.45 wib (30 menit setelah bayi lahir), kemudian Tergugat IV memberikan beberapa macam obat yang dimasukkan ke dalam tubuh bayi Penggugat, dan selama proses itu bayi masih tetap diberikan nafas buatan dan pompa jantung oleh Tergugat III dan Tergugat IV secara bergantian.
Suami Penggugat pada saat itu menanyakan kondisi bayi kepada Tergugat III dan Tergugat III mengatakan bahwa bayi Penggugat mengalami masalah dengan pernafasan dan sangat kecil harapan untuk hidup, dan Tergugat III meminta izin kepada suami Penggugat untuk melepas alat-alat yang dipasang pada bayinya, dan suami Penggugat mengizinkannya. Pada saat itulah suami Penggugat melihat dari pipa alat bantu pernafasan yang dimasukkan ke dalam tenggorokan bayi dan di datam selang pipa itu ada cairan merah seperti darah sehingga menimbulkan kecurigaan bahwa bantuan pernafasan yang dilakukan oleh Tergugat III dan Tergugat IV kepada bayi Penggugat telah dilakukan dengan tidak benar.
Pukul 16.20 WIB, bayi Penggugat dinyatakan meninggal dunia oleh Tergugat III. Belakangan Penggugat baru mengetahui Tergugat III dan Tergugat IV adalah suami isteri, pantas dan wajar Tergugat III tidak menyalahkan ketidakhadiran Tergugat IV pada saat waktu bayi lahir dan Tergugat III mengambil alih tugas dan tanggung jawab Tergugat IV selaku dokter anak, karena Tergugat III mempersamakan tugas dan tanggung jawab suami isteri bisa dirangkap juga pada saat penanganan pasien (in casu Penggugat). Hal tersebut jelas melanggar hak subyektif Penggugat sebagaimana diatur dalam Pasal 51 Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Selama proses tersebut diatas berlangsung, Penggugat masih dibiarkan berada di ruangan tempat persalinan water birth, dan baru pada pukul 15.30 WIB Penggugat dikeluarkan dari kolam water birth, setelah menunggu kurang lebih 1 1/2 jam, dan Penggugat dibawa keluar kolam oleh Tergugat III dan barulah pada saat itu ari-ari Penggugat dikeluarkan, namun saat itu Penggugat belum diberitahu kondisi bayi Penggugat yang ternyata sudah meninggal.
Penggugat baru mengetahuinya setelah berada di ruang perawatan pada saat rahimnya akan dijahit. Kehilangan anak pertama tentu membuat Penggugat sangat shock dan kecewa karena sebelumnya bayi Penggugat baik-baik saja dan tentunya meninggalnya bayi Penggugat disebabkan salah penanganan atau akibat kesalahan tindakan medis yang dilakukan oleh Tergugat III dan Tergugat IV.
Pada hari yang sama setelah bayi Penggugat meninggal yaitu tanggal 8 Nopember 2011 pada pukul 23.00 WIB, sempat ditakukan pertemuan antara pihak keluarga Penggugat dengan pihak Tergugat I dan tim dokter yang menangani persalinan (tanpa dihadiri oleh Tergugat III dan Tergugat IV) guna meminta penjelasan tertulis dan rekam medik (medical record) atas meninggalnya bayi Penggugat, namun saat itu Tergugat I tidak memberikan Resume Medis tersebut yang merupakan hak Penggugat selaku pasien. Tergugat 1 hanya menjanjikan kepada Penggugat akan segera memberikan rekam medis dan keterangan secara tertulis, namun sampai bulan Februari-Maret 2013 Tergugat I melalui beberapa kali pertemuan yang diadakan antara pihak Tergugat I dengan Penggugat, tidak juga membuahkan hasil, baru kemudian setelah didesak berkali-kali oleh Penggugat, Tergugat I mengeluarkan resume medis tanpa penjelasan atas isi resume medis itu sendiri.
