Frasa dalam Kontrak yang Sumir, Penuh Jebakan Multitafsir

LEGAL OPINION
Question: Rasanya, kata-kata yang tercantum di dalam polis asuransi, memang sengaja dirancang untuk menjebak. Ketika isi polis itu kami bahas dengan agen asuransi bersangkutan, sang agen pada awalnya memberikan kami suatu penafsiran atau memberi makna atas suatu kata-kata di polis yang sesuai dengan kebutuhan kami.
Namun, sesudah berjalannya waktu, terjadi musibah yang ketika kami klaim pertanggungan, ditolak perusahaan asuransi yang justru menggunakan penafsiran berbeda atas kata-kata dalam polis. Ketika jualan ke kami, janji-janji asuransi itu manis sekali.
Ketika giliran ditagih realisasinya, mereka pakai penafsiran seenaknya atas isi polis. Rasanya memang dari sejak awal isi polis asuransi dirancang untuk multi interpretasi, yang memungkinkan mereka berkelit dari tanggung jawab nantinya saat ditagih. Apa memang begitu?
Brief Answer: Begitulah. Mencari penyedia jasa asuransi yang memiliki substansi polis yang bebas dari frasa sumir, sangatlah sukar jika tidak dapat disebut tidak ada. Oleh sebab itu, ada baiknya menegosiasikan penggunaan redaksional kata-kata dalam polis, agar benar-benar jelas dan tidak multitafsir. Hendaknya tidak “termakan” oleh penafsiran versi sang agen yang tentunya hanya berniat untuk membuat laku “jualannya”.
Jika pihak perusahaan asuransi menutup diri untuk merubah redaksional kata-kata dalam polis, dengan alasan sudah merupakan kontrak baku mereka, maka resiko demikian tetap dapat terjadi, pihak perusahaan asuransi akan berkelit semampu mereka dengan menggunakan penafsiran versi mereka sendiri, tentunya.
Salah satu ciri yang patut diwaspadai, ialah berbagai pencantuman frasa yang bersifat “sumir”. Pada prinsipnya, konsumen pengguna jasa asuransi hanya dapat memperbandingkan standar polis baku yang ditawarkan berbagai lembaga asuransi, dimana semakin minim frasa sumir yang ditemukan pada polis, dapat diasumsikan semakin kredibel perusahaan asuransi bersangkutan.
PEMBAHASAN:
Sebagai ilustrasi, untuk itu SHIETRA & PARTNERS akan merujuk pada putusan Mahkamah Agung RI sengketa asuransi register Nomor 513 PK/Pdt/2007 tanggal 28 Agustus 2008, perkara antara:
- PT. SUNGAI BUDI GROUP, termasuk dan tidak lepas di dalamnya PT. BUDI ACID JAYA Tbk. cq. PT. TUNAS BARU LAMPUNG Tbk. cq. PT. BUDI MUTU PRIMA, sebagai Pemohon Peninjauan Kembali, semula selaku Penggugat; melawan
1. PT ASURANSI WAHANA TATA; 2. PT CHINA INSURANCE INDONESIA,  selaku Para Termohon Peninjauan Kembali dahulu Tergugat I dan II.
Penggugat adalah suatu perusahaan yang terdiri dari beberapa anak perusahaan yang berada di bawah naungan Sungai Budi Group, yang keseluruhannya berada dalam satu lokasi pabrik, yakni:
- PT. Sungai Budi, adalah pabrik kopi;
- PT. Budi Acid Jaya, adalah pabrik benang/rajut;
- PT. Tunas Baru Lampung, adalah pabrik pelet, ekstrasi, minyak/sabun;
- PT. Budi Mutu Prima, adalah pabrik batok, pabrik obat nyamuk.
Penggugat pengguna jasa asuransi dari Tergugat I. Kemudian diterbitkan Polis Asuransi Kebakaran atas seluruh asset Penggugat, diterbitkan oleh Tergugat I dan yang diberlakukan sejak 5 April 2001 sampai dengan 5 April 2002, yaitu polis-polis untuk masing-masing dari keempat perseroan terbatas milik grub usaha Penggugat tersebut.
Dengan komposisi penutupan Tergugat I sebesar 60% dan Tergugat II sebesar 40% dan keseluruhan premi untuk polis telah dibayarkan lunas oleh Penggugat. Dalam setiap polis, secara tegas dinyatakan dan ditekankan oleh Tergugat bahwa setiap polis adalah “satu resiko” dengan polis lainnya.
