Simalakama Imunitas Jabatan Hakim

ARTIKEL HUKUM
Tiada yang lebih kebal hukum daripada profesi hakim di negara-negara dengan tradisi legal family Eropa Kontinental, termasuk di Indonesia. Ironis, hakim boleh seenaknya melanggar preseden, bahkan menyimpangi undang-undang yang sudah tegas norma pengaturannya, tanpa sanksi apapun yang dapat dijatuhkan terhadapnya di Indonesia.
Dengan kata lain, jabatan hakim di Indonesia, memberikan kekuasaan yang demikian besar, tak terjamah hukum, serta dilekati pula imunitas jabatan—sehingga, sekalipun putusan sang hakim menyimpang dari norma tertulis dalam undang-undang, Mahkamah Agung RI selaku kepala dari lembaga peradilan, tidak dapat berbuat apa-apa (dalam arti yang sesungguhnya).
Paling jauh, memutasi sang hakim “keras kepala” ke luar daerah, itupun diragukan realitanya karena manajemen pemantauan di tubuh Lembaga Yudisial atas kualitas putusan para hakim di Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi, tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Bahkan, sejauh Republik Indonesia telah merdeka, belum pernah tersiar kabar seorang hakim dimutasi, diberi sanksi, ataupun dipecat, karena menjatuhkan putusan yang menyimpangi undang-undang.
Jangankan melanggar preseden (yurisprudensi), melanggar kaedah tegas dalam undang-undang saja, seorang hakim diberi imunitas dari tindakan indisipliner apapun dalam tubuh lembaga kehakiman. Berangkat dari fakta faktual tersebut, sejatinya yang paling berkuasa pada pertarungan di “meja hijau”, bukanlah kalangan pengacara, bukan juga kalangan jaksa, bukan juga apa yang menjadi bunyi undang-undang, tetapi: “Mulut hakim adalah hukum dari segala hukum.” Luar biasa !!!
Menurut Anda, mungkinkah keadilan dapat dibentuk bilamana hakim bebas menyimpangi preseden, bahkan melanggar apa yang sudah digariskan oleh undang-undang, sehingga kerap dijumpai putusan yang saling tumpang-tindih (overlaping) disamping inkonsistensi antar satu putusan dengan putusan lain. Jangankan di Pengadilan Negeri, antar putusan Hakim Agung satu dengan putusan kasasi Hakim Agung lainnya kerap saling bertolak-belakang. Sungguh membuat frustasi kalangan profesi hukum di Tanah Air.
Kini, mari kita tinjau secara empiris, sebagaimana ketika Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat justru mengabulkan permohonan pailit terhadap PT. Andalan Artha Advisido (AAA Sekuritas), sebuah perusahaan yang bergerak dibidang pasar modal, yang diajukan oleh dua nasabahnya.
Bila kita taat asas dengan tunduk pada norma imperatif Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, hanyalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang berwenang mengajukan pailit terhadap perusahaan yang bergerak di sektor pasar modal selaku pengambil peran Badan Pengawas Pasal Modal (Bapepam), bukan nasabah.
Adagium hukum berbunyi secara sadistik: semua orang dianggap tahu hukum. Namun, asas tersebut tidak berlaku bagi hakim yang memiliki imunitas. Praktis, warga negara yang dirugikan akibat putusan hakim yang melanggar norma hukum, jangankan dipidana, digugat perdata pun tidak dimungkinkan, oleh sebab sang hakim memutus dengan mengatasnamakan institusi peradilan yang menaunginya, dan Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman memberikan imunitas tersebut pada sang hakim.
Permohonan pailit register perkara No. 08/Pdt.Sus.PAILIT/2015/PN.Niaga.Jkt.Pusat tersebut, berujung pada dikabulkannya permohonan oleh sang nasabah, tanpa upaya perlawanan yang berarti oleh pihak manajemen PT. Andalan Artha Advisido. Alhasil, seakan hakim boleh abai terhadap kaedah yang telah digariskan oleh undang-undang, PT. Andalan Artha Advisido dinyatakan pailit dengan segala akibat hukumnya. OJK pun, meradang.
