Uang Pengganti dalam Vonis Tipikor

LEGAL OPINION
Question: Seperti apa saja, pengaturan hukum undang-undang Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) terkait Uang Pengganti bagi terdakwa yang divonis bersalah bersama dengan para terdakwa lainnya?
Brief Answer: Banyak ragam serta macam karakter yang dapat terjadi, karena bisa jadi Terdakwa tidak menikmati sendiri keuntungan hasil korupsi, kolusi maupun nepotisme. Khusus dalam Tindak Pidana Korupsi, Uang Pengganti tidak dapat dimaknai sebagai kesukarelaan Terpidana untuk membayar, karena Jaksa selaku pihak eksekutor dapat menyita dan mengeksekusi harta milik Terpidana guna memenuhi Uang Pengganti.
Dapat juga terjadi, antara Terdakwa saling terjalin kerjasama dalam melakukan Tipikor, sehinggga beban Uang Pengganti dipikul secara proporsional. Uang Pengganti juga dapat dibebankan sebesar nilai kerugian negara dan (dikumulasikan dengan) sebesar harta / kekayaan yang didapat dari hasil korupsi, kolusi, maupun nepotisme—yang dalam terminologi kriminologi disebut sebagai “dimiskinkan”.
PEMBAHASAN:
Ilustrasi berikut sebagai rujukan SHIETRA & PARTNERS, sebagaimana putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung perkara korupsi pengadaan jasa register Nomor 07/Pid.Sus-TPK/2015/PN.Bdg. tanggal 25 Mei 2015, dimana Terdakwa sebagai penyelenggara proyek pengadaan jasa, didakwakan telah merugikan keuangan negara berupa Dana Alokasi Khusus dibidang Pendidikan Kabupaten Bekasi tahun anggaran 2011 untuk pelaksanaan tahun 2012 yang berasal dari APDB.
Pada akhir tahun 2012, Terdakwa mengklaim bahwa pekerjaan telah selesai 100% sehingga meminta realisasi pembayaran. Setelah pembayaran diterima Terdakwa, selanjutnya dilakukan audit oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi pada Maret 2014 mengenai pekerjaan pembangunan ruang kelas baru (RKB) beberapa sekolah dasar negeri (SDN) dibawah Dinas Pendidikan Pemerintah Kabupaten Bekasi tahun anggaran 2012, dengan kesimpulan: mengalami gagal konstruksi atau bangunan.
Ditindaklanjuti dengan audit dari BPKP DKI Jakarta pada Juni 2012, dengan perolehan perhitungan kerugian negara sebesar Rp. 374.898.378,74. Sehingga para Terdakwa dinilai melanggar Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yang dalam Pasal 87 Ayat (3) diatur bahwa: Penyedia barang/jasa dilarang mengalihkan pelaksanaan pekerjaan utama berdasarkan kontrak, dengan melakukan subkontrak kepada pihak lain, kecuali sebagian pekerjaan utama kepada penyedia barang/jasa spesialis.
Realisasinya, seluruh pekerjaan dialihkan kepada Para Terdakwa yang tidak mempunyai Kemampuan Dasar (KD) maupun Kemampuan Teknis (KT) berupa pengalaman dalam pekerjaan sejenis dan kemampuan keuangan, akan tetapi tetap meminta proyek dan mengerjakan pembangunan RKB di berbagai SDN.
Terdakwa tidak memiliki keterampilan, namun tetap mengajukan diri sebagai “pemborong” ataupun ahli bangunan, dan melaporkan bahwa perusahaannya memiliki tenaga terampil untuk membangun. Meski, Pasal 8 UU No. 19 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi mewajibkan “pelaksana konstruksi” untuk memenuhi ketentuan perizinan dibidang jasa konstruksi sebagai fungsi publik untuk melindungi masyarakat, disamping memiliki sertifikasi dan kualifikasi sebagai standar keahlian, sehingga Terdakwa dinilai telah menyampaikan keterangan yang tidak benar, tentang kemampuan Terdakwa dalam melaksanakan pekerjaan, sehingga terjadilah kegagalan bangunan yang tentunya membawa potensi bahaya keselamatan para pengguna bangunan.
