Pekerja Memutus Hubungan Kerja Sebelum PKWT Berakhir

LEGAL OPINION
Gugatan yang Berbuntut Gugatan Balik, Konteks Penyelundupan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Asing
Question: Bila antara pegawai dan perusahaan, saling mengikat diri dalam PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu), jika perusahaan memutus hubungan kerja sebelum masa kerja dalam PKWT berakhir, maka perusahaan wajib membayar kompensasi bagi pegawai bersangkutan hingga masa kerja PKWT efektif berakhir. Nah, ini bagaimana jika sebaliknya, pegawai yang tidak kembali masuk kerja (mangkir) ditengah perjalanan dan tidak pernah masuk lagi meski PKWT belum berakhir?
Brief Answer: Pada prinsipnya sama saja kaedah normanya, sebagai prinsip resiprokal, bila Pengusaha yang memutus hubungan kerja sebelum masa Kerja Kontrak berakhir, maka Pengusaha dibebani kewajiban membayar Upah hingga senilai masa kerja dalam PKWT berakhir.
Sebaliknya pun berlaku prinsip yang senada, Pekerja akan dibebani kewajiban membayar kompensasi pemutusan hubungan kerja bila masa kerja dalam kontrak belum benar-benar berakhir. Kecuali, para pihak menyepakati diakhirinya lebih cepat hubungan kerja tersebut antar para pihak.
PEMBAHASAN:
Sebagai ilustrasi yang lebih ekstrim, Konkretisasi prinsip resiprositas dalam hubungan ketenagakerjaan, tertuang dalam putusan Mahkamah Agung RI sengketa PKWT register Nomor 34 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 3 Maret 2016, perkara antara:
- MR. CHAN KOK PENG Als. CHAN KOK PHENG, Pimpinan Manager Air Ruak Estate / Area Manager Perum PT. Rebinmas Jaya, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Penggugat; melawan
- PT. REBINMAS JAYA, selaku Termohon Kasasi dahulu Tergugat.
Penggugat merupakan tenaga kerja Asing (TKA) pada PT. Rebinmas Jaya (Tergugat), terhitung sejak 1 Februari tahun 2012 sampai dengan 31 Januari 2013, sementara ikatan kerja kontrak kedua terhitung 1 Februari 2013 sampai dengan 31 Januari 2015.
Sistem kontrak yang dilakukan untuk paling lama 2 tahun dan hanya boleh diperpanjang hanya 1 kali untuk jangka waktu paling lama 1 tahun, dengan kata lain paling lama 3 tahun sebagaimana diatur Pasal 59 ayat (1) sub (b) juncto ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Konsekwensinya, status Penggugat adalah sebagai Pekerja Waktu Tertentu (PKWT).
Ternyata sebelum jangka waktu hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat dengan sistem kontrak (PKWT) efektif berakhir pada tanggal 31 Januari 2015, Penggugat pada 17 Desember 2014 telah dikembalikan oleh Tergugat ke Malaysia dengan alasan Visa/IMTA berakhir sehingga tindakan Tergugat tersebut dinilai telah melanggar Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
Untuk itu konsekwensinya sesuai dengan ketentuan Pasal 62 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan untuk membayar ganti-rugi kepada Penggugat sebesar upah Penggugat sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian yaitu gaji hingga pada bulan Januari 2015 dengan total senilai Rp63.000.000,00.
Terhadap gugatan sang Pekerja, pihak Pengusaha mengajukan gugatan balik (rekonvensi), dengan dalil-dalil bahwasannya seiring kontrak kerja berjalan, tepatnya pada tanggal 17 Desember 2014, Penggugat meminta izin kepada Tergugat untuk meninggalkan pekerjaannya pulang ke Malaysia dengan alasan Penggugat akan menikahkan anaknya di Malaysia dan mengurus kelengkapan dokumen persyaratan kerja dan bekerja pada perusahaan Tergugat.
