KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Harapan Semu Pelunasan dalam Kepailitan

LEGAL OPINION
Question: Masak sih, Pak Hery (SHIETRA & PARTNERS) bilang kalau percuma saja kreditor konkuren mempailitkan debitornya. Apa betul gitu praktiknya, kreditor konkuren tidak akan dapat apa-apa dengan mempailitkan debitornya? Kok, kata sarjana hukum lain, selama ini lebih banyak kreditor konkuren yang pailitkan debitornya.
Brief Answer: Pada prinsipnya, yang disebut dengan kepailitan ialah keadaan debitor yang telah insolvensi (dari lawan kata “solvensi” alias lebih besar liability daripada equity). Dalam praktik, seluruh aset dari pengusaha (dapat dipastikan) telah diagunkan pada Kreditor Separatis yang berkedudukan paling tertinggi selaku kreditor pemegang jaminan kebendaan.
Di peringkat kedua, terdapat Kreditor Preferen seperti hak piutang buruh serta piutang pajak Kantor Pajak. Jika masih terdapat sisa kekayaan debitor pailit pasca likuidasi, setelah seluruh piutang Kreditor Preferen dilunasi, barulah akan menjadi hak pelunasan para Kreditor Konkuren.
Dalam praktiknya, mem-PKPU dan mem-pailitkan debitor, sejatinya hanya “memakmurkan” kalangan Pengurus dan Kurator—belum lagi fakta empiris bahwa biaya-biaya kepailitan sangat “fantastis” nilai cost-nya, yang sudah tentu menguras habis kekayaan sang debitor, dimana biaya-biaya tersebut bukan dibebankan pada fee Kurator, namun dari harta kekayaan debitor.
Jangankan pelunasan piutang Kreditor Konkuren, kerapkali piutang Kreditor Preferen masih jauh dari kata “lunas”. Artinya, sepanjang seluruh tagihan / piutang Kreditor Preferen belum dilunasi, maka tertutuplah hak piutang Kreditor Konkuren.
Jika sudah mengetahui fakta yuridis demikian, maka apakah yang menjadi alasan bagi seorang Kreditor Konkuren untuk mempailitkan debitornya? Inilah salah kaprah yang kerap terjadi, dengan harapan “semu” bahwa dengan mempailitkan debitornya, sang Kreditor Konkuren dapat memperoleh pelunasan.
PEMBAHASAN:
Pernyataan SHIETRA & PARTNERS mungkin sukar diterima, namun untuk memudahkan pemahaman, tepat kiranya bercermin pada putusan Mahkamah Agung RI perkara perdata khusus permohonan tentang Keberatan terhadap Daftar Pertama sekaligus Daftar Pembagian Penutup Debitor Pailit (renvoi prosedur) register Nomor 511 K/Pdt.Sus-Pailit/2014 tanggal 28 Oktober 2014, antara:
- KEPALA KANTOR PELAYANAN PAJAK (KPP) PENANAMAN MODAL ASING DUA, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Pembantah; terhadap
- KURATOR PT. YINCHENINDO MINING INDUSTRY (DALAM PAILIT), selaku Termohon Kasasi dahulu Terbantah.
Keberatan perlawanan ini diajukan oleh Kantor Pelayanan Pajak terhadap pembagian pemberesan harta pailit dari PT. Yinchenindo Mining Industry (dalam Pailit), yang daftarnya dibuat dan diumumkan Kurator, dengan alasan bahwa hutang pajak harus didahulukan dari pembagian harta pailit.
Total piutang kantor pajak sebesar Rp90.717.108.949,00. Sementara yang menjadi pokok keberatan Kantor Pajak, dirinya hanya memperoleh pembagian dari Kurator sebesar Rp2.913.199.683,00 dengan rincian sebesar Rp1.165.279.873,00 dari hasil penjualan Asset bebas dan sebesar Rp1.747.919.810,00 dari presentase penjualan harta fidusia.
Dengan mendasarkan klaim pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (UU KUP), terdapat kaedah norma: Negara mempunyai hak mendahului untuk utang pajak atas barang-barang milik Penanggung Pajak yang akan dilelang di muka umum, meliputi pokok pajak, sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak.
