Putusan MK RI Mengancam Negara KESATUAN Republik Indonesia

ARTIKEL HUKUM
Ketika Yang Seharusnya Ditolak, Justru Dikabulkan.
Yang Semestinya Dikabulkan, Justru Ditolak.
Tren yang terjadi sejak Republik Indonesia masuk dalam rezim Otonomi Daerah, ialah fenomena pemekaran wilayah, dimana sangat jarang dijumpai wacana penyatuan wilayah. Desentralisasi tanpa pengawasan dan tanpa otoritatif Pemerintah Pusat, hanya melahirkan raja kecil-raja kecil di daerah yang sukar ditundukkan—bahkan cenderung “besar kepala”.
Ketika rezim Otonomi Daerah tidak lagi mampu memahami batas kewenangannya, namun semakin menjelma “raksasa”, sejatinya mengancam eksistensi konsep negara kesatuan, tidak terkecuali NKRI dan Pancasila.
Prinsip utamanya, “Negara Kesatuan” memiliki konsep yang berbeda dengan “Negara Federal”. Sampai kapanpun, kedua konsep bangunan tata negara tersebut tidak pernah dapat di-kongruen-kan. Negara Kesatuan, memiliki ciri utama “TOP to DOWN”, dalam arti pucuk pimpinan tetaplah berasaskan “Satu nahkoda dalam satu kapal. Tidak boleh ada nahkoda kedua yang menjadi pesaing.” Mengarahkan jalannya negara / pemerintahan, ibarat mengarahkan arah laju kapal.
Sebaliknya, dalam konsep struktur tata negara tipe Federal, prinsip yang berlaku secara sakral ialah “DOWN to TOP”—dalam arti, masing-masing Negara Bagian sejatinya independen dan otonom, namun melimpahkan sebagian KECIL kewenangannya untuk menjadi urusan Pemerintah Federal.
Dalam konsep Negara Federal, masing-masing Negara Bagian sejatinya merupakan himpunan dari negara-negara merdeka (dalam arti sesungguhnya), oleh sebab itu pada negara-negara Federal seperti United State of America, dari segi sejarah pembentukan maupun praktik ketatanegaraan di Negeri Paman Sam tersebut hingga saat kini, tetap menjadikan Negara Bagian bersifat independen, karena sejak awal puluhan Negara Bagian Amerika Serikat memang merupakan negara-negara merdeka yang kemudian membentuk Federasi, atas kesepakatan masing-masing kepala pemerintahan negara-negara merdeka tersebut.
Kini, kita bercermin pada bangunan struktur Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sejak awal berdiri, masing-masing Provinsi, bahkan masing-masing Kabupaten / Kota, bukanlah negara mandiri yang independen, karena bisa juga merupakan hasil pemekaran wilayah.
Otonomi seluas-luasnya yang merupakan konsep Negara Federal, hanya cocok diberikan kepada Daerah Khusus Ibukota Yogyakarta serta Provinsi Aceh, yang dari sejak awal sejarah pendirian NKRI, D.I. Yogyakarta memang independen, yang kemudian memilih untuk bergabung dengan melimpahkan sebagian kewenangannya kepada Pemerintah Pusat. Seakan latah, kini tren tiap daerah menunjukkan fenomena “berlomba-lomba” menuju Otonom Penuh.
Hingga saat artikel ini disusun, NKRI memiliki 34 buah Provinsi, sementara jumlah Kabupaten di Indonesia tercatat sudah berjumlah 415 buah, Kotamadya berjumlah 93 buah, Kabupaten Administrasi (Kepulauan Seribu), dan 5 buah Kota Administrasi yaitu Kota Administrasi Jakarta Barat, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Utara, serta Jakarta Pusat. Jumlah tersebut akan terus bertambah seiring perjalanan waktu.
Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di Indonesia, tergolong sangat produktif. Betapa tidak, berbagai Peraturan Daerah (Perda) terkait retribusi, adalah salah satu Perda “dis-insentif” yang paling kerap dikeluhkan kalangan pelaku usaha, mematikan minat investor, “menggerahkan” Pemerintah Pusat, bahkan tergolong sebagai Perda yang paling kerap diterbitkan daerah-daerah otonom dalam rangka “Otonomi Daerah”.
