Force Majeure yang Diakibatkan Regulasi

LEGAL OPINION
Question: Setahu kami biasanya yang disebut dengan keadaan kahar itu, seperti adanya gempa, keributan sosial, banjir, bencana-bencana alam dan sosial yang sifatnya lahiriah. Tapi jika kemudian pihak pemerintah selaku regulator menerbitkan regulasi yang tidak kondusif terhadap iklim usaha, apa bisa disebut keadaan kahar juga?
Brief Answer: Bila bercermin pada berbagai preseden yang ada, sebagai best practice yang dibentuk oleh praktik peradilan, tampaknya dimungkinkan untuk menjadikan peraturan hukum positif suatu negara yang dinilai kurang kondusif, sebagai suatu keadaan kahar (force majeure)—berdasarkan paradigma empirik-pragmatis “tidak ada pilihan lain”. Namun syaratnya ialah, peraturan peraturan perundang-undangan tersebut senyatanya konkret dan nyata memang membawa “pukulan telak” bagi suatu subjek hukum tertentu.
PEMBAHASAN:
Sebagai ilustrasi, untuk itu SHIETRA & PARTNERS akan merujuk pada putusan Pengadilan Hubungan Industrial Palu sengketa PHK register Nomor 14/Pdt.Sus-PHI/2014/PN.Pal tanggal 30 Oktober 2014, perkara antara:
- IDRUS AWALI dan TASMAN. B, sebagai Penggugat; melawan
- PT. KUMALA MINING, selaku Tergugat.
Para Penggugat merupakan karyawan permanen Tergugat yang bergerak dibidang Tambang. Sengketa timbul bermula pada bulan Desember 2013, terbit surat tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap seluruh karyawan PT. Kumala Mining oleh pihak Tergugat.
Para Penggugat pada prinsipnya dapat menerima, namun pada saat pelaksanaan pembayaran pesangon dan hak-hak normatif buruh, ternyata tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga Para Penggugat mengadukan permasalahan ke Suku Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Banggai, sekaligus mengadukan ke Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Propinsi Sulawesi Tengah.
Sementara dalam bantahannya, Tergugat memaknai terbitnya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 07 tahun 2012 tenggal 06 Pebruari 2012 jo. Surat dari menteri Perdagangan RI Nomor 04/M-DAG/ED/12/2013 tertanggal 09 Desember 2013 dapat dikategorikan sebagai sebentuk “force majeure”.
Sebab, menurut Tergugat, mengikuti perkembangan ilmu hukum saat ini, istilah hukum force majeur tidaklah dapat diartikan semata-mata hanya karena perusahaan mengalami bencana alam, kebakaran, huru-hara yang sifatnya fisik material, sehingga pemaknaannya diperluas seperti diterbitkannya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 07 tahun 2012 jo. Surat dari menteri Perdagangan RI Nomor 04/M-DAG/ED/12/2013, seyogianya dipandang pula merupakan bagian dari arti force majeure.
Tergugat mengutip doktrin Rahmat, S.S Soemadipraja dalam bukunya ‘Penjelasan Hukum Tentang Keadaan Memaksa/force majeure’, yang bertuliskan: “Force mejeure berdasarkan penyebab” yaitu suatu keadaan memaksa yang disebabkan oleh karena sesuatu keadaan dimana terjadi perubahan kebijakan pemerintah atau hapus dan atau dikeluarkannya kebijakan yang baru yang mana berdampak pada kagiatan yang sedang berlangsung. Misalnya dengan dikeluarkan/diterbitkannya suatu Peraturan Pemerintah.
Dimana terhadap gugatan sang Pengusaha, Majelis Hakim membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa yang menjadi perselisihan dalam perkara ini ialah tentang tindakan Tergugat yang melakukan pemutusan hubungan kerja kepada Penggugat dengan alasan Force Majeure dan sudah pernah memberikan uang pesangon, namun Penggugat membantah pada saat pelaksanaan pembayaran pesangon dan hak-hak lainnya tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan demikian perselisihan perkara ini termasuk Perselishan Hak dan PHK.
“Menimbang, bahwa setelah menelaah seluruh isi gugutan para Penggugat dan tanggapan Tergugat serta meneliti bukti-bukti yang diajukan kedua belah pihak, maka persoalan yang paling pokok dan fundamental harus dipertimbangkan sesuai dengan petitum para Penggugat adalah:
- Apakah Tergugat berada dalam kondisi Force Majeure?
- Apakah pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh Tergugat kepada Para Penggugat berdasar hukum?
- Apakah para Penggugat berhak atas uang kompensasi dari pemutusan hubungan kerja yang dilakukan Tergugat?
