Ketika Buruh (yang Justru) Mem-PHK Pengusaha

LEGAL OPINION
Telaah Modus PHK Terselubung yang Menjadi Bumerang bagi Pengusaha
Question: Sudah sangat lama, berbulan-bulan, saya dan rekan-rekan pekerja dirumahkan perusahaan tanpa dikasih gaji. Mau sampai kapan? Bagaimana sebaiknya? Apa mungkin, jika nanti sewaktu-waktu kami dinyatakan mangkir kerja karena tidak setiap harinya “setor wajah” ke perusahaan?
Brief Answer: Yang namanya “dirumahkan”, artinya Pekerja / Buruh tetap berhak mendapat Upah secara penuh tanpa kewajiban masuk bekerja, hingga mendapat panggilan untuk masuk kerja kembali. Jika keadaan demikian sudah lebih berlangsung selama 3 bulan atau lebih, kalangan Pekerja diberikan hak oleh hukum untuk mengajukan gugatan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap pihak Pengusaha untuk mendapat kompensasi pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan normal.
Mengingat, terlampau seringnya modus PHK terselubung lewat “merumahkan” karyawan, yang seketika dijadikan alasan oleh pihak Pengusaha bahwa para karyawannya adalah mengundurkan diri karena mangkir kerja, maka kalangan Pekerja patut menduga, bahwa terdapat “agenda” lain dibalik kebijakan Pengusaha yang merumahkan para buruhnya tanpa batas waktu yang jelas.
PEMBAHASAN:
Ilustrasi konkret berikut SHIETRA & PARTNERS jadikan sebagai rujukan, sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 73 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 17 Maret 2016, perkara antara:
- PT. UNITED COAL INDONESIA, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Tergugat; melawan
- 55 orang Pekerja, selaku Para Termohon Kasasi dahulu Para Penggugat.
Penggugat merupakan para karyawan Tergugat yang bekerja pada lokasi tambang Tergugat daerah kerja Palaran, Kalimantan Timur. Sementara Tergugat merupakan perusahaan yang bergerak dibidang usaha jasa pertambangan sejak tahun 2006 dan terhitung sejak tahun 2010 melaksanakan kegiatan sebagai kontraktor pertambangan serta penjualan di lokasi tambang batubara.
Tanggal 21 April 2014, Tergugat menerbitkan Internal Memo yang ditujukan kepada para karyawan Tergugat untuk Job Site Palaran, yang ditandatangani Direktur Utama Tergugat, perihal Merumahkan Karyawan. Internal Memo Tergugat tersebut, berbunyi sebagai berikut:
“Selama dirumahkan karyawan diberikan kompensasi sebesar gaji pokok untuk setiap bulannya sampai dengan tanggal dilakukan PHK atau bisa operasional kembali.”
Namun faktanya kemudian Tergugat tidak pernah melaksanakan kewajibannya untuk membayarkan upah yang merupakan hak Penggugat untuk periode gaji bulan September tahun 2014 hingga saat kini.
Penggugat dengan demikian memaknai tidak dibayarkannya upah selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih, memberi hak bagi pihak Pekerja untuk mengajukan PHK berdasarkan Pasal 169 Ayat (1) Huruf (c) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan:
“Pekerja atau buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih.”
Berdasarkan laporan para pekerja, kemudian Dinas Ketenagakerjaan Kota Samarinda mengeluarkan surat panggilan agar para pihak menghadap, namun berdasarkan hasil pertemuan tersebut pihak Tergugat belum juga bisa memutuskan untuk membayar gaji Para Penggugat.
Tergugat selalu menjanjikan akan tetap membayar semua hak Penggugat dimana Tergugat pada saat itu mengakui sendiri secara jelas dan terang belum dapat membayarkan sisa upah kepada Penggugat dikarenakan adanya bencana alam dan Tergugat belum dapat mengetahui secara pasti kapan dapat dibayarkannya upah tersebut kepada Penggugat.
