Kelemahan Utama Menggugat, Nasib Seorang Spekulan

ARTIKEL HUKUM
Para pembaca hukum-hukum.com tampaknya akan terkejut, ketika penulis mengungkap fakta bahwa banyak pihak-pihak yang menuntut hukum-hukum.com agar menghapus publikasi terkait perkara gugatan yang melibatkan dirinya. Hingga artikel ini disusun, tidak satupun dari pihak-pihak yang meminta penghapusan publikasi tersebut, berkedudukan sebagai –pihak tergugat yang kalah dalam suatu perkara gugatan.
Keseluruh pihak yang meminta penulis untuk menghapus publikasi, ialah para penggugat yang menggugat, baik penggugat yang menang dalam gugatan, maupun penggugat yang kalah dalam gugatan mereka sendiri. Dikemudian hari, mereka baru menyesali gugatan yang mereka ajukan, ketika aib yang dibuka oleh para penggugat itu sendiri dalam gugatan.
Baru-baru ini penulis mendapatkan pesan singkat dari seorang penggugat, yang gugatannya ditolak pengadilan, kita sebut saja dengan inisial FS, dimana gugatan yang beliau ajukan penulis publikasi dalam artikel dengan judul “Kontraproduktif Maksud & Tujuan Gugatan” dengan transkrip sebagai berikut (tanpa pengurangan maupun penambahan, kecuali penyebutan nama yang diubah menjadi inisial):
FD : Selamat pagi pa heri, sebelum tidur saat saya membaca berita, saya melihat website Anda yang mengupas habis mengenai saya, nama saya FS.
Apa mnrt Anda lawyer saya mengajukan gugatan secara serampangan, sehingga sebagai pemborosan sumber daya ekonomi, waktu, dan tenaga ... memang saya tidak mengerti hukum di Indonesia karena saya org bisnis dan tidak mengerti hukum tapi saat saya berfikir bahwa ada sesuatu yang melanggar hukum terjadi terhadap saya maka saya sudah mengeluarkan waktu untuk berkonsultasi bahkan dengan beberapa lawyer.
Memang sampai sekarang pun kasus saya tidak ada kejelasan dan tidak mengerti kenapa ... tapi mungkin hukum di Indonesianya yang seperti itu karena melihat saya berhadapan dengan orang asing. Yang menjadi bahasan menarik adalah karena Anda mengupas kasus saya di web dan saya terpancing untuk menanyakan menurut Anda apa yang salah dari gugatan yg lawyer saya ajukan? Terima kasih pa.
Penulis: Dear Pak FS. Di Indonesia, para sarjana hukum tidak dilatih untuk memprediksi sengketa. Yang kemudian terjadi, ialah spekulasi. Bisa dikatakan, sebagai kegagalan sistem, karena para profesi hukum di Indonesia tidak merasa penting mendalami preseden. Itu kelemahan utama menggugat, membuka aib kita sendiri. Apakah lawyer Bapak, tidak memberi tahu soal resiko tersebut? Demikian penjelasan untuk kita pahami bersama.
Sering pula terjadi, suatu pihak menggugat pihak lain dengan tujuan hanya untuk mengerjai pihak lawan. Kini. MA RI menerapkan kebijakan open putusan kepada publik, guna menghindari penyalahgunaan gugatan. Itu saja penjelasan saya. Apa yang sudah dipublis, tidak dihapus, karena putusan adalah domain publik, sebagaimana putusan pengadilan terbuka bagi umum.
FS: Dear pa hery .. saya perempuan.. mungkin namanya spt laki-laki.. lawyer saya M0n*ng Sar*g*h dan M0r* Sar*g*h pemilik radio m0r* bandung dan sangat terkenal di bandung. Pa m0n*ng seharusnya bisa memprediksi sengketa yang ada apalagi beliau sangat berpengalaman di bidangnya, saya mantan direktur di dua perusahaan korea yang bergerak di bidang chemical dan washing garment. Kerja 9 tahun dan mempunyai saham 5% di perus kimia dan 10% di perus washing garment. Dengan alasan pribadi memecat saya dan memblokir akses masuk saya ke perusahaan.
1. saya tidak bisa masuk ke perusahaan saya sendiri karena berselisih dengan pemegang saham mayoritas. 2. Sebagai pemegang saham minoritas, saya tdk pnya hak bicara dan ikut keputusan pemegang saham mayoritas. 3. Gaji saya tdk dibayarkan berikut tdk ada pesangon krn dianggap pemilik. 4. Shu tdk dibgikan krn pemegang saham mayoritas tdk menginginkannya. 5. Org yang sedang dideportasi bisa dengan membuat akta perus di Indonesia. Konsultasi lawyer sudah beberapa dan saya pikir terbaik.