Dengan demikian Kantor Pajak berpendirian, pembayaran kepada Kreditor lain diselesaikan setelah utang pajak dilunasi. Kedudukan piutang pajak mempunyai hak mendahului, dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 070 PK/PDT.SUS/2009 antara KPP Pratama Jakarta Tanah Abang Dua melawan Kurator PT. Artika Optima Inti (dalam Pailit) dan PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk., dimana dalam pertimbangan hukumnya Mahkamah Agung menyebutkan:
“Bahwa terhadap pelunasan utang pajak harus didahulukan setelah itu baru pelunasan terhadap gaji karyawan dan piutang Bank Mandiri;
“Bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 (UU KUP) dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 (UU PPSP) dalam Pasal 21 Undang-Undang KUP ayat (1): ‘Negara mempunyai hak mendahulu untuk tagihan pajak atas barang-barang milik penanggung pajak.’”
Sang Kurator dinilai merugikan keuangan Negara / pendapatan pajak sebesar Rp87.778.909.266,00. Kantor Pajak juga mengajukan keberatan terhadap Biaya Pengurusan Kepailitan sebesar Rp894.630.508,00 dengan alasan:
a. Biaya Pengumuman Putusan Pailit di Koran sebesar Rp28.508.700,00 dinilai terlalu besar. Oleh karena itu kepada Pengadilan Niaga diminta untuk meminta Kurator untuk membuktikan pengeluaran dimaksud dan menunjukan dokumen pendukungnya (termasuk bukti potong PPh Pasal 23 dan pelaporannya pada SPT PPh Pasal 23);
b. Biaya administrasi, surat menyurat dan rapat-rapat Kreditor sebesar Rp104.721.461,00 oleh karena itu kepada Pengadilan Niaga dimohon untuk meminta Kurator untuk membuktikan pengeluaran dimaksud dan menunjukan dokumen pendukungnya;
c. Biaya Pengamanan Asset Pailit sebesar Rp414.261.613,00 dipandang sangat tidak wajar dan terlalu besar. Oleh karena itu kepada Pengadilan Niaga dimohon untuk meminta Kurator untuk membuktikan pengeluaran dimaksud dan menunjukan dokumen pendukungnya (termasuk nama-nama personilnya dan bukti potongan PPh Pasal 21 dan pelaporannya pada SPT PPh Pasal 21);
d. Biaya Appraisal / Penilai sebesar Rp110.000.000,00 dipandang sangat tidak wajar dan terlalu besar. Oleh karena itu kepada Pengadilan Niaga dimohon untuk meminta Kurator untuk membuktikan pengeluaran dimaksud dan menunjukan dokumen pendukungnya (termasuk bukti potongan PPh Pasal 23 dan pelaporannya pada SPT PPh Pasal 23);
e. Bahwa KPP PMA Dua juga mengajukan keberatan atas tidak dimasukkannya pendapatan bunga dari hasil penjualan boedel pailit PT. Yinchenindo Mining Industry (dalam Pailit) yang disimpan didalam rekening Bank. Oleh karena itu, demi akuntabilitas dan transparansi pengurusan kepailitan, kepada Pengadilan Niaga dimohon untuk meminta Kurator untuk melaporkan pendapatan bunga dari hasil penyimpanan hasil penjualan boedel pailit di rekening Bank dan memasukkannya sebagai tambahan boedel pailit yang harus dibagikan.
Seluruh hasil penjualan dan biaya yang dikeluarkan didalam kepengurusan pailit harus dipertanggung-jawabkan dan dilaporkan didalam laporan keuangan dan Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak PT. Yinchenindo Mining Industry (Dalam Pailit) secara lengkap, jelas dan valid.
Kurator seharusnya mendahulukan / mengutamakan pelunasan utang pajak sebesar Rp90.717.108.949,00 dari hasil likuidasi PT. Yinchenindo Mining Industry. Sementara itu pembagian yang dilakukan oleh Kurator kepada Kantor Pajak hanya sebesar Rp2.913.199.683,00 sehingga Kurator dinilai tidak memberikan perlindungan terhadap kepentingan Negara.
Dengan tidak tertagihnya sisa piutang pajak sebesar Rp87.778.909.266,00 terhadap sang debitor pailit, maka keuangan Negara akan dirugikan karena penerimaan Negara akan berkurang sebesar Rp87.778.909.266,00.