Mahkamah Agung selaku pengawas, berkilah, bahwa terhadap putusan judex factie, dapat diajukan upaya hukum banding maupun kasasi. Namun pertanyaan yang perlu kita kemukakan, bagaimana bila kemudian putusan kasasi justru jauh lebih menyimpang? Dan ini, bukan juga “hisapan jempol”, bukan juga retorika ataupun wacana.
Sebagaimana kita ketahui, baik hakim Pengadilan Negeri maupun Hakim Agung pada Mahkamah Agung RI, diberi imunitas dengan mengatasnamakan independensi hakim. Alhasil, berbagai putusan yang menyimpangi preseden, bahkan melanggar undang-undang, bukanlah putusan yang hanya dapat dijumpai dalam hitungan jari, namun dalam skala masif telah penulis jumpai.
Adakah penindakan terhadap para hakim pemutus tersebut? Jawabnya: tidak ada dan “tidak dibolehkan undang-undang”, karena hakim di Indonesia diberikan imunitas dengan mengatasnamakan, “lagi-lagi” imunitas jabatan hakim.
Sebaliknya, kontras dan bertolak-belakang dengan praktik di Indonesia, kalangan hakim di negara-negara dengan tradisi / budaya hukum Common Law legal system seperti di negara-negara Anglo Saxon dan Persemakmuran, jabatan hakim sangatlah TIDAK berkuasa. Mengapa hakim di negara-negara tersebut tidak berkuasa seperti di Indonesia? Karena Common Law mengadopsi asas yang diterapkan secara tegas dan amat ketat, yakni asas the binding force of precedent—daya ikatnya, memaksa sang hakim.
Hakim di negara-negara Anglo Saxon, seperti di Amerika Serikat, Inggris, dan negara-negara persemakmuran, tidak dapat memutus secara bebas “sebebas-bebasnya”, namun sudah berbentuk semacam “blangko” yang disesuaikan dengan karakteristik perkara—tidak lain tidak bukan ialah preseden putusan sebelumnya yang wajib diterapkan dalam perkara selanjutnya yang memiliki karakter serupa. Hakim dengan demikian hanyalah berfungsi sebagai “terompet / corong” putusan hakim sebelumnya.
Ketika sang hakim memutus secara menyimpang dari preseden, sama artinya “mengakhiri riwayat karir sang hakim”. Melanggar preseden, sama tabunya dengan melanggar konstitusi di negara-negara Anglo Saxon. Alhasil, tidak ada hakim yang berani ataupun sekadar mencoba-coba untuk menyimpangi preseden. Kepastian hukum pun secara sendirinya tercipta, dan daya prediktabilitas dalam hukum pada negara dengan budaya common law terbentuk secara sistematis dan terpola, dimana kepastian hukum tersebut menawarkan sebentuk derajat paling minimum bagi ruang keadilan— karena hakim tidak lagi dapat sewenang-wenang dalam memutus. Hakim tidak lagi dapat memutus berdasarkan selera, namun terikat oleh preseden.
Secara tidak langsung, maka yang kemudian menjadi sangat berkuasa dalam ajang “pertarungan” di meja hijau negara-negara Anglo Saxon, ialah kalangan konsultan hukum dan pengacara (advokat). Mengapa? Karena dengan berbekal preseden dan fakta empiris yang terjadi, kalangan konsultan maupun pengacara akan mampu memprediksi hasil dari sebuah putusan, bahkan sebelum perkara benar-benar disidangkan.
Karena masyarakat umum juga terikat oleh preseden, maka tiada masyarakat di negara-negara Anglo Saxon yang mau ‘ber-ju-di’ dengan cara melakukan ajang gugatan ‘untung-untungan’, siapa tahu hakim melanggar preseden bahkan menyimpangi norma undang-undang.
Ketika putusan pengadilan telah sesuai dengan kaedah dalam preseden, tak ada lagi gunanya untuk mengajukan upaya hukum kasasi ke hadapan supreme court. Bahkan tidak perlu memboroskan sumber daya peradilan untuk sebuah gugatan yang diperkirakan tidak akan dikabulkan—dengan merujuk pada preseden putusan hakim sebelumnya.
