Pidana Produksi Pangan Berformalin

LEGAL OPINION
Fakta Empiris Merupakan Salah Satu Jenis Alat Bukti
Question: Apa hukumannya, bila seseorang tertangkap membuat makanan dengan bahan pengawet yang berbahaya bagi kesehatan pembeli?
Brief Answer: Bukan hanya dapat dipidana penjara berdasarkan undang-undang tentang pangan dan kesehatan, namun juga dapat dijerat undang-undang tentang perlindungan konsumen, tidak terkecuali bila konsumen sampai tewas karenanya sehingga dapat diberlakukan pula Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (sebagai kesengajaan dengan kemungkinan / kepastian dapat membunuh konsumen), tanpa mengurangi hak para korban (konsumen) untuk menggugat secara perdata.
Praktik-praktik penjualan bahan pangan / makanan yang berbahaya bagi kesehatan, adalah sebentuk tindakan tidak beradab yang sudah selayaknya mendapat tindakan secara tegas oleh otoritas dibidang pengawas obat dan makanan (POM). Adalah tidak dapat dibenarkan untuk alasan apapun, mencari nafkah dengan mengorbankan kesehatan dan kehidupan manusia lainnya.
Dalam tindak pidana pangan, belum terdapat jatuhnya korban meninggal atau menjadi terjangkit penyakit untuk dijadikan saksi, bukanlah faktor determinan dalam stelsel pembuktian pidana, karena sifat merusak bahan pangan berbahaya ialah tidak tampak seketika itu juga.
Adanya bukti “pangan mengandung bahan berbahaya” dan fakta “diperjual-belikan” sudah merupakan dua alat bukti paling minimum yang dapat dijerat pidana bagi pihak pelaku selaku produsen maupun penjual. Fakta empiris adalah alat bukti itu sendiri.
PEMBAHASAN:
Sebagai ilustrasi, SHIETRA & PARTNERS untuk itu akan merujuk pada putusan Mahkamah Agung RI perkara pidana pangan register Nomor 145 K/Pid.Sus/2015 tanggal 30 September 2015, Terdakwa dihadapkan ke persidangan dengan dakwaan telah melakukan produksi pangan untuk diedarkan yang dengan sengaja menggunakan bahan yang dilarang digunakan sebagai bahan tambahan pangan sebagai dimaksud Pasal 75 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, yaitu menggunakan formalin dalam produksi mie basah, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 136 huruf b Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
Berawal pada awal tahun 2013, Terdakwa membuka usaha produksi mie basah yang terletak di rumah Terdakwa di Kota Bima, dan mie basah yang diproduksi Terdakwa menggunakan bahan-bahan antara lain tepung terigu, bubuk soda, garam dan pewarna kemudian semua bahan dicampur menjadi adonan, selanjutnya diproses menjadi lembaran-lembaran yang kemudian digiling dengan menggunakan mesin sehingga menjadi mie mentah.
Selanjutnya mie tersebut direbus sampai matang lalu ditambahkan minyak kelapa, ditiriskan dan diangin-anginkan sampai dingin untuk selanjutnya dikemas dalam kemasan plastik yang kemudian dijual ke pasar raya Bima.
Karena mie produksi Terdakwa tersebut cepat basi, dimana Terdakwa dalam menjalankan bisnis tidak mau mengenal resiko merugi karena hanya mau mendapat laba, maka sewaktu Terdakwa merebus mie yang dibuatnya, Terdakwa menambahkan bahan yang dilarang digunakan sebagai tambahan pangan berupa formalin dalam air rebusan mie basah yang diproduksi Terdakwa, dimana perbuatan Terdakwa tersebut sudah pernah diperingatkan oleh petugas dari Balai POM Mataram dan dengan adanya peringatan tersebut Terdakwa sempat berhenti menggunakan formalin, namun karena Terdakwa merugi terus akibat mie basah produksinya cepat membusuk maka Terdakwa kembali menambahkan formalin dalam air rebusan mie basah produksinya—seakan diri pelaku tidak boleh merugi, namun kesehatan orang lain boleh merugi akibat perbuatannya.
Atas perbuatan Terdakwa yang tetap menambahkan bahan yang dilarang digunakan sebagai bahan tambahan pangan berupa formalin dalam mie basah produksinya, maka pada Juli 2013 setelah diketahui oleh Petugas dari BBPOM Mataram dan Polres Bima, dilakukan operasi gabungan di daerah Bima untuk melakukan pemeriksaan terhadap air rebusan mie dan mie basah produksi Terdakwa.
Dari hasil pengujian terhadap air rebusan mie dan mie basah produksi Terdakwa oleh BBPOM Mataram, hasilnya ialah positif mengandung formalin dan diakui pula oleh Terdakwa pada saat itu selanjutnya petugas menyita sebuah jerigen yang berisikan cairan formalin sekitar seperempat jerigen, 1 botol air rebusan mie yang mengandung formalin dan mie basah kemasan plastik sebanyak 12 kg dari Terdakwa untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Berdasarkan Laporan Pengujian Pangan dan Bahan Berbahaya Laboratorium Pangan dan Badan Berbahaya Badan POM RI, diperoleh kesimpulan bahwa barang bukti yang dilakukan pengujian positif mengandung formalin.