 “Menimbang, bahwa para Penggugat telah mendalilkan di dalam gugatannya bahwa Tergugat telah melakukan PHK terhadap seluruh karyawan PT. Kumala Mining yang mengakibatkan para Penggugat mengalami PHK tanpa diberikan pesangon dan hak-hak lainnya yang seharusnya diterima berdasarkan ketentuan pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
“Menimbang, bahwa Tergugat di dalam jawabannya tidak secara kongkrit membantah telah melakukan PHK, Tergugat tanpaknya hanya berbeda pandangan dengan para Penggugat mengenai Force Majeur sebagai alasan Pemutusan Hubungan Kerja dan Tergugat menyatakan pernah memberikan uang pesangon kepada para Penggugat sesuai Pasal 156 (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, dengan demikian Majelis Hakim akan mempertimbangkan mengenai Force Majeur dan pembayaran kompensasi PHK sebagai berikut.
“Menimbang, bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, Majelis Hakim akan memeriksa meneliti bukti-bukti yang diajukan para pihak yang diajukan di muka persidangan sebagai berikut :
- Bahwa berdasarkan bukti T.1 dan T.2 berupa Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 07 Tahun 2012 dan Nomor 20 Tahun 2013, yang secara yuridis membuktikan adanya larangan kepada pengusaha tambang untuk melakukan ekspor bahan mentah mineral yang mengakibatkan Tergugat sangat kesulitan berproduksi dan melakukan ekspor biji mineral.
- Bahwa berdasarkan pendapat ahli yang diajukan Tergugat Prof Dr. Ir. Abrar Saleng, SH, MH antara lain telah mengemukakan sebagai berikut :
a. Keadaan Force Majeur tidak hanya dapat disebabkan oleh tindakan alam tetapi juga karena adanya regulasi;
b. Dengan keluarnya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 07 Tahun 2012 dan Nomor 20 Tahun 2013 serta Surat Edaran Menteri Perdagangan RI Nomor 04/M.Dag/ED/12/2013, maka perusahaan tambang in casu PT. Kumala Mining berada dalam keadaan Force Majeur yang absolut;
- Bahwa ahli yang diajukan oleh Penggugat adalah Mediator dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Sulawesi Tengah yang pada pokoknya hanya mengemukakan pendapatnya berdasarkan ketentuan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 bahwa PHK yang terjadi adalah karena efisiensi dimana kelihatannya perusahaan tidak tutup, padahal jika mencermati putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-IX/2011 jelas bahwa efisiensi tanpa penutupan perusahaan tidak dapat dijadikan alasan melakukan PHK.
- Bahwa setelah terbitnya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 07 Tahun 2012, Nomor 20 Tahun 2013 dan Surat Edaran Menteri Perdagangan RI Nomor 04/M-DAG/ED/12/2013 ternyata membuat beban Tergugat semakin berat dan terdesak untuk melakukan PHK;
“Menimbang, bahwa berdasarkan uraian diatas, Majelis Hakim berkesimpulan bahwa akibat mengalami perubahan keadaan pada pekerjaan yang dilakukan, sedemikian rupa sifatnya sehingga layak dalam waktu pendek Tergugat melakukan PHK terhadap karyawannya sebagaimana maksud oleh pasal 1603v Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
“Menimbang, bahwa dengan demikian Majelis Hakim berpendapat bahwa adalah berdasar hukum Tergugat melakukan PHK terhadap para Penggugat dengan alasan mengalami Force Majeur;
“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta di depan persidangan, dalam hal ini Pemutusan Hubungan Kerja prakarsanya berasal dari Tergugat karena Tergugat dalam kondisi sulit melakukan kegiatan ekspor bahan setengah jadi sebagai akibat dikeluarkannya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 07 Tahun 2012 dan Surat Edaran Menteri Perdagangan RI Nomor 04/M-DAG/ED/12/2013.
