Tiada Saksi Bukan Berarti Perbuatan Pidana Tidak Pernah Terjadi

LEGAL OPINION
Question: Bila tiada saksi yang dapat dimintai keterangan ataupun kesaksian, apa artinya pelaku kejahatan bisa bebas tanpa tersentuh hukum?
Brief Answer: Sangat jarang terdapat penjahat ‘bodoh’ yang meninggalkan alat bukti sebagai jejak kejahatan yang telah mereka lakukan, oleh karenanya, sejatinya menghimpun dua alat bukti suatu tindak pidana guna menyeret pelakunya ke meja hijau, atau untuk sekadar menjadikan seseorang sebagai tersangka, bukanlah pekerjaan yang mudah bagi seorang penyelidik ataupun penyidik.
Oleh karenanya, meski tiada saksi mata yang melihat langsung, namun dengan berbagai circumstantial evidences berdasarkan kesesuaian antara alat bukti satu dengan alat bukti lain, atau berdasarkan kondisi dan karakter keadaan perkara, dapat mengarahkan hakim untuk membentuk suatu petunjuk sebagai intuisi akan suatu fakta hukum yang dikonstruksikan.
Sebaliknya, hakim yang bodoh, sekalipun dihadapkan kepadanya rumusan dakwaan oleh seorang Jaksa Penuntut yang brilian sekalipun, hanya akan melahirkan putusan yang tumpul dan sempit cara berhukumnya.
Mungkin, inilah kelemahan utama stelsel hukum pidana: mensyaratkan penyidik yang jujur dan berintegritas, disaat bersamaan membutuhkan jaksa yang telaten dan teliti, dan sebagai hulunya dibutuhkan sosok seorang hakim yang arif dan berkarakter cendekiawan. Satu komponen “cacat”, maka stelsel hukum akan “lumpuh”.
PEMBAHASAN:
Pada prinsipnya, penegak hukum dan hakim berdasar tuntutan profesi harus mampu berpikir lebih cerdas daripada kelicikan seorang kriminil. Terdapat sebuah perkara monumental yang menjadi simbolisasi rasionalisasi stelsel pembuktian, sebagaimana SHIETRA & PARTNERS akan merujuk pada putusan Mahkamah Agung RI perkara pidana pemerasan register Nomor 1651 K/PID/2014 tanggal 16 Maret 2015 yang diputus oleh Hakim Agung Salman Luthan, H.M. Syarifuddin, dan H. Margono.
Terdakwa didakwakan telah dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang diancam karena pemerasan, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 368 ayat (1) KUHP.
Bermula Sri Anah binti Nor Said (alm) selaku korban yang merupakan pedagang ikan di TPI (Tempat Pelelangan Ikan) Ujung Batu, Kabupaten Jepara, yang sering membeli ikan dari para nelayan dan oleh Sri Anah, ikan pembelian dari para nelayan tersebut dijual kembali olehnya kepada pembeli.
Pada hari yang sudah tidak ingat lagi pada tanggal 22 November 2013 sekira pukul 13.30 WIB, pada saat Sri Anah menjual ikan di TPI, Sri Anah didatangi oleh Terdakwa, kemudian Terdakwa meminta uang kepada Sri Anah sambil mengancam dengan perkataan “aku tidak kamu beri uang ya saya buat berantakan daganganmu”, kemudian Terdakwa juga berkata akan mengajak berkelahi anak Sri Anah yang bernama Kosrin jika Sri Anah tidak mau memberikan uang sebagaimana yang diminta Terdakwa.
Larena takut dengan ancaman Terdakwa, maka Sri Anah memberikan uang kepada Terdakwa sebesar Rp 100.000,00. Kemudian pada tanggal 23 November 2013 sekira pukul 14.00 WIB dan pada tanggal 24 November 2013 sekira pukul 15.00 WIB, Terdakwa kembali meminta uang kepada Sri Anah dengan ancaman serupa.
Karena takut dengan ancaman Terdakwa, maka Sri Anah kembali memberikan uang kepada Terdakwa sebesar Rp 50.000,00 pada tanggal 23 November 2014 dan sebesar Rp 50.000,00 pada tanggal 24 November 2014. Akibat perbuatan Terdakwa, Sri Anah mengalami kerugian sebesar Rp 200.000,00 dan Sri Anah mengalami ketakutan dengan ancaman dari Terdakwa. Hal tersebut lumrah terjadi di Tanah Air, sebagaimana mungkin masing-masing anggota masyarakat pernah mengalami pemaksaan / aksi premanisme serupa.
