Ambivalensi Kuasa Mutlak dan Perjanjian Bersyarat Tangguh

LEGAL OPINION
QUIRERE NOMINA, QUIA RERUM COGNITIO A NOMINIBUS RERUM DEPENDET.
In order rightly to comprehend a thing, inquire first into the names, for a right knowledge of things depends upon their names.
Question: Di dalam akad kredit, sering kita lihat ada pasal-pasal aneh yang selalu memberi kuasa mutlak pada pihak kreditor. Apa pasal-pasal baku itu masih bisa digugat dikemudian hari ketika kita sudah jadi debitor?
Brief Answer: Sebenarnya berbagai klausula yang tercantum dalam akta hutang-piutang lembaga keuangan, bukanlah “pemberian kuasa”, suatu salah kaprah di tengah masyarakat bahkan diantara kalangan profesi notaris yang membuat draf baku akta kredit.
Pada prinsipnya debitor selalu memiliki kewenangan prerogatif untuk memutus hubungan hukum hutang-piutang ini, dengan cara seketika melunasi tunggakan dan segala hutangnya. Ketika debitor telah melunasi, tiada lagi hak bagi kreditor untuk mengeksekusi agunan.
Oleh karenanya, hubungan hukum yang ada antara debitor dan kreditornya, ialah “perikatan bersyarat tangguh”—dalam arti eksekusinya ditangguhkan sampai suatu syarat keadaan terjadi, semisal macetnya pelunasan piutang ataupun wanprestasinya pihak debitor.
Mengingat sifat karakternya sebagai “perikatan bersyarat tangguh”, maka bila kreditor tetap mengeksekusi agunan sementara debitor tidak ingkar janji serta juga tidak berstatus kredit macet, maka sang kreditor dapat digugat telah melakukan “Perbuatan Melawan Hukum”—bukan wanprestasi.
PEMBAHASAN:
Ilustrasi konkret berikut SHIETRA & PARTNERS jadikan sebagai cerminan, sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI sengketa perbankan register Nomor 2519 K/Pdt/2013 tanggal 20 Februari 2014, perkara antara:
- CHARLES FOEK, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Penggugat; melawan
- PT. BANK RAKYAT INDONESIA (Persero) Pusat cq. PT.Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Kantor Cabang Ende, selaku Termohon Kasasi dahulu Tergugat.
Penggugat merupakan debitor dari Tergugat, yang menjadi keberatan ketika agunan sang debitor hendak dilelang eksekusi oleh sang kreditor ialah, klausula baku-klausula baku dalam perjanjian kredit yang dinilai memberatkan sang debitor, antara lain:
- Pasal 9: “PT. Bank Rakyat Indonesia (Pesero) Tbk., pada waktu melakukan haknya yang timbul dari persetujuan ini diberi hak dan kuasa untuk menetapkan sendiri besar piutangnya kepada Pihak Kedua, selanjutnya melakukan penjualan menurut hukum atas semua barang-barang yang dijaminkan, dan dari hasil bersih dari penjualan itu memperhitungkan dengan piutangnya kepada Pihak Kedua sehingga lunas dengan ketentuan, apabila kemudian temyata hutang Pihak Kedua kurang dari jumlah yang ditetapkan dan diperhitungkan tersebut, maka PT. Bank Rakyat Indonesia (pesero) Tbk., diwajibkan dengan segera membayar kembali kepada Pihak Kedua jumlah yang telah terlebih dahulu dibayar, akan tetapi yang demikian itu PT. Bank Rakyat Indonesia (Pesero) Tbk., tidak dapat diwajibkan membayar kerugian macam apapun kepada Pihak Kedua.” Hak dan kedudukan kreditor semakin diperkuat sehingga jika dibandingkan dengan hak dan kedudukan debitor yang dibuat sedemikian lemah;