Setelah Penggugat mendapat Resume Medis dari Tergugat I, diketahui ternyata terdapat perbedaan waktu dan perbedaan keterangan sesuai dengan fakta yang terjadi pada proses persalinan yang dialami Penggugat, karena faktanya:
- Tanggal 7 Nopember 2011 Penggugat hanya ada flek-flek dan belum mengalami pembukaan, namun dalam Resume Medis yang dibuat oleh Tergugat III yang diberikan oleh Tergugat I, dicantumkan bahwa tanggal 7 Nopember 2011 Penggugat sudah mengalami pembukaan 1 cm;
- Pada tanggal 8 Nopember 2011 Penggugat baru mengalami pembukaan ke-3 (tiga) dan setelahnya Penggugat langsung masuk ke kolam water birth pada pukul 08.30 WIB dan kemudian mengalami pembukaan penuh pada pukul 09.30 WIB, namun dalam Resume Medis yang dibuat oleh Tergugat III yang diberikan oleh Tergugat I, dicantumkan bahwa Penggugat mengalami pembukaan selebar 4 (empat) cm dan masuk ke kolam water birth pada pukul 09.05 WIB;
- Dalam Resume Medis tidak terdapat keterangan mengenai waktu/kapan Tergugat III datang dan menangani proses persalinan Penggugat dan waktu/kapan Tergugat IV datang dan menangani bayi Penggugat yang dilahirkan pada pukul 14.15 WIB.
Salinan Resume Medis yang diberikan kepada Penggugat membuktikan bahwa Tergugat I dan Tergugat III memberikan/mencatat informasi yang tidak benar dan sengaja menutup-tutupi fakta yang sesungguhnya terjadi dan dialami oleh Penggugat dalam proses persalinan bayi.
Tergugat I selaku rumah sakit dengan motto ‘Your Home for Better Health’ yang mempromosikan sebagai rumah sakit yang memiliki keunggulan utama di bidang Kebidanan & Kandungan dan Urologi, memang tidak mengumumkan atau mempromosikan tersedianya fasilitas persalinan dengan metode water birth, namun secara diam-diam menjalankan dan mengizinkan dilaksanakannya persalinan dengan metode water birth.
Tergugat I juga sama sekali tidak mengawasi bahkan membiarkan para dokter yang berpraktik di rumah sakitnya (in casu Tergugat III) melakukan persalinan yang tidak didukung oleh ketersediaan sarana, fasilitas, peralatan yang memadai, perawat yang terlatih dan berpengalaman melaksanakan proses persalinan dengan metode water birth tersebut.
Tergugat I dalam menangani proses persalinan bayi Penggugat justru lebih mendahulukan pasien lain dibandingkan Penggugat yang telah terlebih dahulu menunggu selama 4 (empat) jam didalam kolam air persalinan. Bayi yang berhasil dilahirkan setelah 4 jam 45 menit sejak pembukaan penuh dialami oleh Penggugat ternyata beratnya 3,45 Kg, dan bukan 2,9 Kg yang dikatakan berukuran kecil oleh Tergugat III.
Bayi Penggugat tidak bereaksi atau tidak mengeluarkan tangisan dan tidak bernapas, Penggugat langsung mengambil dan membawa bayi ke ruang pemeriksaan dengan keadaan Penggugat tetap dibiarkan didalam air yang penuh dengan darah dan ari-ari bayi masih didalam rahim selama 1 jam 15 menit. Hal ini terjadi karena pada saat persalinan Penggugat, Tergugat IV yang ternyata istri Tergugat III belum ada/tidak muncul untuk membantu persalinan tersebut dan menangani bayi yang dilahirkan Penggugat.
Hal tersebut membuktikan ketidakprofesional Tergugat IV selaku dokter anak yang seharusnya sudah berada (standby) di Tergugat I dalam proses persalinan Penggugat. Maka Penggugat selaku pasien, mengadukan keadaan yang dialaminya kepada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (‘MKDKI’) pada tanggal 24 Mei 2012.
Selanjutnya MKDKI melakukan pemeriksaan terhadap Tergugat III selaku Teradu atas Laporan Pelanggaran Disiplin Kedokteran yang dilakukan terhadap pelaksanaan persalinan dengan metode water birth yang dilakukan Tergugat III di RS ASRI (Tergugat I) kepada Penggugat.
