Asas “Terang” Hukum Agraria Nasional, Dimaknai sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

LEGAL OPINION
Question: Ada tawaran penjualan tanah yang harganya murah, karena si penjual sedang kesulitan melunasi kredit perbankan, dimana tanah itu menjadi agunan kredit. Bila saya hendak membeli tanah itu, sehingga uang jual-beli akan dipakai oleh si penjual untuk melunasi hutangnya ke bank, artinya saat itu juga saya selaku pembeli menjadi pihak pemilik sah atas tanah yang bersih dari segala beban agunan, bukan?
Brief Answer: Sebaiknya dilakukan pengecekan sertifikat ke Kantor Pertanahan, dimana pihak kreditor pemegang Hak Tanggungan perlu dilibatkan, untuk meminjam asli sertifikat hak atas tanah guna keperluan pengecekan Buku Tanah, apakah hak atas tanah bersangkutan hanya dibebani Hak Tanggungan ataukah terdapat sengketa serta pembebanan sita lain diatasnya.
Betul bahwa ketika piutang kreditor pemegang Hak Tanggungan telah dilunasi, maka Hak Tanggungan dapat diajukan roya berdasarkan surat keterangan pelunasan oleh kreditor sehingga hak atas tanah akan bersih dari beban Hak Tanggungan.
Namun sengketa tanah kerapkali tersangkut-paut sengketa dengan pihak ketiga, yang bisa jadi terdapat sita-sita lain diatas hak atas tanah selain Hak Tanggungan yang dapat memperkeruh keadaan, terutama bila Kantor Pertanahan tidak taat asas hukum pertanahan, dengan tetap meletakkan sita jaminan diatas tanah yang telah dibebani Hak Tanggungan, blokir yang melampaui tempo 30 hari, ataupun Sita Persamaan yang terus melekat meski Hak Tanggungan telah di-roya.
Setidaknya, lakukan proses jual-beli di hadapan seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), oleh sebab asas “terang dan tunai” dalam hukum adat yang diadopsi Hukum Agraria Nasional, telah di-saneer sehingga hanya dapat dimaknai sebagai jual-beli (peralihan) hak atas tanah di hadapan seorang PPAT—oleh sebab, tidak semua camat merangkap jabatan sebagai seorang PPAT.
PEMBAHASAN:
Permasalahan paling utama dalam sengketa pertanahan, dalam pengalaman SHIETRA & PARTNERS, ialah tidak taat asasnya berbagai Kantor Pertanahan terhadap asas-asas hukum agraria nasional, diperkeruh oleh sikap para hakim di pengadilan yang kerap kali tidak memiliki pemahaman yang baik akan tertib asas hukum agraria, sebagaimana tertuang dalam putusan Mahkamah Agung RI sengketa pertanahan register Nomor 3218 K/Pdt/2015 tanggal 24 Februari 2016, perkara antara:
- SUGIANTO, sebagai Pemohon Kasasi, semula selaku Penggugat; melawan
1. SAMIDI; 2. ERNI LUGIARTI; 3. SUGIARSO H., selaku Para Termohon Kasasi dahulu Para Tergugat.
Tergugat I dan II adalah pemilik asal atas tanah Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 125, yang telah dibuat jaminan/dianggungkan pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. sebagaimana Sertifikat Hak Tanggungan Nomor 795/2010 dengan jaminan hutang sebesar Rp104.600.000,00.
Untuk pembayaran angsuran Tergugat atas tanggungan hutangnya pada PT. Bank Rakyat Indonesia, pada tanggal 2 Juni 2012 Penggugat dengan Tergugat I telah terjadi kesepakatan jual-beli tanah tersebut yang juga menjadi objek Hak Tanggugan pada PT. BRI, dimana Penggugat membeli dari Tergugat I dan Tergugat II.
Sebagai kelanjutannya, tanggal 26 September 2012 dilakukan pelunasan oleh Penggugat di hadapan Kepala Desa Mulyorejo, selanjutnya dilakukan penyerahan objek jual beli dari Samidi (Tergugat I) dan Erni Lugiarti (Tergugat II) kepada Penggugat. Kini Penggugat telah menguasai, dan menempati objek tanah.