Dimana terhadap tuntutan Jaksa Penuntut, Majelis Hakim membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara melawan hukum dalam pasal ini adalah merupakan inti delik (bestandell delic), sebagaimana Penjelasan atas UU No. 31 Tahun 1999 paragraf ke-empat: agar dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan negara atau perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit, maka tindak pidana yang diatur dalam undang-undang ini dirumuskan sedemikian rupa sehingga meliputi perbuatan-perbuatan ‘memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi secara melawan hukum’;
“Menimbang, bahwa karena terdapat kekurangan atau kekosongan hukum mengenai batasan jumlah memperkaya dalam unsur ini, maka sesuai dnegan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 07 Tahun 2012 jo. SEMA No. 04 Tahun 2014, Mahkamah Agung telah memberikan pedoman sebagai berikut: Mahkamah Agung telah menerapkan sistem kamar dalam proses penanganan perkara. Penerapan sistem kamar antara lain bertujuan untuk terciptanya kesatuan hukum. Sebagai langkah awal untuk mewujudkan kesatuan hukum ini masing-masing kamar telah melakukan pleno yang membahas persoalan hukum yang seringkali memicu perdebatan pendapat yang berujung pada inkonsistensi putusan.
“Menimbang, bahwa pedoman yang dimaksud sesuai Hasil Rumusan Rapat Kamar Pidana Mahkamah Agung, tanggal 8 s/d 10 Maret 2012 huruf C adalah sebagai berikut: ‘Pasal 2 dan Pasal 3 diperuntukkan untuk setiap orang baik swasta maupun Pegawai Negeri. Jadi baik Pasal 2 dan Pasal 3 berlaku bagi Pegawai Negeri maupun bukan Pegawai Negeri.’.
“Pada huruf b: ‘Apabila unsur memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi dalam Pasal 2 tidak terbukti, maka dikenakan Pasal 3, dengan ambang batas minimal Rp. 100.000.000,- (seratur juta Rupiah). Adalah tidak adil apabila menjatuhkan pidana bagi Terdakwa yang hanya merugikan keuangan negara dibawah Rp. 100.000.000;- dikenakan sanksi minimal Pasal 2 yaitu pidana 4 tahun dan denda Rp. 200.000.000,-‘
“Nomor 13 huruf b: ‘Ketentuan pidana minimum UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tidak dapat disimpangi. Akan tetapi sebagaimana dalam jawaban diatas, dapat dicarikan solusi. Misalnya terhadap dakwaan Pasal 3 yang terbukti, tidak perlu menjatuhkan pidana denda apabila kerugian negara dibawah Rp. 50.000.000,-. Walaupun demikian pidana uang pengganti tetap dijatuhkan;
“Menimbang, bahwa sesuai dengan pedoman hasil Rumusan Rapat Kamar Pidana Mahkamah Agung, tanggal 8 s/d 10 Maret 2012 huruf b, Majelis berpendapat: agar dapat diterapkan ketentuan Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, seorang terdakwa haruslah memenuhi 2 (dua) unsur, yaitu:
1. Apabila unsur memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi dalam Pasal 2 tidak terbukti, maka dikenakan Pasal 3 dengan ambang batas minimal Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah). Unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi secara melawan hukum, adalah bersifat pilihan alternatif). Sedangkan pengertian ‘memperkaya’ adalah sebagai suatu perbuatan yang menyebabkan perubahan yang menunjukkan bertambahnya kekayaan seseorang secara banyak, diukur dari penghasilan yang diperolehnya. Ambang batas minimal memperkaya sesuai Surat Edaran Mahkamah Agung No. 07 Tahun 2012 jo. SEMA No. 04 Tahun 2014, adalah Rp. 100.000.000,- (seratus juta Rupiah). Artinya terdapat perubahan yang menunjukkan bertambahnya kekayaan seseorang secara alternatif baik diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi diukur dari penghasilan yang diperolehnya sebanyak Rp. 100.000.000,-;
2. Terbukti adanya unsur kerugian keuangan negara sama dengan dan/atau lebih besar dari (>) Rp. 100.000.000,-;
“Menimbang, bahwa kerugian negara dihitung dengan parameter yang dapat diterapkan dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: Pengembalian Uang Negara Sebanyak-banyaknya (PUNS), sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi yang merupakan substansi dari Pasal 18 ayat (1) b UU No. 31 Tahun 1999, misalnya Terdakwa telah mengembalikan uang yang diperoleh dari tindak pidana korupsi:
