Daya Destruktif Terminologi UANG NEGARA

ARTIKEL HUKUM
Para pembaca tampaknya akan keliru, bila berasumsi bahwa petugas satpam Kantor Pertanahan dan kantor-kantor pemerintahan lainnya adalah petugas satpam yang paling galak. Betul bahwa petugas yang paling arogan ialah petugas kepolian di berbagai kantor kepolisian. Namun, dari pengalaman pribadi penulis, tampaknya petugas satpam di Pengadilan Negeri masih kalah galak jika dibandingkan dengan petugas satpam di Kejaksanaan Negeri.
Ketika penulis hendak mengambil STNK pasca terkena tilang, yang kini tidak lagi di pengadilan karena seketika para wajib pajak diarahkan untuk menebus SIM dan STNK tilangan di Kantor Kejaksaan (dengan denda maksimum sehingga warga negara tidak lagi dapat melakukan protes besaran tilang kepada hakim), maka penulis mendatangi kantor kejaksaan.
Baru tiba di depan gerbang kejaksaan, dengan ratusan orang hilir-mudir (para warga terkena tilang lainnya) keluar-masuk Kantor Kejaksaan Kota Tangerang, penulis sekika itu juga dimarahi oleh dua orang satpam. “Kamu kenapa ngak lapor dulu, main asal nyelonong!
Perasaan tidak ada tulisan: TAMU HARAP LAPOR. Dan semua tamu juga hilir-mudik tanpa lapor-laporan segala.
“Mau ambil STNK tilangan,” jawab penulis.
“Kamu lapor dulu dong, hormati kami, jangan main asal nyelonong.”
Ayolah... , hormati Anda?
Sebenarnya, kantor kejaksaan tersebut adalah rumah mereka, sehingga mereka merasa sebagai “tuan rumah”, ataukah sejatinya rakyat pembayar pajak sebagai tuan rumah?
Tidak mau berdebat, penulis turuti saja apa kemauan ego dan gengsi sang satpam. Buat apa juga, berdebat dengan seorang satpam? Biarkan saja mereka berkhayal bahwa diri mereka adalah seorang pembesar yang patut dihormati.
Di dalam benak penulis, para pejabat negara, hingga karyawan dan petugas satpam di berbagai kantor pemerintahan, tidak terkecuali para polisi yang selama ini bersikap (amat sangat teramat) arogan terhadap warga negara, semestinya menyadari: mereka digaji pakai uang siapa? Pakai “uang negara” atau oleh “uang rakyat”?
Itulah masalahnya, kamus dan thesaurus Bahasa Indonesia, bahkan masih diperparah oleh terminologi hukum, memperparah salah kaprah yang menjadi bibit arogansi aparatur negara ini, sejak dikenalnya istilah: “UANG NEGARA”. Seakan, uang untuk menggaji para Aparatur Sipil Negara, dana operasional dan belanja pegawai adalah bersumber dari negara, bukan bersumber dari uang pajak para wajib pajak.
Karena merasa yang menggaji dan memberi upah kerja pada mereka adalah negara, atau atasan mereka, atau kantor mereka, atau sebutan apapun itu, bukan digaji oleh rakyat, maka dari itu mereka bersikap arogan terhadap rakyat. Tidak mengherankan, itulah salah satu contoh dampak krusial peran semantik dalam pembentukan karakter dan watak suatu bangsa.
Jika kita beralih dari tataran wacana menjadi diskusi pada tataran falsafah, sejatinya seluruh Aparatur Sipil Negara (ASN), PNS, polisi, jaksa, hakim, lurah, camat, dinas, suku dinas, kepala kantor, dan segala sebutan lainnya, digaji oleh rakyat.
Tanpa sumbangsih rakyat membayar “upeti” yang dibalut dengan nama “pajak”, maka tiada negara—kurang tepat bila kita menyatakan konsep negara terdiri dari: teritori, pemerintahan, dan rakyat. Tanpa ada kontribusi rakyat berupa “upeti” ini, maka tiada roda pemerintahan.
Karena sejatinya yang membiayai operasional kantor, yang memberi gaji karyawan ASN, polisi, jaksa, hakim, camat, lurah, bahkan hingga petugas kebersihan petugas satpam tanpa terkecuali, tidak lain tidak bukan adalah rakyat, maka adalah DURHAKA bersikap tidak sopan dan tidak hormat terhadap rakyat.
Adalah salah tempat dan salah kaprah, bila rakyat yang harus menghormat pada presiden, karena tanpa rakyat yang memilih, maka tiada presiden. Presiden adalah hamba rakyat. Adalah juga keliru bila rakyat yang harus menundukkan kepala dan takut-takut terhadap polisi, pejabat, apalagi sekadar petugas satpam suatu kantor pemerintahan.
Yang semestinya memberi hormat dengan dada tegap dan sikap penuh hormat, bukanlah penulis ataupun Anda selaku pembayar pajak, tapi adalah sang satpam yang menyebut penulis sebagai tidak berlaku hormat terhadap mereka.
Sayangnya, konsep negara di Tanah Air tidaklah sempurna, karena garis komando dari rakyat terputus dan diambil-alih secara monopolistik oleh mereka yang menjabat sebagai Kepala Kantor Pemerintahan. Rakyat tidak lagi berhak memecat pejabat, polisi, jaksa, hakim, ASN, ataupun petugas satpam yang tidak hormat terhadap rakyat—meski sejatinya rakyat yang telah meng-gaji mereka, dan seburuk apapun mereka telah berkelakuan.