Tergugat terhitung tanggal 18 Desember 2014 memberikan izin kepada Penggugat untuk meninggalkan pekerjaannya dan pulang kembali bekerja/masuk kerja pada tanggal 27 Desember 2014. Sampai batas waktu izin yang telah diberikan oleh Tergugat berakhir tepatnya pada tanggal 27 Desember 2014, Penggugat belum masuk kerja sebagaimana mestinya dan Pengguggat tidak ada memberikan kabar atau berita secara jelas kepada Tergugat kepulangannya, sehingga membuat pekerjaan di lapangan pada perusahaan Tergugat menjadi terhambat dan terbengkalai.
Perbuatan yang dilakukan Penggugat dinilai melanggar kontrak kerja yang disepakati. Sikap yang ditunjukan oleh Penggugat yang tidak disiplin, mencerminkan dan memberikan contoh yang tidak baik kepada tenaga kerja yang lainnya yang bekerja pada perusahaan Tergugat, dikarenakan posisi jabatan Penggugat adalah bagian daripada unsur pimpinan perusahaan, seyogyanya pimpinan perusahaan memberikan teladan yang baik terhadap bawahannya.
Tergugat mengklaim mengalami Kerugian Immateril akibat Penggugat Konvensi melanggar kontrak kerja yang telah disepakati, mengakibatkan pekerjaan dilapangan menjadi terhambat dan terbengkalai, dimana kontrak kerja antara Penggugat dengan Tergugat berakhir/jatuh tempo pada 31 Januari 2015, maka Penggugat memiliki kewajiban melaksanakan pekerjaan sebagaimana mestinya hingga kontrak kerja yang telah disepakati berakhir.
Dikarenakan Penggugat yang telah mengakhiri hubungan kerja secara sepihak, yaitu tepatnya terhitung bulan Desember 2014, maka wajar apabila Penggugat dihukum untuk membayar sisa kontrak kerja pada bulan Januari 2015 kepada Tergugat yang besarannya mengacu/sesuai kontrak kerja yaitu sampai dengan 31 Januari 2015.
Pihak yang mengakhiri hubungan kerja sebelum kontrak kerja berakhir/jatuh tempo, maka kepada pihak yang mengakhiri kontrak kerja berkewajiban membayarkan sisa kontrak, karena didalam perkara ini, Penggugat yang dinilai telah mengakhiri hubungan kerja secara sepihak sebelum kontrak kerja yang disepakati berakhir, maka Penggugat berkewajiban membayar sisa kontrak pada bulan Januari 2015 kepada Tergugat—sebab, sampai berakhirnya kontrak kerja pada bulan Januari 2015, Penggugat tidak kembali ke perusahaan untuk melaksanakan pekerjaan sebagaimana mestinya.
Terhadap gugatan sang Pekerja, Pengadilan Hubungan Industrial Pangkalpinang kemudian menjatuhkan putusan Nomor 02/Pdt.Sus.PHI/2015/PN.Pgp. tanggal 9 Juni 2015, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
Dalam Konvensi:
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan Penggugat adalah syah sebagai tenaga kerja asing PKWT pada PT. Rebinmas Jaya beralamat Jalan P. Jayakarta Nomor 45 Jakarta Pusat, cq. PT. Rebinmas Jaya, Jalan Dusun Parit Gunung, Desa Air Batu Buding, Kecamatan Badau, Kabupaten Belitung, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung;
3. Menyatakan sah kontrak hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat dengan segala akibat hukumnya;
4. Mengabulkan petitum Penggugat tentang pembayaran Jaminan Hari Tua (JHT) sebesar Rp54.390.000,00 dan ongkos pulang pekerja sebesar Rp9.450.000,00 dengan total sebesar Rp63.840.000,00 (enam puluh tiga juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah);
5. Menyatakan menurut hukum bahwa Tergugat telah melanggar Undang Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek;
6. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya;
Dalam Rekonvensi :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat Rekonvensi / Tergugat Konvensi untuk sebagian;
2. Menyatakan kontrak kerja antara Penggugat Rekonvensi / Tergugat Konvensi dengan Penggugat Konvensi / Tergugat Rekonvensi adalah sah secara hukum;
3. Menyatakan Hubungan kerja antara Pengugat Rekonvensi/Tergugat Konvensi dengan Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi diputus sepihak sebelum masa kontrak kerja berakhir oleh Tergugat Rekonvensi / Penggugat konvensi;
4. Menghukum Tergugat Rekonvensi / Penggugat Konvensi untuk membayar sisa kontrak kerja pada bulan Januari 2015 kepada Pengggugat Rekonvensi / Tergugat Konvensi sejumlah Rp63.000.000,00 (enam puluh tiga juta rupiah);