Dimana Tergugat di dalam setiap polis yang diterbitkan menegaskan bahwa polis satu terhadap polis lain untuk perseroan lainnya dari grub usaha Penggugat, adalah saling “satu resiko”. Dengan adanya frasa “satu resiko” , dapat dikatakan bahwa polis-polis tersebut adalah merupakan polis-polis yang terikat dan tidak terpisahkan satu dengan lainnya dalam hal pemenuhan resiko asuransi kebakaran atas asset bangunan, mesin maupun stock yang tersedia sehingga apabila terjadi hal-hal yang terkait dengan asset mesin maupun stock dan peralatan maupun bangunannya, selama masih dalam satu lokasi resiko tidak akan mempengaruhi maupun membatalkan kondisi polis apabila terjadi klaim nantinya.
Tanggal 31 Juli 2001, saat masa perlindungan asuransi masih sedang berjalan, objek asuransi tersebut terbakar. Kebakaran tersebut terjadi di gudang beserta isinya milik Penggugat atas nama PT. Sungai Budi dimana kebakaran tersebut telah mengakibatkan kerugian terhadap asset milik anak perusahaan Penggugat lainnya, yaitu:
- Stock, mesin dan peralatan milik PT. Budi Acid Jaya;
- Stock milik PT. Budi Mutu Prima; dan
- Tangki Penyulingan, stock milik PT. Tunas Baru Lampung.
Dengan terbakarnya obyek yang diasuransikan, maka Penggugat mengajukan klaim pertanggungan kepada Tergugat I dan Tergugat II menurut ketentuan yang telah ditetapkan dalam polis.
Kebakaran yang terjadi di gudang PT. Sungai Budi, mengakibatkan kerugian pula terhadap bangunan gudang PT. Sungai Budi dan stock barang milik anak perusahaan Penggugat lainnya, maka sudah seharusnya Tergugat I dan Tergugat II menerima dan mengabulkan klaim asuransi Penggugat dan membayar klaim asuransi sesuai dengan nilai pertanggungan yang dilindungi polis.
Kebakaran tersebut menimbulkan kerugian terhadap Penggugat dengan total nilai klaim sebesar Rp 15.207.422.774,-. Sebagian dari total klaim tersebut telah direalisasikan pembayarannya oleh para Tergugat yaitu sebesar Rp 7.719.507.021,- tetapi masih menyisakan tunggakan klaim atas nama:
- PT. Budi Acid Jaya dengan nilai tunggakan klaim untuk stock sebesar Rp 5.380.892.633,-;
- PT. Tunas Baru Lampung dengan nilai tunggakan klaim sebesar Rp 711.568.470,-;
- PT. Budi Mutu Prima sebesar Rp 889.454.650,-;
- Termasuk dan tidak terlepas dari ketiga klaim diatas adalah tunggakan klaim atas nama PT. Sungai Budi sebesar Rp 506.000.000,- yang telah disetujui tetapi belum direalisasikan pembayaran klaimnya.
Penggugat menuntut penggantian sisa tunggakan klaim sebesar Rp 7.487.915.753,- kepada Tergugat I dan Tergugat II sesuai dengan proporsi dari Ko-Asuransi polis yang ada. Masalahnya, Tergugat I dan Tergugat II hanya mau mengganti kerugian yang disebabkan oleh kebakaran yang terjadi di gudang milik PT. Sungai Budi dan stock barang yang terdapat di dalamnya, karena Tergugat I dan Tergugat II menganggap polis yang dikeluarkan adalah terpisah satu dengan lainnya, sehingga asset Penggugat lainnya yang ikut terbakar yang berada dalam bangunan PT. Sungai Budi tidak dapat diganti.
Penggugat menilai sikap Tergugat menjadi kontradiktif dengan apa yang tertuang dalam polis, dimana polis dengan jelas tertulis bahwa polis yang ada adalah “satu resiko” dengan polis yang lainnya. Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 225/KMK.017/1993, ditegaskan dalam Pasal 4 butir 2:
“Bahwa apabila dalam polis terdapat perumusan yang dapat ditafsirkan sebagai pembatasan, maka bagian-bagian perumusan dimaksud harus ditulis sedemikian rupa sehingga dapat dengan jelas dimengerti dan diketahui.”