Terhadap tuntutan Jaksa, yang kemudian menjadi putusan Pengadilan Negeri Raba Bima No. 450/Pid.B/2013/PN.RBI tanggal 20 Februari 2014, dengan amar lengkap sebagai berikut :
MENGADILI :
1. Menyatakan Terdakwa ABU BAKAR telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ‘Menggunakan bahan yang dilarang digunakan sebagai bahan tambahan pangan’;
2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa ABU BAKAR tersebut dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan dan 15 (lima belas) hari;
3. Menetapkan lamanya Terdakwa berada dalam tahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.”
Atas upaya banding yang diajukan Terdakwa, Pengadilan Tinggi Mataram dalam putusannya No. 43/PID/2014/PT.MTR. tanggal 7 Mei 2014 justru memperberat vonis yang telah dijatuhkan, dengan amar sebagai berikut :
MENGADILI :
- Menerima permintaan banding dari Terdakwa tersebut;
- Memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Raba Bima Nomor : 450/Pid.B/2013/PN.RBI tanggal 20 Februari 2014 yang dimintakan banding tersebut, sekedar mengenai pidana yang dijatuhkan kepada Terdakwa sehingga amarnya berbunyi sebagai berikut :
- Menghukum Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan;
- Menetapkan lamanya Terdakwa berada dalam tahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.”
Meski vonis yang dijatuhkan pengadilan sangat minim, mengingat pelaku melakukan pelanggaran sengaja disengaja dan berulang-kali, tidak sebanding dengan potensi resiko kesehatan yang dialami masyarakat selaku konsumen, Terdakwa tanpa mau menyadari kekeliruannya, tetap mengajukan upaya hukum kasasi, dengan alasan keterangan konsumen yang dihadapkan sebagai saksi di persidangan, setelah mengkonsumsi mie produksi Terdakwa, saksi tidak mengalami adanya gangguan kesehatan bagi diri sang saksi.
Terdakwa mendalilkan pula, Pasal 185 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang memiliki ketentuan norma imperatif: “Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa Terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.”
Tanpa mau menyadari sifat bahan berbahaya sebagai campuran pangan yang merusak kesehatan konsumen yang tidak akan tampak secara seketika, seakan sebagai suatu pembenaran diri sang pelaku, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan yang tegas serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa atas alasan-alasan kasasi dari Pemohon Kasasi / Terdakwa tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“Bahwa alasan-alasan kasasi dari Pemohon Kasasi/Terdakwa tersebut tidak dapat dibenarkan, dengan pertimbangan sebagai berikut :
- Bahwa Judex Facti tidak salah menerapkan hukum dalam hal menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana melanggar Pasal 136 huruf b Undang-Undang No. 18 Tahun 2012;
- Bahwa Terdakwa terbukti dengan sengaja memproduksi mie basah dengan menggunakan formalin yang merupakan zat atau bahan terlarang untuk dicampurkan dalam makanan, baik dalam jumlah sedikit maupun banyak. Terdakwa menggunakan formalin untuk bahan pengawet agar mie basah yang diproduksi bisa bertahan lama, padahal formalin bukanlah bahan pengawet makanan melainkan bahan pengawet untuk mayat/orang meninggal dunia agar bisa bertahan lama dan tidak busuk. Bahwa terbukti saat dilakukan uji laboratorium atas mie basah milik Terdakwa, hasilnya positif dinyatakan mengandung formalin;
- Bahwa bukan kali pertama Terdakwa menggunakan formalin melainkan setiap kali memproduksi mie basah Terdakwa selalu menggunakannya dan setelah itu Terdakwa menjual mie basah tersebut ke pasar. Saat Terdakwa ditangkap, Terdakwa memproduksi mie basah dengan menggunakan formalin sebagai bahan pengawet makanan;
- Bahwa menurut keterangan ahli Nanang Suryana Harahap, formalin tujuannya untuk membunuh bakteri dan tidak dapat digunakan untuk campuran makanan hanya berguna untuk bahan pembersih pakaian, lantai dsb;
- Bahwa formalin sangat dilarang digunakan untuk makanan sebagaimana diatur dalam PP No. 033 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan;
- Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Terdakwa terbukti memproduksi mie basah dengan menggunakan formalin sebagai bahan pengawet. Perbuatan Terdakwa tersebut dapat membahayakan kesehatan manusia dan dapat menimbulkan berbagai macam penyakit berbahaya diantaranya penyakit kanker. Dengan demikian Terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana melanggar Pasal 136 huruf b Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 dan patut dijatuhi pidana;
- Bahwa oleh karena itu putusan Judex Facti/Pengadilan Tinggi Mataram yang memperberat putusan Judex Facti/Pengadilan Negeri Raba Bima dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan, melanggar Pasal 136 huruf b Undang-Undang No. 18 Tahun 2012, merupakan putusan yang benar menurut hukum dan cara mengadili telah sesuai dengan ketentuan undang-undang serta tidak melampaui batas-batas kewenangannya, maka beralasan hukum permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi / Terdakwa untuk ditolak;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, lagi pula ternyata, putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi / Terdakwa tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Terdakwa : ABU BAKAR tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.