Terhadap tuntutan Jaksa, Pengadilan Negeri Jepara menjatuhkan putusan No. 104/Pid.B/2014/PN.Jpa. tanggal 28 Agustus 2014, dengan amar sebagai berikut :
MENGADILI :
1. Menyatakan Terdakwa SAMIRI bin FANDOLI tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan Penuntut Umum kepadanya;
2. Membebaskan Terdakwa Samiri bin Fandoli oleh karena itu dari dakwaan Penuntut Umum tersebut;
3. Memerintahkan agar Terdakwa dibebaskan dari tahanan segera setelah putusan ini diucapkan;
4. Memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya.”
Jaksa mengajukan upaya hukum kasasi, dengan berpendapat bahwa walaupun ketiga orang saksi yang diajukan ke persidangan ada hubungan keluarga satu sama lain, tetapi dalam memberikan keterangan di bawah sumpah di persidangan, saksi-saksi tersebut diperiksa satu persatu dan ketiga saksi tersebut secara wajar menerangkan bahwa terjadi ancaman kekerasan pada saat Terdakwa meminta uang kepada korban.
Majelis Hakim meragukan keterangan Sri Anah, saksi Kosrin, dan saksi Siti Musdalifah karena masih ada hubungan darah antara mereka bertiga, dan meragukan keterangan saksi Subandio hanya karena di Penyidik lupa kapan pastinya kejadian tersebut, merupakan pertimbangan hukum yang tidak masuk akal karena Majelis Hakim justru menguatkan keterangan saksi-saksi yang mendukung Terdakwa, meski :
- Saksi Zaenal Absor bekerja pada Terdakwa atau mendapat gaji dari Terdakwa untuk memberi es pada ikan milik Terdakwa kurang lebih selama 3 tahun sehingga keterangan saksi Zaenal Absor yang seharusnya dikesampingkan karena pasti akan mendukung keterangan Terdakwa karena saksi Zaenal Absor mendapat upah dari Terdakwa. Saksi Zaenal Absor juga menerangkan melihat Sri Anah memberikan uang kepada Terdakwa sebanyak 1 kali sebesar Rp 100.000,00 dan Sri Anah berkata ”iki lho utangku” (ini lho utangku) tetapi saksi Zaenal Absor tidak dapat memastikan kapan hari, tanggal, bulan dan tahun kejadian tersebut;
- Saksi Murdjati yang memang bekerja di TPI tetapi di lantai atas, berbeda dengan Sri Anah yang berdagang ikan di lantai bawah, sehingga apa yang saksi Murdjati terangkan belum tentu kejadian pemerasan yang dimaksud oleh Sri Anah.
Jaksa mendalilkan pula, Hakim Pengadilan Negeri seharusnya mempertimbangan keterangan saksi-saksi yang Penuntut Umum ajukan, dimana keterangan saksi-saksi tersebut saling bersesuaian dan mendukung satu sama lain sehingga juga merupakan petunjuk.
Majelis Hakim dalam putusannya mempermasalahkan perkara pemerasan yang dilakukan Terdakwa kenapa baru dilaporkan pada tanggal 14 Januari 2014 setelah Terdakwa melaporkan saksi Kosrin (anak Sri Anah). Majelis Hakim menuliskan dalam putusannya, mencurigai korban yang melaporkan pada tanggal 14 Januari 2014 tanpa dilandasi dengan bukti yang kuat tetapi didasarkan asumsi.
Majelis Hakim seharusnya mempertimbangkan hal-hal yang logis karena kesepakatan yang dimaksud Terdakwa sebagaimana keterangannya dalam persidangan, adalah bahwa Terdakwa akan menerima uang pemberian Sri Anah sebesar Rp 200.000,00 sebagai imbalan bahwa Terdakwa tidak ikut membeli ikan-ikan basah untuk pakan bebek sebagaimana yang sering dibeli Sri Anah.
Pernyataan Terdakwa menjadi tidak logis, karena Terdakwa dalam persidangan juga menerangkan bahwa ikut membeli ikan basah pakan bebek untuk dijual kembali memberikan keuntungan yang lebih besar kepada Terdakwa dari pada sekedar uang Rp 200.000,00 yang diberikan Sri Anah, jadi dimanakah letak logika hukumnya bila Terdakwa tidak akan membeli ikan basah pakan bebek yang justru merugikan keuangan Terdakwa sehingga menjadi tidak masuk akal, mengingat Terdakwa adalah pedagang yang sudah lama berjualan di TPI dan sekali lagi hal tersebut merugikan Terdakwa sendiri.
Kesepakatan tersebut merupakan karangan Terdakwa karena Terdakwa juga tidak bisa mengajukan saksi lain yang mendukung adanya kesepakatan tersebut sebagaimana pernyataan Terdakwa, tetapi Majelis Hakim justru menjadikan hal tersebut sebagai pertimbangan dalam putusannya.
Yang dinilai fatal, Majelis Hakim Pengadilan Negeri dalam pertimbangannya telah memasukkan unsur-unsur non yuridis yaitu mengenai laporan Polisi atas perkara ini tidak dilaporkan pada bulan terjadinya tindak pidana, saksi-saksi diajukan oleh Terdakwa yang tidak mengetahui dengan pasti kapan terjadinya tindak pidana pemerasan yang dilakukan Terdakwa kepada saksi korban, tetapi unsur-unsur non yuridis tersebut yang malah dijadikan dasar oleh Majelis Hakim untuk memutus bebas bagi Terdakwa.