Dimana sejak awal pembuatan polis, para Tergugat tidak pernah menerangkan maupun menjelaskan secara menyeluruh kepada Penggugat atas pengertian dari frasa “satu resiko” dalam polis, sehingga pengertian yang ditangkap oleh Penggugat, ialah bahwa keseluruhan polis berada dalam satu kesatuan resiko, tetapi ternyata pada waktu terjadinya klaim pengertian tersebut diputar-balikkan oleh Tergugat bahwa pengertian frasa “satu resiko” hanya mempunyai makna sama dengan satu lokasi, satu hal yang sangat sempit dan terkesan lepas tanggung jawab.
Tergugat tidak dapat dibenarkan untuk secara serta-merta menginterprestasikan pengertian yang ada di dalam polis secara sepihak hanya untuk kepentingan Tergugat saja. Terlihat adanya upaya yang sistematis dari para Tergugat untuk tidak merealisasikan pembayaran klaim dengan mencari alasan dibalik permainan “jebakan tafsir”, dengan mana Tergugat mengatakan bahwa penetapan satu resiko itu berkonotasi hanya untuk menetapkan pengertian kata “satu lokasi” sehingga klaim yang terjadi dan membuat kerugian atas asset Penggugat lainnya tidak dapat diganti karena polisnya berdiri sendiri.
Note SHIETRA & PARTNERS: Jika memang “satu resiko” dimaknai sebagai “satu lokasi” semata/belaka, maka mengapa polis tidak sejak semula secara tersurat menggunakan frasa “satu lokasi” alih-alih istilah “satu resiko” yang tidak lazim dalam redaksional surat-menyurat dan akta pada umumnya? Itikad yang tidak terbuka demikian, dapat diasumsikan sebagai itikad buruk.
Konotasi satu resiko arti harfiahnya sangat jelas berarti satu kesatuan resiko yang dipertanggungkan sehubungan atas obyek yang diasuransikan, jika Tergugat ingin menyatakan bahwa makna “satu resiko” sama dengan frasa “satu lokasi”, menjadi pertanyaan besar, untuk tujuan apakah Tergugat mencantumkan kembali perkataan tersebut sementara di dalam schedule polisnya sudah jelas tercantum alamat atau letak resiko yang ada.
Dengan dicantumkannya kata “satu resiko” dalam tiap-tiap polis, maka apabila terjadi kebakaran di suatu gudang dimana perseroan lainnya yang juga selaku pemegang polis meletakkan stock barangnya di dalam gudang atau bangunan yang mengalami kerugian atau terbakar, selama masih berada dalam satu resiko atau lokasi, tidak akan membatalkan polis sebagia dasar klaim, maka Tergugat I dan Tergugat II berkewajiban untuk mengganti kerugian Penggugat yang meliputi bangunan gudang dan stock barang milik PT. Sungai Budi, juga di dalamnya terdapat stock, mesin, dan peralatan milik PT. Budi Acid Jaya, stock milik PT. Budi Muti Prima dan tangki penyulingan beserta stock milik PT. Tunas Baru Lampung yang ikut terbakar di gudang milik Penggugat.
Perjanjian asuransi mengikat antara pihak penanggung dan tertanggung, sebagaimana diatur dalam Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), yang berbunyi:
“Asuransi atas pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu.”
Menjadi tidak patut apabila perjanjian asuransi hanya dimaknai untuk kepentingan sepihak Tergugat I dan Tergugat II semata, sementara kepentingan tertanggung diabaikan, meski untuk asuransi tersebut Penggugat ditetapkan suku premi yang tertinggi untuk seluruh polis walau jenis resikonya berbeda, seluruh lokasi pabrik berada dalam “satu lokasi” dan atau “satu resiko” sesuai dengan penetapan di dalam polis, sehingga selama penempatan asset dan stock masih berada dalam satu lokasi pabrik dan atau nilai stock atau mesin tidak melebihi nilai yang diasuransikan, maka tidak ada alasan bagi pihak Tergugat untuk menolak klaim Penggugat.
