Mengapa Setiap Orang Harus Dianggap Tahu Hukum?

ARTIKEL HUKUM
Pernah terdapat sebuah pertanyaan sinisme: “Semua orang dianggap tahu hukum, apa hukum memang segila itu?” Tidak, hukum tidaklah insane, namun sangat waras, dan memang harus tegas dan keras. Hukum yang lembek, menjadikan masyarakat tidak memiliki tertib sosial (social order).
Tujuan utama adagium / asas hukum: “Semua orang dianggap tahu hukum, sehingga tiada yang dapat medalilkan bahwa dirinya dapat lolos dari ancaman sanksi hukum karena tidak mengetahui hukumnya”—tidak lain ialah agar masyarakat tidak membuat aturan hukumnya sendiri.
Cobalah kita renungkan, apa jadinya bila masing-masing anggota masyarakat membuat aturannya sendiri? Dalam konteks ini, hukum sudah bersikap sangat rasional, dengan berlaku tegas dan keras. Hukum yang baik, tidak memberi banyak ruang tolerir. Ruang tolerir, selalu membuka ruang “negosiasi” bagi pihak-pihak yang memiliki kekuasaan.
Hukum yang baik, tidak mengenal tawar-menawar. Hukum itu keras, namun begitulah bunyinya. Hukum harus mempunyai “gigi dan taring”, agar tiada lagi satupun anggota masyarakat yang merasa dirinya “imun” terhadap hukum.
Dalam praktik, banyak penulis jumpai, anggota masyarakat membangun rumah tanpa Izin Mendirikan Bangunan (IMB), dengan alasan rumah yang dirobohkan 100% lalu dibangun baru 100%, artinya tidak butuh IMB (walau umur bangunan sebelumnya telah mencapai puluhan tahun).
Meski telah ditegur dan pembangunan tanpa IMB demikian ditolak tetangga rumah yang berbatasan, karena pembangunan rumah tanpa IMB artinya ialah pembangunan rumah tanpa pengawasan pemerintah sehingga dapat membahayakan lingkungan, namun dengan sikap arogan yang ditampilkan secara vulgar, masing-masing anggota masyarakat merasa tidak tunduk pada hukum negara, namun memakai hukum versi dirinya sendiri.
Hal demikian diperparah oleh sikap Pemerintah Daerah yang tidak menerapkan aturan hukum yang ada secara tegas. Meski Peraturan Daerah DKI Jakarta mencantumkan sanksi yang keras bagi pelaku pembangunan tanpa IMB, toh, sekalipun telah penulis laporkan secara tertulis berulang kali mengenai pelanggaran pembangunan rumah tanpa IMB, Dinas Perumahan dan Pemukiman DKI Jakarta sama sekali tidak menindaklanjuti laporan penulis.
Ternyata, bukan hanya bunyi hukum yang keras dan tegas, namun penerapannya yang “im-po-ten” membuat hukum bagaikan “macam ompong” yang tidak bertaring—bahkan dilecehkan oleh mereka yang merasa “kebal” terhadap hukum.
Masyarakat merasa bebas melanggar hukum, kebal hukum, dan jadilah: masyarakat dari strata ekonomi kuat akan selalu menindas dan memakan masyarakat dari kelas ekonomi yang lebih lemah—dan akan selalu demikian secara nyata dan terang-terangan. Fakta demikian bahkan terjadi dalam tingkat lingkungan bertetangga, lingkungan kerja, lingkungan pendidikan, tanpa perlu kita jauh-jauh berbicara mengenai para wakil rakyat di parlemen.
Contoh lain, baru-baru ini penulis dimarahi oleh seorang pengendara motor roda dua, karena penulis tetap melajukan motor lurus di jalan umum dengan kecepatan stabil, sementara pengendara lain tersebut hendak berbelok memotong jalan ke arah seberang jalan di sebuah pertigaan.