Pada tanggal 12 September 2014, berdasarkan laporan para Pekerja, Dinas Ketenagakerjaan Kota Samarinda menerbitkan Surat Nota Pemeriksaan yang ditujukan kepada Tergugat, yang menyatakan Tergugat wajib membayar keterlambatan denda akibat pembayaran upah karyawan yang tidak dibayar selama 3 bulan berturut-turut sebesar 5 % untuk setiap hari keterlambatan, dan wajib membayar bunga. Namun Tergugat tidak menghiraukannya.
Sebagai respon, Tergugat justru menerbitkan Surat Internal Memo pada bulan September 2014, yang pada pokoknya menyampaikan agar Para Penggugat untuk kembali bekerja, dan apabila mangkir lebih dari 5 hari maka dianggap mengundurkan diri.
Senyatanya, pengunduran diri yang dimaksud bukan atas kemauan Para Penggugat secara pribadi, melainkan kemauan dari pihak Tergugat, sehingga menimbulkan kekacauan logika dalam hukum disamping tekanan batin yang dialami Para Penggugat, karena Tergugat tidak juga menunjukkan itikad baik untuk menyelesaikan sisa pembayaran upah para Pekerja selama dirumahkan. dan tidak melakukan PHK dengan pesangon seperti yang diinginkan oleh Para Penggugat, tetapi kemudian Tergugat menerbitkan internal memo yang membuat bimbang, seakan menjebak Para Penggugat untuk bekerja kembali dimana hal tersebut bertentangan dengan kehendak Para Penggugat yang menghendaki diputusnya hubungan kerja.
Oleh karena Tergugat tidak membayar upah lebih dari 3 bulan berturut-turut, maka Penggugat dapat mengajukan permohonan PHK dan berhak mendapatkan uang Pesangon 2 (dua) kali sesuai ketentuan serta hak normatif lainnya.
Maka sengketa antara Penggugat dan Tergugat dengan diperantarai oleh mediator Dinas Tenaga Kerja Provinsi Samarinda, terbitlah Surat Anjuran, dengan substansi:
1) Mewajibkan pihak Perusahaan PT. United Coal Indonesia untuk segera melakukan pembayaran gaji karyawan;
2) Memerintahkan Perusahaan untuk memanggil karyawan bekerja kembali;
3) Menolak tuntutan lainnya dari para pihak;
4) Jika anjuran ini diterima para pihak, maka dalam waktu 3 (tiga) hari Mediator akan membuat perjanjian bersama. Namun apabila salah 2 satu pihak atau para pihak menolak Anjuran ini, maka dapat melanjutkan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada pengadilan Negeri Samarinda sesuai Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004.”
Anjuran Disnaker yang memerintahkan Tergugat memanggil Para Penggugat untuk bekerja kembali, tidak sejalan dengan pendirian Penggugat selaku Pekerja, sehingga Penggugat mengajukan gugatan ini. Akibat perbuatan Tergugat, Para Penggugat tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup Keluarganya dan bahkan ada yang sampai diceraikan oleh istri / suami.