Saya rasa maaf Indonesia tdk ada keadilan utk warga negara Indonesia... pihak polisi takut ditekan krn akses org asing yg mempunyai relasi baik, pengadilan sebelum putusan sudah bicara kalau mau menang harus bayar bbrapa ratus juta (mungkin krn lihat sengketanya dengan org asinh), imigrasi seakan td mau tau juga sekalipun org asing tsb pernh dideportasi dan saat deportasi bisa mengalihkan akta perusahaan kenamanya, bupati bandung barat tdk bisa menutup perusahaan tsb dengan alasan banyak karyawan yang akan menganggur... akhirnya hal yang dilakukan bangsa kita adalah mengakibatkan org asing bisa lebih seenaknya di Indonesia.
Kalau kondisinya spt ini apa menurut bpk masih ada keadilan? Saya pakai pengacara bagus, konsultasi hukum dulu sebelumnya tapi faktor X nya cukup besar. Masalahnya org2 penegak hukumnya yg belm siap, kalau direktur bukan pekerja krn punya saham dianggap pemilik dan pemilik saham minoritas krg dr 50% dianggap nothing... ini yang saya rasakan sekrg, hak bicara apapun sdh tdk ada.
Penulis: Ibu FS, saya tidak tahu apakah Anda benar-benar yang bersangkutan atau hanya mengaku-ngaku. Sudah dari sejak tahun 1995, MA RI sudah buat preseden, bahwa direksi adalah organ pt, bukan pekerja. Sebetulnya saya memungut fee untuk beritahu kaedah itu.
Diakui, sistem pendidikan tinggi hukum tidak menekankan pentingnya preseden. Yang kemudian terjadi, main asal gugat. Yang terjadi sudah terjadi. Jadikan ini sebagai pengalaman kita untuk hati-hati kedepannya. Salam.
FS: Saya bnr2 ybs. Saya tau Anda memungut fee tapi Anda mengupas ttg saya, taya tau juga bahwa direksi bukan pekerja jadi pakai segala macam cara karena tdk bisa masuk ke perusahaan dan saham juga krn hanya 10% diabaikan. Krn Anda mengupas jadi hanya ingin tau... utk konflik dengan perusahaan dan pemegang saham minoritas ini rasanya tdk bisa melakukan apa-apa... sampai sekrg kasusnya masih ada dan gantung semua.
Penulis: Betul, Ibu akan lebih terkejut ketika saya mampu memprediksi, bahwa Ibu tidak pernah dapat Deviden dengan alasan perusahaan merugi. Semua pt PMA, selalu begitu. Maka dari itu, setiap klien saya sarankan, jangan jadi pemegang saham minoritas di pt PMA, karena pasti terjadi transfer pricing.
Mohon maaf saya tak bisa melanjutkan diskusi, karena diskusi ini sudah menyerupai konsultasi.
Namun, saya turut prihatin atas hak ibu selaku klien pengacara Anda, tidak diberi tahu tentang hak-hak tersebut.
Disayangkan, namun kita jadikan pelajaran, begitu saja ya, Bu FS. Salam.
FS: Saya tidak terkejut pa krn saya sudah di titik akhir. Spt yg saya bicarakan sebelumnya saham dibawah 50% itu nothing.
Saya tidak ingin diskusi juga lbh lanjut krn bpk menulis di blog bahwa sehrsnya perlu berkonsultasi dulu dan sudah saya lakukan, sehingga dr hasip tulisan bpk menggambarkan bahwa case ini bisa berhasil dengan treatment yang tepat.
Bpk td sampaikan juga bahwa saya tdk akan pernh dpt deviden. Hanya satu hal yg saya penasaran kalau Anda bisa menempatkan seseorg utk bisa masuk ke perusahaan sepengganti saya utk masuk ke perusahaan (krn ada hak) saya akan bayar Anda per bln.
Penulis: Lho, bukankah Ibu katakan sudah tahu bila direksi bukan pekerja, mengapa masih berspekulasi menggugat?
Masalah terletak pada pihak Ibu sendiri, merasa lebih pintar dari konsultan Ibu.