Pengadilan Negeri dalam pertimbangannya hanya menguraikan unsur melakukan kekerasan dalam Pasal 368 ayat (1) KUHP, padahal selain kekerasan di dalam pasal tersebut bersifat alternatif yaitu unsur ancaman kekerasan sehingga walaupun unsur kekerasan tidak terbukti tetapi kenapa Majelis Hakim tidak mencoba membuktikan unsur ancaman kekerasan yang menurut Jaksa Penuntut Umum terbukti.
Ancaman kekerasan yang dimaksud akan dilakukan Terdakwa kepada Sri Anah adalah akan membuat berantakan dagangan ikan milik Sri Anah dan akan mengajak berkelahi anak Sri Anah yang bernama saksi Kosrin, jika Sri Anah tidak memberikan uang sebagaimana yang diminta Terdakwa, juga akan mencarikan pedagang dari Pati untuk membeli ikan-ikan basah di TPI Jepara sehingga Sri Anah ketakutan dengan ancaman Terdakwa dan terpaksa atau tidak ikhlas memberikan uang sebanyak 3 kali sejumlah Rp 100.000,00; Rp 50.000,00 dan Rp 50.000,00 kepada Terdakwa pada 22, 23, dan 24 November 2013.
Terhadap keberatan-keberatan yang diajukan pihak Jaksa, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan korektif sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan kasasi dari Pemohon Kasasi/Penuntut Umum tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“Bahwa alasan-alasan kasasi dari Pemohon Kasasi/Penuntut Umum tersebut dapat dibenarkan, karena Judex Facti/Pengadilan Negeri salah menerapkan hukum, dengan pertimbangan sebagai berikut :
- Putusan Judex Facti salah memaknai fakta dalam mempertimbangkan unsur-unsur pemerasan, sebab dari keterangan korban dengan dikuatkan keterangan saksi ke 2, ke 3 dan ke 4 bahwa benar Terdakwa telah meminta uang dengan ancaman, dan saksi yang lain beserta Terdakwa melihat dan mengakui menerima uang dari korban, tidak ada bukti bahwa diterimanya uang korban tersebut oleh Terdakwa untuk tidak ikut lelang ikan kecil-kecil melainkan hanya keterangan Terdakwa saja; Sedangkan keterangan saksi-saksi a de charge tidak melihat Terdakwa mengancam dan meminta uang korban bukan berarti perbuatan itu tidak ada;
- Bahwa oleh karena itu perbuatan Terdakwa yang terbukti tersebut telah memenuhi unsur-unsur Pasal 368 ayat (1) KUHP, maka Terdakwa harus dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana;
“Bahwa dengan demikian putusan Judex Facti tidak dapat dipertahankan lagi dan harus dibatalkan sedangkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Penuntut Umum harus dikabulkan dan Mahkamah Agung akan mengadili sendiri sebagaimana tertera di bawah ini;
“Menimbang, bahwa sebelum menjatuhkan pidana Mahkamah Agung akan mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan yang meringankan;
Hal-hal yang memberatkan :
- Perbuatan Terdakwa meresahkan pedagang ikan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) terutama saksi korban;
- Perbuatan tersebut Terdakwa lakukan berulang-ulang;
Hal-hal yang meringankan :
- Terdakwa berlaku sopan selama di persidangan;
- Terdakwa belum pernah dihukum;
- Jumlah uang yang diminta korban relatif kecil;
“Menimbang, bahwa dengan memperhatikan hal-hal yang memberatkan dan meringankan tersebut, maka Mahkamah Agung berpendapat bahwa pidana yang dijatuhkan dirasakan adil apabila berupa pidana bersyarat dengan mengacu kepada Pasal 14 a KUHP sebagai pengajaran bagi Terdakwa untuk tidak berbuat kesalahan lagi ke depan dan lebih berhati-hati;
M E N G A D I L I :
“Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : PENUNTUT UMUM PADA KEJAKSAAN NEGERI JEPARA tersebut;
“Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jepara No. 104/Pid.B/2014/PN.Jpa. tanggal 28 Agustus 2014;
M E N G A D I L I   S E N D I R I :
1. Menyatakan Terdakwa SAMIRI bin FANDOLI terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “PEMERASAN”;
2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada Terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama : 5 (lima) bulan;
3. Memerintahkan bahwa pidana tersebut tidak perlu dijalani oleh Terdakwa kecuali jika di kemudian hari berdasarkan putusan Hakim diberikan perintah lain oleh karena sebelum masa percobaan selama 10 (sepuluh) bulan berakhir, Terdakwa telah melakukan tindak pidana lain.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.