Penggugat selaku Pengadu dan Tergugat III selaku Teradu telah menjalani proses persidangan yang dilakukan oleh MKDKI atas laporan Penggugat, dengan mendengarkan seluruh keterangan para saksi termasuk saksi ahli yang dihadirkan oleh MKDKI untuk menyempurnakan seluruh keterangan para saksi, dan MKDKI pada tanggal 23 Juli 2013 telah mengeluarkan Keputusan tentang Dugaan Pelanggaran Disiplin Kedokteran Indonesia atas laporan pengaduan Penggugat yang pada pokoknya:
1. Pada Teradu, Tamtam Otamar Samsudin,dr,SpOG, ditemukan pelanggaran disiplin kedokteran sebagaimana diatur dalam Perkonsil Nomor 4 Tahun 2011 tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi, Pasal 3 ayat (2):
a. Huruf (a) yang berbunyi: “melakukan praktik kedokteran dengan tidak kompeten”. Dalam hal ini tidak memiliki kompetensi menolong persalinan dengan waterbirth.
b. Huruf (f) yang berbunyi: “tidak melakukan tindakan lasuhan medis yang memadai pada situasi tertentu yang dapat membahayakan pasien” Dalam hal ini menyerahkan pemantuan persalinan kepada bidan yang tidak profesional dalam mengawasi persalinan dengan waterbirth.
c. Huruf (g) yang berbunyi: “melakukan pemeriksaan atau pengobatan berlebihan yang tidak sesuai dengan kebutuhan pasien” Dalam hal ini melakukan tindakan induksi persalinan dengan menggunakan Cytotec tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku.
d. Huruf (h) yang berbunyi: “tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis, dan memadai (adequate information) kepada pasien atau keluarganya dalam melakukan praktik kedokteran. Dalam hal ini memberikan induksi tanpa informad consent tertulis.”
e. Huruf (n) yang berbunyi : “menjalankan praktik kedokteran dengan menerapkan pengetahuan, keterampilan, atau teknologi yang belum diterima atau diluar tata cara praktik kedokteran yang layak”. Dalam hal ini melakukan praktik persalinan dengan waterbirth yang belum diakui oleh Pendidikan Kedokteran, Kolegium Obstetri Ginekologi, dan organisasi profesi.
2. Menjatuhkan sanksi kepada Teradu, berdasarkan pelanggaran pada angka 1 di atas, berupa: “Rekomendasi Pencabutan Surat Tanda Registrasi (STR) selama 1 (satu) tahun dan tidak diperbolehkan menolong persalinan dengan waterbirth sampai metode waterbirth masuk ke dalam kurikulum Pendidikan Kedokteran Indonesia dan diakui oleh Kolegium Obstetri-Ginekologi.”
Keputusan MKDKI  telah dilaksanakan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dengan mengeluarkan Keputusan KKI tentang Pelaksanaan Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia Dalam Penegakan Sanksi Disiplin Terhadap Saudara Tamtam Otamar Samsudin,dr,SpOG, pada pokoknya metakukan pencabutan Surat Tanda Registrasi (STR) sementara selama 12 bulan terhadap Tergugat I.
Atas seluruh pemeriksaan yang terkait dengan pelanggaran disiplin tersebut, telah terbukti Tergugat I sebagai Dokter Obstetri dan Ginekologi (SpOG) telah melakukan kesalahan dan tidak melaksanakan tugas serta tanggungjawabnya sebagai dokter yang profesional hingga berakibat meninggalnya anak Penggugat.
Penggugat juga baru mengetahui bahwa sebelumnya Tergugat III sudah pernah dihukum juga oleh MKDKI dalam penanganan pasien lainnya, yaitu alm. Santi Mulyasari di RS MMC dan berdasarkan Keputusan MKDKI tertanggal 5 Juni 2013 yang telah terlebih dahulu diperiksa dan diputus oleh MKDKI, Surat Tanda Registrasi (STR) Tergugat I dicabut setama 9 bulan.
Dengan demikian, Tergugat I terbukti melakukan Perbuatan Melawan Hukum sebagai berikut:
a. Tergugat I telah terbukti telah melakukan kesalahan atau kelalaian dalam pemberian Pelayanan Kesehatan kepada Penggugat yang menyebabkan kerugian bagi Penggugat sebagaimana dimaksud Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
b. Tergugat I terbukti membiarkan dan tidak melarang Tergugat III untuk menjalankan proses persalinan metode water birth yang ternyata sampai saat ini belum diakui sebagai salah satu metode proses persalinan yang diizinkan di Indonesia. Sebagai lembaga penyedia layanan kesehatan, Tergugat I telah melalaikan kewajiban hukumnya untuk menyediakan layanan kesehatan yang diakui dan diizinkan di Indonesia.
