Aspek Hukum EKSEKUSI DELEGASI

LEGAL OPINION
Question: Kok bisa, antara pengadilan yang dulu menyidangkan perkara gugatan dengan pengadilan yang kemudian melakukan sita eksekusi, pengadilannya berbeda satu sama lain? Ada juru sita yang mau menyita aset tanah, tapi ternyata dari pengadilan yang bukan memutus gugatan.
Brief Answer: Aturan norma hukum sebagaimana Pasal 118 HIR maupun dari berbagai yurisprudensi yang ada, memang dimungkinkan antara Pengadilan Negeri yang memeriksa dan memutus sengketa gugatan (perdata), berlainan dengan yurisdiksi Pengadilan Negeri yang akan mengeksekusi amar putusan terkait harta benda pihak terhukum yang kalah dalam gugatan.
Semisal objek sengketa berada di Kota Bandung dan Semarang, sementara Tergugat berdomisi (domisili dan alamat KTP adalah dua hal yang berbeda. Domisili artinya ialah alamat tempat bermukim secara de facto) ialah di Kota Jakarta, maka dari berbagai yurisprudensi yang ada, gugatan terhadap Tergugat dapat diajukan ke hadapan Pengadilan Negeri Jakarta atau pada Pengadilan Negeri tempat objek sengketa berada—secara fakultatif.
Secara teknis, bila objek sengketa tersebar di berbagai kota dan daerah, pilihan terbaik ialah mengajukan gugatan ke hadapan pengadilan yang menjadi yurisdiksi domisili pihak Tergugat. Mengenai eksekusi amar putusan, pengadilan yang memutus perkara dapat meminta bantuan “delegasi eksekusi” kepada Pengadilan Negeri setempat masing-masing objek sengketa terletak, untuk dilakukan sita jaminan maupun sita eksekusi, dan pelaksanaan eksekusi pengosongan ataupun lelang eksekusi oleh juru sita Pengadilan Negeri setempat.
PEMBAHASAN:
Kendala timbul, ketika kewenangan pengadilan yang memutus perkara dan yang melakukan eksekusi adalah dua pengadilan yang saling berlainan. Untuk itulah kemudian Mahkamah Agung RI menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2010 tentang Permintaan Bantuan Eksekusi, tanggal 04 Februari 2010, yang disampaikan kepada seluruh Ketua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama di Indonesia, dengan substansi sebagai berikut:
“Untuk adanya sinkronisasi antara hasil Rakernas tahun 2009 di Palembang dengan Pedoman yang dirumuskan dalam Buku II Edisi 2007 terbitan 2009 tentang permintaan bantuan eksekusi putusan perkara perdata yang lazim disebut eksekusi delegasi sebagaimana diatur dalam Pasal 195 ayat (2) s/d ayat (7) HIR atau Pasal 206 ayat (2) s/d ayat (7) RBg, Mahkamah Agung memandang perlu memberikan petunjuk-petunjuk sebagai berikut:
1. Dalam hal eksekusi suatu putusan Pengadilan Negeri yang semula menangani perkaranya dimintakan bantuan kepada Pengadilan Negeri lain diluar wilayah hukumnya dimana obyek sengketa terletak, maka permintaan tersebut dituangkan dalam suatu Penetapan oleh Ketua Pengadilan Negeri yang meminta bantuan dan selanjutnya oleh Ketua Pengadilan Negeri yang diminta bantuan dengan suatu Penetapan yang berisi perintah kepada Panitera atau Jurusita agar eksekusi tersebut dijalankan atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri yang diminta bantuannya tersebut.
2. Dalam hal eksekusi tersebut pada angka 1 diatas, diajukan perlawanan baik dari Pelawan Tersita dari pihak ketiga, maka perlawanan tersebut diajukan dan diperiksa serta diputus oleh Pengadilan Negeri yang diminta bantuannya sebagaimana diatur dalam Pasal 195 ayat (6) HIR atau Pasal 206 ayat (6) RBg.
3. Dalam hal Pelawan dalam perlawanannya meminta agar eksekusi tersebut pada angka 2 diatas ditangguhkan, maka yang berwenang menangguhkan atau tidak menangguhkan eksekusi itu adalah Ketua Pengadilan Negeri yang diminta bantuannya, sebagai Pejabat yang memimpin  eksekusi, dengan ketentuan bahwa dalam jangka waktu 2 x 24 jam melaporkan secara tertulis kepada Ketua Pengadilan Negeri yang meminta bantuan tentang segala upaya yang telah dijalankan olehnya termasuk adanya penangguhan eksekusi tersebut (Pasal 195 ayat (5) dan ayat (7) HIR atau Pasal 206 ayat (5) dan ayat (7) RBg.)
4. Bahwa yang dimaksud dengan ‘Eksekusi dapat ditangguhkan oleh Ketua Pengadilan Negeri yang memimpin eksekusi’ pada halaman 102 dan 103 angka 8 dan 1, Buku II edisi 2007 terbitan 2009, adalah Ketua Pengadilan Negeri yang diminta bantuannya. Pasal 195 ayat (3) dan ayat (4) HIR dan Pasal 206 ayat (4) dan ayat (6) RBg menunjukkan bahwa Ketua Pengadilan Negeri yang diminta bantuan bertindak memimpin eksekusi dan melakukan segala sesuatu yang berhubungan dengan eksekusi tersebut. Ketua Pengadilan Negeri yang meminta bantuan cukup mendapat ‘Laporan’ tentang jalannya eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri yang dimintakan bantuan.
5. Bahwa Eksekusi putusan sebagaimana tersebut pada angka 1 s/d 4 diatas, mutatis mutandis berlaku pula terhadap Pengadilan dalam lingkungan peradilan agama kecuali telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 jo. Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.
“Demikian untuk diperhatikan.
KETUA MAHKAMAH AGUNG RI

Dr. H. HARIFIN A TUMPA, SH., MH.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.