Aturan hukum lalu-lintas sejatinya sudah mengatur secara teras dan jelas, bahwa pengendara kendaraan bermotor yang hendak berbelok ke jalan di sebelah kanan, wajib mendahulukan pengendara yang melaju lurus yang berasal dari lajur berlawanan. Artinya, pengendara yang marah-marah tersebut “secara yuridis” sejatinya harus mengalah pada penulis, bukan justru menuntut penulis untuk mengalah.
Sama halnya dalam konteks sengketa hukum, sebagian besar gugatan yang dimajukan, ditolak hakim di pengadilan, karena ternyata pihak penggugat itu sendiri yang bersalah, namun justru berani dan merasa berhak untuk menggugat orang lain yang sebetulnya tidak memiliki kesalahan apapun secara hukum, diseret sebagai tergugat.
Selalu merasa benar, selalu merasa berhak membuat aturan sendiri, itulah watak mental budaya hukum yang “sakit”. Karena merasa tidak tunduk pada aturan hukum negara, karena merasa tidak perlu tahu dan “masa bodoh” terhadap hukum negara, yang kemudian ditampilkan ialah sikap-sikap penuh arogansi di tengah kehidupan bermasyarakat.
Itulah sebabnya, tindak kejahatan yang berhasil diseret ke “meja hijau” dan dijebloskan ke penjara, tercatat sangat masif hingga bahkan berbagai penjara dilaporkan overload. Itu pun baru kejahatan yang ditindaklanjuti, sementara kejahatan-kejahatan yang tidak diproses secara hukum, jauh lebih banyak lagi.
Lantas, apa peran dan fungsi seorang konsultan hukum. Pertama, ialah memberi edukasi bagi klien, bahwa setiap subjek hukum memiliki hak dan kewajiban di mata hukum—bukan di mata aturan versi buatan sang klien itu sendiri, dan inilah tugas utama seorang konsultan hukum yang paling berat.
Ketika klien telah dapat memahami kedudukan hukum serta posisinya di mata hukum, pada saat itulah sang klien mulai mampu memahami kesalahan hukum yang telah dilakukan olehnya, dan tidak terbenam lebih jauh dalam sengketa hukum karena mis-persepsi yang menggebu-gebu hendak menggugat dikarenakan kesalahan perspektif dalam memandang hukum.
Konsultan hukum yang baik akan mengurai benang kusut yang diciptakan oleh persepsi keliru sang klien mengenai aturan hukum, bukan justru memanasi dan memperkeruh keadaan dengan membenarkan aturan versi sang klien tanpa mengindahkan aturan hukum negara yang belum tentu membenarkan pendirian sang klien.
Ketika klien sudah menyadari apa hukum yang mengatur setiap subjek hukum tanpa terkecuali, maka klien akan mampu memaklumi, bahwa setiap warga negara terikat dan tunduk pada aturan hukum negara. Tidaklah dapat kita membuat aturan main sendiri, karena pihak seberang / lawan sekalipun akan membuat versi aturan mainnya sendiri, sehingga tidak heran bila dikemudian hari terjadi konflik: penggugat menggugat, sementara tergugat mengajukan gugatan balik (rekonpensi).
Tidak puas atas putusan pengadilan negeri, mengajukan banding, hingga kasasi dan peninjauan kembali, hanya karena berpedang teguh pada aturan main sendiri tanpa mau mengakui supremasi hukum negara. Bahkan mengkambinghitamkan “faktor x” sebagai penyebab kekalahannya di pengadilan yang belum tentu relevan.
Dengan menyadari dan memahami eksistensi hukum negara, maka hukum hanya memiliki satu versi, yakni hukum negara itu sendiri. Tiada dibenarkan pihak-pihak tertentu membuat aturan main sendiri—yang bila itu sampai terjadi, negara lewat perantara lembaga peradilan, dapat dipastikan akan melindungi serta memihak pada warga negara yang patuh dan sesuai koridor hukum negara.