- Pasal 10: “Persetujuan Buka Kredit ini beserta dengan segala hubungan dan segala akibat, dikuasai oleh syarat–syarat umum Perjanjian Pinjaman dan Kredit yang petikannya dilekatkan pada minuta Akta ini yang oleh PT. Bank Rakyat Indonesia (Pesro) Tbk., dipergunakan pula sebagai syarat-syaratnya sebagai termuat didalam lampiran model SU PT. Bank Rakyat Indonesia (peserto) Tbk., yang Pihak Kedua menerangkan sudah diberitahu dan mengetahui secukupnya, sehingga dengan ini Pihak Kedua menyatakan telah memberikan persetujuan dengan melepaskan haknya untuk mengajukan keberatan dikemudian hari.” Telah ada proses penghilangan hak korektif atau keberatan bagi pihak debitor atas kejadian dan atau peristiwa yang akan terjadi dikemudian hari yang mana untuk para pihak tentunya belum dapat memperkirakannya;
- Pasal 13: “Semua kuasa yang tersebut didalam Surat Persetujuan ini, telah diberikan kepada PT. Bank Rakyat Indonesia (Pesero) Tbk., dengan syarat tidak dapat dicabut kembali dan dengan penglepasan dari semua sebab-sebab yang baik oleh hukum adat maupun ketentuan Pasal 1813 KUHPerdata dijadikan syarat berhentinya kuasa dan tanpa kuasa demikian itu, maka Surat Persetujuan ini tidak akan dibuat.” Dengan adanya klausula baku yang demikian telah membuat posisi yang tidak seimbang antara kreditor dengan debitornya, dimana Penggugat telah berada dalam posisi yang lemah dan hanya bisa untuk tunduk mengikuti kehendak dari kreditor.
Keberatan utama Penggugat ialah perihal kuasa mutlak, sehingga sang debitor merujuk kaedah yang diangkat dari putusan Mahkamah Agung RI yang dalam putusan No: 3431 K/Pdt/1985 tangggal 15 Maret 1987: “Hasil yang patut dan adil tergantung dari kedudukan yang seimbang antara para pihak (gelijkwaardigheid van partijen).”
Perjanjian yang dicapai antara Penggugat dengan Tergugat adalah hasil yang tidak seimbang dan tidak setara (ongelijkwaardigheid van resultaat). Hanya apabila dalam keadaan in concreto ada kesimbangan dan keserasian maka tercapailah kesepakatan/konsensus yang sah antara para pihak. Maka, Pasal 1338 KUHPerdata tidak berlaku secara utuh karena kebebasan untuk mengambil putusan tidak ada pada pihak debitor—alias “cacat kehendak”.
Terhadap gugatan sang debitor, selanjutnya Pengadilan Negeri Ende menjatuhkan putusan No. 13/PDT.G/2011/PN.END tanggal 24 Mei 2012, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
PRIMAIR:
- Menolak petitum primair gugatan Penggugat;
SUBSIDAIR:
- Mengabulkan petitum subsidair gugatan Penggugat;
- Menyatakan Ketentuan Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 Surat Persetujuan Buka Kredit Nomor 34 tanggal 12 Agustus 2008 batal demi hukum;
- Menghukum Tergugat untuk mengganti kerugian Penggugat dalam bentuk kompensasi-kompensasi berupa:
- Bunga kredit yang ditetapkan dalam surat persetujuan buka kredit nomor 34 tanggal 12 Agustus 2008 sebesar 14 % (empat belas persen) pertahun diturunkan menjadi sebesar 4 % (empat persen) pertahun;
- Adapun mengenai total hutang Penggugat sebesar Rp.1.055.159.191,- (satu miliar lima puluh lima juta seratus lima puluh sembilan ribu seratus sembilan puluh satu rupiah) cara penyelesaian utangnya Pengugat diberikan kesempatan untuk membayar melalui tiga tahap:
- Bulan I Rp. 50.000.000,-
- Bulan III Rp. 150.000.000,-
- Bulan VI Rp. 855.159.191,-
- Adapun mengenai jangka waktu pelunasan kredit adalah selama 24 (dua puluh empat) bulan, terhitung sejak putusan dalam perkara ini berkekuatan hukurn tetap, dengan ketentuan jangka waktu kredit tersebut dapat dipercepat apabila Penggugat menghendaki dan telah memiliki kemampuan untuk memenuhi kewajibannya;
- Menghukum Tergugat membayar biaya perkara.”