Terhadap gugatan sang pemegang polis, yang kemudian menjadi amar putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 90/Pdt.G/2003/PN.Jak.Sel. tanggal 22 Juli 2003, ialah sebagai berikut:
MENGADILI :
DALAM POKOK PERKARA :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan Tergugat I dan Tergugat II telah melakukan perbuatan melawan hukum;
3. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II secara seketika dan sekaligus untuk membayar kerugian materiil kepada Penggugat sebesar Rp 7.487.915.753,- (tujuh milyar empat ratus delapan puluh tujuh juta sembilan ratus lima belas ribu tujuh ratus lima puluh tiga rupiah) ;
4. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara ini sampai kini ditaksir sebesar Rp 149.000,-;
5. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya.”
Dalam tingkat banding, yang kemudian menjadi amar putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No. 573/PDT/2003/PT.DKI. tanggal 21 Januari 2004, ialah sebagai berikut:
MENGADILI :
- Menerima permohonan pemeriksaan dalam tingkat banding dari para Pembanding/semula Tergugat I dan Tergugat II tersebut;
- Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 22 Juli 2003, No. 90/Pdt.G/2003/PN.Jak.Sel. yang dimohonkan pemeriksaan dalam tingkat banding tersebut.”
Dalam tingkat kasasi, yang kemudian menjadi amar putusan Mahkamah Agung RI No. 976 K/Pdt/2004 tanggal 24 Januari 2006, adalah sebagai berikut:
MENGADILI :
“Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: 1. PT. ASURANSI WAHANA TATA, 2. PT CHINA INSURANCE Indonesia tersebut;
“Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 573/PDT/2003/PT.DKI. tanggal 21 Januari 2004 yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 90/Pdt.G/2003/PN.Jak.Sel. tanggal 22 Juli 2003;
MENGADILI SENDIRI :
- Menyatakan tidak dapat diterima gugatan dari Penggugat tersebut.”
Pemegang polis mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, dengan pokok keberatan ialah terhadap penafsiran hakim tingkat kasasi yang memaknai frasa “satu resiko” dalam polis, sebagai “satu lokasi”. Dengan adanya kata “satu risiko” tersebut, dapat dikatakan bahwa polis-polis tersebut adalah merupakan polis-polis yang terkait dan tidak terpisahkan satu dengan lainnya dalam hal pemenuhan risiko asuransi kebakaran atas asset bangunan, mesin maupun stock yang tersedia sehingga apabila terjadi hal-hal yang terkait dengan aset mesin maupun stock dan peralatan maupun bangunannya selama masih dalam satu lokasi risiko, tidak akan mempengaruhi maupun membatalkan kondisi polis apabila terjadi klaim nantinya.
Pada tanggal 31 Juli 2001 telah terjadi kebakaran di lokasi pabrik yang mengakibatkan kerugian sebesar Rp 15.207.422.774,- namun hanya sebagian dari total klaim tersebut yang dibayarkan oleh Tergugat—suatu alat bukti persangkaan mutlak bahwa Tergugat memang mengakui bahwa Penggugat memiliki hak untuk itu, karena bila tidak, mengapa Tergugat membayar separuh dari nilai klaim?
Sebagian dari total klaim tersebut telah dibayarkan sebesar Rp 7.719.507.021,- sedangkan sisa klaim sebesar Rp 7.487.915.753,- belum dibayarkan oleh para Tergugat, dengan alasan bahwa risiko tersebut tidak berada dalam “satu risiko”.
Sementara itu pihak Penggugat memaknai ketentuan bahwa “satu risiko” dimaknai, apabila satu yang kena risiko, maka yang lainnya menjadi satu kesatuan. Disinyalir ada upaya sistematis dari Tergugat untuk dengan sengaja melalaikan kewajiban hukumnya membayar klaim pemegang polis.
Menolak untuk membayar sisa tunggakan pembayaran klaim tersebut dengan alasan bahwa risiko tersebut tidak “satu risiko”, meski dalam polis dengan jelas tercantum kalimat bahwa polis tersebut “satu risiko” dengan polis lainnya.
Adapun Surat Keputusan Pengurus Dewan Asuransi Indonesia No. 302/DAI/1995 menetapkan bahwa penerapan kata “satu risiko” didalam polis akan mengartikan komplek risiko asuransi yang berada dalam satu lokasi milik satu tertanggung, dimana yang dimaksud dengan satu tertanggung dalam hal ini adalah Penggugat yang memayungi beberapa perusahaan (grub usaha) yang masing-masing merupakan sama-sama pemegang polis.