Sampai-sampai, pembuatan e-KTP yang oleh undang-undang dinyatakan tanpa retribusi, tercatat sebuah Kabupaten memungut biaya pembuatan e-KTP dengan dasar Perda. Puluhan ribu Perda telah dimiliki NKRI.
Fungsi dari pengawasan dan penindakan oleh Pemerintah Pusat terhadap Pemerintah Daerah, ialah paling utama untuk melindungi kalangan minoritas dari “Perda (yang) diskriminatif”—alias berjiwa dan dibentuk dengan semangat “intoleran”.
Pembatalan Perda oleh kalangan minoritas, tidaklah populis secara beban sosial masyarakat dari golongan minoritas. Ketika kewenangan pengawasan serta penindakan Pemerintah Pusat, diamputasi, apa yang kemudian akan terjadi?
Mantan Ketua Mahkamah Agung RI (MA RI), Bagir Manan, menyatakan bahwa pembatalan Perda bukanlah monopoli lembaga MA RI—mengingat faktor de facto, jumlah Hakim Agung kamar Tata Usaha Negara sangat terbatas, disamping jumlah beban tumpukan perkara kasasi yang deras mengalir ke lembaga tersebut. Sehingga yang tepat ialah “gotong royong” antara Pemerintah Pusat dan MA RI dalam membatalkan Perda-Perda bermasalah.
BBC dalam tajuknya berjudul “Menteri tak bisa cabut, perda 'diskriminatif' makin banyak?” (Isyana Artharini, Wartawan BBC Indonesia, 7 April 2017, diakses dari http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-39515623), menuliskan sebagai berikut:
“Mahkamah Konstitusi sudah membatalkan kewenangan Mendagri dalam membatalkan Perda setelah dimohonkan Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi).
“Menurut Tjahjo, akibat putusan MK ini, potensi yang mengkhawatirkan adalah program deregulasi untuk investasi dari pemerintah secara terpadu (pusat dan daerah) akan terhambat karena ‘masih banyak Perda yang bertentangan dengan UU lebih tinggi dan memperpanjang birokrasi perizinan investasi lokal dan nasional serta internasional. Di sisi lain, saya sebagai Mendagri juga sangat tidak yakin MA mampu membatalkan Perda dalam waktu dekat atau singkat karena harus satu per satu diputuskan. Pengalaman pada tahun 2012, hanya ada dua Perda yang dibatalkan oleh MA,’ kata Tjahjo lagi.
Presiden Jokowi dan Mendagri pada Juni 2016 lalu sudah mengumumkan pembatalan 3.143 perda bermasalah, karena ‘menghambat pertumbuhan ekonomi daerah dan memperpanjang jalur birokrasi’.
“Kekhawatiran Mendagri juga disampaikan oleh Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, KPPOD, Robert Endi Jaweng. Menurut Robert, di satu sisi, masih ada banyak perda bermasalah, bukan hanya untuk investasi, tapi juga dari sisi diskriminasi sosial, sementara satu-satunya saluran untuk membatalkan perda bermasalah itu bersifat pasif, karena Mahkamah Agung menunggu gugatan datang dari masyarakat, selain juga proses sidangnya tertutup, sementara masyarakat belum terlalu aktif melaporkan perda bermasalah itu ke MA.
“‘Kalau Mahkamah Agung bisa bekerja cepat, dan masyarakat juga aktif melaporkan gugatan, maka terhadap kemunculan berbagai perda bermasalah dalam membentuk iklim investasi, soal perizinan usaha, soal pungutan pajak retribusi, tentu masalah bisa diselesaikan. Tapi data menunjukkan, dalam 17 tahun kita otonomi daerah, tidak lebih dari 100 perda itu dicabut oleh Mahkamah Agung,’ kata Robert.