Dalam tingkat banding, putusan Pengadilan Negeri diatas kemudian dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Kupang putusan No.93/PDT/2012/PTK. tanggal 22 April 2013, dengan pertimbangan serta amar sebagai berikut :
“Menimbang, bahwa selanjutnya dipertimbangkan apakah klausula baku yang diterapkan dalam perjanjian kredit angka 9,10,13 bertentangan dengan hukum atau tidak. Terhadap hal ini Pengadilan Tinggi mempertimbangkan sebagai berikut;
“Pengadilan Tinggi berpendapat bahwa Perjanjian Kredit yang dibuat antara Pembanding semula Tergugat selaku Kreditur dengan Terbanding semula Penggugat selaku Debitur telah memenuhi syarat yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, tidak terbukti ada alasan-alasan yang dapat membatalkan perjanjian yaitu paksaan, penipuan dan kekhilafan sehingga perjanjian kredit tersebut sah menurut hukum, oleh karenanya berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang mengikatkan diri yaitu Penggugat dan Tergugat (Pasal 1338 KUHPerdata);
MENGADILI :
- Menerima permohonan banding dari Pembanding semula Tergugat tersebut;
- Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Ende No.13/Pdt.G/2011/PN.END. tanggal 24 Mei 2012 yang dimohonkan banding tersebut;
MENGADILI SENDIRI :
Dalam Pokok Perkara:
- Menolak gugatan Penggugat seluruhnya.”
Sang debitor mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“Bahwa alasan kasasi tidak dapat dibenarkan, oleh karena Judex Facti tidak salah menerapkan hukum dan telah tepat dalam pertimbangan putusannya;
“Bahwa terbukti Penggugat/Terbanding telah melakukan wanprestasi sebagaimana telah dipertimbangkan oleh Judex Facti (Pengadilan Tinggi), dimana perjanjian Kredit yang dibuat Penggugat dan Tergugat telah memenuhi syarat yang ditentukan dalan Pasal 1320 KUHPerdata, tidak ada alasan hukum yang membatalkan perjanjian tersebut;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, lagi pula ternyata bahwa putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi : CHARLES FOEK tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: CHARLES FOEK Tersebut.”
Note SHIETRA & PARTNERS: Sengketa demikian tampaknya tidak akan terjadi, bila saja substansi klausula kontrak tidak demikian provokatif dan memang tampak “melecehkan” kalangan debitor.
Bila saja frasa “kuasa mutlak untuk mengeksekusi” dirubah redaksional / formulasi ketentuannya menjadi berbunyi: “Bahwa akta ini berfungsi pula sebagai perikatan bersyarat tangguh untuk mengeksekusi agunan bila debitor ingkar janji terhadap satu atau lebih ketentuan-ketentuan dalam akta ini.” Debitor dengan latar belakang pendidikan apapun akan dengan mudah memahami dalam alam psikologi bawah sadar mereka.
Klausul dalam akta notariel demikian yang sejatinya salah kaprah, terus saja direproduksi hingga saat kini, mengakibatkan tidak terhitung lagi jumlahnya debitor yang merasa “terpanggil” untuk menggugat kontrak yang (patut kita akui) tampak “melecehkan” martabat debitor. Sama seperti masifnya tindak kriminil yang hanya bermula dari perang perang mulut yang berujung pada maut. Akta notaris yang baik, santun namun tetap “bergigi”, bukan “sangar” namun bagai “macan ompong”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.