Terhadap gugatan para Pekerja, Pengadilan Hubungan Industrial Samarinda kemudian menjatuhkan putusan Nomor 06/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Smr., tanggal 5 Agustus 2015, dengan pertimbangan serta amar sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa Para Penggugat pada bulan April 2014 dibayar upahnya pada tanggal 20 Mei 2014, dan upah bulan Mei 2014 dibayar pada tanggal 24 September 2014, sedangkan upah bulan Juni 2014 dibayar pada tanggal 25 Agustus 2014, upah bulan Juli 2014 dibayar pada tanggal 24 September 2014 maka menurut Majelis Hakim keterlambatan pembayaran upah selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih yang dilakukan Tergugat kepada Para Penggugat sudah memenuhi kriteria yang dipersyaratkan oleh Undang-Indang Ketenagakerjaan;
“Menimbang, bahwa di dalam Pasal 168 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan: ‘Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang telah dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri.’ Menurut pendapat Majelis Hakim belum dipenuhi oleh Tergugat meskipun Tergugat telah menerbitkan Internal Memo yang menurut saksi Yulbati Internal Memo (pemanggilan kembali masuk bekerja) tersebut hanya ditempelkan di lokasi Mess Para Penggugat menginap di lokasi tambang Job Site Palaran milik Tergugat;
“Menimbang, bahwa Tergugat pada saat menerbitkan Internal Memo Nomor UCI/HRD/JKT/IV/2014/03 tanggal 21 April 2014 untuk merumahkan Para Penggugat dan memberikan izin untuk bekerja di tempat lain maka sudah sepatutnya Tergugat tidak hanya sekedar menerbitkan Internal Memo yang ditempelkan di lokasi Mess Job Site Palaran, akan tetapi sebagaimana perintah Pasal 168 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan maka Tergugat wajib memanggil Para Penggugat 2 (dua) kali secara patut dan tertulis yang disampaikan ke alamat tempat tinggal Para Penggugat;
“Menimbang, oleh karena Tergugat masih membutuhkan Para Penggugat untuk bekerja kepada Tergugat, menurut Majelis Hakim sudah sepatutnya Tergugat berupaya dengan sekuat tenaga memanggil Para Penggugat untuk bekerja kembali tidak dengan sekedar menerbitkan Internal Memo serta mengirimkan tembusan Internal Memo tersebut kepada berbagai instansi, akan tetapi mengabaikan perintah undang-undang yang menyatakan bahwa pihak Tergugat wajib memanggil Para Penggugat 2 (dua) kali secara patut ke alamat tempat tinggal Para Penggugat.
“Dengan demikian, Majelis Hakim berpendapat bahwa Internal Memo yang diterbitkan oleh Tergugat untuk memanggil Para Penggugat, bukan dimaksudkan sebagaimana Perintah Undang-undang Ketenagakerjaan;
“Menimbang, Bahwa Tergugat telah salah prosedur dalam memanggil Para Penggugat maka tindakan Tergugat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kepada Para Penggugat dengan alasan mangkir sebagaimana yang diamanatkan di dalam Pasal 168 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tidak terpenuhi dan batal demi hukum;
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan Gugatan Para Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan Hubungan Kerja antara Para Penggugat dengan Tergugat Putus karena Pemutusan Hubungan Kerja terhitung sejak Putusan ini dibacakan;
3. Menghukum Tergugat membayar secara Tunai dan Sekaligus hak-hak Para Penggugat akibat Pemutusan Hubungan Kerja sebesar Rp2.693.641.550,00 (dua milyar enam ratus sembilan puluh tiga juta enam ratus empat puluh satu ribu lima ratus lima puluh Rupiah) dengan rincian sebagai berikut: ... ;
4. Menolak Gugatan Para Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
Pihak Pengusaha mengajukan upaya hukum kasasi, dengan alasan bahwa para Buruh-nya tersebut dinilai telah mengundurkan diri karena mangkir tidak masuk bekerja, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“Bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena  Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Samarinda tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Bahwa Judex Facti telah benar menerapkan ketentuan Pasal 169 ayat (1) huruf c undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, karena terbukti Tergugat terlambat membayar upah 3 (tiga) bulan lebih berturut-turut sebagaimana telah tepat dan benar dipertimbangkan oleh Judex Facti;
2. Bahwa Judex Facti telah tepat tidak menerapkan ketentuan Pasal 168 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 karena dalam penjelasannya panggilan secara patut adalah panggilan tertulis yang ditujukan kepada alamat pekerja/buruh, sementara panggilan oleh Tergugat hanya ditempel di papan pengumuman sehingga Para Penggugat tidak dapat dikualifikasikan mengundurkan diri;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata bahwa putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Samarinda dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: PT. UNITED COAL INDONESIA tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PT. UNITED COAL INDONESIA tersebut.”
Pasal 168 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan:
“Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri.”
Pasal 169 UU Ketenagakerjaan:
(1) Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:
a. menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh;
b. membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
c. tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih;
d. tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/ buruh;
e. memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau
f. memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.
(2) Pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pekerja/buruh berhak mendapat uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(3) Dalam hal pengusaha dinyatakan tidak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial maka pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dan pekerja/buruh yang bersangkutan tidak berhak atas uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), dan uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3).”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.