Terhadap keberatan Kantor Pajak, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat kemudian menjatuhkan Putusan Nomor 57/Pdt.Sus-Renvoi-Prosedur/2011/PN.Niaga.Jkt.Pst., tanggal 7 Juli 2014, dengan pertimbangan serta amar sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P-1 s.d. P-5 yaitu sesuai ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata jo. Pasal 1134 KUHPerdata dan Pasal 21 ayat 1, ayat 2, ayat 3 dan ayat 3A Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (UU KUP), ternyata Pembantah termasuk Kreditor Preferen yang pembayarannya didahulukan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata jo. Pasal 1134 KUHPerdata dan Pasal 21 ayat 1, ayat 2, ayat 3 dan ayat 3A Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (UU KUP) dan ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, ternyata antara Pembantah dengan Tennant Metals Pty Ltd kedudukannya sama yaitu sama-sama sebagai Kreditor yang pembayarannya didahulukan, dimana Pemohon Keberatan sebagai Kreditor Preferen, sedangkan Tennant Metals Pty Ltd adalah Kreditor Separatis;
“Menimbang, bahwa oleh karena Pembantah dengan Tennant Metals Pty Ltd berdasarkan Undang-Undang Perpajakan dan Undang-Undang Jaminan Fidusia kedudukannya sama, sedangkan perselisihan dalam perkara ini termasuk ke dalam ruang lingkup kepailitan, maka Majelis akan mempertimbangkannya dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang;
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
- Menolak keberatan Pembantah seluruhnya.”
Kantor Pajak mengajukan upaya hukum kasasi, dengan salah satu pokok keberatan ialah tidak dilakukannya pemeriksaan oleh Majelis Hakim terhadap penghasilan bunga dari hasil penjualan boedel pailit maka dapat dipastikan harta pailit yang akan dibagikan menjadi lebih kecil, disamping berbagai pengeluaran proses kepailitan oleh Kurator yang nilainya fantastis alias tidak wajar karena justru menghamburkan keuangan debitor pailit yang semestinya dialokasikan untuk kepentingan pelunasan para kreditor, dimana terhadapnya Mahkamah Agung secara sumir membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 15 Juli 2014 dan kontra memori kasasi tanggal 22 Juli 2014 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, Putusan Judex Facti dalam hal ini Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa telah benar ketika saldo hasil pemberesan harta Debitor Pailit tidak cukup untuk membayar semua kewajiban Debitor Pailit kepada Para Kreditor maka pemberian saldo harta Debitor dilakukan berdasarkan asas keadilan dan keseimbangan (dalam hal ini Pemohon Kasasi telah memperoleh 62,5% dari total saldo yang dibagi) sebagaimana dimaksud dalam penjelasan umum Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, hal mana telah terbukti adanya dalam perkara a quo, karena itu adalah telah benar bantahan Pembantah ditolak seluruhnya;
- Bahwa lagipula keberatan Pemohon Kasasi berisi hal-hal yang telah dipertimbangkan oleh Judex Facti sehingga bukan merupakan alasan kasasi sebagaimana dimaksud oleh Undang-Undang Mahkamah Agung;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 57/Pdt.Sus-Renvoi Prosedur/2011/PN.Niaga.Jkt.Pst. tanggal 7 Juli 2014 dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi KEPALA KANTOR PELAYANAN PAJAK (KPP) PENANAMAN MODAL ASING DUA tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi KEPALA KANTOR PELAYANAN PAJAK (KPP) PENANAMAN MODAL ASING DUA tersebut.”
Note SHIETRA & PARTNERS:
Di tangan seorang Kurator, aset kekayaan debitor pailit tidak akan pernah optimal bagi kepentingan pelunasan para kreditornya, mengingat fee Kurator disertai berbagai pemborosan lewat biaya-biaya proses kepailitan yang ditangani sang Kurator dengan nilai biaya yang fantastis sekadar untuk alat tulis dan kantor yang mencapai angka “merusak secara psikologis”, sejatinya justru memperparah keadaan (memiskinkan) sang debitor pailit.
Jika dengan mempailitkan debitor, justru membuat kian terpuruk keadaan keuangan debitor pailit dengan segala beban fee Kurator dan biaya-biaya kepailitan yang diajukan oleh sang Kurator (dan paling didahulukan dari segala tagihan kreditor), maka sejatinya kepailitan seorang debitor hanya “memakmurkan” kalangan Kurator—tidak pernah dimaknai sebagai terpulihkannya piutang para kreditor, terlebih Kreditor Konkuren yang hanya dapat “gigit jari”. Itulah karakter utama setiap perkara kepailitan, dimana tidak pernah tercatat adanya sejarah terjadi sebaliknya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.