Sungguh, kita sudah harus menghapus terminologi klausa “uang negara” dari kamus Bahasa Indonesia. Istilah “uang negara” telah membuat pergeseran kekuasaan rakyat menjadi bergeser kepada kekuasaan mutlak dan tunggal dari para pejabat negara yang memimpin pemerintahan, sehingga kekuasaan rakyat ini terhisap melebur ke dalam kekuasaan monopolistik pejabat negara.
Seluruh peristilahan dan terminologi hukum maupun bahasa umum, harus mengganti klausa “Uang Negara” menjadi “Uang Rakyat”, inilah urgensi yang hendak penulis komunikasikan dalam artikel sederhana ini. Dengan demikian, para polisi, para pejabat, para ASN, hingga camat, lurah, gubernur, dan bahkan sang petugas satpam, akan menyadari bahwa “Bos Besar” (the big boss) mereka bukanlah kepala kantor, bukan juga Jaksa Agung, bukan juga presiden, bukan Kapolri, bukan juga Menteri, tapi RAKYAT !!!
Ditengarai, terminologi “Uang Negara” sengaja disusupkan untuk menggeser people power kepada “eksekutive and legislatif power”, dalam arti, pergeseran ini terancang secara sistematis. Kekuatan semantik sebuah kata, memiliki keajaiban dalam hal “semantic as a tool of social engineering”, dimana rakyat menjadi lupa, atau tidak sadar, bahwa sebenarnya rakyatlah yang telah meng-upah para ASN, bahwa sejatinya rakyatlah “Bos Besar” para ASN.
Dengan mulai diperkenalkannya istilah “Uang Negara” yang disusupkan kedalam berbagai peraturan perundang-undangan, para ASN, polisi, pejabat, dan berbagai peran lain yang sejatinya dibiayai dengan “Uang Rakyat”, mulai berpikir bahwa mereka bukanlah “hamba” dari rakyat, tapi hamba dari Kepala Kantor, menteri, bahkan dalam praktik sosial di Indonesia, kaum profesi kepolisian selalu memandang warga masyarakat setara kedudukannya dengan “budak” hanya karena anggota satuan kepolisian disahkan oleh hukum untuk menggenggam senjata api dan untuk memenjara rakyat.
Toh, digaji oleh Uang Negara, bos gue Negara, bukan rakyat. Peduli amat dengan rakyat-rakyat bodoh yang lemah tidak bisa apa-apa ketika dimasukkan ke penjara, dan tidak punya senjata itu. Jangan katakan alam pikir demikian adalah tidak terjadi, itulah kesan mendalam yang selalu penulis jumpai ketika berhubungan dengan pihak kepolisian.
Tidak percaya? Silahkan berkunjung ke Kantor Kepolisian. Baik Kantor Polsek, Polres, Polda Metro Jaya, hingga Mabes Polri, itulah kesan yang tampil secara vulgar dan tertangkap panca indera secara jelas. Berbanding terbalik dengan institusi dan kesatuan TNI, satuan kepolisian merasa dirinya seperti raja yang berhak merendahkan martabat rakyat jelata. Anggota kesatuan TNI justru selalu bersikap hormat terhadap rakyat sipil !!!
Itulah perasaan penulis, sehingga tiada satupun yang berhak menggurui apa yang penulis rasakan dan alami langsung dalam pengalaman nyata. Semua itu adalah hasil daya tangkap telinga, mata, dan perasaan penulis sendiri, sehingga tiada yang berhak untuk mengatakan pada penulis atas apa yang telah penulis lihat dan alami sendiri secara langsung.
Tanpa bermaksud berpanjang lebar, setelah menebus STNK yang sebelumnya terkena tilang, penulis berjalan keluar dari dalam komplek Kejaksaan Negeri Kota Tangerang. Setibanya kembali di gerbang masuk Kantor Kejaksaan, penulis sengaja mendekati dan menjumpai kembali sang petugas satpam yang saat semula tiba telah menyatakan bahwa penulis tidak bersikap hormat terhadap mereka.
Dengan nada tanpa menyindir sedikitpun, penulis memberi kalimat seruan sebagai berikut: “Ini saya mau keluar, masih perlu pake lapor-lapor lagi, ngak?”
Anda sungguh satpam bodoh, bila masih harus berkhayal bahwa rakyat jelata adalah “hamba” diri Anda. Terhadap Kepala Kantor Anda sekalipun, rakyat bukanlah “budak” ataupun kaum kelas dua. Semua gedung yang dibangun oleh “Uang Rakyat”, itu adalah rumah rakyat, dimana rakyat yang menjadi tuan rumahnya, dan bebas keluar masuk tanpa harus menundukkan kepala dan memberi salam hormat kepada pejabat disana, ataupun kepada sang petugas satpam yang “lapar” untuk dihormati.
Hanya karena sebuah peristilahan / terminologi “Uang Negara”, sungguh jauh pergeseran budaya dan sosial kemanusiaan ini, menjadi rakyat yang kini tunduk sepenuhnya tanpa dapat melakukan perlawanan apapun terhadap mereka yang sejatinya diberi makan dengan “Uang Rakyat”.
Ironis, bagai memberi makan singa dan macam yang sewaktu-waktu akan menerkam kita sendiri yang selama ini telah memberi makan “anak-anak durhaka” tersebut.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.