“Robert mengkhawatirkan bahwa pemerintah daerah, setelah mengetahui perda akan semakin sulit dibatalkan, akan menggunakan momen ini untuk memunculkan makin banyak perda yang menyulitkan dari sisi perizinan, pungutan dan iklim usaha secara umum, tapi menambah pendapatan asli daerah.
“‘Sumber utama pertumbuhan ekonomi itu pada investasi, dan bukan pada pungutan untuk mendapatkan PAD jangka waktu pendek lima tahun, tapi berdampak serius bagi kerusakan ekonomi pada jangka panjang,’ ujarnya.
“Setelah putusan MK ini, Erasmus Napitupulu, peneliti Institute for Criminal Justice Reform, mencemaskan munculnya lebih banyak peraturan daerah kabupaten atau kota yang bersifat diskriminatif dan intoleran.
“‘Dari catatan yang kami punya, misalnya, ada hampir 300 perda yang diskriminatif dan intoleran pada perempuan, sehingga ketakutan kami adalah kalau pemerintah tidak diberi lagi kemampuan untuk mencabut perda ini, maka potensi pelanggaran hak asasi manusianya justru lebih kuat,’ kata Erasmus.
“Erasmus juga mencatat bahwa dari 3.143 perda yang dibatalkan, semuanya terkait investasi dan perizinan, tapi tidak ada perda yang membahas diskriminasi atau intoleransi, sehingga dengan pembatalan kewenangan Mendagri untuk mencabut perda bermasalah, maka akan semakin sulit untuk mengatasi perda-perda diskriminatif tersebut.”
BBC juga menurunkan artikel “Mengapa Perda Syariah bermunculan di Indonesia sejak 1998?” (Liston P Siregar, BBC Indonesia 21 Februari 2017, diakses dari http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-39033231), menuliskan:
“Sebuah buku yang membahas peningkatan peraturan daerah atau Perda Syariah di Indonesia berjudul Politics of Shari'a Law diluncurkan di SOAS, University of London.
“Buku itu ditulis oleh Dr. Michael Buehler, dosen perbandingan politik di SOAS, yang melakukan penelitian lapangan antara lain di Sulawesi Selatan dan Jawa Barat maupun kawasan-kawasan lain, seperti Banten dan Aceh.
“Buku yang diterbitkan Cambridge University Press ini pada dasarnya mengkaji latar belakang dari peningkatan penerapan Perda Syariah di berbagai daerah di Indonesia walau perolehan suara partai-partai Islam justru menurun.
“... muncul 443 Perda Syariah yang diterapkan di berbagai wilayah di Indonesia sejak tahun 1998.
Wawancara dengan Dr. Michael Buehler
BBC Indonesia: Apakah menurut Anda di masa depan akan ada ancaman atas Pancasila?
Dr. Buehler: Saya kira semangat Pancasila sudah dirusak selama beberapa waktu dan itu sebelum Perda Syariah diterapkan. Suharto, seperti yang Anda tahu, menggunakan Pancasila untuk melakukan penekanan terhadap berbagai bentuk oposisi atas rezimnya.
Hal ini, menurut beberapa pihak, membuat Indonesia kosong ideologi, yang sekarang diisi oleh Islam konservatif. Dengan demikian, saya kira Perda Syariah tentu saja tidak membantu Pancasila. Jadi, ya saya kira Perda Syariah merupakan ancaman bagi ideologi Pancasila.”
Secara lebih pesimistis, Kyle Knight, peneliti HRW, menusliskan dalam artikel berjudul “Presiden Jokowi Gagal Menghapuskan Hukum Syariah yang Kejam Karena mengulur-ulur waktu, Presiden Jokowi melewatkan kesempatan untuk melindungi hak asasi manusia” (diakses dari https://www.hrw.org/id/news/2017/04/13/302313), menusliskan:
“Hak asasi warga Indonesia menghadapi risiko lebih besar menyusul putusan Mahkamah Konstitusi pekan ini yang menyatakan bahwa pemerintah pusat tidak bisa lagi mencabut peraturan daerah Syariah (hukum Islam) yang diadopsi Indonesia.
“Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah telah menganalisis kesesuaian sejumlah peraturan daerah untuk memenuhi konstitusi Indonesia yang sekuler, dan berjanji untuk mencabut sejumlah peraturan yang tidak sejalan dengan konstitusi negara. ‘Saya ingin menggarisbawahi bahwa Indonesia bukan negara berbasis agama,’ kata Menteri Dalam Negeri tahun 2015. Namun saat itu pemerintah tampak enggan menerjemahkannya dalam tindakan nyata, dan menghindari kontroversi dengan membiarkan perda Syariah diterapkan secara utuh.
“Presiden Jokowi Gagal Menghapuskan Hukum Syariah yang Kejam. Mahkamah Konstitusi Rabu lalu dalam putusannya mencabut kewenangan Kementerian Dalam Negeri untuk membatalkan peraturan daerah bermasalah—sehingga kini pemerintah tidak lagi bisa meninjau peraturan daerah yang mengancam hak berekspresi dan berserikat.
“Meski Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengklaim telah membatalkan lebih dari 3.000 perda bermasalah pada 2015 dan 2016, dia mengakui bahwa peraturan-peraturan yang dicabut hanyalah yang berdampak pada investasi, tidak mencakup perda syariah yang kejam. Perda-perda yang dibatalkan itu merupakan ‘peraturan-peraturan daerah bermasalah’ karena melanggar semboyan negara dari ‘bhinneka tunggal ika,’ bukan peraturan yang melanggar hak-hak fundamental.
“Kini, setelah bertahun-tahun pemerintah pusat bergerak lamban, Mahkamah Konstitusi akhirnya memutuskan Kementerian Dalam Negeri tidak bisa lagi mencabut peraturan daerah.”
“Presiden Jokowi telah berkata bahwa dia akan mencari cara-cara lain untuk meningkatkan investasi. Namun dia juga harus menjelaskan bagaimana dia akan melindungi kalangan minoritas yang terancam dengan adanya hukum Syariah. Saat ini dua pria di Aceh sedang menunggu hukuman cambuk di hadapan publik atas hubungan sesama jenis di bawah perda dengan landasan Syariah. Keputusan Mahkamah Konstitusi tidak membuat Jokowi terbebas dari kewajibannya untuk menegakkan hukum internasional yang disandang Indonesia.
“Untuk pertama kalinya, Jokowi harus menunjukkan kepemimpinan nyata melawan meningkatnya intoleransi di Indonesia, negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Kalangan minoritas di Indonesia, yang berada dalam tekanan hukum Syariah, membutuhkan seorang presiden yang akan memastikan ‘bhinneka tunggal ika’ bagi seluruh warga Indonesia.”
CNN pun menurunkan berita serupa, “Pemerintah Jokowi Luput Perhatikan Perda Intoleran Raja Eben Lumbanrau”, CNN Indonesia 14/06/2016, (diakses dari: http://www.cnnindonesia.com/politik/20160614101016-32-137999/setara-pemerintah-jokowi-luput-perhatikan-perda-intoleran/ ), yang menusliskan:
“Setara Institute menilai pemerintah hanya fokus pada peraturan daerah terkait persoalan ekonomi seperti pajak, retribusi, dan aturan lain yang melemahkan daya saing serta memperumit birokrasi bisnis. Namun di sisi lain, mengabaikan perda intoleran yang kini menjadi sorotan publik.
“’Sementara perda-perda yang diskriminatif dan intoleran atas dasar agama, keyakinan, peran gender, dan diskriminatif terhadap perempuan, luput dari perhatian Kemendagri,’ kata Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani dalam keterangan tertulisnya kepada media.
“Menurut Ismail, Jokowi hanya menjelaskan secara umum soal perda yang dibatalkan, seperti perda yang menghambat pertumbuhan ekonomi daerah, memperpanjang jalur birokrasi, menghambat proses perizinan dan investasi, menghambat kemudahan berusaha, dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
“Namun, ujar Ismail, Kemendagri tidak merilis detail jenis perda yang dibatalkan. Pembatalan tersebut memecahkan rekor praktik pembatalan perda sejak pemberlakuan otonomi daerah. Jika ditotal, sejak 2002 hingga saat ini, pemerintah telah membatalkan 7.029 perda.