Belakangan ini merebak kembali wacana perihal fenomena sosial yang sebenarnya tidak terbilang baru: pengendara kendaraan bermotor roda dua yang mengokupasi trotoar, bahkan memahami pejalan kaki di trotoar yang dinilai sang pengendara sebagai menghalangi jalan sang pengendara motor roda dua—suatu pengalaman yang bahkan pernah penulis jumpai lebih ekstrim: pengendara motor mengebut di atas Jembatan Penyeberangan Orang sehingga pengguna jembatan harus sigap menghindar. Inilah potret eksplisit perihal “aturan main” sendiri yang tidak mau mengakui ataupun menghormati validitas hukum negara.
Bila terdapat pihak-pihak yang mengkritik dan mencibir asas hukum “semua orang dianggap tahu hukum”, maka penulis justru menyatakan secara terbuka, bahwa asas tersebut harus direalisasikan, tidak sekadar “polesan bibi”, gimmick, alias “kecentilan intelektual ilmu hukum”, mengingat demikian masifnya praktik penyimpangan terhadap hukum, hukum yang dijadikan objek transaksional, bahkan hukum yang menjelma “macam ompong”.
Lihat saja, berbagai pengedar nark0tika, yang sudah jelas dan terang menghancurkan generasi penerus bangsa, dimana hukum negara memungkinkan aturan hukuman mati—ternyata, dalam realisasinya diterapkan separuh hati. Begitupula aksi ter0risme, mengapa masih tumbuh hingga saat ini di Tanah Air? Karena bangsa dan rakyat Indonesia ternyata memberikan dukungan publik bahkan bersimpati bagi para aksi ter0risme.
Lihat juga, wacana “memiskinkan” pelaku korupsi, ternyata hanya sekadar wacana dan aksi “korting / obral” besar-besaran terhadap masa hukuman penjara lewat berbagai remisi, grasi, pengampunan, dan berbagai instrumen polesan lainnya, dengan alasan “lapak” di sel penjara sudah akan dipakai oleh narapidana baru, para kriminil kembali biarkan bebas berkeliaran mengulangi aksinya yang meresahkan masyarakat.
Sejujurnya, bangsa Indonesia masih jauh dari realisasi asas “semua orang dianggap tahu hukum”. Yang dapat kita jumpai dalam bersosialisasi ialah “semua orang memakai aturan dirinya sendiri”. Satirisme ini diperkeruh oleh sikap aparatur negara yang “lembek” terhadap para pelanggar hukum. Bahkan, sekalipun telah diproses secara hukum oleh penyidik, maka proses ini terganjal oleh itikad baik jaksa penuntut, hakim, hingga petugas lembaga pemasyarakatan.
Bila di Indonesia asas tersebut senyatanya belum diberlakukan secara konsisten dan tegas, namun bangsa Indonesia sudah protes dan mengeluh terhadap proses penegakan hukum, maka tidak dapat lain, selain dimaknai masyarakat Indonesia gemar membuat aturan main sendiri.
Kondisi dan sikap para pengendara di jalan raya, sungguh mencerminkan sikap watak karakter suatu bangsa. Tertib-kah? Taat hukum-kah? Sadar hukum-kah? Atau, memakai aturan main sendiri-kah? Kita semua sudah “sama-sama tahun”.
Tidak mengherankan, jumlah gugatan dan tindak kriminil di Indonesia tercatat demikian tinggi dan luar biasa untuk ukuran negara berbudaya Timur yang penuh sopan-santun dan etika peradaban yang “konon” dipandang penuh empati, simpati, sikap malu-malu, dan toleran.
Kita selama ini selalu menghina negara-negara Barat sebagai negara yang tidak tahu malu, “kafir”, tidak beradab, tidak religius, bermoral rendah. Tetapi, cobalah kita untuk bersikap jujur dan terbuka, bahwa senyatanya Bangsa Indonesia tidak lebih berbudaya dari bangsa-bangsa di Barat yang justru sangat rendah sekali korupsi dan pelangaran hukum yang terjadi meski diizinkan para warganya untuk memiliki senjata. Sungguh, tidak mudah hidup di tengah budaya yang ditampilkan Bangsa Indonesia.
© SHIETRA & PARTNERS Copyright.