“Menimbang, bahwa Penggugat dalam gugatannya angka 9 telah mengakui dapat menerima PHK, dengan demikian berdasarkan asas pembuktian hukum acara perdata pengakuan tersebut adalah merupakan bukti yang sempurna, maka Majelis Hakim akan mempertimbangkan mengenai kompensasi atas Pemutusan Hubungana Kerja tersebut;
“Menimbang, bahwa sesuai ketentuan pasal 156 (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 mengamanatkan bahwa:
“Dalam hal terjadi Pemutusan Hubungan Kerja, Pengusaha diwajibkan nmembayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima”
“Menimbang, bahwa dikarenakan prakarsa PHK berasal dari Tergugat dan berdasarkan ketentuan pasal 156 ayat (1) dIatas serta atas pertimbangan keadilan, maka meskipun Tergugat dalam keadaan Force Majeure sewaktu melakukan PHK maka sepatutnya Tergugat masih tetap diwajibkan untuk membayar uang kompensasi atas Pemutusan Hubungan Kerja tersebut;
“Menimbang, bahwa untuk menentukan besarnya uang kompensasi yang harus diterima oleh para Penggugat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku maka Majelis Hakim akan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
- Bahwa ketentuan mengenai Pengusaha yang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan Force Majeure diatur dalam Pasal 164 (1) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003;
- Bahwa berdasarkan bukti T.5, T.6 dan T.7 secara Yuridis membuktikan:
a. Penggugat I telah menerima pembayaran pesangon sebesar Rp. 1.000.000,-
b. Penggugat II telah menerima pesangon dalam 2 (dua) kali pembayaran, yaitu sebesar Rp. 1.500.000,- dan Rp. 1.500.000,- sehingga berjumlah Rp. 3.000.000,-
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas Majelis Hakim berpendirian bahwa uang kompensasi yang harus diterima oleh para Penggugat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 164 (1) yaitu memperoleh uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan pasal 156 (2) dan uang penggantian hak sebesar 15% dari pesangon setelah dikurangkan dengan uang pesangon yang sudah diterima;
“Menimbang, bahwa untuk petitum para Penggugat yang memohon pembayaran uang cuti, uang efisiensi dan tunjangan hari raya tidak dapat dikabulkan karena para Penggugat di depan persidangan tidak mampu membuktikan tuntutannya tersebut;
“Menimbang, bahwa mengingat PHK dilakukan dengan alasan Force Majeure dan pada dasarnya para Penggugat dapat menerima PHK yang dilakukan Tergugat pada akhir bulan Desember 2013, oleh karenanya tuntutan uang proses dalam gugatan para Penggugat tanggal 18 Agustus 2014 tidak dapat dipertimbangkan dan harus dinyatakan ditolak;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang telah terurai di atas, maka Majelis Hakim akan menetapkan kewajiban Tergugat untuk membayar uang kompensasi kepada para Penggugat dan hak lainnya sebagai akibat dari Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan Tergugat kepada Para Penggugat sebagai berikut:
- Penggugat I: Uang pesangon masa kerja 1 (satu) tahun dengan upah Rp. 3.420.000,- perbulan terdiri atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) dan uang penggantian 15% dari pesangon dikurangi uang pesangon yang sudah diterima sebesar Rp. 1.000.000,- yang rinciannya sebagai berikut:
- Uang Pesangon Rp. 3.420.000,- x 1 = Rp. 3.420.000,-
- Uang penggantian hak 15% x Rp. 3.420.000,- = Rp. 513.000,- +
Sub Total = Rp. 3.933.000,-
- Uang pesangon yang sudah diterima = Rp. 1.000.000,- -
Total = Rp. 2.933.000,-
- Penggugat II: Uang pesangon masa kerja 1 (satu) tahun 8 (delapan) bulan dengan upah Rp. 6.030.000,- perbulan terdiri atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) dan uang penggantian 15% dari pesangon dikurangi uang pesangon yang sudah diterima sebesar Rp. 3.000.000,- yang rinciannya sebagai berikut:
- Uang Pesangon = Rp. 6.030.000,- x 2 = Rp.12.060.000,-
- Uang penggantian hak 15% x Rp. 12.060.000,- = Rp. 1.809.000,- +
Total = Rp.13.869.000,-
- Uang pesangon yang sudah diterima = Rp. 3.000.000,-
Total = Rp.10.869.000,-
“Menimbang, bahwa dengan demikian Majelis Hakim berkesimpulan bahwa gugatan para Penggugat dikabulkan untuk sebagian;
M E N G A D I L I :
1. Mengabulkan Gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat putus sejak terbitnya surat Pemutusan Hubungan Kerja dari Tergugat;
3. Menghukum Tergugat untuk membayar uang kompensasi sebagai akibat Pemutusan Hubungan Kerja kepada para Penggugat dengan rincian sebagai berikut:
- Penggugat I
- Uang Pesangon Rp. 3.420.000,- x 1 = Rp. 3.420.000,-
- Uang penggantian hak 15% x Rp. 3.420.000,- = Rp. 513.000,-
Sub Total = Rp. 3.933.000,-
- Uang pesangon yang sudah diterima = Rp. 1.000.000,-
Total = Rp. 2.933.000,- (Dua juta sembilan ratus tiga puluh tiga ribu rupiah)
- Penggugat II
- Uang Pesangon = Rp. 6.030.000,- x 2 = Rp.12.060.000,-
- Uang penggantian hak 15% x Rp. 12.060.000,- = Rp. 1.809.000,-
Sub Total = Rp.13.869.000,-
- Uang pesangon yang sudah diterima = Rp. 3.000.000,-
Total = Rp.10.869.000,- (Sepuluh juta delapan ratus enam puluh sembilan ribu rupiah)
4. Menolak gugatan para Penggugat selebihnya.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.