c. Tergugat I terbukti tidak mempunyai fasilitas, perawat/petugas kesehatan yang terampil dan terlatih untuk menjalankan proses persalinan metode water birth, namun tetap mengizinkan terlaksananya proses persalinan metode demikian terhadap Penggugat.
d. Tergugat I bersalah karena melanggar kewajiban hukumnya untuk mematuhi ketentuan Pasal 45 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, dimana Tergugat I dilarang untuk mengembangkan suatu teknologi kesehatan yang dapat berpengaruh dan membawa risiko buruk terhadap kesehatan Penggugat dan bayi Penggugat.
e. Tergugat I bersalah karena ternyata Tergugat I yang merupakan klinik ibu dan anak, tidak mempunyai dokter spesialis anak yang disiplin dalam bertugas. Sebaliknya, dokter spesialis anak yang bertugas di tempat Tergugat I (in casu Tergugat IV) hanya datang saat ditelpon atau saat dibutuhkan. Akibatnya penanganan bagi bayi yang baru lahir dan mengalami kondisi darurat berjalan lambat dan tertunda-tunda, sehingga tidak ditangani secara cepat dan tepat.
f. Tergugat I telah bersalah karena lalai mengawasi seluruh perbuatan dan tindakan dokter-dokter yang berpraktik di RS ASRI (Tergugat I), yaitu Tergugat III dan Tergugat IV, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1367 KUHPerdata.
Seharusnya dalam suatu persalinan, apalagi dalam persalinan yang terbukti sulit, terlebih metode yang belum lazim, dokter spesialis anak selalu bersiap sedia di rumah sakit dan mendampingi begitu bayi Penggugat lahir. Terbukti Tergugat IV datang terlambat, bahkan sangat terlambat. Tergugat IV tidak ada saat bayi Penggugat telah lahir dan paru-parunya kemasukan air. Tergugat IV tidak bisa memberikan pertolongan maksimal kepada bayi Penggugat karena Tergugat IV sebagai dokter spesialis anak yang namanya tercantum dan dijadwalkan bertugas pada saat itu ternyata sedang tidak berada di tempat.
Tergugat V selaku pemilik RS ASRI (Tergugat I) dinilai turut melawan hukum dengan melalaikan kewajiban hukumnya untuk melakukan pengawasan yang seharusnya dilakukan terhadap kegiatan pelayanan kesehatan dan praktek kedokteran yang dilakukan oleh Tergugat I, Tergugat III dan Tergugat IV.
Tergugat V dinilai bertanggung jawab karena membiarkan Tergugat I, Tergugat III dan Tergugat IV dapat dengan mudah menjalankan kegiatan pelayanan persalinan dengan metode water birth kepada Penggugat, yang sesungguhnya BELUM DIAKUI DAN DIIZINKAN di Indonesia.
Tergugat V juga dinilai membiarkan Tergugat I menyediakan pelayanan persalinan dengan metode water birth yang tidak didukung oleh sarana, peralatan maupun perawat/petugas kesehatan yang terampil, terlatih dan berpengalaman dalam menjalankan proses persalinan metode water birth, sehingga berakibat meninggalnya nyawa seorang anak manusia.
Tergugat VI selaku pemilik SAMMARIE FAMILY HEALTHCARE (Tergugat II) terbukti melawan hukum dengan melalaikan kewajiban hukumnya untuk metakukan pengawasan yang seharusnya dilakukan terhadap kegiatan pelayanan kesehatan dan praktek kedokteran yang dilakukan oleh Tergugat II dan Tergugat III.
Tergugat VI membiarkan Tergugat II mempromosikan pelayanan persalinan dengan metode water birth di website-nya, yang sesungguhnya BELUM DIAKUI DAN DIIZINKAN di Indonesia. Tergugat VI juga telah membiarkan Tergugat II menyediakan pelayanan persalinan dengan metode water birth dan praktek kedokteran yang dilakukan oleh Tergugat III dimana
Penggugat melakukan konsultasi-konsultasi sejak kehamilan awal sampai dengan akan melahirkan. Seluruh rangkaian Perbuatan Melawan Hukum Para Tergugat, terjadi disebabkan tidak mengindahkan Kepatutan, Ketelitian dan Kehati-hatian (PATIHA) dalam melaksanakan tugas sebagai Pelayanan Kesehatan dan Pelayanan Kedokteran selaku Dokter sehingga telah melanggar hak subyektif Penggugat, sehingga disimpulkan Para Tergugat telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata yang mengakibatkan timbulnya kerugian yang dialami Penggugat baik secara materiil maupun immateriil.