a. Posisi dan Porsi Terdakwa (PPT), yaitu patut dipertimbangkan dalam hal pelaku korupsi dalam suatu kasus lebih dari satu orang, sehingga perlu dipertimbangkan apakah dia seorang yang mempunyai kekuasaan atau kewenangan yang cukup yang diberikan oleh hukum sehingga dapat menentukan, serta dapat menghentikan atau menghindari adanya suatu keadaan terlarang oleh hukum;
b. Variabel (V), adalah faktor-faktor lain yang bersifat fleksibel atau hal-hal yang bervariasi, misalnya uang yang dikorupsi berhasil disita oleh yang berwenang, sehingga dirampas untuk negara. Jika ada fakta hukum yang terungkap di persidangan berupa Hasil Audit Penghitungan Kerugian Negara atau Investigasi dari instansi yang berwenang, akan menjadi pedoman bagi Hakim untuk menentukan jumlah kerugian keuangan negara yang harus ditanggung oleh Terpidana. Bisa saja jumlah kerugian uang negara hanya muncul dalam Surat Dakwaan tanpa hasil audit Penghitungan Kerugian Negara atau Investigasi. Tidak tertutup kemungkinan jumlah kerugian keuangan negara secara jelas muncul di persidangan dan dapat meyakinkan Hakim. Fakta hukum tersebut menjadi dasar pertimbangan hukum (legal reasoning) bagi Hakim yang berada dalam domain judex factie untuk menentukan amar putusannya (Dr. Artidjo Alkostar, SH. MH., dalam Varia Peradilan, Majalah Hukum Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) Tahun XXIII Nomor 275 Oktober 2008, hlm. 39—40);
“Menimbang, bahwa dalam Pasal 1 Angka 22 Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, ditentukan bahwa kerugian negara/daerah adalah kekurangan yang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai;
“Menimbang, bahwa kerugian keuangan negara dapat terjadi karena: 1. Pengeluaran kekayaan negara dapat berupa uang atau barang, yang seharusnya tidak dikeluarkan; 2. Pengeluaran kekayaan negara dapat berupa uang atau barang, yang lebih besar dari yang seharusnya menurut kriteria yang berlaku; 3. Hilangnya kekayaan negara dapat berupa uang atau barang, yang seharusnya diterima termasuk diantaranya penerimaan dengan uang palsu atau barang fiktif; 4. Penerimaan kekayaan negara dapat berupa uang atau barang, yang lebih kecil atau lebih rendah dari yang seharusnya diterima, termasuk diantaranya penerimaan barang rusak atau kualitas tidak sesuai dengan spesifikasi/kriteria; 5. Timbulnya kewajiban negara yang seharusnya tidak ada; 6. Timbulnya kewajiban negara yang seharusnya tidak ada; 6. Timbulnya kewajiban yang lebih besar dari yang seharusnya; 7. Hilangnya suatu hak negara yang seharusnya dimiliki; 8. Hak negara lebih kecil dari yang seharusnya diterima;
“Menimbang, bahwa hubungan kata ‘dapat’ dengan ‘merugikan keuangan negara’ tergambarkan dalam dua hubungan yang ekstrim: (1) nyata-nyata merugikan negara (actual loss) atau (2) kemungkinan dapat menimbulkan kerugian (potential loss). Hal yang terakhir ini lebih dekat dengan maksud mengkualifikasikan delik korupsi menjadi delik formil, diantara dua hubungan tersebut sebenarnya masih ada hubungan yang ‘belum nyata terjadi’, tetapi dengan mempertimbangkan keadaan khusus dan konkret di sekitar peristiwa yang terjadi, secara logis dapat disimpulkan bahwa suatu akibat yaitu kerugian negara akan terjadi. Oleh karenanya persoalan kata ‘dapat’ dalam Pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, lebih merupakan persoalan pelaksanaan dalam praktik oleh aparat penegak hukum;
“Menimbang, bahwa sesuai fakta tersebut diatas perbuatan kerjasama tersebut telah terjadi secara sistematis dan terstuktur, dimana peran dari H. DEDI ALAMSYAH Bin H. HAMIM SYARIFUDIN, ABDUL ROZAK, ANDI SONY MANGGABARANI, NURHAWI AFANDI, SH., merupakan mata rantai perbuatan yang mempunyai hubungan sebab-akibat (causalitas) atau berkaitan, dimana tanpa peran serta Terdakwa perbuatan tersebut tidak akan pernah selesai dilakukan. Sehingga fakta-fakta hukumnya satu dengan yang lain tidak dapat dipisah-pisahkan;