Dengan ditetapkannya frasa “satu risiko”, dapat dikatakan bahwa polis-polis tersebut adalah merupakan satu kesatuan polis untuk seluruh asset yang berada di dalam lokasi yang sama. Jadi, selama asset risiko yang ditutup masih dalam satu lokasi, risiko tidak akan mempengaruhi maupun membatalkan kondisi polis apabila terjadi klaim nantinya.
Lokasi dari polis-polis yang ada dan diterbitkan oleh Tergugat berada dalam satu lokasi risiko yaitu di Jalan Yos Sudarso, Way Lunik (Panjang), Teluk Betung, Lampung, sehingga dengan dicantumaknnya istilah “satu risiko” dalam tiap-tiap polis yang dikeluarkan—sebagaimana diketahui oleh Tergugat atas alamat objek tertanggung masing-masing polis, apabila terjadi kebakaran di suatu gudang dimana Penggugat meletakkan stock barangnya di dalam gudang atau bangunan yang mengalami kerugian atau terbakar, selama masih berada dalam “satu risiko” atau lokasi tidak akan membatalkan klaim tersebut, maka Tergugat berkewajiban untuk mengganti kerugian yang dialami oleh Penggugat yang meliputi bangunan gudang dan stock barang milik PT. Sungai Budi, juga di dalamnya terdapat stock, mesin, dan peralatan milik PT. Budi Acid Jaya, stock milik PT. Budi Mutu Prima dan tangki penyulingan besrta stock milik PT. Tunas Baru Lampung yang ikut terbakar di gudang milik Penggugat.
Tergugat justru pada gilirannya memberikan pengertian yang bertentangan dengan apa yang telah ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian yang dalam kaedah norma Pasal 19 Ayat (1) yang memiliki pengaturan bahwa:
“Polis atau bentuk perjanjian asuransi dengan nama apapun, berikut lampiran yang merupakan satu kesatuan dengannya, tidak boleh mengandung kata, kata-kata, atau kalimat yang dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda mengenai risiko yang ditutup asuransinya, kewajiban penanggung dan kewajiban tertanggung, atau mempersulit tertanggung mengurus haknya.”
Penggugat keberatan terhadap definisi versi Tergugat yang memaknai frasa “satu risiko” adalah hanya untuk menunjuk pada satu lokasi dan tidak ada hubungannya dengan risiko yang ditanggung polis, karena jika memang Tergugat ingin menyatakan bahwa “satu risiko” tersebut sama dengan “satu lokasi”, lalu untuk apa menggunakan frasa “satu RESIKO” bila bukan bertujuan untuk mengecoh? Mengapa tidak menggunakan saja dari sejak semula frasa “satu lokasi” sehingga tidak mengundang penafsiran berbeda yang mengecoh calon pembeli polis?
Dimana terhadap keberatan-keberatan tersebut, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“Bahwa alasan-alasan permohonan peninjauan kembali tentang adanya bukti baru tidak dapat dibenarkan, oleh karena penemuan bukti baru tersebut telah ditemukan pada tanggal 1 Desember 2006, sedangkan permohonan peninjauan kembali diajukan pada tanggal 18 Juni 2007, sehingga telah melampaui tenggang waktu 180 hari sebagaimana ditentukan dalam Pasal 69 Huruf (b) Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004;
“Sedangkan alasan-alasan tentang adanya suatu kekhilafan Hakim atau kekeliruan yang nyata juga tidak dapat dibenarkan, oleh karena pemberitahuan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap telah diberitahukan kepada Pemohon Peninjauan Kembali / Termohon Kasasi pada tanggal 9 November 2006, sedangkan permohonan peninjauan kembali diajukan pada tanggal 18 Juni 2007, sehingga telah melampaui tenggang waktu 180 hari sebagaimana ditentukan dalam Pasal 69 Huruf (c) Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali: PT. SUNGAI BUDI GROUP, termasuk dan tidak lepas di dalamnya PT. BUDI ACID JAYA Tbk. cq. PT. TUNAS BARU LAMPUNG Tbk. cq. PT. BUDI MUTU PRIMA, tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali: PT. SUNGAI BUDI GROUP, termasuk dan tidak lepas di dalamnya PT. BUDI ACID JAYA Tbk. cq. PT. TUNAS BARU LAMPUNG Tbk. cq. PT. BUDI MUTU PRIMA tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.