5. Menghukum Tergugat Rekonvensi / Penggugat konvensi untuk tunduk dan taat pada putusan ini;
6. Menolak gugatan Penggugat rekonvensi / Tergugat konvensi untuk selain dan Selebihnya.”
Sang Pekerja mengajukan upaya hukum kasasi, dengan argumentasi bahwa pihak Pengusaha telah memutarbalikan fakta seolah-seolah Penggugat yang mengakhiri hubungan kerja secara sepihak, sehingga Penggugat dibebankan untuk membayar ganti-rugi atas nilai sisa kontrak yang belum berakhir.
Seharusnya Hakim Judex Facti (PHI) menyadari, mengapa Penggugat tidak datang kembali ke Indonesia setelah habis cuti, itu justru karena ada pemberitahuan dari Tergugat bahwa IMTA / KITAS sudah berakhir, dengan demikian Penggugat tidak bisa kembali ke Indonesia.
Penggugat tidak dapat kembali bekerja ke Indonesia, sebab kalau dipaksa untuk kembali, maka Penggugat dapat dideportasi oleh Pemerintah Indonesia apabila tanpa adanya IMTA. Dengan demikian tidak kembalinya Penggugat untuk melaksanakan kewajibannya untuk bekerja, bukanlah kehendak prbadi Penggugat, melainkan akibat karena tidak bisa kembali dengan ada pemberitahuan dari Tergugat bahwa IMTA / KITAS sudah berakhir.
Dimana terhadap argumentasi sang Pekerja yang cukup rasional, Mahkamah Agung RI membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“Bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 1 Juli 2015 dan kontra memori kasasi tanggal 24 Agustus 2015 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Pangkalpinang tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa putusan Judex Facti sudah tepat dan benar Judex Facti tidak salah menerapkan hukum karena Judex Facti telah mempertimbangkan bukti-bukti kedua belah pihak dan telah melaksanakan hukum acara dengan benar dalam memutus perkara ini serta putusan Judex Facti tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang;
“Bahwa putusan Judex Facti/ PHI Pengadilan Negeri Pangkalpinang tersebut telah tepat dan benar;
“Bahwa Penggugat dengan alat bukti surat dan bukti saksinya telah berhasil membuktikan dalil gugatannya, sebalik pihak Tergugat dengan surat bukti dan saksi-saksinya tidak berhasil membuktikan dalil-dalil sangkalannya;
“Bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi dan bukti di persidangan telah terbukti Tergugat Rekonvensi / Penggugat Konvensi telah mengajukan cuti dari tanggal 18 Desember 2014 sampai dengan 27 Desember 2014 untuk menikahkan anak perempuannya di Malaysia dan disetujui oleh pihak PT. Rebinmas Jaya dan seharusnya Penggugat kembali pulang ke Indonesia untuk menyelesaikan kontrak kerja yang telah disepakati sebagaimana bukti extension for the contract of services (bukti P.l =T.2) akan tetapi kenyataannya Tergugat Rekonvensi / Penggugat Konvensi tidak kembali pada waktu yang ditetapkan hingga berakhirnya masa kontrak kerja, dengan demikian dapat dinyatakan pihak Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi telah secara sepihak meninggalkan pekerjaannya sebagai Area Manager pada PT. Rebinmas Jaya;
“Bahwa alasan kasasi tidak dapat dibenarkan, karena merupakan penilaian terhadap fakta dan hasil pembuktian di persidangan yang tidak tunduk pada pemeriksaan kasasi;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata bahwa Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Pangkalpinang dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi Mr. Chan Kok Peng Als. Chan Kok Pheng tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi MR. CHAN KOK PENG Als. CHAN KOK PHENG tersebut.”