Kini, akibat sistem hukum di Indonesia tidak mengikat hakim untuk tunduk pada preseden ataupun terhadap undang-undang, banyak diantara warga yang kemudian berspekulasi, dengan mengajukan gugatan dengan asumsi naif yang sederhana: “Siapa tahu menang, karena hakimnya siapa tahu akan membangkan preseden dan menyimpangi undang-undang. Siapa tahu juga hakimnya bisa dibeli untuk menyimpangi undang-undang.”
Praktik anomali demikian diperkeruh dengan sikap kalangan Hakim Agung dalam tingkat kasasi yang mendua, dualistis, dan menerapkan standar ganda dalam putusan, sehingga tidak jarang kita jumpai putusan MA RI yang saling bertentangan antar putusan yang telah berkekuatan hukum tetap—alias membuka ruang nego dan transaksional dalam memutus.
Sebaliknya, di negara-negara Anglo Saxon, adalah percuma hakim melakukan kolusi ataupun korupsi, sebab PRESEDEN TIDAK  DAPAT DISIMPANGI. Hakim di Anglo Saxon tidak bebas dalam memutus, namun terikat oleh preseden. Menyuap hakim di negara Anglo Saxon adalah hal yang mubazir.
Fenomena gugatan dan upaya hukum kasasi hingga peninjauan kembali yang membanjiri lembaga peradilan hingga Mahkamah Agung di Indonesia, tidak lain yang menjadi biang keladi ialah “TIADANYA KEPASTIAN HUKUM”, sehingga melahirkan kalangan masyarakat spekulan yang disempurnakan oleh sikap pragmatis kalangan pengacara: “yang penting gugat, siapa tahu menang. Yang penting ajukan peninjauan kembali, siapa tahu menang. Yang penting coba suap, siapa tahu diterima.
Jika sudah demikian, seluruh warga masyarakat yang menjadi korban akibat tiadanya kepastian hukum. Bila ada yang menyebutkan bahwa keadilan hukum bukan terletak pada kepastian hukum, maka apakah kita akan mengandalkan “selera” hakim untuk menentukan apa itu “keadilan” dengan mengatasnamakan: “Mulut hakim adalah hukum itu sendiri.”—Dimana hakim dan putusannya dapat dibeli oleh pihak yang mampu secara ekonomi? Toh, hakim bebas untuk menyimpangi preseden dan undang-undang tanpa ada resiko sanksi apapun. Imun dan independen.
Bahkan, masyarakat awam hukum di negara-negara dengan tradisi common law sudah sejak lama telah menyadari, keadilan hanya dapat ditawarkan oleh kepastian hukum. Tidak ada keadilan yang dapat ditawarkan diluar kepastian hukum.
Baik dalam sektor bisnis / niaga, kontraktual, ketenagakerjaan, pertanahan, perdata, maupun pidana. Bukankah sungguh meletihkan menjadi seorang spekulan yang mengandalkan “selera” hakim ketika memutus, bagaikan “ber-jud-di” di meja hijau yang tidak dapat diprediksi arahnya. Untung-untungan, dalam arti yang sesungguhnya.
Bukan lagi soal benar atau salah, bukan juga lagi perihal apa bunyi preseden dan undang-undang, tapi berpulang pada “selera” sang hakim itu sendiri. Tidak ada yang lebih buruk dari profesi hukum di Indonesia.
Keliru ketika Anda berpikir spekulasi paling ekstrim berada di pasar modal. Spekulan paling ekstrim ialah kalangan hukum, bukan seorang pemain saham—setidaknya paradigma ini berlaku di negara-negara Civil Law seperti Indonesia. Oleh karenanya, wajar kalangan profesi hukum di Indonesia menuntut tarif yang tinggi. Semakin tinggi resiko, semakin tinggi imbal hasil.
Bila seorang akuntan dan ilmuan dapat menemukan rumus eksakta, senyawa A dicampur senyawa B menghasilkan molekul dengan suatu sifat tertentu, atau nonimal A dikalkulasi dengan nominal B akan menghasilkan nominal C yang dapat diadit dan memiliki suatu standar tertentu, maka tiada standar audit bagi putusan hakim yang demikian bebas dalam arti “kebal hukum”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.