Sesaat setelah menerima uang pelunasan dari Penggugat, kemudian Tergugat I dan Tergugat II membayar lunas hutangnya di PT. BRI (Persero), bersama dengan Penggugat, kemudian SHM No. 125 diambil oleh Tergugat I dan II dari PT. BRI dan diserahkan kepada Penggugat.
Guna balik-nama hak atas tanah SHM No. 125 yang dibelinya, pada tanggal 30 Juli 2013 Tergugat I dan II bersama Penggugat mengajukan Roya pada Kantor Pertanahan Tuban, akan tetapi permohonan tersebut ditolak sebab adanya pemblokiran yang diajukan oleh Tergugat III—Note SHIETRA & PARTNERS: Atas objek tanah yang masih dibebani Hak Tanggungan, secara taat asas, tidak dapat dilekatkan blokir terlebih sita jaminan pengadilan.
Untuk mempertegas lagi permohonan roya pada SHM No. 125 atas Hak Tanggungan yang melekat pada SHM, pada tanggal 21 Agustus 2013 Tergugat I dengan didampingi Penggugat mengajukan permohonan roya atas Hak Tanggungan pada Kantor Pertanahan Tuban, akan tetapi kembali ditolak dengan alasan yang sama, yaitu andanya pemblokiran yang diajukan oleh Tergugat III.
Merasa penasaran, Penggugat berusaha mencari tahu, siapa yang mengajukan blokir. Pada akhirnya Penggugat mendapatkan keterangan bahwa blokir diajukan oleh Tergugat III terkait dengan adanya sengketa dalam Putusan Pengadilan Negeri Tuban Perkara No. 01/Pdt.G/2013/PN.Tbn. tanggal 18 April 2013 dan Putusan Pengadilan Negeri Tuban Perkara Nomor 32/Pdt.G/2013/PN.Tbn. tanggal 19 Agustus 2013 yang mana dalam putusan tersebut menjadikan tanah pekarangan dan bangunan milik Penggugat dijadikan sebagai objek jaminan atas hutang-Tergugat I dan II pada Tergugat III.
Setelah mengetahui kejadian tersebut, Penggugat menjumpai Tergugat I dan menanyakan kejadian atas adanya putusan Pengadilan Negeri Tuban tersebut, dan jawaban Tergugat I dan Tergugat II kepada Penggugat bahwa perjanjian hutang-piutang yang dibuat oleh Tergugat I dan II dengan Tergugat III adalah paksaan dari Tergugat III.
Terhadap gugatan Penggugat, Tergugat III mengajukan gugatan balik (rekonpensi), mendalilkan dirinya sebagai yang paling berhak objek tanah berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Tuban Nomor 01/Pdt.G/2013 tanggal 18 April 2013 juncto Nomor 32/Pdt.Plw/2013/PN Tbn., tanggal 12 Desember 2013.
Tergugat III memiliki asumsi, “jangan-jangan” Penggugat dan Tergugat I serta Tergugat II dengan berbagai cara serta pengaruh akan memindah-tangankan, mengalihkan status hukum SHM No. 125. Karenanya Tergugat III mohon agar diletakan Sita Jaminan (CB).
Terhadap gugatan Penggugat maupun rekonpensi Tergugat III, Pengadilan Negeri Tuban kemudian menjatuhkan Putusan Nomor 14/Pdt.G/2014/PN.Tbn. tanggal 4 November 2014 dengan amar sebagai berikut:
“Menimbang bahwa berdasarkan bukti surat dan keterangan saksi tersebut di atas Majelis Hakim berpendapat bahwa oleh karena sebelumnya berdasarkan surat perjanjian tertanggal 3 Juli 2012 telah diperjanjikan antara Tergugat I dan Tergugat II dengan Tergugat III bahwa apabila sampai dengan batas waktu tanggal 1 Januari 2013 Tergugat I dan Tergugat II tidak sanggup membayar hutangnya sebesar Rp110.000.000,00 (seratus sepuluh juta rupiah) kepada Tergugat III maka berlaku jual-beli atas tanah dan bangunan yang dijadikan jaminan hutang Tergugat I dan Tergugat II kepada Tergugat III. [Note SHIETRA & PARTNERS: Inilah salah satu contoh sederhana keruhnya sengketa hukum di Indonesia, dimana hakim di pengadilan tidak memiliki pemahaman secara komprehensif atas Hukum Agraria Nasional, yang telah secara tegas melarang praktik ‘milik beding’.]