Fenomena “dengan penuh kepercayaan diri mengajukan gugatan”, berbuntut pada rusaknya reputasi diri sendiri disamping kenyataan pahit berupa digugat-baliknya Penggugat oleh Tergugat, bukanlah hisapan jempol, dan juga bukan wujud anomali—namun sangat masif dijumpai dalam praktik hukum di pengadilan.
Sebagaimana pengalaman pribadi penulis dalam memberikan jasa layanan konsultasi hukum, berbagai latar belakang klien secara serta-merta menggebu-gebu hendak menggugat, tanpa mau menyadari hukum positif yang berlaku (lebih tepatnya berbagai kelemahan sistem hukum di Indonesia), dan tanpa mau mengetahui hak dan kewajiban masing-masing pihak yang saling terlibat sengketa, posisi hukum masing-masing, maupun kontribusi kesalahan masing-masing.
Tanpa edukasi yang baik dari seorang konsultan yang objektif dan memberi opini hukum secara netral berdasarkan itikad baik dan best knowledge sang konsultan, tentunya praktik peradilan menjelma inflasi hukum yang sangat memboroskan waktu serta energi.
Dalam pandangan pribadi penulis, yang dihadapi Penggugat selaku Pekerja adalah “berhadapan dengan penyelundupan hukum” yang dilakukan pihak Pengusaha. Kewajiban memiliki IMTA (Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing), adalah kewajiban Pengusaha sebagaimana RPTKA, karena hanya dapat diurus oleh pihak Pengusaha, diluar kewenangan pihak TKA.
Pengusaha lokal dapat melakukan penyelundupan hukum ketenagakerjaan terkait penggunaan TKA, yakni dengan tidak mengurus atau tidak memperpanjang IMTA, sehingga TKA dapat dilarang masuk ke lingkungan kerja perusahaan, meski PKWT belum berakhir, dimana IMTA yang ditelantarkan sejatinya ialah itikad buruk pihak Pengusaha itu sendiri. Menyadari hal ini, dan pandangan Mahkamah Agung RI yang masih bersifat konservatif (dalam arti tidak memahami permasalahan dalam praktik), hanya akan membuang waktu bila hendak menggugat Pengusaha nakal.
Sebagaimana dalam ilustrasi konkret diatas, pihak TKA sejatinya telah di-“permainkan” oleh pihak Pengusaha, dengan membengkalaikan IMTA yang merupakan tanggung jawab pihak Pengguna TKA. Alhasil, bagai membentur tembok tebal, gugatan berujung pada gugatan balik serta dihukum pula untuk membayar ganti-rugi pada pihak Pengusaha yang telah “mempermainkan” sang Pekerja Asing itu sendiri.
Terkadang, sepahit apapun masalah hukum yang dihadapi, peradilan dapat membuat luka itu meluas lebih serius, alih-alih sebagai lembaga yang dapat menawarkan keadilan. Penulis sayangkan, belum banyak kalangan masyarakat umum yang menyadari kelemahan utama sistem peradilan di Indonesia yang jauh dari kesan sakralitas.
Termakan oleh asumsi menjelma harapan semu, seakan menggugat selalu lebih menguntungkan pihak yang menggugat. Bagaikan harimau yang terluka, pengadilan justru dapat membuat harimau itu tewas karenanya, akibat tidak waspada ketika berniat untuk menggugat.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.