“Menimbang, bahwa dengan memperhatikan hubungan sebab-akibat (kausalitas) atau keterkaitan Terdakwa tersebut diatas, maka Terdakwa berperan sebagai orang yang melakukan perbuatan dalam kelompok tersebut bersama-sama;
“Menimbang, bahwa siapa yang menyebabkan timbulnya keadaan terlarang, dia wajib mengakhiri keadaan terlarang itu, jika tidak ada tindakan mengakhiri keadaan terlarang itu, maka dialah yang harus bertanggungjawab dan dipidana atas penciptaan keadaan terlarang itu;
“Menimbang, bahwa mengenai uang pengganti, Majelis Hakim akan berpedoman pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2015 tentang Pidana Tambahan Uang Pengganti dalam Tindak Pidana Korupsi, tanggal 31 Desember 2014:
1. Pasal 1: Dalam hal menentukan jumlah pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi, adalah sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi dan bukan semata-mata sejumlah kerugian negara yang diakibatkan;
2. Pasal 2: Hasil korupsi yang telah disita terlebih dahulu oleh penyidik harus diperhitungkan dalam menentukan jumlah uang pengganti yang harus dibayarkan terpidana;
3. Pasal 4 ayat (1): Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan secara bersama-sama dan diadili secara berbarengan, pidana tambahan yang pengganti tidak dapat dijatuhkan secara tanggung renteng;
4. Pasal 4 ayat (2): Apabila harta benda yang diperoleh masing-masing terdakwa tidak diketahui secara pasti jumlahnya, uang pengganti dapat dijatuhkan secara proporsional dan objektif sesuai dengan peran masing-masing terdakwa dalam tindak pidana korupsi yang dilakukannya;
5. Pasal 5: Dalam hal harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi tidak dinikmati oleh terdakwa dan telah dialihkan kepada pihak lain, uang pengganti tetap dapat dijatuhkan kepada terdakwa sepanjang terhadap pihak lain tersebut tidak dilakukan penuntutan, baik dalam tindak pidana korupsi maupun tindak pidana lainnya, seperti tindak pidana pencucian uang;
6. Pasal 6: Uang pengganti hanya dapat dijatuhkan terhadap terdakwa dalam perkara yang bersangkutan;
“Sesuai fakta-fakta hukum tersebut diatas, Terdakwa memperoleh uang dari tindak pidana korupsi tersebut. Oleh karena itu kepada Terdakwa, dikenakan pidana tambahan sebagaimana Pasal 18 ayat (1) huruf b UU No. 31/1999, berupa uang pengganti;
Hal-hal yang memberatkan :
- Perbuatan Terdakwa dapat menempatkan anak didik dalam bahaya karena gedung RKB yang rapuh sehingga dapat mengancam keamanan dan keselamatan anak didik;
- Perbuatan Terdakwa menjadi contoh yang buruk bagi masyarakat dan keluarga Terdakwa, karena Terdakwa dalam mencapai tujuannya, sebab tujuan yang baik bahkan mulia, haruslah dicapai dengan itikad baik, dengan nalar yang baik, serta harus ditempuh dengan cara yang baik;
M E N G A D I L I :
1. Menyatakan Terdakwa ANDI SONY MANGGABARANI tersebut diatas, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dalam dakwaan primer;
2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa ANDI SONY MANGGABARANI oleh karena itu dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun dan denda masing-masing sejumlah Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan;
3. Menghukum Terdakwa ANDI SONY MANGGABARANI untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp. 59.567.966,26 paling lama dalam jangka waktu satu bulan sesudah putusan ini berkekuatan hukum tetap, jika tidak membayar maka harta bendanya disita dan dilelang oleh jaksa untuk menutupi uang pengganti tersebut, dengan ketentuan apabila Terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi maka dipidana dengan pidana penjara untuk selama 2 (dua) tahun;
4. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
5. Menetapkan Terdakwa tetap ditahan.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.