Sementara dalam bantahannya secara panjang lebar, Para Tergugat kemudian berlindung dibalik teori klise, dengan menyatakan dalam kutipan pembelaan diri berikut:
“... sesuai dengan hukum perikatan (perjanjian terapeutik) antara dokter dengan pasien, dimana pasien memberikan kewenangan kepada dokter untuk melakukan kegiatan yaitu memberi pelayanan kesehatan kepada pasien berdasarkan keahlian dan keterampilan yang dimiliki oleh dokter terutama untuk mengupayakan persalinan normal Water Birth yang dikehendaki sendiri atau disetujui sendiri oleh pasien / Penggugat berdasarkan perikatan / perjanjian upaya (Inspanning Verbintenis) dan bukan berdasarkan perjanjian menuntut hasil (bukan Resultaat Verbintenis).”
Terhadap gugatan Penggugat, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemudian menjatuhkan putusan tanggal 6 Agustus 2015 Nomor 312/PDT.G/2014/PN.JKT.SEL, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
- Mengabulkan Gugatan Penggugat untuk sebagian;
- Menyatakan Tergugat I,Tergugat II, Tergugat III, Tergugat V, Tergugat VI telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum;
- Menyatakan Tergugat IV tidak terbukti melakukan Perbuatan Melawan Hukum;
- Menghukum Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III, Tergugat V dan Tergugat VI secara tanggung renteng wajib membayar ganti kerugian Materil sebesar Rp. 12.686.703,30 (dua belas juta enam ratus delapan puluh enam ribu tujuh ratus tiga rupiah tiga puluh sen) dan kerugian immateriel sebesar Rp. 1.500.000.000,- (satu milyar lima ratus juta rupiah);
- Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya.”
Para Tergugat mengajukan upaya hukum banding, dimana terhadapnya Pengadilan Tinggi membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa hingga perkara ini diputus Para Pembanding tidak mengajukan memori banding;
“Menimbang, bahwa walaupun Para Pembanding tidak mengajukan memori banding adalah merupakan kewajiban Majelis Hakim tingkat banding untuk memeriksa dan meneliti apakah putusan Majelis Hakim tingkat pertama sudah tepat dan benar serta beralasan hukum;
“Menimbang, bahwa Majelis Hakim tingkat banding, setelah memeriksa dengan seksama berkas perkara yang bersangkutan, yang terdiri dari Berita Acara Pemeriksaan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, surat-surat bukti dan surat-surat lainnya yang berhubungan dengan perkara ini, salinan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 6 Agustus 2015 Nomor 312/PDT.G/2014/PN.Jkt.Sel, Majelis Hakim tingkat banding berpendapat sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa setelah Majelis Hakim tingkat banding mencermati dan meneliti dalil-dalil gugatan dan jawaban dari para pihak yang berperkara berikut bukti-bukti yang diajukan dalam persidangan dihubungkan dengan pertimbangan hukum Majelis Hakim tingkat pertama, bahwa pada prinsipnya telah dipertimbangkan dengan benar, sehingga oleh Majelis Hakim tingkat banding berpendapat bahwa putusan perkara Aquo sudah tepat dan benar serta beralasan hukum sehingga oleh Majelis Hakim tingkat banding disetujui dan diambil alih sebagai pertimbangan sendiri dalam memutus perkara ini, serta menjadi bagian dari dan telah termasuk dalam putusan ini;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, maka putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 6 Agustus 2015 Nomor 312/PDT.G/2014/PN.JKT.SEL yang dimohonkan pemeriksaan dalam tingkat banding haruslah dikuatkan;
M E N G A D I L I :
- Menerima permohonan banding dari Pembanding I semula Tergugat II, VI dan Pembanding II semula Tergugat I, III, V;
- Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 6 Agustus 2015 Nomor 312/PDT.G/2014/PN.JKT.SEL yang dimohonkan banding tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.