“Dari 2002 hingga 2009, pemerintah telah membatalkan 2.246 perda. Selanjutnya pada 2010 hingga 2014, sebanyak 1.501 perda dibatalkan. Menyusul November hingga Mei 2015 sebanyak 139 perda dibatalkan.
“Ismail mempertanyakan apakah pembatalan perda-perda tersebut mencakup 21 perda diskriminatif yang sebelumnya pernah dikaji Mendagri, 365 perda diskriminatif yang dikaji Komnas Perempuan, atau 53 perda diskriminatif atas dasar agama yang dicatat Setara Institute.
“Di tengah kecaman atas dampak perda intoleran di Serang dan sejumlah daerah lainnya, ujar Ismail, seharusnya Kemendagri lebih bergegas dan tak hanya berorientasi pada penghapusan faktor penghambat daya saing ekonomi.
“Kemendagri diminta mulai mengkaji perda-perda yang menjadi dasar pengesahan tindakan intoleransi dan diskriminasi yang tersebar di seluruh Indonesia.
“Perda-perda intoleran tersebut sangat nyata bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945," kata Ismail.
“Besarnya jumlah perda yang dibatalkan, menurut Ismail, merupakan bukti nyata rendahnya kualitas legislasi daerah. Mekanisme preventif pembentukan perda yang seharusnya dijalankan oleh Kemenkum HAM dan Kemendagri pun tidak berjalan optimal.”
“Sementara Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo kemarin menyatakan akan mengeluarkan surat edaran kepada kepala daerah supaya tidak lagi mengeluarkan instruksi atau peraturan daerah yang berpotensi menggangu toleransi dan kemajemukan bangsa.”—Pertanyaannya: bagaimana bila para Kepala Daerah membangkang, terlebih hanya sebuah instruksi? Bukankah Kepala Daerah juga dipilih langsung oleh rakyat?
Seakan tidak belajar dari tanggapan negatif yang menyatakan putusan Mahkamah Konstitusi RI (MK RI) sebagai “mudarat”, MK RI dalam putusannya Nomor 56/PUU-XIV/2016 di Gedung MK, tanggal 14 Juni 2017, kembali menghapus sejumlah pasal dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, sehingga praktis MK RI juga menghapus wewenang Pemerintah Pusat untuk membatalkan Perda Provinsi—dimana dalam putusan sebelumnya (Putusan No. 137/PUU-XIII/2015), MK RI hanya mengamputasi kewenangan Pemerintah Pusat terhadap Perda Kabupaten/Kota.
Alhasil, kini Mahkamah Agung diberikan “hak monopoli” oleh MK RI untuk membatalkan dan menguji materiil Perda—kewenangan monopoli yang tidak disukai oleh para Hakim Agung di MA RI itu sendiri. NKRI ini membutuhkan gerakan untuk kembali pada konsep awal Negara Kesatuan, mengapa justru ciri Negara Kesatuan kian di-“kaburkan”?                                                                    
Mau dibawa kemana, NKRI yang sudah demikian terluka dan “tambal-sulam” akibat penuh ketidakjelasan konsep tata negara ini? Ketika Pemerintah Pusat diamputasi kewenangannya, maka patutlah kita berkata, tiada lagi NKRI, tiada lagi Pancasila, yang ada ialah Otonomi tanpa batas, dan Perda Syariah yang tidak lagi mengusung konsep kebhinekaan ala Pancasila akan semakin “menggurita”, sedikit demi sedikit merong-rong NKRI dan Pancasila. Judicial Review ke MK RI tersebut diajukan oleh kalangan yang mengaku sebagai buruh, yang anehnya, justru membela berbagai Perda penghambat investasi, sehingga penyerapan tenaga kerja pada hilirnya justru menjadi terhambat alias stagnan.
© SHIETRA & PARTNERS Copyright.