MENGADILI :
Dalam Konvensi:
Dalam Pokok Perkara:
- Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
Dalam Rekonvensi:
- Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
- Menyatakan Tergugat Rekonvensi dan Turut Tergugat I Rekonvensi serta Turut Tergugat II Rekonvensi telah melakukan perbuatan melawan hukum membuat kesepakatan Jual-Beli tanah dan bangunan yang bukan haknya;
- Menyatakan Penggugat Rekonvensi adalah Pemilik sah atas Sertifikat Hak Milik Nomor 125 atas tanah pekarangan berikut bangunan rumah yang berdiri di atasnya atas nama Samidi (Turut Tergugat I Rekonvensi) dan Erni Lugiarti (Turut Tergugat II Rekonvensi) terletak di Dusun Pandean Rt. 02/Rw. 01, Desa Mulyorejo, Kecamatan Singgahan, Kabupaten Tuban, berdasarkan Putusan Nomor 01/Pdt.G/2013/PN Tbn. tanggal 18 April 2013 juncto Putusan 32/Pdt.Plw/2013/PN Tbn. tanggal 12 Desember 2013;
- Menghukum Turut Tergugat I Rekonvensi dan Turut Tergugat II Rekonvensi untuk tunduk dan patuh pada Putusan Nomor 01/Pdt.G/2013/PN Tbn. tanggal 18 April 2013 juncto Putusan 32/Pdt.Plw/2013/PN Tbn. tanggal 12 Desember 2013;
- Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
Dalam tingkat banding atas permohonan Penggugat putusan Pengadilan Negeri tersebut, kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Surabaya dengan Putusan Nomor 50/PDT/2015/PT SBY. tanggal 15 April 2015.
Sang pembeli tanah mengajukan upaya hukum kasasi, dengan argumentasi kwitansi uang muka atas pembayaran jual-beli objek sengketa yang dibuat tanggal 2 Juni 2012 yang kemudian ditindaklanjuti dengan bukti berupa pelunasan jual-beli yang dilakukan di hadapan Kepala Desa Mulyorejo, sehingga objek jual-beli diserahkan oleh Penjual (Tergugat I dan II) kepada Penggugat sebagai pembeli—meski, Penggugat tidak menyadari bahwa tidak semua camat ataupun kepala daerah merangkap pula sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) guna memenuhi asas “terang” dalam konsepsi Hukum Agraria Nasional.
Rangkaian peristiwa jual beli tanah objek tanah lebih jelas dan terang yang dilakukan oleh Penggugat daripada yang dilakukan oleh Tergugat III, sebab klaim Tergugat III bukan didasari jual-beli murni, terlebih terbit dari hubungan hutang-piutang (milik beding), melainkan “perjanjian bersyarat tangguh” yang digantungkan hingga pada tanggal 1 Januari 2013. Oleh karena itu Penggugatlah sebagai pembeli awal atas tanah objek sengketa bukanlah Tergugat III.
Dimana terhadap argumentasi keberatan Penggugat, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan yang tidak mengoreksi kekeliruan nyata putusan judex factie—bukan karena tidak mengabulkan gugatan Penggugat, tetapi karena justru mengabulkan dan membenarkan praktik “milik beding” Tergugat III—sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah membaca secara seksama memori kasasi tanggal 14 Juli 2015 dan kontra memori kasasi tanggal 10 Agustus 2015 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti (Pengadilan Tinggi yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Tuban) tidak salah menerapkan hukum, dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa dengan kwitansi saja menurut hukum pertanahan belum mengalihkan hak atas tanah yang sudah ber-Sertifikat Hak Milik, sekalipun telah dibayar lunas, karena harus dilakukan pengalihan hak di hadapan/oleh PPAT, terlebih lagi objek jual-beli tersebut sedang menjadi agunan/jaminan utang pada pihak lain (Tergugat III), sehingga pengalihan hak atas tanah tidak sah;—[Note SHIETRA & PARTNERS: Masalahnya, Mahkamah Agung tidak menganulir gugatan rekonpensi Tergugat III yang turut dikabulkan Pengadilan Negeri, sehingga secara tidak langsung Mahkamah Agung justru membenarkan praktik ‘milik beding’.]
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi SUGIANTO tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.