Buktinya Ibu sudah tahu, direksi bukan pekerja. Mohon kini Ibu jawab pertanyaan saya, mengapa Ibu masih berspekulasi? Ibu ingin menyalahkan lawyer Ibu?
FS: Tidak menggugat.
Gak akan salahkan lawyer saya juga, dia sudah kerja keras, hanya mau tahu apa ada hal yang lain yg kira-kira terlewat yg bisa dilakukan.. sekiranya tidak, kita akhiri saja percakapan kita.
Thanks.
Selamat sore dan selamat beraktifitas.
Penulis: Selamat sore juga. Hendaknya tidak ada lagi aksi spekulasi, terlebih menyalahkan suatu pihak bila gugatan didasarkan pada asumsi penuh spekulasi.
Itulah sebabnya, preseden dihormati dan ditegakkan. Salam.
FS: ...
Terdapat perbedaan antara “berkonsultasi dengan kalangan lawyer” dan “berkonsultasi dengan kalangan konsultan hukum”. Konsultan hukum, tidak memiliki konflik of interest untuk mendorong klien agar mengajukan gugatan jika permasalahan tidak worthy untuk dimajukan sebagai gugatan. Bahkan, konsultan hukum punya kewajiban untuk menyampaikan pada klien berbagai kelemahan dibalik aksi menggugat, sehingga klien dapat menimbang antara sisi manfaat dan mudarat.
Adagium hukum sejak zaman dahulu kala selalu berkata: menggugat karena kehilangan kambing, pada akhirnya bisa kehilangan sapi. Adagium tersebut tetap hidup hingga saat kini, karena masih dianggap relevan. Jika dahulu kala putusan pengadilan tidak terbuka bagi umum, kini, sejak reformasi di tubuh Mahkamah Agung RI, setiap putusan dan perkara, sifatnya terbuka bagi umum, lengkap dengan segala aib yang dikemukakan di dalam persidangan. Rekam jejak sengketa hukum seseorang menjadi demikian terbuka dalam era digital ini.
Seorang konsultan hukum (murni sebagai konsultan tanpa merangkap profesi pengacara), adalah penasehat hukum yang memberi opini serta rekomendasi secara netral dan objektif, tanpa tendensi apapun, serta berupaya optimal agar klien tidak terjerat masalah hukum (preventif dan mitigasi), mengedepankan cara-cara mediasi (amicable solution), bukan kuratif yang sudah menjelma benang kusut yang sukar diurai.
Penulis secara pribadi, tidak pernah memiliki kesamaan paradigma dengan kalangan pengacara manapun di Tanah Air. Ketika penulis menyampaikan pada mereka yang berprofesi sebagai advokat, bahwa penulis tidak akan memberi rekomendasi pada klien bila kasus mereka tidak layak untuk dimajukan sebagai gugatan, hanyalah respon negatif yang penulis dapatkan dari kalangan pengacara.
Salah seorang mentor penulis pernah mengisahkan, bagaimana Hotel Hilton hendak menggugat restoran Hilton yang mencatut ketenaran nama “Hilton”. Ketika pemilik Hotel Hilton berkonsultasi pada mentor penulis yang merupakan konsultan hukum (tidak merangkap advokat), pada akhirnya yang hanya ditanyakan oleh sang mentor ialah: “Menurut Anda, worthed tidak, menggugat?”
Sang klien menjawab: “... Rasa tidak.”
Alhasil, hingga kini tidak pernah tercatat gugatan Hotel Hilton Vs. Restoran Hilton. Dalam gugatan, terdapat beberapa “cost” yang perlu dipertimbangkan, mulai dari biaya sosial, biaya politik, biaya reputasi, biaya waktu, biaya tenaga, dan berbagai high cost lain yang perlu dipertimbangkan.
Namun, ketika klien telah mengetahui bahwa berdasarkan preseden yang ada, dirinya tidak akan berhasil, namun bersikukuh mengajukan gugatan, kita kemudian patut bertanya: apakah sang klien berhak, mengkritik dan mencela pengacara maupun sang konsultan, jika pada akhirnya sang klien menyesali gugatan yang kini sudah tercatat dalam sejarah? Tulisan singkat ini penulis sampaikan, mengingat demikian banyaknya pertanyaan yang masuk pada penulis, perihal “plus dan minus” gugatan. Akan lebih panjang ketika kita membahas perihal putusan menang diatas kertas, alias menang namun tidak dapat dieksekusi karena tergugat yang dikalahkan tidak mau mengikuti amar putusan.
© SHIETRA & PARTNERS Copyright.